Setelah berhasil mendapatkan izin dari ibu dan ayahnya, Lara berangkat menuju kota tersebut menggunakan bus antar kota. Bus itu bergerak meninggalkan tempat di mana dia dilahirkan dan menghabiskan hari-hari selama 18 tahun di sana. Ibu dan ayahnya melepas Lara dengan tangan melambai-lambai, bus berjalan kian jauh, lambaian-lambaian tangan itu perlahan menghilang dan Lara menyeka matanya yang berembun.
Bus itu memerlukan dua belas jam perjalanan untuk sampai ke kota tujuan. Lara yang beberapa kali tertidur sepanjang perjalanan, saat ini terjaga, matanya awas menyisir jalan, otaknya bertanya-tanya berapa lama lagi waktu yang harus dilalui untuk sampai ke tujuannya karena dia sendiri tidak tahu sudah berapa lama bus itu melaju.
Tak lama kemudian bus itu memasuki sebuah terminal pemberhentian. Orang-orang bergegas untuk turun, termasuk Lara. Saat dia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota itu. Terdengar seseorang memanggil namanya.
“Mbak Lara?” Seorang pemuda dengan kemeja flannel dan rambut sedikit ikal mengelurkan tangan.
“Saya Gaga.” Lanjutnya, saat bibirnya melengkung, Lara tak pernah menyaksikan senyuman semanis itu sebelumnya.
Lara tak kunjung mengutarakan apapun untuk menanggapi ucapan pria yang bernama Gaga itu. Alisnya bertaut, matanyapenuh selidik. Walaupun dia remaja delapan belas tahun yang barukali pertama merantau ke luar kota, dia enggan langsung mempercayai orang asing.
Gaga menyadari kekhawatiran gadis di hadapannya itu, dia segera merogoh sesuatu dari kantung jeansnya dan mengeluarkan sebuah ponsel dan selembar kartu nama perusahan. Gaga menyodorkan kartu nama itu pada Lara. Setelah menerima dan membaca kartu nama yang diberikan Gaga akhirnya gadis itu berhenti menautkan alis.
“Saya dari PT Mega Karsa, ditugaskan untuk menjemput, mbak.” Ucap Gaga seraya kembali mengulurkan tangannya lagi. “Nama saya Gaga.” Lanjutnya.
“Jangan panggil mbak, Lara saja.” Lara menyambut tangan Gaga, mereka melepaskan jabatan tangan itu beberapa detik kemudian.
Mereka kemudian berjalan menuju sebuah mobil sedan berwarna maroon, Gaga buru-buru membuka pintu pada bagian depan karena dia tahu Lara berjalan menuju pintu penumpang.
“Saya bukan sopir, jadi duduk di depan saja, ya?” Ucapnya.
“Baik …” Lara tersenyum geli.
Mereka lebih banyak saling diam setelah membahas hal basa-basi yang sangat klasik. Mereka hanya membahas tempat asal Lara, setelah itu kembali saling diam. Lara sibuk menyisir tempat-tempat yang mereka lewati di sepanjang jalan dengan mata bulatnya, sesekali bibirnya mengeluarkan decakan dan menggeleng-gelang karena kagum akan kemewahan kota itu. Gaga sesekali melirik tingkah gadis itu tanpa berkata apa-apa. Hingga pada akhirnya Lara memergoki saat Gaga meliriknya, kejadian itu membuat suasana semakin terasa canggung.
“Mas Gaga.” Lara memberanikan diri memulai percakapan karena tak tahan dengan kecanggungan yang mengambang di udara sekitar mereka.
“Ya?” Jawab Gaga.
“Kalau boleh tahu, mas di bagian apa, ya di perusahaan ini?” Tanya Lara dengan nada suara yang terdengar ragu-ragu.
“Saya HRD yang menerima CV kamu.”
Lara tersedak oleh ludahnya sendiri mrndengar jawaban dari Gaga. Dia menyumpahi dirinya sendiri di dalam hati dan menyesal telah mengeluarkan pertanyaan yang akan membuat suasana menjadi lebih canggung dari sebelumnya. Seandainya dia tahu hal ini akan terjadi lebih baik tidak usah ada ppercakapan apa-apa disepanjang perjalanan itu.
“Maaf, Mas … eh, Pak.” Ujar Lara dengan salah tingkah sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Santai saja, Ra. Tidak dipanggil Pak, pun, tidak masalah.” Gaga coba menangkan gadis itu. “Lagi pula dilihat-lihat umur kita tidak beda jauh kok.” Lanjutnya mencairkan suasana.
“Tidak mungkin, Pak.” Jawab Lara.
