Share

Titipan Cinta Bentara
Titipan Cinta Bentara
Penulis: Arunika Clara

Cinta Pertama

Cinta Pertama

Tangan pria itu berada dipucuk kepala Lara, samar dalam ingatan Lara apa yang saat itu dirasakananyya, apa yang saat itu terjadi, dia mendadak tidak mengenali dirinya, otaknya dipenuhi perasaan aneh tetapi sangat candu, sementara tubuhnya sesekali memaksa untuk menggigil tanpa terkendali.

“Are you ok?” Tanya Gaga, dari jarak yang sangat dekat sehingga Lara dapat merasakan hangat napasnya mengembus.

Gaga menurunkan tangannya ke tengkuk Lara, tanpa mengangkatnya dari permukaan kulit gadis itu, lalu memijat-mijatnya, Lara menggeleng pelan sebagai jawaban, gejolak yang ada di dalam diri Gaga semakin tak terbendung saat merasakan napas Lara tak beraturan. Gaga memangkas jarak antara mereka, segalanya bertemu tanpa perantara, tanpa dihalangi apapun lagi. Lara merasakan kehangatan menjalar dari ujung kaki hingga kepala, tetapi hal itu justru membuat tubuhnya semakin bergetar karena gigil.

“Demi Tuhan aku tidak pernah melakukan ini dengan siapapun sebelumnya, Ga.” Gumam Lara, matanya terpejam, tangannya mencengkram.

***

8 bulan sebelumnya …

Apa itu cinta pertama? Apakah cinta pertama adalah sosok yang pertamakali membuat jatuh cinta di dalam hidup? Lara mengingat-ingat saat pertama kali dia jatuh cinta yaitu saat usianya baru Sembilan tahun dan dia menyukai Fahri, teman sekelasnya yang masih ingusan itu. Lara kemudian bergidik itukah sebenarnya cinta pertama?

“Tidak mungkin.” Gumam Lara.

“Tidak mungkin apa, Ra?” Tanya Sela yang ada didekatnya.

“Eh, enggak.” Jawab Lara.

“Enggak enggak. Dasar aneh, kamu lagi mengkhayal lagi ya?”

“Aku lagi memikirkan cinta pertamaku, Sel.” Jawab Lara, akhirnya mengaku. “Apakah dia teman sekelasku waktu SD dulu, ya?” Lanjutnya.

Sela tertawa terbahak-bahak.

“Mana ada cinta pertama anak bau kencur.” Sergah Sela setelah mengakhiri tawanya. “Tuh cinta pertama kamu!” Lanjutnya seraya menunjuk salah seorang anak laki-laki yang sejak kelas satu SMA ditaksir oleh Lara.

“Ih, apaan, sih, Sel.”

“Hari ini adalah hari kelulusan kita, kamu tahu artinya?” Tanya Sela, Lara menggeleng. Sela mendengus kesal. “Itu artinya ini adalah kesempatan terakhir kamu nembak dia, atau kamu tidak akan pernah bisa bersama dia seumur hidup.” Jelas Sela.

“Uhuk.” Lara tersedak padahal saat itu dia tidak sedang makan atau minum apa-apa. “Masa aku yang nembak?” Protesnya.

“Ya, kan kamu yang suka.”

“Apa dia suka juga sama aku, ya, Sel?”

“Mana kutahu,” Sela mengendikkan bahu. “Makanya ditembak biar tahu.” Lanjutnya.

“Enggak, ah.”

“Itu artinya kamu siap buat gak akan bersama dia selamanya.” Tegas Sela.

“Lebih baik mungkin seperti itu.” Jawab Lara lesu.

Lara kembali mengalihkan pandangannya kepada Faldy, laki-laki yang sejak kelas satu disukainya. Tidak ada yang menarik dari laki-laki itu, perawakannya kecil, kulitnya gelap, dia juga bukan siswa popular di sekolahnya mungkin dia cuma memiliki satu-satunya kelebihan yaitu jago pelajaran matematika. Selebihnya, tidak ada. Seharusnya Lara dengan mudah bisa mendapatkannya, namun selama tiga tahun Faldy tidak pernah melirik Lara sama sekali.

“Apa aku tidak menarik, ya, Sel?” Tanyanya, dia menoleh ke samping dan ternyata Sela sudah tidak ada lagi di sisinya.

Hari itu adalah hari kelulusan di SMA Lara, teman-temannya sedang sibuk membicarakan kampus-kampus dan jurusan-jurusan yang hendak mereka masuki di universitas nanti. Namun berbeda dengan Lara, dia tidak akan nimbrung dengan obrolan teman-temannya itu karena Lara sudah membulatkan tekatnya untuk langsung bekerja setelah lulus SMA.

