Cinta Pertama
Tangan pria itu berada dipucuk kepala Lara, samar dalam ingatan Lara apa yang saat itu dirasakananyya, apa yang saat itu terjadi, dia mendadak tidak mengenali dirinya, otaknya dipenuhi perasaan aneh tetapi sangat candu, sementara tubuhnya sesekali memaksa untuk menggigil tanpa terkendali.
“Are you ok?” Tanya Gaga, dari jarak yang sangat dekat sehingga Lara dapat merasakan hangat napasnya mengembus.
Gaga menurunkan tangannya ke tengkuk Lara, tanpa mengangkatnya dari permukaan kulit gadis itu, lalu memijat-mijatnya, Lara menggeleng pelan sebagai jawaban, gejolak yang ada di dalam diri Gaga semakin tak terbendung saat merasakan napas Lara tak beraturan. Gaga memangkas jarak antara mereka, segalanya bertemu tanpa perantara, tanpa dihalangi apapun lagi. Lara merasakan kehangatan menjalar dari ujung kaki hingga kepala, tetapi hal itu justru membuat tubuhnya semakin bergetar karena gigil.
“Demi Tuhan aku tidak pernah melakukan ini dengan siapapun sebelumnya, Ga.” Gumam Lara, matanya terpejam, tangannya mencengkram.
***
8 bulan sebelumnya …
Apa itu cinta pertama? Apakah cinta pertama adalah sosok yang pertamakali membuat jatuh cinta di dalam hidup? Lara mengingat-ingat saat pertama kali dia jatuh cinta yaitu saat usianya baru Sembilan tahun dan dia menyukai Fahri, teman sekelasnya yang masih ingusan itu. Lara kemudian bergidik itukah sebenarnya cinta pertama?
“Tidak mungkin.” Gumam Lara.
“Tidak mungkin apa, Ra?” Tanya Sela yang ada didekatnya.
“Eh, enggak.” Jawab Lara.
“Enggak enggak. Dasar aneh, kamu lagi mengkhayal lagi ya?”
“Aku lagi memikirkan cinta pertamaku, Sel.” Jawab Lara, akhirnya mengaku. “Apakah dia teman sekelasku waktu SD dulu, ya?” Lanjutnya.
Sela tertawa terbahak-bahak.
“Mana ada cinta pertama anak bau kencur.” Sergah Sela setelah mengakhiri tawanya. “Tuh cinta pertama kamu!” Lanjutnya seraya menunjuk salah seorang anak laki-laki yang sejak kelas satu SMA ditaksir oleh Lara.
“Ih, apaan, sih, Sel.”
“Hari ini adalah hari kelulusan kita, kamu tahu artinya?” Tanya Sela, Lara menggeleng. Sela mendengus kesal. “Itu artinya ini adalah kesempatan terakhir kamu nembak dia, atau kamu tidak akan pernah bisa bersama dia seumur hidup.” Jelas Sela.
“Uhuk.” Lara tersedak padahal saat itu dia tidak sedang makan atau minum apa-apa. “Masa aku yang nembak?” Protesnya.
“Ya, kan kamu yang suka.”
“Apa dia suka juga sama aku, ya, Sel?”
“Mana kutahu,” Sela mengendikkan bahu. “Makanya ditembak biar tahu.” Lanjutnya.
“Enggak, ah.”
“Itu artinya kamu siap buat gak akan bersama dia selamanya.” Tegas Sela.
“Lebih baik mungkin seperti itu.” Jawab Lara lesu.
Lara kembali mengalihkan pandangannya kepada Faldy, laki-laki yang sejak kelas satu disukainya. Tidak ada yang menarik dari laki-laki itu, perawakannya kecil, kulitnya gelap, dia juga bukan siswa popular di sekolahnya mungkin dia cuma memiliki satu-satunya kelebihan yaitu jago pelajaran matematika. Selebihnya, tidak ada. Seharusnya Lara dengan mudah bisa mendapatkannya, namun selama tiga tahun Faldy tidak pernah melirik Lara sama sekali.
“Apa aku tidak menarik, ya, Sel?” Tanyanya, dia menoleh ke samping dan ternyata Sela sudah tidak ada lagi di sisinya.
Hari itu adalah hari kelulusan di SMA Lara, teman-temannya sedang sibuk membicarakan kampus-kampus dan jurusan-jurusan yang hendak mereka masuki di universitas nanti. Namun berbeda dengan Lara, dia tidak akan nimbrung dengan obrolan teman-temannya itu karena Lara sudah membulatkan tekatnya untuk langsung bekerja setelah lulus SMA.
