Kopi yang ada di mulut Jena menyembur ke meja. Ia menyeka bibirnya menggunakan punggung tangan dan menatap lekat wajah sahabatnya, yang masih syok karena terkena cipratan kopi dari bibir Jena.
"Jorok banget kamu, Jen," sindir Cyra sambil menggeleng pelan. "Biarin. Tapi kamu beneran mau dijodohkan?" tanya Jena. Cyra mengangguk singkat. "Ya, aku serius. Ngomong-ngomong, lap dulu itu kopi, nanti banyak semut mangkal di situ." Ia menunjuk meja yang ketumpahan kopi dengan dagunya. Jena mengangguk, meraih tisu, dan mulai mengelap meja. Setelah selesai, mereka melanjutkan obrolan. "Kamu mau?" tanya Jena penasaran. "Aku tidak punya hak menolak keputusan papah, Jen," jawab Cyra. "Lah, kenapa? Kamu anaknya, dan perjodohan itu harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, Ra. Sekarang bukan jamannya Siti Nurbaya yang main jodoh-jodohan terus nikah gitu aja!" protes Jena tak setuju. Cyra terdiam. Ia sendiri tahu dan ingin menolak, namun ia yakin semua usahanya akan berakhir sia-sia. Sikap keras kepala ayah dan ibunya membuat Cyra benar-benar tertekan. Melihat wajah sahabatnya yang murung, Jena tiba-tiba meraih tangan Cyra, menggenggamnya dengan lembut, seakan memberikan kekuatan pada gadis itu. "Ra, sampai kapan kamu mau seperti ini terus? Kebahagiaanmu juga penting!" imbuh Jena dengan rasa iba. *** Waktu berlalu dengan cepat, tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Para karyawan mulai berbenah barang-barang mereka, berbeda dengan Cyra yang masih sibuk bersama komputernya. "Ra, kamu mau lembur lagi?" tanya Jena, yang sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Cyra menoleh dan mengangguk singkat, lalu kembali fokus pada komputer di depannya. Jari-jemari gadis itu menari-nari di atas keyboard dengan santai. Cyra terpaksa harus lembur sebab laporan itu harus diserahkan besok pagi. Akhirnya, jam pulang kantor tiba. Jena berdiri dari kursinya, menyodorkan segelas kopi yang tadi ia pesan dan belum sempat diminum setelah kembali dari kantin. "Ini buat kamu aja, Ra. Semangat ya, aku balik dulu!" pamit Jena. "Hati-hati, Jen," sahut Cyra. Ia melihat sahabatnya mulai menjauh dari pandangan. Suasana kantor seketika berubah hening. Cyra kembali pada pekerjaannya agar lebih cepat selesai. Menit demi menit berganti jam, tanpa terasa tiga jam sudah berlalu, dan akhirnya Cyra bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. "Ugh, pegel banget tanganku," gumam gadis itu. Ia menyimpan file tersebut, mematikan komputer, dan bersiap pulang. Cyra meraih kopi yang sudah dingin lalu menenggaknya hingga habis. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan melihat pesan dari ayahnya yang meminta ia pulang secepat mungkin. "Haa... sampai kapan aku begini?" Cyra menghela nafas berat, menyampirkan tas selempang di pundak kiri, lalu melangkah menuju pintu keluar. Sepanjang langkahnya, kedua kakinya terasa sangat berat. Beban yang ia pikul hampir membuatnya gila. Pernah beberapa kali Cyra mengeluh, namun mau ia mengeluh setiap detik pun, sama sekali tidak ada yang berubah. Sebelum pulang, Cyra menyempatkan mampir ke rumah makan langganannya. Ia memesan soto dan nasi, guna mengganjal rasa lapar yang sedari tadi mengganggu perutnya. Cyra menikmati sotonya sambil menatap jalanan di depan warung. Banyak mobil berlalu lalang, hingga tatapannya terkunci pada sosok pria di seberang jalan. "Kaivan?" gumam gadis itu. Ia mengucek kedua bola matanya dengan punggung tangan, ingin memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Namun siapa sangka, sosok itu memang benar Kaivan, kekasihnya. Merasa ada yang janggal, Cyra segera menyelesaikan makanannya. Setelah membayar, ia langsung berlari keluar