Masuk
Di dalam rumah yang mewah, terdapat satu keluarga yang sedang berkumpul di ruang makan. Namun, secara tiba-tiba suara bariton sang pemimpin keluarga berucap pada putri sulungnya.
"Satu minggu lagi, kamu harus menikah, Cyra!" Seketika suasana meja makan menjadi tegang. Anton, sebagai kepala keluarga, mengucapkan sesuatu yang tidak pernah terlintas di benak gadis bernama Cyra Alexa. "A-apa menikah?" sahut Cyra, masih syok. "Ya, kami sudah menyiapkan segala keperluanmu. Minggu depan, kamu hanya perlu hadir di sana sebagai mempelai wanita!" "Tunggu, Pah. Bukannya yang menikah itu Nera?" Cyra merasa bingung. Setahunya, yang akan menikah adalah adiknya, bukan dirinya. Kini, sang Papah meminta ia menikah, bahkan tanpa berdiskusi lebih dulu. "Nera menolak. Papah tidak bisa membatalkan rencana pernikahan ini. Kamu satu-satunya harapan keluarga kita, Ra," jawab Anton dengan tegas. "Tapi, Pah—" "Cyra, diam! kamu mau jadi anak pembangkang, hah?" bentak sang Mamah, Margaret. "Tau tuh, Kakak seharusnya senang dong aku mengalah dan membiarkan Kakak menikah dengan orang itu," imbuh Nera, ikut memojokkan sang kakak. Perasaan Cyra benar-benar hancur dalam sekejap. Bukan hanya karena ucapan sang Papah yang harus ia terima secara sepihak, tetapi juga karena kata-kata wanita paruh baya yang telah melahirkannya ke dunia ini. Cyra merasa hatinya sakit, mengapa ia harus diperlakukan berbeda dari adiknya? Mereka lahir dari rahim yang sama, namun Margaret tak pernah menunjukkan cinta yang sama padanya seperti yang diberikan kepada Nera. "Jadi... aku menjadi pengganti Nera?" Cyra menatap intens ke arah sang Papah, berusaha tetap tenang meski rasa sedih dan marah meluap di dalam dirinya. "Ya, karena Nera sebentar lagi akan debut di dunia entertainment. Kamu harus menutup rapat semua fakta ini, kamu mengerti, kan?" "Ya, aku paham," sahut gadis itu singkat. Ia melirik sekilas ke arah adiknya, yang terlihat begitu senang. Begitu juga dengan Amerta. Cyra menunduk, menatap piring berisi nasi goreng, sembari terkekeh miris meratapi nasibnya. Bertahun-tahun ia diabaikan, dan kini ia merasa dibuang. Cyra yakin keputusan ini hanyalah alasan yang mengatasnamakan perjodohan, untuk mengeluarkannya dari rumah itu. 'Sejak awal aku memang bukan bagian dari keluarga ini,' batin Cyra sendu. Mereka semua melanjutkan acara sarapan, sementara Cyra selesai lebih dulu. Ia mendorong kursi ke belakang, berdiri, dan meraih tas selempang dari kursi. "Pah, Mah, Ner, aku pergi," pamit gadis itu. Namun, tidak ada satu pun jawaban dari kedua orang tuanya. Hal ini sudah sering terjadi, tetapi Cyra tak pernah kapok menyapa mereka. Cyra menghela napas berat. Keberadaannya di sini bagaikan angin tak kasat mata. Mereka hanya akan menganggapnya ada jika dalam kondisi mendesak. Mobil X-trail berwarna hitam melaju membelah jalan raya di pagi hari, lantunan suara musik mengiringi perjalanan Cyra menuju kantor. Sesekali ia ikut bernyanyi, mengisi kesendiriannya di dalam mobil. Setengah jam kemudian, ia tiba di depan gedung yang menjulang tinggi bertuliskan Daxton Group. Perusahaan ini sudah berdiri sejak 10 tahun lalu. Pemimpin perusahaan itu baru saja berganti sebulan yang lalu dan belum pernah muncul di muka publik, sehingga tidak ada yang tahu seperti apa rupa pria tersebut. Cyra memarkirkan mobilnya di basement, lalu bergegas menuju lift. Pagi ini, ia memiliki rapat penting. Sebagai ketua tim pemasaran, ia tampak tergesa-gesa saat melihat jam yang hampir menunjukkan pukul 09.00 pagi. "Sialan, aku telat!" Saat keluar dari lift, ia berlari menuju meja kerjanya dan mengambil berkas yang akan dipresentasikan. Beberapa teman setimnya yang mengikuti rapat sudah tidak ada di meja mereka, membuat Cyra semakin panik. Saat keluar dari lift, ia berlari menuju meja kerjanya dan