“Tidak mungkin umur kita tidak berbeda jauh?” Gaga memperjelas.
“Bukan, tidak mungkin saya tidak memanggil HRD saya dengan sebutan bapak.” Jawab Lara.
Gaga tergelak.
“Saya percaya kok kalau umur kita tidak berbeda jauh.” Ujar Lara.
“Oh, ya?”
“Ya, Pak Gaga seperti baru lulus SMA tahun lalu.” Jawab Lara, Gaga kembali tergelak.
“Kamu berlebiha, Ra. Saya lulus SMA lima tahun lalu.” Ujar Gaga.
“Berarti kita beda umur lima tahun.” Jawab Lara. “Tidak bisa dikatakan tak beda jauh juga, sih.” Lanjutnya berbicara dengan menahan tawa.
Sontak mendengar ucapan Lara, Gaga tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Lara masih memilih untuk menahan tawanya.
“Aku lebih tua dari kakakmu, ya?” Tanya Gaga.
“Aku tidak memilki kakak.”
“Anak sulung?”
Lara menggeleng, “Anak tunggal” Jawabnya.
“Oh, ya?” Gaga memandang Lara dengan mata sedikit terbelalak.
Lara mengangguk, “Kenapa?” Tanyanya.
“Aku juga anak tunggal.” Jawab Gaga.
“Oh, ya?” Giliran Lara kali ini yang membelalakkan mata.
“Ya.” Gaga tersenyum.
“Apakah semua anak tunggal di dunia ini tidak memiliki bahan yang bagus untuk memulai percakapan, ya.” Ujar Lara.
Gaga kembali tertawa terbahak-bahak. Kali ini Lara memutuskan untuk tak lagi menahan tawanya. Gadis itu tertawa lepas untuk pertama kalinya dengan orang asing.
***
Sejak pertemuan pertama itu, mereka menjadi sangat dekat. Banyak kesamaan yang didapatkan dari antara kedua orang itu, selain kesamaan bahwa mereka berdua adalah anak-anak yang terlahir tanpa memilki saudara. Seiring berjalannya waktu mereka kembali menemukan persamaan yang membuat keduanya tak bisa terpisahkan, yaitu kesamaan perasaan.
Meskipun tahu bahwa Gaga menyayanginya dan sepeunuhnya sadar bahwa dia pun menyayangi Gaga, Lara tetap berusaha profesioanal dalam bekerja. Lara sama sekali tidak memanfaatkan momen itu untuk menjadi unggul di kantor. Sudah berkali-kali Gaga memberikan keistimewaan untuknya, tetapi didikan orangtua gadis itu benar-benar tidak sia-sia, Lara menolak semua penawaran itu dengan santun, bukan karena dia tidak menyayangi Gaga. Lara melakukn semua itu justru karena dia sangat menyayangi Gaga.
Pagi itu Lara masuk kantor dengan keadaan flu berat, suaranya parau dan nyaris hilang. Gaga yang baru tiba di kantor menghampiri meja kerja Lara.
“Untuk apa kau seperti ini, Ra.” Ujar Gaga dengan suara dipelankan. “Kau tidak sakit pun, jika dirimu malas untuk bekerja kau tidak membolos saja.” Lanjutnya.
“Saya baik-baik saja, Pak. Hanya flu, tidak usah berlebihan.” Jawab Lara, matanya awas melihat keadaan, takut ada yang menyoroti mereka berdua.
“Sudah berapa kali kubilang tak perlu memanggilku dengan sebutan itu.” Gaga mendengus.
“Ini kantor.” Jawab Lara.
“Tidak ada yang mendengar kita.” Gaga memegang dua bahau Lara.
“Mereka hanya pura-pura tidak peduli.” Lara melepaskan kedua tangan Gaga dari bahunya.
“Mereka tidak memilki hak apapun di sini.”
“Ga … please!” Lara memelas.
Gaga yang kehabisan cara lalu bangkit dan berjalan menjauh dari meja kerja Lara. Bagaimanapun sikap enggan yang diperlihatkan oleh Lara gadis itu tetap tidak ingin mengecewakan Gaga. Dia menyayangi pria itu bahkan lebih dari apa yang dipikirkan oleh Gaga. Lara segera mengetik pesan yang akan dikirimkan kepada Gaga.
