Selama beberapa saat mereka berdiri dalam keadaan masih berpelukan. Kedua tangan Ilker masih berada di pinggang Ajeng sementara tangan Ajeng masih bersandar di dada bidang pria itu. Ilker bisa merasakan kehangatan tubuh Ajeng di telapak tangannya dan Ajeng bisa merasakan kokohnya dada Ilker di tangannya. Mereka saling bertatapan selama beberapa detik. Dalam jarak sedekat ini, Ajeng bisa melihat bola mata Ilker yang berwarna cokelat pekat, nyaris hitam. Hidung pria itu kecil dan mancung. Bibirnya, yang tersembunyi oleh kumis dan jambangnya berwarna merah muda, menandakan bahwa dia bukan perokok. Bagian atasnya tipis sementara bagian bawahnya lebih tebal. Bulu mata pria itu juga panjang, lebat dan lentik. Matanya seperti kacang almond, tidak bulat, tidak juga sipit dan diperindah dengan alis yang tebal dan melengkung alami, seperti ukiran. Ajeng berusha menelan ludah dengan susah payah memandangi sosok tampan di hadapannya. Sementara di waktu bersamaan, Ilker juga memperhatikan Aje
"Ilsya.. sayang." Ilker kembali memanggil nama putrinya lirih. Bibirnya selama ini selalu tertutup, tak berani mengucap nama itu. Namun sekarang, nama itu berulang kali ia sebut seolah itu adalah mantra yang harus dia hafal. "Maafin Papa, Sayang. Maafin Papa." Ucap Ilker dengan bahu bergetar dan airmata yang terus turun. Ilsya menatap Ajeng dengan sorot bingung khas seorang anak, Ajeng menjawab tanya di mata itu dengan senyuman. Tangan Ajeng terangkat dengan gerakan seolah sedang balas memeluk dan mengusap serta menepuk sesuatu. Ilsya hanya mengangguk dan balas memeluk Ilker. Meletakkan dagu kecilnya di bahu lebar ayahnya seraya menepuk punggung Ilker dengan pelan seolah menenangkan. "Ilsya maafin Papa kok." Ucap Ilsya dengan nada datarnya. "Makanya, Papa jangan sakit lagi, biar gak ninggalin Ilsya lagi." Keluh bocah itu yang membuat Ajeng yang awalnya terharu jadi terkekeh sendiri. Ilker pun tampaknya demikian. Bahu pria itu terlihat bergetar dan Ajeng mendengar kekehan lirih dari
Ilker terbangun dengan disorientasi waktu. Sejenak ia menduga bahwa saat ini ia sedang berada dalam mimpi. Bagaimana bisa dia berada di kamar yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan? Tapi kemudian ia ingat bahwa semalam, tanpa paksaan dan dalam kondisi pikiran yang jernih, ia menawarkan diri untuk mengantarkan Ajeng dan Ilsya kembali ke kediaman kedua orangtuanya. Ilker mengerang. Kenapa ia melakukan tindakan impulsif seperti ini? Kenapa ia tidak memikirkan konsekuensi dari apa yang dia lakukan? Sekarang ia harus bagaimana? Ia berlari selama lima tahun terakhir ini. Dan alih-alih kembali untuk memohon maaf kepada kedua orangtuanya, ia malah memilih untuk bersembunyi. Lalu karena sebuah dorongan tak jelas, entah itu karena Ilsya atau Ajeng, ia kembali ke rumah kedua orangtuanya. Apa yang harus dilakukannya jika ia bertemu dengan kedua orangtuanya nanti? Penjelasan apa yang bisa dijabarkannya pada mereka? Apa yang harus ia katakan pada mereka? Bisakah ia menghadapi kedua oran
Ajeng hampir saja terlambat sampai ke Kralligimiz. Entah bagaimana dalam perjalanannya, rantai motor yang ia tumpangi tiba-tiba saja putus di tengah jalan yang membuatnya mau tak mau harus memesan ojek online untuk bisa sampai ke kantor. Pak Soleh berkali-kali meminta maaf dan merasa bersalah pada Ajeng, tapi apa mau dikata, namanya juga musibah. Sesampainya ia di meja Halwa, Ajeng kembali dibuat terkejut karena atasannya itu tiba-tiba saja memperkenalkan Ajeng pada sosok gadis bertubuh tinggi, berbadan bagus dan berpenampilan menarik—cenderung seksi di mata Ajeng—sebagai calon penggantinya. "Sabrina, ini Ajeng. Dia akan bekerja bersama kita juga disini." Ucap Halwa saat memperkenalkan Ajeng pada calon penggantinya itu. Ajeng tak mau mengakuinya, namun sejujurnya ia merasa risih dengan tatapan menilai yang diberikan Sabrina padanya. Apa ini perasaannya saja, atau memang teman barunya itu tidak menyukai keberadaan Ajeng disana? Ajeng juga bisa melihat sorot menilai di mata Halwa