mengambil berkas yang akan dipresentasikan. Beberapa teman setimnya yang mengikuti rapat sudah tidak ada di meja mereka, dan hal itu membuat Cyra semakin panik. Sesaat kemudian, ia sampai di ruang meeting. Untungnya, rapat belum dimulai. Cyra menghela napas lega dan duduk di kursi samping seorang gadis berambut sebahu. "Dari mana aja kamu, Ra? Tumben jam segini baru sampai?" tanya gadis bernama Jena Lauren. "Tadi ada sedikit masalah di rumah, makanya aku telat." Jena mengangguk. "Pasti adik kamu lagi, kan?" Cyra hanya tersenyum tipis menanggapinya. Tak berselang lama, rapat pun dimulai. Suasana hening menyelimuti ruangan selama tiga jam penuh, dan presentasi Cyra diterima dengan baik oleh semua orang di dalam ruangan. Setelah rapat usai, Cyra dan Jena berjalan menuju kantin. Mereka berniat membeli kopi dan camilan agar mata mereka tidak mengantuk lagi. "Bu, roti empat sama kopi dua," pesan Jena pada ibu kantin. "Siap, Neng," sahut sang ibu. Sembari menunggu pesanan mereka selesai, Cyra mengajak Jena duduk terlebih dahulu. "Muka kamu kusut amat, Ra. Padahal presentasi kamu tadi bagus banget," ujar Jena memuji. Cyra menghela napas berat, merebahkan kepalanya ke atas meja sambil menatap lantai. "Aku pusing, Jen. Rasanya aku ingin lari sejauh mungkin!" "Maksudmu apa, Ra?" sahut Jena heran. Saat itu, ibu kantin muncul membawa pesanan mereka. Jena langsung menyesap kopi di depannya, namun kopi itu keluar kembali saat ia mendengar jawaban dari sahabatnya. "Aku dijodohkan, Jen." "Uhuk...uhuk... kamu s-serius, Ra?" gagap Jena, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.Pagi itu, sinar mentari menembus tirai kamar dengan lembut, tapi kehangatan itu tak mampu mencairkan hawa dingin di antara dua insan yang kini hanya tinggal sebatas suami-istri di atas kertas.Nevalion sudah terbangun lebih dulu. Ia duduk di kursi roda, memandangi sisi ranjang yang kosong. Bekas lipatan selimut dan bantal yang sudah tersusun rapi menjadi tanda bahwa Cyra sudah bangun lebih awal. Ada rasa hampa yang menyesak di dadanya saat melihat ranjang kosong di sebelahnya, entah sejak kapan ia merasa ada jarak dengan istrinya. keheningan pagi ini terasa berbeda, jauh lebih dingin dari udara yang masuk melalui sela-sela jendela.Ia mendorong kursi rodanya perlahan keluar kamar, roda berdecit pelan di lantai marmer yang dingin. Dari arah dapur terdengar suara gesekan piring, aroma kopi hitam dan roti panggang menguar lembut. Biasanya, Cyra akan menyapanya dengan suara lembut, menyajikan sarapan, lalu duduk menemaninya makan. Namun kali ini, hanya suara sendok dan piring yang terde
Beberapa saat kemudian, Cyra tiba di halaman rumahnya. Namun saat itu ia melihat rumah tersebut masih gelap, yang menandakan jika Nevalion belum kembali. Tanpa berpikir lebih jauh, Cyra turun dari mobilnya lalu berjalan menuju pintu. Dia merogoh tas selempangnya guna mencari kunci rumah, butuh waktu beberapa menit sampai dia akhirnya mendapatkan kunci rumahnya. "Sepertinya aku harus meletakan kunci-kunci ini di dompet yang berbeda, sungguh sulit mencari kunci sekecil ini." Gumamnya. Cyra memasukan kunci itu dengan santai, saat dia berhasil membukanya ruangan tersebut nampak dingin seperti tidak berpenghuni. "Sama saja," ujarnya tersenyum kecut. "Hampa seperti hidupku." Langkah kakinya mulai menapaki anak tangga, lalu menyalakan sakelar hingga semua ruangan menjadi terang. Tatapan Cyra tertuju pada foto pernikahannya dengan Nevalion yang masih terpajang dengan rapi di ruang keluarga, dulu foto itu selalu terlihat cantik dan indah. Tapi sekarang Cyra tidak tahu perasaa
