Beranda / Young Adult / Tingkat Dua / Part 4 • Arunika

Share

Part 4 • Arunika

Penulis: coochocinoou
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-06 22:08:13

"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus.

"Tiga."

Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?"

"Iya." Kemudian hening.

Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini.

"Pendiem banget ya, Ka."

"Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.

Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar.

"Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat.

"Enggak kok."

"Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka."

"Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.

Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.

***

"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata."

"Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"

Astaga. Jiwa kepoku muncul di saat yang tidak tepat. Bisa-bisanya aku malah bertanya, yang sialnya merupakan pertanyaan yang terkesan ingin tahu saat kami bahkan belum satu jam resmi berkenalan. Arunika and her bubbling mouth memanglah hal yang tidak bisa diharapkan.

"Eh, sori Bang. Nggak usah di jawab nggak papa kok." Aku berusaha menunjukkan padanya bahwa bukan maksudku untuk ingin tau urusan-urusannya itu.

"Santai aja kali sama gue!" Dia menyunggingkan senyum lebar.

"Data gue kemaren nggak sengaja kehapus. Terus kemaren gue bawa kesini buat di pulihin. Eh, taunya abangnya bilang suruh ngambil sekarang. Soalnya besok ampe lusa mau tutup dulu. Jadi gue yang harusnya minta maaf malah karena ngajak lo nemenin gue dulu."

Aku menggeleng tidak sependapat dengannya. "Enggak kok. Lagian ini searah sama kampus juga kan. Jadi sekalian.

"Sip."

"Mau mampir sebelah bentar nggak? Kelas lo masih ada lima belasan menit. Dari sini ke kampus palingan nggak ada lima menit juga nyampe. Gimana?" Tawarnya sembari melirik ke arah pergelangan tangan kirinya, tepatnya ke arah sebuah jam tangan hitam yang bertengger manis disana.

Oke. Sesungguhnya aku ingin langsung mengatakan iya dari tawarannya barusan. Tapi mengingat jika aku tidak membawa uang seper pun, maka sepertinya dengan berat hati aku harus menolak tawaran menggiurkan yang hanya akan aku dapatkan sekali dalam seumur hidup ini.

Belum juga aku mengatakan tidak, Bang Radit sepertinya sudah terlanjur memahami apa yang sedari tadi membuatku banyak berfikir. "Gue yang traktir deh. Sebagai ucapan terimakasih karena udah nemenin ngambil flashdisk." Ucapnya sembari mengangkat sebuah flashdisk hitam untuk ditunjukkannya padaku.

"Yuk!" Lanjutnya sembari melangkah tanpa menunggu jawaban dariku terlebih dulu.

***

"Jadi praktikum apa nanti?"

"Metode Statistika."

"Masih ada emang matkulnya?" Jawabnya begitu enteng.

Aku tergelak mendengar penuturannya. Memangnya semudah itu menghilangkan sebuah mata kuliah?

"Masih lah, Bang." Jawabku sembari duduk dan menunggu minumanku selesai dibuat.

Sepuluh menit adalah waktu yang sangat sebentar jika ingin duduk dan mengobrol. Jadilah Bang Radit hanya akan membelikanku, dan kami akan segera meneruskan perjalanan menuju kampus.

"Emang bisa di ilangin?" Tanyaku karena penasaran.

Bang Radit hanya mengendikkan bahu. "Harusnya bisa sih... Nggak guna juga." Jawabnya sambil tertawa.

Aku benar-benar tidak menyangka jika dia akan menjawab seperti itu. Dalam bayanganku, orang seperti dia tidak akan mengatakan hal seperti apa yang dikatakannya barusan. Meski seratus persen aku menyetujui pendapatnya soal statistik, tetap saja kalimat 'nggak ada gunanya' masih terlalu tidak terduga akan keluar dari seseorang sepertinya.

Gila! Benar-benar di luar nalar.

"Nggak ada gunanya?" Beoku karena ingin memastikan apakah yang aku dengar barusan memang benar.

Dia mengangguk mantap. "Iya."

"Nggak setuju?" Tanyanya kemudian.

Aku menggeleng, lalu mengangguk. "Eh, setuju apa nggak nih, Ka?" Dia bertanya karena gerakan kepalaku tidak konsisten.

"Setuju, Bang." Akhirnya aku mengatakan setuju untuk pertanyaannya barusan.

"Sama dosen apa senior praktikumnya?"

"Dosen."

"Pak Anhar?"

Aku mengangguk mengiyakan. "Yah, harus rajin-rajin ya." Lanjutnya yang membuatku mengernyitkan dahi tidak paham.

"Maksudnya, Bang?"

