Share

Titik Nadir Sang Pendosa
Titik Nadir Sang Pendosa
Author: Asda Witah busrin

BAB 1

last update Huling Na-update: 2025-06-30 10:02:00

"Kamu kan sudah tidak per.w.n lagi, Nau. Bertahun-tahun ng.ngkang gratisan pacaran sama si Indra mau mau saja. Masa saya nyicipin sekali kamu keberatan begitu?" Sakti tersenyum penuh arti pada wanita yang mengenakan seragam biru di hadapannya. Dia menelan ludah berkali-kali melihat Naura yang terus saja menunduk sejak tadi.

"Kontrak kerja kamu habis dua bulan lagi. Kalau mau diperpanjang, temui saya lusa di ruangan ini selepas jam bubaran kerja." Sakti kembali berbicara saat Naura tidak merespon apa-apa. Wanita itu terus menunduk sambil mengetuk-ngetuk pahanya dengan jari telunjuk.

"Sudah! Tidak usah terlalu dipikirkan. Bukan cuma kamu saja yang seperti ini. Yang lain sudah lebih dulu begitu." Sakti menepuk meja pelan hingga membuat Naura mengangkat kepala. Wanita bermata bening itu mengalihkan tatapan saat mata mereka bertemu.

"Cari kerja itu susah, Nau. Sekarang ini, kalau kamu keluar dari tempat ini, ratusan bahkan ribuan orang diluar sana siap menggantikan posisimu di perusahaan ini." Sakti terkekeh pelan. Dia terus berusaha menekan Naura agar mau menuruti keinginannya. Bukan sekali dua kali dia melakukan ini. Lima tahun memegang jabatan sebagai kepala HRD, tak terhitung berapa banyak yang sudah dia t.duri.

Sudah sejak lama dia mengincar Naura. Akhirnya, kesempatan itu datang saat kontak kerja wanita itu habis. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu benar-benar membuatnya mabuk kepayang. Walau tidak mendapatkan per.w.nnya, setidaknya dia pernah mencoba merasakan salah satu karyawan tercantik yang ada disana.

"Apa yang membuatmu berat mengatakan iya, Nau? Beralasan takut dengan Tuhan? Kemana saja selama ini baru kepiNaura sekarang?" Tawa Sakti meledak, memenuhi ruang kerjanya yang tidak terlalu luas. "Melakukannya sekali denganku tidak akan menambah dosa terlalu banyak lah." Sakti kembali tertawa setelah melanjutkan ucapannya.

"Tidak ada yang dirugikan disini. Rahasia aman terjamin. Kamu malah diuntungkan karena bisa perpanjangan kontrak kerja. Bonus nanti dapat rekomendasi kenaikan gaji, deh, saya bantu ajukan. Berpikirlah secara cerdas. Atau … kamu terlampau b.doh sehingga selama ini bisa dipakai gratisan oleh Indra selama tahunan hanya untuk ditinggalkan?"

Naura mengepalkan tangan. Dia muak dengan lelaki berotak m.sum yang menatapnya seakan hendak menel.njangi sejak tadi. Wanita berusia dua puluh dua tahun yang sejak tadi menunduk itu akhirnya menegakkan kepala. Dia membalas tatapan kepala HRD yang kini menatapnya dengan sebelah alis terangkat dan senyuman yang memuakkan.

“Saya memang b.doh, Pak. Saya b.doh karena buta oleh cinta sehingga menyerahkan semua pada pacar saya. Namun, satu yang harus Bapak tahu. Saya bukan wanita m.rahan yang akan dengan mudahnya membuka kaki ke siapa saja. Harga diri saya jauh lebih tinggi jika harus digadaikan untuk selembar kontrak yang Bapak sebutkan tadi. Permisi!” Naura berdiri cepat hingga kursi yang dia duduki terjatuh ke belakang.

“Lulusan SMA saja banyak gaya kamu itu, Nau. Baru juga bekerja tiga tahun disini sudah bicara tentang tingginya harga diri. Memangnya berapa saya harus bayar harga diri kamu yang sudah bekasan itu?” Sakti berjalan cepat dan menahan tangan Naura yang akan membuka pintu. “Sedetik kamu keluar dari ruangan ini tanpa mengiyakan apa yang saya minta tadi, saya pastikan kontrak kamu tidak akan diperpanjang.”

“Makan tuh kontrak!” Naura menghentakkan tangan Sakti hingga cengkeraman lelaki itu terlepas. Dia terengah menahan amarah yang teramat sangat. Hanya karena masih ingat lelaki yang sudah menginjak-injak harga dirinya barusan adalah atasannya di tempat kerja, Naura menahan diri untuk tidak melayangkan tamp.ran.

“Kamu kira gampang cari kerja, Nau? Saya pastikan setelah keluar dari sini kamu akan kesulitan mendapat pekerjaan lagi. Saya tidak akan memproses surat rekomendasi apapun untuk ke perusahaan lain walau kontrak kamu tidak diperpanjang disini. Sial!” Sakti memukul udara saat Naura justru berlalu dengan cepat dan membanting pintu tepat di depan wajahnya.