Hari sudah beranjak sore, acara itu telah tiba dipenghujung. Para siswa berpelukan satu sama lain sebelum akhirnya satu persatu dari mereka meninggalkan lapangan sekolah dan keluar melalui gerbang. Lara berpelukan lama sekali dengan Sela, sahabatnya yang meski setiap kali semester ada rolling kelas, namun mereka berdua tidak pernah berpisah, selalu satu bangku selama tiga tahun. Sela bilang dia akan berkuliah di luar kota dengan jurusan seni lukis, Lara mengangguk antusias mendengar itu, dia benar-benar ikut senang dan dengan tulus mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya itu.
“Makasih sudah jadi sahabat terbaikku walaupun kamu sering aneh.” Ucap Sela setelah mereka saling melepaskan pelukan.
“Makasih juga sudah mau menjadi sahabat orang aneh ini, ya, Sel.” Jawab Lara. Mereka berdua tertawa sebelum akhirnya Sela pamit pulang duluan.
Sebelum pulang, Lara menoleh sekali lagi, melihat bangunan sekolahnya untuk yang terakhir kali.
“Selamat tinggal putih abu-abu, selamat tinggal Faldy.” Gumamnya, lalu menoleh dan melangkah menjauh dari sekolah.
***
Satu bulan setelah lulus sekolah Lara mendapatkan pekerjaan yang mengharuskan dirinya menetap di luar kota.
“Kenapa harus ke luar kota sih, Ra?” Tanya Ibunya, sesaat setelah Lara meminta izin. “Di sini banyak juga pekerjaan.’ Lanjutnya.
“Ya, karena pekerjaan itu punya jenjang karir yang lumayan untuk Lara yang Cuma lulusan SMA, Bu.” Jawabnya, “Memang benar di sini banyak pekerjaan, tapi untuk yang lulusan SMA, mentok-mentok cuma jadi karyawan supermarket.” Lanjutnya, menjelaskan.
“Memangnya pekerjaanmu nanti seperti apa?” Tanya ibunya.
“Jadi costumer service, Bu.”
“Tukang bersih-bersih kantor, gitu ya? kalau seperti itu apa tidak lebih baik jadi karyawan supermarket saja, Ra?”
“Costumer service itu melayani pelanggan di sebuah perusahaan, Bu. Misalnya, nih, kalau ada keluhan dari pelanggan atau pembeli, nah Lara yang melayani. Pelayanannya ada dua bu, secara langsung dan via jaringan.” Lara menjelaskan dengan hati-hati dan sedetail mungkin agar ibunya tidak salah arti. “Kalau yang ibu maksud itu namanya cleaning service, Bu.” Lanjutnya mempertegas.
“Habisnya sama-sama ada service-servicenya, sih.”
Lara tertawa sejenak.
“Jadi bolehkan, Bu. Lara merantau.” Tanyanya dengan memasang wajah memeles.
“Tanyalah, ayahmu.” Jawab ibunya, itu adalah sebuah jawaban akhir yang sebenarnya ibunya tidak setuju atas permintaan Lara.
Lara menelan ludah, dia selalu tidak yakin akan mendapat restu dari ayahnya. Selama ini, ayah Lara jauh lebih protektif dibandingkan ibunya. Lara biasa memaksa ibunya untuk membantunya membujuk ayahnya agar mendapatkan izin. Sedangkan untuk perkara kali ini, kemungkinan izin itu bisa dikantongi olehnya sangat tipis.
Lara melirik ke arah ayahnya yang dari tadi sibuk mengoreksi hasil ujian murid-muridnya di sekolah. Ayah Lara merupakan seorang guru honorer di salah satu sekolah menengah pertama negeri di kotanya. Lara masih mengurungkan ucapannya, meskipun sebenarnya ayahnya sudah mendangar percakapannya dengan ibunya.
“Yang penting kau bisa menjaga dirimu, hanya itu saja yang ayah minta.” Ujar ayahnya dengan tiba-tiba.
“Putri satu-satunya milik ayah kini sudah besar. Cepat atau lambat Lara akan meninggalkan ayah dan ibu untuk melanjutkan hidup sesuai dengan apa yang Lara impikan. Ayah tidak bisa mencegah jika yang kamu lakukan itu adalah hal baik.” Lanjut ayahnya, laki-laki itu meletakkan tumpukan kertas yang ada di tangannya, lalu memandang putrinya dengan senyuman yang terlihat sedih.
Lara tidak menyangka jika semudah itu mendapatkan izin dari ayahnya. Mulutnya seolah terkunci untuk berkata-kata, hanya matanya yang terlihat berkaca-kaca.