“Im sorry, Ga. Saya hanya berusaha menjaga wibawa kamu sebagai atasan di kantor ini.” Setelah rampung diketilk, kalimat itu dikirim ke nomor WhatsApp Gaga.“Saya hanya berusaha menjaga kamu yang lebih dari apapun di kantor ini.” Beberapa menit kemudian pesan balasan dari Gaga tiba dan berhasil mebuat Lara melengkungkan senyum.“Thank you, Ga.”“I need you.”“Saya akan meluangkan waktu untuk makan malam sebagai tanda permintaan maaf, gimana?”“Tentu saja saya bersedia, dengan senang hati, everytime you want. Ra.”***Malam itu Lara berjalan menuju ke arah mobil Gaga dengan balutan dress maroon dengan satu garis tali yang melingkar tak penuh di kedua bahunya. Rambutnya diikat sedikit lebih tinggi dari biasanya, menyisakan sedikit anak-anak rambut di dahi yang membuat wajah mungilnya nampak manis. Itu adalah penampilan tercantik Lara sejauh Gaga mengenalnya meski Lara hanya merias wajahnya dengan make up tipis.“Malam …” Sapa Lara sesaat setelah naik dan duduk pada bangkudi samping Gaga.
Cahaya mentari pagi menyeruak masuk menembus jendela kaca di dalam kamar Gaga. Lara menyipitkan kedua matanya, rekaman kejadian semalam masih terputar di kepalanya saat dia menoleh ke arah Gaga yang masih terlelap di sampingnya. Lara tahu dan sangat sadar bahwa pagi itu Lara terbangun sebagai dirinya yang baru, yang tak lagi utuh. Matanya seketika mengembun menyadari apa yang telah terjadi dan saat gadis itu teringat akan pesan ayahnya sebelum ia merantau ke kota ini, tangisannya pecah seketika.Seketika Gaga terbangun saat mendengar isakkan gadis di sampingnya. Tangannya segera merengkuh Lara untuk menenangkan.“Why, Ra? Kamu kenapa?” Tanyanya.Lara tak menjawab, gadis itu terlihat berusaha menghentikan isakannya yang justru terdengar semakin sendu.“I’m sorry, Ra. Aku menyakitimu, ya?” Gaga bertanya lagi.Lara menyentuh wajah pria itu lalu menggeleng perlahan.“I love you.” Gumam Lara.“I love you more.”Gaga menarik tubuh Lara, merapatkan apada dadanya dan memeluk gadis itu erat. I
Lara larut terlalu dalam dalam lukanya. Gadis itu sama sekali tidak memilki persiapan apapun untuk menghadapi patah hati apalagi yang separah saat ini. Ternyata cinta pertamanya akan terjadi begitu singkat dan berakhir teramat sadis. Kadang-kadang gadis itu mengingat-ingat apa yang pernah dilakukannya di masa lalu sehingga seseorang tega menghancurkan hidupnya begini rupa. Lara merasa dibuang layaknya sampah setelah segalanya telah diberikan. Setelah satu bulan berlalu, Lara tak pernah masuk kerja dan tak pernah sekalipun mencoba menghubungi Gaga, meskipun pada dini hari saat ia tiba-tiba terbangun ia sangat ingin menghubungi Gaga ingin bertanya apakah tidak ada rindu setitik saja untuknya di hati Gaga, namun Lara ingat bahwa Gaga adalah manusia yang tidak memilki hati. Tidak ada lelaki yang tega memperlakukan wanita yang tak memilki salah apa-apa dengan begitu keji.Berat badan Lara turun beberapa kilogram dalam waktu satu bulan saja, gadis itu lebih banyak menghabiskan waktunya di a
Lara berubah menjadi gadis yang lebih dingin semenjak hatinya diporak-porandakan oleh Gaga. Dia tak pernah lagi peduli dengan beberapa lelaki yang tertarik padanya, termasuk dengan seorang pria bernama Bentara yang kerap kali disebut-sebut oleh Aria saat menggoda Lara. Bahkan untuk sedikit menanyakan secuil hal mengenai Bentara-pun Lara tak tertarik. Gadis itu seolah memilki semesta sendiri di dalam kepalanya, dia terlalu menikmati dunianya seorang diri dengan berpuluh-puluh puisiyang diciptakan, Lara merasa lebih hidup dan menemukan dirinya berada di titik yang dicari selama ini.Mungkin hanya Aria yang menjadi satu-satunya kawan Lara di kampus saat ini, itupun jika Aria bukan orang yang mudah bergaul pada semua orang, mereka berdua mungkin tidak akan mengenal apalagi berkawan. Meskipun kesulitan memiliki kawan di dunia nyata, Lara ternyata memilki banyak kenalan bahkan penggemar di media sosial berkat puisi-puisinya, karena itulah Lara tak pernah merasakan sepi.Sore itu menjelang p