warung. Cyra berniat menyeberang, tetapi urung ketika melihat Kaivan masuk ke dalam mobilnya. Tak ingin ketinggalan, Cyra pun masuk ke dalam mobil dan bergegas mengikuti sang kekasih. Di dalam mobil, Cyra berusaha menghubungi Kaivan, tetapi setiap kali panggilan tersambung, Kaivan selalu mematikan panggilan tersebut. "Kenapa dia tidak mau mengangkat teleponku?" pikirnya frustrasi. Cyra kembali mencoba, namun hasilnya tetap sama. Tak ingin kekesalannya berakhir sia-sia, ia lebih memilih fokus mengikuti mobil kekasihnya. Sesaat kemudian, mereka tiba di gedung apartemen milik Kaivan. Cyra menunggu Kaivan keluar dari mobil, seketika tubuhnya membeku saat melihat Kaivan turun dengan membawa sebuket bunga mawar merah berukuran sedang. 'Mungkinkah dia ingin memberiku kejutan?' batin Cyra, merasakan debar jantungnya. Ia memperhatikan raut wajah kekasihnya yang nampak berseri-seri, membayangkan betapa terkejutnya Kaivan ketika melihat kedatangannya nanti. Setelah melihat Kaivan memasuki lift, Cyra segera menyusulnya. Senyum hangat tak kunjung redup dari bibir gadis itu, bahkan ia melupakan sejenak masalah yang sedang menimpanya. "Aku harus pura-pura terkejut nanti," ucapnya tersipu malu. Namun, saat ia membuka pintu apartemen itu, justru ia yang mendapat kejutan dari Kaivan. "KAIVAN!" bentak Cyra, suaranya menggema di dalam ruangan.Sekembalinya Cyra ke meja kerjanya, dia langsung di cecar pertanyaan oleh rekan kerjanya yang duduk di meja sebelahnya. Dari ekspresi wajah wanita itu, terlihat jelas bahwa Livia sangat penasaran apa yang terjadi di antara Cyra dan juga atasan mereka yang belakangan ini sering sekali merepotkan Cyra. "Ra, apa Pak Raizan menggodamu kali ini?" Tanya Livia. Cyra langsung menggeleng. "Tidak, dia hanya menyuruhku untuk membantunya memeriksa pekerjaan.""Apa?" Livia menggeser kursinya sedikit agar lebih dekat ke arah Cyra. "Kok bisa? Kamu bukan asistennya loh, kenapa Pak Raizan justru memintamu melakukan tugas asistennya?""Aku tidak tahu. Aku sendiri bingung dengan tingkah atasan kita."Livia tersenyum tipis, dia menyenggol lengan Cyra. "Jangan-jangan Pak Raizan suka sama kamu, Ra."Sontak Cyra langsung melotot. "Mana mungkin, jangan ngaco deh.""Bisa aja, kan? Toh kamu cantik, cerdas, manis. Cowok mana yang tidak suka sama kamu, Ra."Ocehan Livia membuat Cyra geleng-geleng kepala, dia
Nevalion baru saja tiba di lobi perusahaannya ketika seorang wanita yang menjabat sebagai karyawan perusahaan itu muncul menghampirinya, Nina selaku ketua dari divisi pemasaran tampak cantik dengan pakaian kantornya yang membentuk lekukan tubuhnya. "Tuan Nevalion." Panggil Nina. Nevalion yang sedang duduk di kursi roda seketika menghentikan langkah, dia menaikan sebelah alisnya saat menyadari keberadaan wanita itu. "Ada apa?" Tanya Nevalion. "Emm ... Tidak ada, hanya ingin menyapa saja." Nevalion mengangguk. "Baik, saya permisi dulu." Nina menahan langkah Nevalion dengan senyum menggoda yang terselubung di balik profesionalitasnya. "Tuan Nevalion, sebentar," katanya lembut, tubuhnya sedikit condong ke depan, aroma parfum mahal yang dia gunakan langsung menyeruak di udara. "Ya?" Nevalion menatap datar, suaranya rendah namun tegas. Wanita itu memainkan ujung rambutnya sambil melangkah mendekat, sepatu hak tingginya beradu lembut dengan lantai marmer lobi. "Saya hanya i