"Suka ngadain kuis kan orangnya?"

Lagi-lagi aku mengangguk.

"Dadakan?" Aku mengangguk sekali lagi.

"Sabar-sabarin udah." Jawabnya lagi-lagi sambil tertawa.

Belum juga aku menimpali pertanyaannya, Bang Radit bangkit dari kursi dan berjalan untuk mengambil pesanan kami.

***

"Abang aselinya emang gini ya? Beda banget!" Aku menyengir lebar, berusaha bersikap santai seperti apa yang sedari tadi dia lakukan.

Di perjalanan menuju kampus ini, Bang Radit benar-benar banyak bicara padaku. Image nya yang sebelumnya pendiam, secepat kilat berubah menjadi tidak seperti itu. Ekspektasi ku padanya benar-benar terpatahkan hanya dengan berinteraksi dengannya kurang dari satu jam.

Dia tertawa geli. "Beda gimana?"

"Kelihatannya kaya pendiem gitu."

"Sering merhatiin ya?" Ucapnya dengan nada bercanda.

Astaga. Jantungku tiba-tiba seperti berhenti berdetak karena pertanyaan singkatnya barusan.

"Bercanda, Ka..." Lanjutnya yang diikuti dengan tertawa.

Sepertinya Bang Radit adalah tipe orang yang mudah senyum, bahkan kepada seorang stranger sepertiku.

Aku ikut tertawa kecil. Dia benar-benar tahu caranya membuat orang lain kembali merasa nyaman. Tidak heran sosoknya terlihat akrab dengan semua orang, dan baru-baru ini juga dipercaya civitas jurusan kami untuk mengepalai himpunan mahasiswa tahun ini.

Pembawannya santai, dan auranya benar-benar mampu mendominasi.

"Gue orangnya emang sering bercanda gitu kalo udah kenal, Ka. Kalo baru kenal, barulah pendiam kaya kata yang lo omongin barusan. Maklumin aja, ya!" Jelasnya lagi.

Aku terseyum menanggapi. "Lah emang gue bukan orang baru, Bang?" Aku berusaha melemparkan candaan agar obrolan kami tidak terkesan satu arah.

Bang Radit malah tertawa. Lalu secara tiba-tiba raut wajahnya berubah serius. "Sejak kapan kita jadi orang baru, Ka?" Dan entah kenapa satu balasan candaanku olehnya mampu membuat kerja organ jantungku tidak senormal seperti biasanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tingkat Dua   Part 58 • Arunika

    Tidak ada yang tahu bagaimana seseorang akan menjalani kehidupannya. Hal-hal yang sebelumnya terasa begitu mustahil untuk dialami, bisa saja dalam sekejap terjadi seperti apa yang ada dalam bayangan. Ada saja kejadian tidak terduga yang digariskan takdir, yang tiba-tiba membuat dua orang yang tidak mungkin memiliki kesempatan untuk berinteraksi bisa bersatu dalam sebuah ikatan dalam waktu yang terhitung cepat.Dalam dua puluh satu tahun hidupku di dunia, dam-diam menyukai seseorang tanpa ada keinginan untuk menyatakan adalah hal paling sulit yang pernah aku lakukan. Mengamati dalam diam dan melihat bagaimana dia menjalani kehidupannya adalah hal sederhana yang selalu bisa membuatku tersenyum bahagia.Ayolah... Jatuh cinta memang tidak sebercanda itu."Bang ..." Aku memanggil Bang Radit yang belum juga mengatakan satu patah kata pun sedari tadi.Saat ini kami berdiri di samping kolam renang di halaman belakang."Bang ..." Sekali lagi aku memanggil namanya. Bedanya, suaraku semakin liri

  • Tingkat Dua   Part 57 • Arunika

    Flashback onKesan pertama adalah hal paling krusial antara pertemuan dua orang. Pepatah yang mengatakan bahwa hanya perlu empat detik untuk memutuskan kita senang atau tidak dengan orang baru, nyatanya masih cukup relevan bagi sebagian besar orang. Baik itu untuk menyukai, membenci, atau bahkan sekedar respect or enggaknya.Bagiku sendiri yang cenderung sulit dekat dengan orang lain, gestur dan bagaimana orang itu bertutur kata padaku saat pertama kali kami berinteraksi adalah hal yang sepenuhnya membentuk perspektif ku akan orang tersebut. Jika aku merasa nyaman or anything like that maka aku akan memberikan respon positif dan menjadi lebih mudah untuk membaur di masa depan. Sementara jika penilaian ku terhadapnya sudah terlanjur buruk, even di masa depan dia ternyata tidak seperti yang aku duga pun tetap saja begitu sulit bagi ku untuk merasa dekat dengan orang tersebut. Dan itu berarti aku dapat mengatakan bahwa untuk kasusku kesan pertama adalah segalanya, termasuk membuatku mera