Setelah berhasil mendapatkan izin dari ibu dan ayahnya, Lara berangkat menuju kota tersebut menggunakan bus antar kota. Bus itu bergerak meninggalkan tempat di mana dia dilahirkan dan menghabiskan hari-hari selama 18 tahun di sana. Ibu dan ayahnya melepas Lara dengan tangan melambai-lambai, bus berjalan kian jauh, lambaian-lambaian tangan itu perlahan menghilang dan Lara menyeka matanya yang berembun.Bus itu memerlukan dua belas jam perjalanan untuk sampai ke kota tujuan. Lara yang beberapa kali tertidur sepanjang perjalanan, saat ini terjaga, matanya awas menyisir jalan, otaknya bertanya-tanya berapa lama lagi waktu yang harus dilalui untuk sampai ke tujuannya karena dia sendiri tidak tahu sudah berapa lama bus itu melaju.Tak lama kemudian bus itu memasuki sebuah terminal pemberhentian. Orang-orang bergegas untuk turun, termasuk Lara. Saat dia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota itu. Terdengar seseorang memanggil namanya.“Mbak Lara?” Seorang pemuda dengan kemeja flanne
“Im sorry, Ga. Saya hanya berusaha menjaga wibawa kamu sebagai atasan di kantor ini.” Setelah rampung diketilk, kalimat itu dikirim ke nomor WhatsApp Gaga.“Saya hanya berusaha menjaga kamu yang lebih dari apapun di kantor ini.” Beberapa menit kemudian pesan balasan dari Gaga tiba dan berhasil mebuat Lara melengkungkan senyum.“Thank you, Ga.”“I need you.”“Saya akan meluangkan waktu untuk makan malam sebagai tanda permintaan maaf, gimana?”“Tentu saja saya bersedia, dengan senang hati, everytime you want. Ra.”***Malam itu Lara berjalan menuju ke arah mobil Gaga dengan balutan dress maroon dengan satu garis tali yang melingkar tak penuh di kedua bahunya. Rambutnya diikat sedikit lebih tinggi dari biasanya, menyisakan sedikit anak-anak rambut di dahi yang membuat wajah mungilnya nampak manis. Itu adalah penampilan tercantik Lara sejauh Gaga mengenalnya meski Lara hanya merias wajahnya dengan make up tipis.“Malam …” Sapa Lara sesaat setelah naik dan duduk pada bangkudi samping Gaga.
Cahaya mentari pagi menyeruak masuk menembus jendela kaca di dalam kamar Gaga. Lara menyipitkan kedua matanya, rekaman kejadian semalam masih terputar di kepalanya saat dia menoleh ke arah Gaga yang masih terlelap di sampingnya. Lara tahu dan sangat sadar bahwa pagi itu Lara terbangun sebagai dirinya yang baru, yang tak lagi utuh. Matanya seketika mengembun menyadari apa yang telah terjadi dan saat gadis itu teringat akan pesan ayahnya sebelum ia merantau ke kota ini, tangisannya pecah seketika.Seketika Gaga terbangun saat mendengar isakkan gadis di sampingnya. Tangannya segera merengkuh Lara untuk menenangkan.“Why, Ra? Kamu kenapa?” Tanyanya.Lara tak menjawab, gadis itu terlihat berusaha menghentikan isakannya yang justru terdengar semakin sendu.“I’m sorry, Ra. Aku menyakitimu, ya?” Gaga bertanya lagi.Lara menyentuh wajah pria itu lalu menggeleng perlahan.“I love you.” Gumam Lara.“I love you more.”Gaga menarik tubuh Lara, merapatkan apada dadanya dan memeluk gadis itu erat. I
Lara larut terlalu dalam dalam lukanya. Gadis itu sama sekali tidak memilki persiapan apapun untuk menghadapi patah hati apalagi yang separah saat ini. Ternyata cinta pertamanya akan terjadi begitu singkat dan berakhir teramat sadis. Kadang-kadang gadis itu mengingat-ingat apa yang pernah dilakukannya di masa lalu sehingga seseorang tega menghancurkan hidupnya begini rupa. Lara merasa dibuang layaknya sampah setelah segalanya telah diberikan. Setelah satu bulan berlalu, Lara tak pernah masuk kerja dan tak pernah sekalipun mencoba menghubungi Gaga, meskipun pada dini hari saat ia tiba-tiba terbangun ia sangat ingin menghubungi Gaga ingin bertanya apakah tidak ada rindu setitik saja untuknya di hati Gaga, namun Lara ingat bahwa Gaga adalah manusia yang tidak memilki hati. Tidak ada lelaki yang tega memperlakukan wanita yang tak memilki salah apa-apa dengan begitu keji.Berat badan Lara turun beberapa kilogram dalam waktu satu bulan saja, gadis itu lebih banyak menghabiskan waktunya di a