Sinar matahari menyusup melalui tirai jendela kamar milik Cyra dan juga Nevalion, perlahan Cyra membuka kelopak matanya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk menjernihkan penglihatannya, tatapan wanita itu tertuju pada langit-langit kamar tersebut. Cyra memiringkan kepalanya ke samping kanan, di sana Nevalion masih tertidur pulas. Kedua matanya memerah menahan tangis, sesak di dadanya semakin menghimpit setiap kali dia menatap wajah suaminya. "Kenapa kamu melakukannya, Mas. Aku pikir kamu berbeda, ternyata aku salah." Kata Cyra sendu. Hatinya pedih, masa depan yang dia rencanakan dengan Nevalion kini terasa samar dalam ingatannya. Dia tidak tahu mengapa saat ini perasaannya sangat kacau, sulit sekali untuknya menata kembali kepingan perasaan yang di hancurkan oleh Nevalion. Perlahan, Cyra beranjak dari ranjang kemudian menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Cyra beranjak menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhnya, hari ini dia berniat berangkat kerja lebih aw
Nevalion merapikan pakaiannya ketika mendengar pintu rumah utama di buka, hari sudah menjelang malam ketika Cyra tiba di rumahnya. Pria itu kembali duduk di kursi roda layaknya orang lumpuh, dia membalikan arah kursi rodanya menuju ruang tamu. Saat pintu utama sudah tertutup rapat, Nevalion menunggu suara istrinya memanggil namanya. Namun, hingga beberapa menit berlalu tidak ada suara istrinya yang memanggil namanya seperti biasanya. Begitu Cyra melewati ruang tamu, wanita itu melihat ke arah Nevalion yang sedang menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Hay, Mas." Sapa Cyra. Senyum terpaksa muncul di bibir wanita itu, dia berusaha mati-matian untuk tidak terlihat sedih saat bertatapan dengan wajah suaminya. "Kamu baru pulang? apa tadi lembur?" tanya Nevalion. Cyra mengangguk. "Iya, tadi banyak kerjaan sedikit." "Sudah makan?" "Sudah, aku makan di kantor tadi sama teman-teman." Cyra mengeratkan genggaman tangannya di tas selempangnya. "Aku cape, aku ke kama
Cyra memandangi ponselnya untuk beberapa saat, meski dia memang ingin pulang dulu ke rumah tapi melihat isi pesan dari nomor tak di kenal membuatnya ragu dan bingung."Apa mungkin, Mas Neva kenapa-napa?" pikirnya.Mengenyahkan pikiran negatif itu, Cyra kembali melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang. Jarak rumahnya dari toko bunga cukup jauh, bisa memakan waktu sekitar setengah jam.Dalam perjalanan itu, pikirannya tak pernah lepas dari Nevalion. Tak bisa dia pungkiri, ada perasaan waspada dan takut jika firasatnya benar dan dia akan melihat sesuatu yang membuatnya kecewa.Mobil Cyra mulai memasuki komplek perumahan miliknya, dia menambah sedikit kecepatan mobilnya agar cepat sampai di depan rumahnya.Beberapa saat kemudian, dia tiba di depan rumahnya. Fokusnya langsung tertuju pada mobil BMW berwarna hitam yang ada di halaman rumahnya, mobil itu tampak tidak asing tapi Cyra belum bisa mengenalinya."Apa mungkin sedang ada tamu?" ujarnya seraya melepas sabuk pengaman dari tubuhnya.
Cyra termenung di dalam mobilnya, keraguan perlahan muncul dalam hatinya terlebih saat dia mengingat kembali ucapan Katty tadi. Sebelumnya, tidak pernah terlintas di benaknya kalau Nevalion memiliki masa lalu sekelam itu. "Apa mungkin, alasan Mas Neva meninggalkan Katty karena dia lumpuh?" kata Cyra. Pertanyaan itu mendadak muncul, selama ini Nevalion jarang sekali menunjukan perasaannya. Bahkan dia sendiri tidak tahu apakah sekarang Nevalion memiliki perasaan padanya, atau tidak. Saat dia ingin berbicara dari hati ke hati, Nevalion selalu menghindar seakan dia enggan membahasa masalah tersebut. Cyra sadar hubungan mereka hanyalah sebatas pernikahan di atas kertas, tapi sejujurnya dia tidak ingin memiliki kegagalan dalam pernikahannya kali ini. Cyra menarik napas panjang, " Sebaiknya aku tidak perlu memikirkan hal ini, toh Mas Neva tidak berubah. Mingkin saja Katty mencoba membuatku meragukan suamiku sendiri." Dia melihat kondisi wajahnya dan membenarkan make up yang sedik