  • Tingkat Dua   Part 56 • Arunika

    "Kaya gembel banget sih!" Bang Saka menghinaku yang hari ini menggunakan daster lusuh berwarna kuning yang bergambar Spongebob.Jika aku tidak salah ingat, daster ini aku beli ketika study tour ke pulau Dewata saat kelas 2 SMP. Jadi apakah selama enam tahun terakhir ini aku tidak tumbuh?"Ini bagus tau, Bang. Lucu banget gini!" Balasku tak mau kalah.Bang Saka masih saja mencibir. "Lo bukan anak-anak lagi, Ka.... Nggak cocok udah itu bajunya. Buang aja!"Aku tidak habis pikir dengan pikiran seorang Arsaka. Kenapa semua barang menurutnya pantas untuk dibuang? jelas-jelas baju yang sedang aku pakai ini masih sangat nyaman untuk di pakai."Parah lo, Bang! Masih bagus gini!" Ucapku sembari meninju lengannya pelan."Ya udah yuk! Katanya mau bikin ayam geprek...." Ucapku sembari menarik tangannya menuju ke dapur."Jangan di bolak-balik terus ayamnya, Bang...." "Apinya jangan kegedean, Bang!""Itu minyaknya di tirisin dulu, ih!"Memasak bersama Bang Saka pasti berakhir dengan aku yang haru

  • Tingkat Dua   Part 55 • Raditya

    "Hati-hati ya .. Jangan lupa kabarin abang kalo udah nyampe rumah." Aku mengelus pelan rambutnya, dan menyelipkannya di belakang telinga.Naina masih saja cemberut. "Ini kan baru minggu pagi, Bang. Kenapa sih aku udah disuruh pulang?"Saat ini aku sedang berada di stasiun Bogor untuk mengantarkan Naina. Sedari tadi dia bersikeras untuk tidak mau pulang dan ingin tetap tinggal di sini hingga Senin besok. "Abang abis ini mau pergi, Na. Jadi nggak bisa nemenin kamu jalan-jalan.""Aku bisa jalan-jalan sendiri, Bang. Sumpah nggak bakal ngerepotin Abang," Naina mengangkat telunjuk dan jari tengahnya untuk menyakinkan ku jika dia bisa pergi jalan-jalan sendiri.Aku menggeleng.Sampai dia sebesar ini, aku masih saja sering khawatir jika dia harus bepergian sendiri di tempat-tempat yang baru. Memang selama ini dia pernah beberapa kali berkeliaran di sekitaran kota Bogor, tapi itu denganku kan?"Nggak bisa, Na. Abang nggak bisa ngebiarin kamu pergi jalan-jalan sendiri....""Tapi Naina udah gede

  • Tingkat Dua   Part 54 • Arunika

    Seringkali kita merasa sudah berusaha untuk menciptakan pikiran-pikiran positif dalam rangka mencari kebahagiaan. Namun, tetap saja ada masanya kita seolah tidak berdaya untuk mengendalikan suasana hati. Sebentar-sebentar merasa bahagia, sebentar-sebentar lagi sedih dan ingin menangis."Kangen..." Pipiku langsung bersemu karena malu.Bisa-bisanya ada orang seperti dia di dunia ini. Baru saja menampakkan diri dan langsung membuat jantungku jumpalitan."Ini beneran loh, Ka.... Bukan main-main." Lanjutnya sembari mengeringkan rambutnya yang masih basah.Damage-nya astaga ....."Abang baru mandi?" "Iya, baru dari luar soalnya. Panas!""Dari mana?" sepertinya ada kesempatan bagiku untuk menggali lebih dalam tentang foto yang dikirimkan oleh Fayka."Dari Botas..." Aku merasa lega karena Bang Radit menjawab jujur tanpa keraguan."Sama siapa?'Oke. Semoga dia tidak menyadari jika aku sedang mencoba mengintrogasinya.Bang Radit tersenyum penuh makna kepadaku. "Ika nggak cemburu ya, Bang. Cum

