LOGIN“Aku takut, Ndra ….” Naura semakin terisak saat ingatan tentang pertama kali dia menyerahkan diri pada Indra melintas dalam ruang ingatannya.
Seminggu awal tinggal bersama, mereka tidur di kasur terpisah. Namun, hujan deras malam itu menjadi titik awal kehancuran Naura saat ini. Dia yang takut gelap karena listrik yang padam secara mendadak tak bisa tenang sampai Indra mem.luknya. Malam itu, mereka kelepasan. Dua anak manusia dengan darah muda yang sedang panas-panasnya akhirnya terjatuh dalam lembah dosa yang paling hina. Setelah malam itu, keesokannya mereka kembali mengulangi. Lagi, lagi dan lagi hingga tak terhitung berapa kali dalam tiga tahun mereka tinggal serumah tanpa ikatan yang pasti. Naura dibutakan cinta karena Indra begitu memujanya. Indra berhasil membuat dia percaya kalau dirinya adalah dunia bagi lelaki itu. Di tempat kerja, di area kos-kosan, di media sosial, kehidupan Indra semuanya bercerita tentang Naura. Siapa sangka kalau ternyata lelaki itu bisa sejahat ini padanya? Tiga hari Indra tak kembali, Naura mulai tak enak hati. Biasanya, maksimal dua hari di kampung halaman, Indra sudah kembali karena jatah cuti hanya tiga hari. Apalagi, Indra tak bisa dihubungi sama sekali. Biasanya, lelaki itu selalu berkabar walau hanya sekali sehari. Mereka memang mengurangi komunikasi kalau Indra pulang untuk menjenguk ibunya yang sakit. Namun, kali ini tidak ada kabar sedikitpun. Hingga akhirnya berita menyakitkan itu datang, meluluhlantakkan perasaan Naura yang sedang dalam penantian. Wanita itu akhirnya mengetahui alasan Indra tidak juga kembali. “Naura!” Naura yang sedang terjebak kenangan refleks mengangkat kepala saat ada yang memanggil namanya. Dia bergegas berdiri dan langsung berlari saat melihat Sakti berjalan mendekat ke arahnya. Lorong kantor yang sepi membuat langkah kaki Naura terdengar jelas. Wanita menghela napas lega saat akhirnya melihat keramaian di kantin yang dia tuju. Di belakang sana, Naura bisa melihat Sakti yang berjalan meninggalkan tempat itu. "Cieee …, Yang ditinggal nikah padahal sudah menyerahkan segalanya. Sini, Nau, kamu menuju tempat yang tepat. Yuk, makan yang banyak karena tetap terlihat kuat padahal hati sedang tidak baik-baik saja itu berat.” Alvan yang melihat Naura langsung memberi kode pada karyawan yang lain. Dia memang sedikit bermasalah dengan Naura karena masalah pembagian jobdesk yang menurutnya tidak seimbang. “Lontong sayurnya satu, Bu Sri, telurnya dua. Kasih ke Naura biar dia ada tenaga. Lemas banget kayaknya.” Alvan kembali berbicara. Dia tersenyum lebar ke arah Naura yang menatapnya tajam. “Biar saya yang bayar sekalian. Mana tahu nanti bisa dapat jatah. Ya lumayan walau bekasan indra juga.” Suara tawa Alvin berderai-derai, disahuti oleh suara karyawan lain yang duduk satu meja dengannya. “Jangan begitu dong, Vin. Kasihan itu anak gadis orang lagi patah hati malah diledekin terus. Eh … sorry, sudah tidak gadis lagi dong ya sudah bekasan soalnya? Tapi …, bukan janda juga. Jadi yang tepat apa dong? Gadis rasa janda kali ya.” Ucapan Mona membuat tempat itu kembali riuh rendah. Mona yang sejak lama menyimpan rasa pada Indra puas benar melihat Naura yang tak bisa berkutik. Sejak kabar pernikahan Indra menggemparkan kantor mereka, Naura menjadi bulan-bulanan karyawan yang tidak suka dengannya. Bukannya bersimpati, mereka malah menyoraki. Bukan tanpa sebab hal itu terjadi. Gaya pacaran Naura dan Indra yang selalu menempel setiap ada kesempatan dan sudah seperti suami istri membuat yang lain gerah. Benar tidak hanya mereka yang seperti itu. Ada beberapa karyawan lain yang juga tinggal satu kos dengan pacarnya. Namun, yang lain itu pandai menempatkan diri. Mereka menjaga jarak saat sedang diluar. Sementara, Naura dan Indra selalu bersikap seperti anak remaja yang baru mengenal cinta. Mabuk cinta benar-benar telah