Sore hari setelah percakapan di kantor. Mirza, Halil dan Rayyan dengan sengaja datang berkunjung ke penthouse. Ketiga pria itu dengan sengaja menekan bel sebagai pemberitahuan alih-alih langsung masuk dengan menggunakan password yang mereka miliki. Dengan perasaan gugup, ketiganya saling pandang di depan pintu sampai kemudian pintu benar-benar dibuka dan Ilker muncul dari dalam dengan tatapan bingung terarah kepada adik dan dua saudara sepupunya. Melihat sosok Ilker saat ini dalam versi sebenarnya—karena selama ini mereka hanya melihat Ilker dari foto—membuat ketiga pria itu terpana. Ilker yang sekarang jelas memiliki tubuh lebih besar daripada lima tahun lalu, dan terlihat berantakan dengan rambut panjang yang digerai membuat ketiganya serentak berseru, "Wow..." dengan suara cukup kencang. Rayyan melangkah masuk ke dalam penthouse seraya menggelengkan kepala. "Gaya loe nyentrik banget, Bang." Komentarnya seraya menepuk bisep Ilker dan meremasnya pelan. "Berotot juga." Ucapnya de
Di kantor, Ajeng melihat rekan-rekannya tampak antusias dengan ponsel mereka. Hal yang tidak aneh sebenarnya mengingat jaman sekarang semua informasi bisa didapat dari ponsel, maka Ajeng mengerti kenapa mereka bisa begitu fokus dengan benda pipih itu. Namun yang membuatnya sedikit penasaran adalah saat mereka berbisik-bisik dan membawa nama Kralligimiz. Apa yang terjadi? Apa Kralligimiz sedang berada dalam masalah? Ajeng keluar dari lift dan melangkah menuju meja Halwa. Berbeda dengan sepanjang lobi dan perjalanannya menuju lift. Lantai dimana para petinggi perusahaan itu berada memang jauh lebih senyap. Orang-orang tidak bermain ponsel, namun tetap, mereka juga tengah berbisik dengan satu sama lainnya meskipun tak sekentara yang ia lihat tadi. "Kamu tahu info yang beredar?" Sabrina tiba-tiba mengajukan pertanyaan saat Ajeng baru saja sampai. Ajeng melirik Halwa, atasannya itu menggelengkan kepala pelan. "Info apa?" Tanya Ajeng ingin tahu. "Anak sulungnya Sir Adskhan, kakak ter
Ajeng menyandarkan punggungnya di pintu dengan tangan mencengkeram bagian depan handuk dengan erat. Jantungnya berdebar kencang. Napasnya memburu cepat. Melihat Ilker tadi, entah bagaimana membuatnya malu dan gugup. Ya Tuhan bagaimana bisa ia muncul di depan pria itu dalam keadaan setengah telanjang seperti ini? Ia benar-benar merasa malu. Di sisi lain, di luar pintu, Ilker juga masih belum melepaskan cengkeraman tangannya dari gagang pintu. Jantungnya sama, berdebar dengan teramat kencang. Ia menyandarkan dahinya di pintu dengan mata tertutup, namun sayangnya yang ia lihat malah bayang-bayang bahu dan leher Ajeng yang kecil, putih dan mulus. Ilker menelan ludah, berusaha untuk menghilangkan bayangan tubuh Ajeng yang membuat bagian bawahnya berdenyut nyeri begitu saja. Ia melepas pegangan dengan cepat seolah benda itu teramat panas dan melangkah menjauh. 'Ya Tuhan, aku sudah mulai gila.' Bisiknya dalam hati. 'Bagaimana bisa aku membayangkan tubuh gadis muda itu dengan begitu vul
Sabtu pagi, dengan semangat baru, Ilker turun ke lantai bawah dan bersiap untuk sarapan. Kakaknya, beserta suami dan juga keponakan-keponakan Ilker. Kedua orangtua Ilker dan juga Ilsya rupanya sudah ada di bawah dan mengisi meja. Yang tidak ada adalah Mirza dan juga Ajeng. Ilker melangkah mendekati meja makan dan menyapa semua orang. Mengusap kepala putrinya dan mengecupnya lembut sebelum duduk. Kakak perempuannya, Syaquilla dan putri sulungnya Ayla sedang menyiapkan makanan di atas meja. Menduga kalau Ajeng juga turut membantu, Ilker melirik ke arah dapur kotor, namun sampai kakak dan keponakannya duduk, Ajeng tak juga muncul. "Kemana Mirza?" Tanya Ilker sebagai pancingan. Menduga kalau adiknya itu masih tidur di kamarnya. "Mirza sudah pergi tadi pagi-pagi sekali bersama Ajeng." Ibunya menjawab pertanyaan Ilker dengan nada datarnya. "Pergi? Dengan Ajeng?" tanyanya dengan dahi berkerut dalam. Ibunya menganggukkan kepala. "Kemana?" Tanyanya ingin tahu. "Ke apartemen." Jawab ibu