  • Tingkat Dua   Part 53 • Arunika

    "FAY URGENT! Ini gue Arun." Aku mengirim direct message pada Fayka menggunakan akun Instagram Bang Saka. Akun centang biru yang telah ter-verify hampir setahun lalu. Semoga anak itu tidak berjingkrak-jingkrak dan membuat keributan karena mendapat pesan dari seorang selebritas, pikirku sembari tertawa cekikikan.Aku harus menyelesaikan ini dengan sangat cepat karena Bang Saka mungkin saja bisa kembali sewaktu-waktu. Aku menggunakan ponselnya secara diam-diam, dan tidak boleh sampai ketahuan jika ingin uang sakuku bulan ini tidak dipotongnya."Tolong kirimin no nya Bang Radit yang gue tulis di halaman paling belakang buku warna coklat yang ada di meja belajar gue. Kunci kamar gue titipin ke Bela kemaren! Thanks ❤️" Lanjutku sebelum menekan pesan tersebut dan menghapusnya untuk menghilangkan jejak.Fayka biasanya akan membuka akun instagramnya pada sore hari, sehingga nanti aku juga harus menemukan waktu yang tepat untuk mengeceknya secara diam-diam tanpa ketahuan."Dek, lo liat hp gue n

  • Tingkat Dua   Part 52 • Arunika

    The time you feel lonely is the time you most need to be by yourself-Douglas Coupland-***Kesendirian adalah momok yang menakutkan bagi sebagian besar orang. Sebagai manusia, kita cenderung selalu membutuhkan orang lain karena ada beberapa hal yang memang hanya dapat diisi oleh orang lain, yaitu salah satunya adalah PENGAKUAN.Sampai kapanpun, orang akan berusaha untuk menemukan lingkungan yang dapat mengakui eksistensinya. Rasa diterima dan diakui, menjadi hal yang membuat seseorang akhirnya menyadari bahwa hidupnya cukup berharga.Sayangnya, ketika tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, perasaan tersisih dan terkucilkan akan menghantui di dalam perasaan. Lalu secepat kilat berubah menjadi perasaan sedih, tidak percaya diri, dan bahkan merasa kecewa dengan diri sendiri.Lantas apa yang salah sesungguhnya?TIDAK ADATidak ada yang salah jika yang terjadi adalah demikian.Ketika seseorang tidak mendapatkan pengakuan yang baik dari orang lain, bukan berarti bahwa dirinyalah

  • Tingkat Dua   Part 51 • Arunika

    "Beneran, Dek?" aku mengangguk yakin.Bunda hanya menghela napas dan tidak mengatakan apa-apa lagi. "Kayaknya ini masih bisa di perbaiki sih Bun, sayang kalo harus beli yang baru." Lanjutku untuk meyakinkan Bunda.Siapa yang tidak mau ponsel baru jika ditawari? tentu saja tidak ada! Masalahnya, ponselku ini baru ku beli saat masuk kuliah. Dan jika dihitung dengan benar, sepertinya belum berumur dua tahun hingga sekarang.Sebenarnya, aku belum mau membeli ponsel baru bukan karena masalah biaya. Aku sangat yakin jika Bunda memiliki uang yang lebih dari cukup jika hanya membelikan ku ponsel baru. Meskipun demikian, sebagai orang yang sedang menuju tahap dewasa aku harus mulai mempertimbangkan banyak hal dan dan juga bertanggung jawab atas segala perbuatan yang aku lakukan sendiri.Ingatanku kembali melayang ke beberapa saat yang lalu. Tepat dimana terjadi insiden kecil yang berhasil menggelincirkan ponselku dari genggaman tangan. Sialnya, itu terjadi saat aku baru saja mulai menuruni t

  • Tingkat Dua   Part 50 • Raditya

    To: Pacar ❤️Ka, kamu dimana?To: Pacar ❤️Kamu baik-baik aja kan?To: Pacar ❤️Maafin Abang ya ....Itu adalah isi tiga pesan teks ku terakhir yang belum juga mendapatkan balasan darinya. Aku tidak tahu apa alasannya tiba-tiba pulang, dan tanpa memberi kabar sama sekali.Sebagai anak yang belajar ilmu-ilmu komunikasi, kami tahu betul bagaimana pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan. Jika diibaratkan, komunikasi ini sama pentingnya dengan sebuah kepercayaan. Tanpa komunikasi yang baik, kepercayaan akan mudah terkikis dan pondasi sebuah hubungan akan mudah rusak.Lalu sebenarnya apa yang terjadi dengannya?Kenapa tiba-tiba Ika seolah memutuskan komunikasi denganku?Tentu aku harus mencoba memikirkan dari perspektifnya. Meski aku merasa tindakannya ini salah, aku tidak lantas bisa mengatakan bahwa apa yang dia lakukan seratus persen salah. Aku menyadari betul bahwa aku juga mengambil bagian dari kekacauan yang terjadi diantara kami.Hubungan kami yang baru saja di mulai, langsung m

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status