Lara berubah menjadi gadis yang lebih dingin semenjak hatinya diporak-porandakan oleh Gaga. Dia tak pernah lagi peduli dengan beberapa lelaki yang tertarik padanya, termasuk dengan seorang pria bernama Bentara yang kerap kali disebut-sebut oleh Aria saat menggoda Lara. Bahkan untuk sedikit menanyakan secuil hal mengenai Bentara-pun Lara tak tertarik. Gadis itu seolah memilki semesta sendiri di dalam kepalanya, dia terlalu menikmati dunianya seorang diri dengan berpuluh-puluh puisiyang diciptakan, Lara merasa lebih hidup dan menemukan dirinya berada di titik yang dicari selama ini.Mungkin hanya Aria yang menjadi satu-satunya kawan Lara di kampus saat ini, itupun jika Aria bukan orang yang mudah bergaul pada semua orang, mereka berdua mungkin tidak akan mengenal apalagi berkawan. Meskipun kesulitan memiliki kawan di dunia nyata, Lara ternyata memilki banyak kenalan bahkan penggemar di media sosial berkat puisi-puisinya, karena itulah Lara tak pernah merasakan sepi.Sore itu menjelang p
Pukul 21.00, seusai menyelesaikan semua tugas kuliahnya, Lara kemudian menepati janji untuk mulai merekam suaranya untuk kemudian dikirimkan kepada Jenggala. Tetapi Lara melupakan sesuatu, sebelum menutup telepon seharusnya mereka berdua memilki kesepakatan mengenai naskah apa yang harus dibacakan dan direkam Lara. Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya dan bergegas mencari sebuah buku di mana biasa dia mencatat puisi-puisnya. Setelah beberapa lembar dibuka dan dibaca, akhirnya Lara berhenti pada lembar di mana puisi dengan judul “Jalan Penuh Puisi” pernah ditulisnya, Lara tak ingat jelas kapan ia pernah menulis puisi itu. Tapi menurutnya, puisi itu memilki makna yang dalam dan secara kebetulan mendeskripsikan bagaimana kedekatannya dengan Jenggala selama ini. Lara membacaranya beberapa kali dan mulai merekamnya.Jalan Penuh PuisiAku serupa melihat silet lelaki yang kukenali sejak lamaKetika itu aku berjalan di tenah rerimbunan pohon berdaun larik-larik puisiDengan tangkai yang m
Semenjak berita mengenai kedekatan Jenggala dan Jessica muncul di beranda utama platform, Lara semakinsadar diri akan posisi dirinya di dalam hidup Mas Gala. Bukan masalah perasaannya yang masih abu-abu pada Mas Gala, sejak dia merasakan hatinya tersenngat besi panas saat mengetahui kedekatan antara Mas Gala dan Jessica, Lara tahu ia telah jatuh cinta kepada pria itu. Persoalan ini adalah tentang perempuan itu, Jessica Audrey. Jessi, begitu sapaan akrab member platform untuk dirinya. Meskipun kehadirannya di platform itu tidak lebih lama dibandingkan Lara dan Gala, Jessi sudah meraup atensi besar dari pengguna platform itu. Karya tulisnya cerdas, kritis, akurat dan sangat nyaman dibaca meskipun saat membahas hal-hal berat sekalipun, semua tulisannya “berdaging”. Selain berprestasi, hal lain yang memang pantas untuk disukai daridiri Jessi adalah kebaikan hatinya, wanita itu ramah dan sangat humoris. Segala yang ada dalam diri Jessi adalah sebuah kesatuan yang lebih dari pantas untuk me
Sebanyak apapun aktivitas dan sesibuk apapun Lara di siang hari, gadis itu tetap saja menunggu momen-momen yang terjadi saat malam tiba. Tepatnya pada pukul 21.00 di mana itu adalah waktu biasanya Lara dan Mas Gala saling berbincang, kebanyakan membincangkan project mereka tetapi selalu diselengi dengan obrolan yang secara tersirat saling menunjukkan ketertarikan diantara keduanya. “Mas, kalau misalmya Mas Gala dan Kak Jessi benar-benar bersatu suatu hari nanti, siapa yang paling beruntung?” Tanya Lara pada Mas Gala di suatu malam. “Mungkin tidak ada yang beruntung.” Jawab Mas Gala. “Kok tidak ada?” Tanya Lara lagi. “Ya, menurut kamu apakah orang yang bersatu tanpa ada rasa itu terasa beruntung?” Jawab Mas Gala. Jawaban Mas Gala itu meskipun tidak gamblang, namun cukup jelas menegaskan bahwa antara dirinya dan Jessi tidak ada hubungan spesial. Tidak ada rasa suka di hati Gala untuk Jessi, mungkin Jessi pun begitu. Tentu saja pernyataan Gala itu melegakan hati Lara.