Pukul 21.00, seusai menyelesaikan semua tugas kuliahnya, Lara kemudian menepati janji untuk mulai merekam suaranya untuk kemudian dikirimkan kepada Jenggala. Tetapi Lara melupakan sesuatu, sebelum menutup telepon seharusnya mereka berdua memilki kesepakatan mengenai naskah apa yang harus dibacakan dan direkam Lara. Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya dan bergegas mencari sebuah buku di mana biasa dia mencatat puisi-puisnya. Setelah beberapa lembar dibuka dan dibaca, akhirnya Lara berhenti pada lembar di mana puisi dengan judul “Jalan Penuh Puisi” pernah ditulisnya, Lara tak ingat jelas kapan ia pernah menulis puisi itu. Tapi menurutnya, puisi itu memilki makna yang dalam dan secara kebetulan mendeskripsikan bagaimana kedekatannya dengan Jenggala selama ini. Lara membacaranya beberapa kali dan mulai merekamnya.Jalan Penuh PuisiAku serupa melihat silet lelaki yang kukenali sejak lamaKetika itu aku berjalan di tenah rerimbunan pohon berdaun larik-larik puisiDengan tangkai yang m
Semenjak berita mengenai kedekatan Jenggala dan Jessica muncul di beranda utama platform, Lara semakinsadar diri akan posisi dirinya di dalam hidup Mas Gala. Bukan masalah perasaannya yang masih abu-abu pada Mas Gala, sejak dia merasakan hatinya tersenngat besi panas saat mengetahui kedekatan antara Mas Gala dan Jessica, Lara tahu ia telah jatuh cinta kepada pria itu. Persoalan ini adalah tentang perempuan itu, Jessica Audrey. Jessi, begitu sapaan akrab member platform untuk dirinya. Meskipun kehadirannya di platform itu tidak lebih lama dibandingkan Lara dan Gala, Jessi sudah meraup atensi besar dari pengguna platform itu. Karya tulisnya cerdas, kritis, akurat dan sangat nyaman dibaca meskipun saat membahas hal-hal berat sekalipun, semua tulisannya “berdaging”. Selain berprestasi, hal lain yang memang pantas untuk disukai daridiri Jessi adalah kebaikan hatinya, wanita itu ramah dan sangat humoris. Segala yang ada dalam diri Jessi adalah sebuah kesatuan yang lebih dari pantas untuk me
Sebanyak apapun aktivitas dan sesibuk apapun Lara di siang hari, gadis itu tetap saja menunggu momen-momen yang terjadi saat malam tiba. Tepatnya pada pukul 21.00 di mana itu adalah waktu biasanya Lara dan Mas Gala saling berbincang, kebanyakan membincangkan project mereka tetapi selalu diselengi dengan obrolan yang secara tersirat saling menunjukkan ketertarikan diantara keduanya. “Mas, kalau misalmya Mas Gala dan Kak Jessi benar-benar bersatu suatu hari nanti, siapa yang paling beruntung?” Tanya Lara pada Mas Gala di suatu malam. “Mungkin tidak ada yang beruntung.” Jawab Mas Gala. “Kok tidak ada?” Tanya Lara lagi. “Ya, menurut kamu apakah orang yang bersatu tanpa ada rasa itu terasa beruntung?” Jawab Mas Gala. Jawaban Mas Gala itu meskipun tidak gamblang, namun cukup jelas menegaskan bahwa antara dirinya dan Jessi tidak ada hubungan spesial. Tidak ada rasa suka di hati Gala untuk Jessi, mungkin Jessi pun begitu. Tentu saja pernyataan Gala itu melegakan hati Lara.
Mata Lara terus memandangi layar ponselnya meski telepon antara dirinya dan Mas Gala sudah terputus. Gadis itu saat ini takdapat menerjemahkan apa yang saat ini dirasakannya. Perasaannya campur aduk, entah harus bahagia atau sedih setelah mengetahui semua fakta yang gamblang. Percakapan itu juga secara tidak langsung menjadi jawaban mengapa selama ini Mas Gala tidak terlalu menggubris rumor tentang hubungan dirinya dan Jessi. Ternyata semua itu karena Mas Gala telah memilki kekasih yang sngat dicintai dan sudah menjalin hubungan selama enam tahun lamanya. Meskipun pada akhirnya wanita itu meninggalkan Mas Gala, tetapi cinta Mas Gala untuknya masih utuh, hal ini dibuktikan dengan betapa terlukanya Mas Gala saat menceritakan cintanya yang kandas. Cemburu? Lara tahu itu tidak pantas untuk ada di dalam hatinya, tetapi faktanya Lara memang cemburu karena ternyata Mas Gala mencintai wanita lain dan perasaan malu mulai membuat hatinya penuh, mengingat beberapa perlakuan baik dari Mas Gala pa