membutakan mereka. “Makan di pantry saja, Nau. Ini sudah kubungkuskan.” Via menggandeng tangan Naura agar menjauh dari sana. Dia mengedarkan pandangan ke arah rekan kerjanya yang masih terus bersorak-sorai, berusaha mengkerdilkan mental Naura. “Jangan terlalu sibuk membicarakan aib orang lain hanya karena aib kita masih ditutupi oleh Tuhan.” “Bukannya dia sendiri yang dengan bangganya membuka aib pada kita semua?” Alvan langsung menyahuti ucapan Via. “Makanya, jadi perempuan itu harus punya harga diri. Kok mau-maunya diajak kumpul k.bo bertahun-tahu. Setiap hari ng.ngkang gratisan hanya dibayar dengangombalan. Sekarang ditinggal nikah baru tahu rasa!” “Setuju!” Mona tidak mau ketinggalan. Dia malah sengaja berdiri dan mengeraskan suara agar yang sedang ada di kantin bisa mendengar ucapannya. “Lelaki itu memang nakal, tapi kalau buat dinikahin, ya mereka cari wanita baik-baik lah untuk Ibu dari anak-anaknya. Istilah kata, kalau bisa dapat semua secara gratisan kenapa harus ada ikatan pernikahan?” Naura melepaskan tangan Via. Dia sudah tidak tahan lagi mendengar penghakiman yang ditujukan padanya. Wanita berambut sebahu itu membalikkan badan dan memaksakan diri untuk berjalan walau kakinya terasa lemas sekali. Dia harus bisa meninggalkan tempat itu sebelum terjatuh karena tidak kuat hati mendengar hinaan bertubi-tubi. “Wah, kabur dia! Mental aman, Neng?” Alvan meletakkan dua tangan di mulut membentuk corong agar suaranya terdengar oleh Naura yang sudah berjalan keluar dari kantin. “Makanya, jadi wanita jangan terlalu bucin sampai-sampai rela menyerahkan segalanya. Rasain, emang enak ditinggal kawin? Makan tuh janji palsu!”“Sudah dapat datanya, tinggal di olah. Cuma aku masih malas mulai, Bang. Dosennya juga lagi ikut seminar internasional di Hongkong. Nantilah kalau dosennya sudah pulang baru dikerjakan.” Naura memainkan jari telunjuknya di dada Fatih. Wanita itu tersenyum tipis saat suara napas suaminya terdengar berat dengan suara sedikit serak.“Paling berat itu memang mengerjakan tugas akhir. Apalagi kalau dosennya gaib, hilang-hilangan.” Fatih terkekeh melihat Naura manyun. Dia iseng menarik bibir Naura yang dimonyongkan hingga membuat wanita itu spontan bangun dari tiduran. Namun, Fatih kembali menarik Naura, tak rela jika harus melepaskan kenyamanan kedekatan mereka.“Nikmati saja. Itulah seninya menjadi mahasiswa.” Fatih merapikan anak rambut Naura yang jatuh di dahi. “Setiap fase ada perjuangan dan ujiannya. Ya saat menjadi mahasiswa, fase perjuangannya selama proses belajar. Puncaknya saat menyusun tugas akhir dan ujiannya saat sidang. Itu yang akan menentukan lulus atau tidak untuk menyandan
“Papa, kapan pulang? Bawain oleh-oleh yang banyak ya? Atau nanti libur sekolah semester depan Arjun saja yang main kesana. Biar bisa lihat tempat Papa tinggal. Boleh ya, Ma?”Indra tersenyum lebar mendengar suara Aini yang mengiyakan permintaan Arjun. Seperti biasa, setiap menjelang maghrib di Ketapang, dia akan melakukan panggilan video pada Arjun. Mendengarkan cerita tentang keseharian anak lelaki itu menjadi hiburan tersendiri bagi Indra yang sering merasa sepi di tempat barunya ini.Tak terasa, setengah tahun sudah dia disana. Usaha konveksi rumahan yang dia kelola progresnya cukup menjanjikan. Di awal kedatangannya, Indra setiap hari selalu keluar rumah. Berangkat saat matahari belum muncul dan pulang saat matahari sudah tenggelam. Dia menyusuri jalanan, door to door mempromosikan usaha yang baru saja dia mulai.Benu tidak salah menaruh kepercayaan penuh pada Indra. Dalam waktu setengah tahun, usaha yang dia modali mulai memperlihatkan progres yang cukup menjanjikan. Setelah mula