Hari sudah beranjak sore, acara itu telah tiba dipenghujung. Para siswa berpelukan satu sama lain sebelum akhirnya satu persatu dari mereka meninggalkan lapangan sekolah dan keluar melalui gerbang. Lara berpelukan lama sekali dengan Sela, sahabatnya yang meski setiap kali semester ada rolling kelas, namun mereka berdua tidak pernah berpisah, selalu satu bangku selama tiga tahun. Sela bilang dia akan berkuliah di luar kota dengan jurusan seni lukis, Lara mengangguk antusias mendengar itu, dia benar-benar ikut senang dan dengan tulus mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya itu.

“Makasih sudah jadi sahabat terbaikku walaupun kamu sering aneh.” Ucap Sela setelah mereka saling melepaskan pelukan.

“Makasih juga sudah mau menjadi sahabat orang aneh ini, ya, Sel.” Jawab Lara. Mereka berdua tertawa sebelum akhirnya Sela pamit pulang duluan.

Sebelum pulang, Lara menoleh sekali lagi, melihat bangunan sekolahnya untuk yang terakhir kali.

“Selamat tinggal putih abu-abu, selamat tinggal Faldy.” Gumamnya, lalu menoleh dan melangkah menjauh dari sekolah.

***

Satu bulan setelah lulus sekolah Lara mendapatkan pekerjaan yang mengharuskan dirinya menetap di luar kota.

“Kenapa harus ke luar kota sih, Ra?” Tanya Ibunya, sesaat setelah Lara meminta izin. “Di sini banyak juga pekerjaan.’ Lanjutnya.

“Ya, karena pekerjaan itu punya jenjang karir yang lumayan untuk Lara yang Cuma lulusan SMA, Bu.” Jawabnya, “Memang benar di sini banyak pekerjaan, tapi untuk yang lulusan SMA, mentok-mentok cuma jadi karyawan supermarket.” Lanjutnya, menjelaskan.

“Memangnya pekerjaanmu nanti seperti apa?” Tanya ibunya.

“Jadi costumer service, Bu.”

“Tukang bersih-bersih kantor, gitu ya? kalau seperti itu apa tidak lebih baik jadi karyawan supermarket saja, Ra?”

“Costumer service itu melayani pelanggan di sebuah perusahaan, Bu. Misalnya, nih, kalau ada keluhan dari pelanggan atau pembeli, nah Lara yang melayani. Pelayanannya ada dua bu, secara langsung dan via jaringan.” Lara menjelaskan dengan hati-hati dan sedetail mungkin agar ibunya tidak salah arti. “Kalau yang ibu maksud itu namanya cleaning service, Bu.” Lanjutnya mempertegas.

“Habisnya sama-sama ada service-servicenya, sih.”

Lara tertawa sejenak.

“Jadi bolehkan, Bu. Lara merantau.” Tanyanya dengan memasang wajah memeles.

“Tanyalah, ayahmu.” Jawab ibunya, itu adalah sebuah jawaban akhir yang sebenarnya ibunya tidak setuju atas permintaan Lara.

Lara menelan ludah, dia selalu tidak yakin akan mendapat restu dari ayahnya. Selama ini, ayah Lara jauh lebih protektif dibandingkan ibunya. Lara biasa memaksa ibunya untuk membantunya membujuk ayahnya agar mendapatkan izin. Sedangkan untuk perkara kali ini, kemungkinan izin itu bisa dikantongi olehnya sangat tipis.

Lara melirik ke arah ayahnya yang dari tadi sibuk mengoreksi hasil ujian murid-muridnya di sekolah. Ayah Lara merupakan seorang guru honorer di salah satu sekolah menengah pertama negeri di kotanya. Lara masih mengurungkan ucapannya, meskipun sebenarnya ayahnya sudah mendangar percakapannya dengan ibunya.

“Yang penting kau bisa menjaga dirimu, hanya itu saja yang ayah minta.” Ujar ayahnya dengan tiba-tiba.

“Putri satu-satunya milik ayah kini sudah besar. Cepat atau lambat Lara akan meninggalkan ayah dan ibu untuk melanjutkan hidup sesuai dengan apa yang Lara impikan. Ayah tidak bisa mencegah jika yang kamu lakukan itu adalah hal baik.” Lanjut ayahnya, laki-laki itu meletakkan tumpukan kertas yang ada di tangannya, lalu memandang putrinya dengan senyuman yang terlihat sedih.

Lara tidak menyangka jika semudah itu mendapatkan izin dari ayahnya. Mulutnya seolah terkunci untuk berkata-kata, hanya matanya yang terlihat berkaca-kaca.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status