Disini, Naura terduduk di lorong saat sudah jauh dari ruangan Sakti. Kakinya terasa lemas setelah berlari kencang saat keluar tadi. Tangisan akhirnya pecah setelah sejak tadi rasa sesak bergumpal memenuhi dadanya. Dia menutup wajah dengan kedua tangan dan mulai terisak pelan. Tubuhnya gemetar karena rasa takut dan marah yang dia rasa.

“Kita tinggal bareng saja, Nau. Biaya kos-kosan jadi lebih murah. Teman-teman yang lain banyak yang begitu. Sudah biasa di daerah sini yang merantau tinggal bareng sama pacar. Jadi, uang gaji bisa kita sisihkan buat tabungan bersama untuk biaya nikah dan persiapan berumah tangga nanti.”

Naura semakin terisak kencang saat mengingat ucapan Indra tiga tahunan yang lalu. Mereka sudah pacaran sejak kelas dua SMA. Lulus sekolah, keduanya merantau mengikuti teman yang lebih dulu bekerja disana. Karena koneksi orang dalam, mereka diterima kerja dan akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama.

Tiga tahun dia dan Indra hidup seperti suami istri. Kalau istilah anak zaman sekarang, Indra mencintai Naura secara ugal-ugalan. Lelaki itu tak segan bersikap romantis pada Naura di hadapan banyak orang. Dia juga siap sedia setiap kali Naura membutuhkan. Indra bahkan sangat memuja Naura hingga membuat dirinya terlena dan merasa dicintai dengan sempurna.

“Aku harus pulang, Nau. Ibu sakit lagi. Kalau keadaan Ibu sudah membaik, mungkin aku akan bicara tentang rencana pernikahan kita. Uang tabungan yang kita kumpulkan sudah lebih dari cukup untuk biaya pernikahan secara sederhana di kampung sana.”

Naura menekan dada saat suara Indra yang berpamitan seminggu lalu terasa sangat jelas di pendengarannya. Dia mengiyakan dan turut mendoakan semoga calon mertuanya segera pulih kembali seperti sedia kala.

Namun, siapa sangka ternyata itu terakhir kali dia melihat Indra di dalam hidupnya. Lelaki itu tak pernah kembali untuk memenuhi janji menikahinya.

Indra menghilang.

Ponsel lelaki itu tak bisa dihubungi. Media sosialnya tidak aktif lagi. Menyisakan Naura yang terpuruk menghadapi kenyataan pahit ini.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
au nom de lalun
poor Naura...
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 13

    Naura mengangguk. Itu artinya, Bibi dan mamangnya bekerja hanya untuk mengisi hari tua, bukan untuk mencari makan lagi. Kebanyakan orang tua disana enggan ikut anaknya merantau walau kehidupan anaknya sudah nyaman. Mereka terlanjur mencintai kampung halaman yang menjadi tempat mereka lahir dan dibesarkan.“Abangmu sering menanyakan kabarmu kalau sedang telpon, Nau. Beberapa kali dia minta nomormu, tapi Bibi tidak punya.”Naura membisu mendengar ucapan bibinya. Dia menghela napas panjang untuk yang kesekian kali. Sejak merantau dan yakin akan janji kehidupan lebih baik bersama Indra, dia mengganti nomor ponselnya. Naura ingin melupakan semua kepahitan hidupnya di masa lalu dan fokus untuk menyongsong masa depan bersama lelaki yang menjadi tumpuan harapannya.“Lusa, abangmu pulang. Teman baiknya sejak kecil menikah, sehingga dia menyempatkan untuk datang.” Ila memperhatikan Naura yang kini menoleh ke arahnya. “Mungkin ini jalan Tuhan, Nau. Kamu datang disaat abangmu juga pulang.”Naura

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 12

    Bendri membisu. Dia kehabisan kata karena apa yang sepupunya ucapkan adalah kebenaran. Sejak bercerai dengan mantan istrinya, dia tidak mau tahu menahu tentang Naura sama sekali. Bendri bahkan tidak memberikan uang saat Naura minta untuk membeli seragam saat akan masuk SMP sekitar sembilan tahunan yang lalu.“Kita pulang, Nau. Seharusnya, sejak awal datang kau tahu kemana harus pulang. Pintu rumah Bibi selalu terbuka untuk kau datangi.” Ila menarik tangan Naura agar mengikutinya. Dia mengambil keranjang yang terjatuh di halaman. Setelah memasukkan kembali isinya yang tercecer, Ila berjalan diiringi oleh Naura.“Dimana baju-bajumu, Nau?” Ila bertanya setelah mereka sampai di rumah. Dia memberikan segelas air dingin pada Naura yang terlihat sudah jauh lebih tenang. Wanita itu menghela napas panjang melihat wajah lelah dan kuyu yang terpancar jelas di wajah keponakannya.“Di rumah Farhan, Bi.” Naura menjawab pelan. Dia mengambil gelas yang diberikan oleh Ila dan meminumnya satu tegukan.