“Sudah, tapi dosennya minta tambah data karena ada beberapa variabel tambahan juga.” Naura mengembuskan napas kencang. Seharusnya, dia sudah mulai bisa menyusun skripsi. Namun, karena dosen pembimbingnya minta tambahan data, jadilah dia harus turun ke lapangan lagi.“Besok jadi mau coba minta doa, Nau?” Dewi bertanya hati-hati. Sejujurnya, dia ikut sedih karena lima tahun lebih menikah, Naura dan Fatih belum juga dikarunia buah hati. Padahal, usaha yang mereka lakukan tidak main-main. Memanfaatkan libur semester, dua tahun lalu, Naura dan Fatih pernah mencoba bayi tabung di Penang, Malaysia. Namun, usaha itu belum berhasil karena embrio tidak menempel di rahim.Setahun mereka memilih istirahat, mengembalikan mental yang sudah pasti down. Tak dipungkiri, keduanya menaruh harapan besar akan keberhasilan bayi tabung kemarin. Setelah berhasil bangkit lagi, mereka menjadi lebih kuat karena saling menguatkan. Naura dan Fatih sepakat akan terus berusaha selama rezeki ada dan tubuh mereka mas
Indra menghela napas panjang saat pengumuman landing terdengar. Dia memasang sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Lelaki itu menoleh ke arah jendela pesawat, memperhatikan sungai barito yang memanjang dan berkelok-kelok di bawah sana. Kapal tongkang tampak berjalan sangat pelan karena membawa tonan beban batubara di belakangnya, mutiara hitam tanah Kalimantan. Kapal Ferry dan klotok tampak berlalu-lalang, masih menjadi alat transportasi yang terus dilestarikan. Dada Indra berdebar kencang seiring dengan getaran pesawat yang semakin terasa. Saat roda burung besi itu menyentuh landasan, bayangan wajah Aini memenuhi kepala Indra. Hampir satu dekade yang lalu, dia menjejakkan kaki pertama kali di pulau ini. Lima tahun kemudian, dia angkat kaki. Hari ini, setelah hampir lima tahun meninggalkan Borneo, dia kembali lagi. Bedanya, tak ada Aini yang selama ini selalu mendampingi. “Selamat datang kembali, anakku.” Benu merentangkan tangan. Lelaki itu memeluk Indra erat di depan pintu
Ba’da ashar, Indra hendak berpamitan pulang. Namun, dia urung saat melihat Aini dan Siti datang. Aini terlihat sedikit canggung saat bertatapan dengan Indra. Dia ingin langsung masuk ke kamar, tapi langkahnya terhenti saat mendengar Indra pamit untuk pulang. Wanita itu refleks membalikkan badan hingga bertatapan kembali dengan Indra.Indra mengulas senyum melihat Aini yang kembali memalingkan wajah, menghindari beradu pandang dengan dirinya. Lelaki itu mendekat pada Aini. Dia menghirup udara sebanyak mungkin sebelum berbicara dengan wanita yang pernah mengabdikan diri sepenuh hati selama lima tahun pada dirinya.“Selamat atas pertunanganmu dengan Pak Saka, Aini. Semoga rencana pernikahan kalian diberi kemudahan dan kelancaran sampai waktunya tiba. Abang ikut senang mendengar kabar bahagia ini. Akhirnya, Aini menemukan seseorang yang begitu memperjuangkan cinta dengan segenap rasa. Selamat menikmati euforia dicintai.” Indra mengulas senyum saat Aini menoleh kembali. Mereka bertatapan c
Indra mematut diri di depan cermin. Lelaki itu tersenyum lebar melihat tampilannya sendiri. Dulu, hampir setiap hari dia berpakaian rapi seperti ini. Sekarang, hanya sesekali saja kalau ada keperluan seperti hari ini. Indra mengalihkan pandangan ke arah kado yang sudah dia siapkan sejak seminggu lalu. Senyumnya kembali terbit mengingat dia harus menyisihkan uang dari hasil mengambil upah harian selama hampir tiga bulan agar bisa membelinya.Embusan napas kencang terdengar. Indra meraih kado berisi sepatu roda yang sudah sejak setahun lalu diminta oleh Arjun. Anak lelaki itu minta dibelikan sepatu roda kalau dia berhasil juara kelas lagi semester ini. Indra langsung mengiyakan karena tahu Arjun memang sangat suka sepatu roda. Jadilah akhirnya tahun ini dia membelikannya walau raport belum dibagikan. Indra yakin betul Arjun pasti juara kelas lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.Indra meraih ponsel di saku celananya saat alat komunikasi itu berdering. Dia tertawa melihat nama Aini terte







