Share

Part 1

Lorong rumah sakit tampak sepi. Beberapa lorong hanya menyalakan lampu seadanya karena para pasien sudah terlelap dalam tidur masing-masing. Sementara di lorong yang lain, lampu masih menyala terang benderang dan beberapa orang sedang berkumpul dengan perasaan kalut dan takut.

Ilker, seorang pria berusia tiga puluh satu tahun kini berjalan mondar-mandir di luar ruang operasi dimana sang istri sedang melakukan proses persalinan. Sesekali pria itu mengusap wajahnya dan juga meremas rambutnya kasar karena frustasi.

Dokter melarangnya untuk masuk dan menemani sang istri di operasi dan hal itu membuat Ilker sangat emosi. Ia ingin mengumpat. Ia ingin menyumpahi seseorang. Namun ia tahu kalau semua itu tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan orangtuanya, paman bibi dan juga sepupu-sepupunya yang mencoba menenangkannya tak ia gubris.

Ilker tidak peduli apakah bayi itu akan keluar dengan selamat atau tidak. Tidak! Dia tidak memedulikan itu. Yang dia pedulikan justru apakah istrinya akan selamat atau tidak. Dia tidak mau kehilangan wanita yang ia cintai. Dia belum siap.

Lampu operasi mati dan pintu seketika terbuka. Seorang perawat yang masih mengenakan seragam operasi keluar dari pintu ganda itu dengan satu buntelan kecil yang menunjukkan wajah sangat cantik dengan mata terpejam.

"Bayinya perempuan, beratnya..."

"Bagaimana dengan istri saya?" potong Ilker cepat. Seperti yang ia katakan, ia tidak peduli pada bayi itu. Sekalipun bayi itu adalah bukti buah cintanya dengan sang istri, tapi bayi itu juga akan menjadi alasan Ilker kehilangan wanita yang dia cintai.

"Istri Anda masih dalam pengawasan dokter, Tuan." Ucap perawat itu dengan sabar. Perawat itu kembali mencoba menyerahkan sang bayi pada Ilker, namun Ilker mencoba untuk mengabaikannya.

"Adzani dia, Bang. Dia putrimu dan Syahinaz pasti akan menginginkan kau melakukannya juga." Bujuk sang ayah seraya meremas bahu lebar putra sulungnya.

Ilker memandang bayi yang masih terdiam itu dengan mata berkaca. Dengan sangat berat ia mengulurkan tangan, menerima bayi dari tangan perawat berseragam yang kini turut tersenyum kepadanya. Bayi itu sangat ringan. Kepalanya bahkan tidak lebih besar dari telapak tangannya. Kulitnya berwarna merah gelap. Matanya, Ilker tidak yakin apa warna matanya. Apakah akan sama seperti miliknya atau milik ibunya. Alisnya bahkan hampir tidak ada. Hidungnya kecil, bahkan tidak sampai seukuran ibu jari Ilker dan bibirnya. Bibir bayi itu terlihat sedikit keunguan. Dia cantik, bayi yang sangat cantik.

"Bang?" Tegur ibunya, juga meremas bahunya. Ilker menoleh, tanpa sadar rupanya ia meneteskan airmata. Setelah menghapus airmatanya dengan kasar, Ilker berjalan ke sudut ruang, mengangkat kepala bayi itu sampai sejajar dengan kepalanya, mendekatkan telinga kananya ke bibirnya dan dengan lirih Ilker mengumandangkan adzan. Selesai, Ilker membalik tubuh bayi mungil itu dengan hati-hati dan kemudian melantunkan iqamah dengan suara lirih.

Yakin kalau Ilker sudah selesai dengan kewajibannya, perawat kembali mendekatinya dan meraih bayi kecil itu. "Sudah memiliki nama?" Tanya wanita itu pada Ilker, tapi lagi-lagi Ilker memilih memalingkan muka. Perawat itu kembali tersenyum.

Wanita itu tahu alasan kenapa Ilker bersikap demikian dan dia memakluminya. Hati pria itu sedang terluka, dia patah hati karena kondisi istrinya.

"Saya akan membawanya kembali kedalam untuk proses inisiasi menyusui dini. Setelahnya saya akan membawa bayi Anda ke ruang bayi." Umumnya yang dijawab anggukkan oleh orangtua Ilker. Dan setelah perawat itu pergi, ruangan kembali tertutup.

Ilker terjatuh di atas kursi besi panjang yang ada di lorong ruang tunggu itu. Kedua tangannya kembali meremas rambutnya. Anaknya sudah keluar, lalu bagaimana sekarang? Bagaimana keadaan istrinya? Apakah setelah ini mereka bisa mulai proses penyembuhan istrinya?

Itulah yang Ilker khawatirkan, keselamatan hidup istrinya.

Bulan keempat pernikahan mereka, Syahinaz mulai menunjukkan gejala-gejala yang aneh. Istrinya itu terlihat mudah lelah, mual dan juga selalu saja muntah setelah selesai makan. Saat Ilker meminta istrinya untuk memeriksakan diri ke dokter—terlebih saat ia melihat Syahinaz yang kian hari kian kurus—Syahinaz justru menolak dan mengatakan bahwa dirinya sudah terlambat datang bulan, jadi besar kemungkinan kalau dirinya hamil.

Ilker tentu bahagia dengan kabar tersebut. Saat itu juga dia pergi ke apotik dan mencari test pack untuk memastikan dugaan Syahinaz, dan benar saja. Beberapa alat test pack berbeda merek yang Ilker beli menunjukkan garis dua yang terang yang berarti Syahinaz memang sedang hamil.