"Duh, mana sih kunci mobilku?" Cyra mengobrak abrik tasnya untuk mencari kunci mobil. Jam pulang kantor sudah berlalu setengah jam, beberapa teman kantornya sudah pulang meninggalkan sebagian lagi orang yang ada di gedung itu termasuk Cyra. "Nyari apa, Ra?" Tanya Livia yang baru saja selesai membereskan mejanya. Cyra mendongak ia menghela napas berat, "Kunci mobilku, aku lupa menaruhnya di mana tadi pagi." "Kok bisa? Bukannya kamu selalu menyelipkannya di dompet?" Cyra terdiam sejenak, sejak tadi ia hanya sibuk mengobrak abrik tasnya tanpa melihat ke dalam dompetnya. "Oh, iya. Aku lupa, Liv." Ujar seraya menepuk jidat. Livia menggelengkan kepalanya perlahan, "Dasar ceroboh, untung saja aku belum pulang. Kalo sudah, kamu bakal milih naik taksi deh." "Pastinya sih," Cyra terkekeh. "Langsung balik atau mau ketemuan dulu, Liv?" Livia menyeringai. "Ketemuan dong, Jeff baru balik dari luar kota dia bilang kangen sama aku." Senyum di bibir Cyra mengembang, ia tahu hubunga
Sekembalinya Cyra ke meja kerjanya, dia langsung di cecar pertanyaan oleh rekan kerjanya yang duduk di meja sebelahnya. Dari ekspresi wajah wanita itu, terlihat jelas bahwa Livia sangat penasaran apa yang terjadi di antara Cyra dan juga atasan mereka yang belakangan ini sering sekali merepotkan Cyra. "Ra, apa Pak Raizan menggodamu kali ini?" Tanya Livia. Cyra langsung menggeleng. "Tidak, dia hanya menyuruhku untuk membantunya memeriksa pekerjaan.""Apa?" Livia menggeser kursinya sedikit agar lebih dekat ke arah Cyra. "Kok bisa? Kamu bukan asistennya loh, kenapa Pak Raizan justru memintamu melakukan tugas asistennya?""Aku tidak tahu. Aku sendiri bingung dengan tingkah atasan kita."Livia tersenyum tipis, dia menyenggol lengan Cyra. "Jangan-jangan Pak Raizan suka sama kamu, Ra."Sontak Cyra langsung melotot. "Mana mungkin, jangan ngaco deh.""Bisa aja, kan? Toh kamu cantik, cerdas, manis. Cowok mana yang tidak suka sama kamu, Ra."Ocehan Livia membuat Cyra geleng-geleng kepala, dia
Nevalion baru saja tiba di lobi perusahaannya ketika seorang wanita yang menjabat sebagai karyawan perusahaan itu muncul menghampirinya, Nina selaku ketua dari divisi pemasaran tampak cantik dengan pakaian kantornya yang membentuk lekukan tubuhnya. "Tuan Nevalion." Panggil Nina. Nevalion yang sedang duduk di kursi roda seketika menghentikan langkah, dia menaikan sebelah alisnya saat menyadari keberadaan wanita itu. "Ada apa?" Tanya Nevalion. "Emm ... Tidak ada, hanya ingin menyapa saja." Nevalion mengangguk. "Baik, saya permisi dulu." Nina menahan langkah Nevalion dengan senyum menggoda yang terselubung di balik profesionalitasnya. "Tuan Nevalion, sebentar," katanya lembut, tubuhnya sedikit condong ke depan, aroma parfum mahal yang dia gunakan langsung menyeruak di udara. "Ya?" Nevalion menatap datar, suaranya rendah namun tegas. Wanita itu memainkan ujung rambutnya sambil melangkah mendekat, sepatu hak tingginya beradu lembut dengan lantai marmer lobi. "Saya hanya i
Sinar matahari menyusup melalui tirai jendela kamar milik Cyra dan juga Nevalion, perlahan Cyra membuka kelopak matanya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk menjernihkan penglihatannya, tatapan wanita itu tertuju pada langit-langit kamar tersebut. Cyra memiringkan kepalanya ke samping kanan, di sana Nevalion masih tertidur pulas. Kedua matanya memerah menahan tangis, sesak di dadanya semakin menghimpit setiap kali dia menatap wajah suaminya. "Kenapa kamu melakukannya, Mas. Aku pikir kamu berbeda, ternyata aku salah." Kata Cyra sendu. Hatinya pedih, masa depan yang dia rencanakan dengan Nevalion kini terasa samar dalam ingatannya. Dia tidak tahu mengapa saat ini perasaannya sangat kacau, sulit sekali untuknya menata kembali kepingan perasaan yang di hancurkan oleh Nevalion. Perlahan, Cyra beranjak dari ranjang kemudian menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Cyra beranjak menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhnya, hari ini dia berniat berangkat kerja lebih aw