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 11

    “Jaga mulutmu, Naura. Jangan bicara seperti orang tak pernah mendapat pendidikan. Aku ini bapakmu!” Bendri terengah. Dia tersinggung mendengar ucapan yang keluar dari bibir anaknya. “Untuk apa kamu pulang kalau hanya membuat kekacauan saja? Tahunan kamu pergi dari sini kehidupan kami aman dan tenang terkendali.”Naura meludah. Cairan ludah bercampur darah menempel di batu hias yang disusun di pekarangan. Wanita itu menggeleng pelan. Tenaganya habis sudah untuk menjawab semua ucapan bapaknya. Fisiknya lelah. Batinnya apalagi.Dia akhirnya duduk di teras rumah. Lelah rasanya berhadapan dengan para manusia yang selalu ingin dihormati sebagai orangtua, tapi tidak pernah mengurusnya sama sekali. Tidak berpendidikan katanya? Naura berdecak pelan. Ingin rasanya dia mengembalikan kata-kata Bendri lagi. Apa selama ini Bendri memberikan pendidikan padanya hingga bisa berkata demikian?Namun, dia memilih diam. Tamp.ran dari bapaknya barusan cukup membuat mentalnya semakin jatuh. Pada akhirnya ap

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 10

    “Nau, kita masuk dulu.” Rida membantu Naura berdiri. Wanita itu mengembuskan napas kencang melihat tetangganya yang saling menggamit dan berbisik, menggunjingkan tentang keluarganya.“Ayo, Naura.” Rida menghela napas panjang saat tidak ada penolakan dari Naura. Mereka berjalan pelan masuk ke dalam rumah, sementara yang lain masih berdiri di tempat semula, berharap ada kelanjutan cerita.“Minum dulu.” Rida memberikan segelas air putih dingin pada Naura yang langsung menghabiskannya sampai tandas. “Pulanglah, Nau, Indra tidak ada disini. Semakin lama kamu disini, tetangga akan semakin bergunjing. Jadi, Ibu mohon, pulanglah ….”“Kemana?” Naura menggigit bibir. Tatapan matanya kosong. Kemana dia harus pulang? Selama ini, tujuannya kembali hanya Indra. Sekarang, saat lelaki itu menghilang, dia harus kemana?Rida menghela napas panjang melihat wajah Naura yang basah. Dia tahu betul cerita hidup Naura. Namun, mau bagaimana lagi? Indra dan Naura tidak berjodoh. Dia tak mau membuat Naura berha

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 9

    “Indra!”Naura bergegas berdiri saat suara panggilan kembali terdengar. Tak disangka, belum satu jam menginjakkan kaki di desa ini, dia langsung bertemu dengan lelaki pengecut yang memblokir semua akses kontak mereka. Wanita itu menelan sisa roti di mulutnya dengan cepat. Setelah menghela napas beberapa kali, Naura memaksakan diri untuk menoleh.Walau belum siap jika harus bertemu dengan Indra yang mungkin saja sedang bersama istrinya, Naura tidak mau melewatkan kesempatan ini. Bisa saja, Indra malah pergi lagi jika tahu dia ada di desa ini.“Farhan?" Naura menautkan alis melihat teman satu sekolahnya sejak SD sampai SMA. Lelaki yang membawa parang di pinggang dan tangan kanan menenteng nangka berjalan mendekat ke arahnya.Naura mengedarkan pandangan. Tidak ada orang lain yang ada disana. Hanya ada mereka berdua karena letak masjid di kampung itu memang ada di ujung desa. Mendadak, Naura menyadari sesuatu. Sejak dia berpacaran dengan Indra, Farhan selalu memanggilnya dengan nama lelak

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 8

    Sakti semakin mengencangkan tangannya di bahu Naura hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik. “Sudah kubilang kalau kau membuatku penasaran, Nau. Jadi, jangan harap bisa lepas begitu saja. Lagi pula, apa susahnya, sih? Paling sepuluh sampai lima belas menit juga beres. Kita sama-sama diuntungkan disini.”Sakti melirik jam dinding. Dia melepaskan Naura yang mengepalkan kedua tangannya di paha. Lelaki itu mengulas senyum saat kembali ke tempatnya duduk. “Tentu saja tidak disini. Tidak sekarang, Nau. Jadi, bawa kembali surat pengunduran dirimu. Lebih baik kita bersenang-senang bersama. Apa kau tidak merindukan itu? Sebulan lebih kamu nganggur ditinggal Indra ‘kan?”“Picik!” Naura menatap Sakti dengan ujung mata. Dia memasang wajah datar saat melihat Sakti yang terkekeh pelan mendengar makiannya barusan. “Seperti yang Bapak bilang, saya cerdas. jadi, walau saat ini keadaan saya sedang kacau, saya tetap bisa berpikir jernih.”Naura mengangkat ponselnya dan memutar rekaman suara Sakti. “

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status