Antusias, Ilker meminta Syahinaz untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan. Namun lagi-lagi Syahinaz menolak karena menurut pencariannya di internet, kehamilannya yang masih muda tidak akan menunjukkan tanda-tanda apapun. Jadi Syahinaz meminta Ilker untuk sabar dan menunggu selama beberapa minggu.

Dan minggu yang dijanjikan Syahinaz pun tiba. Ilker dengan sengaja mendaftar ke rumah sakit milik keluarganya untuk melakukan pemeriksaan total. Kabar tentang dirinya mendaftarkan Syahinaz ke dokter kandungan jelas langsung sampai pada kedua orangtuanya. Dan berempat, mereka menyaksikan bagaimana pemeriksaan kandungan pertama Syahinaz dilakukan.

Tapi kebahagiaan mereka sirna seketika, saat kemudian mereka tahu kalau selain janin, tumbuh hal lain di tubuh Syahinaz. Syahinaz didiagnosis menderita kanker ovarium.

Ilker tidak mau mempercayai itu, ia meminta pemeriksaan secara keseluruhan. Tes darah dan juga USG perut yang lebih teliti, namun saat hendak melakukan MRI, Syahinaz menolak dengan alasan bayi dalam kandungannya masih sangat rentan untuk menerima efek samping MRI.

Ilker tidak menyerah begitu saja. Sadar akan bahaya kanker yang mengancam istrinya, dia membujuk Syahinaz untuk menggugurkan kandungannya. Namun istrinya itu menangis dan bahkan mengancam akan meninggalkannya jika Ilker memaksanya untuk menggugurkan janin dalam kandungannya.

"Tapi ini demi keselamatanmu juga. Apa gunanya anak itu lahir jika kehadirannya malah membahayakan nyawa ibunya sendiri."

"Ilker, kita punya Tuhan. Serahkan semuanya pada Tuhan." Ucap Syahinaz kala itu. "Kita bukannya tidak berusaha dan hanya pasrah pada keadaan, tapi disini ada janin yang Tuhan titipkan pada kita. Ada nyawa lain yang harus kita jaga." Bujuk Syahinaz dengan lembut.

"Dia hanya gumpalan daging, belum bernyawa. Tidak masalah kalau kita menggugurkannya. Tidak akan berdosa juga karena jelas ini hubungannya dengan kesehatanmu." Ilker masih bersikeras. Namun kekeraskepalaan Ilker rupanya mendapatkan tandingannya karena Syahinaz pun bersikukuh dengan keinginannya.

"Aku akan melakukan semua tes dan pengobatan setelah bayi ini cukup kuat. Minimal saat dia masuk trimester kedua atau maksimal setelah aku melahirkannya kedunia."

"Itu hanya menyia-nyiakan waktu. Kita bisa saja terlambat mengobati kankermu."

"Kalau begitu, itulah takdirku. Takdir yang Tuhan berikan untukku. Nyawaku, untuk bayiku." Jawab Syahinaz dengan dingin. Ilker menggelengkan kepala, menolak apa yang Syahinaz katakan padanya. Pria itu bergerak cepat mendekati sang istri yang duduk di ujung tempat tidur. Berdiri di atas kedua lututnya dan meraih tangan sang istri yang semakin lama semakin kurus.

"Jangan bicara seperti itu." Mohon Ilker dengan airmata yang merebak. "Jangan bicarakan tentang nyawa. Kau tahu kalau kau itu sangat penting untukku. Aku mencintaimu, Syahinaz, Kau itu nyawaku, kau hidupku, kau pemilik hatiku. Kalau sampai kau pergi, apa yang akan terjadi padaku?" tanyanya dengan nada memelas. Meletakkan dahinya di atas punggung tangan istrinya dan tanpa malu menangis.

"Ilker?" Syahinaz mengusap punggung suaminya lembut. Menyandarkan pipinya di kepala sang suami dan memeluknya erat. "Aku juga mencintaimu. Aku juga tidak ingin meninggalkanmu. Karena itulah aku juga akan berjuang. Aku akan bertahan, aku akan sehat dan mengikuti semua cara penyembuhan. Tapi ijinkan aku melakukannya nanti, setelah anak dalam rahimku ini cukup kuat untuk menjaga dirinya sendiri." Mohon Syahinaz dengan airmata yang juga sama derasnya dengan airmata sang suami.

Ilker tak bisa lagi menuntut. Demi cintanya pada sang istri, ia menurut. Tepat di bulan keempat masa kehamilan Syahinaz, mereka melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

"Kanker ovarium stadium tiga." Jawaban sang dokter atas hasil pemeriksaan Syahinaz membuat tubuh keduanya melemas seketika. "Kankernya sudah menyebar ke selaput perut dan kelenjar getah bening di panggul." Jawab sang dokter lagi dengan nada pelan namun masih bisa didengar oleh keduanya.

"Bagaimana dengan proses penyembuhannya, Dok?"

"Pilihan pertama adalah pembedahan, dan yang kedua adalah kemoterapi. Hanya saja, karena kondisi istri Anda yang sedang hamil, maka pembedahan baru bisa dilakukan setelah melahirkan. Kecuali saat masa kehamilan ini istri Anda mengalami sakit yang luar biasa dan mengalami pendarahan.

Opsi kedua, kemoterapi."

"Bagaimana dengan bayi saya, apa akan baik-baik saja?" tanya Syahinaz takut.

"Perlu pemantauan lebih lanjut untuk hal ini. Tapi dari rangkuman beberapa ahli, kanker ovarium bukan salah satu jenis kanker yang bisa menyebar ke janin. Namun tetap saja, efek dari kemoterapi akan sangat berat. Untuk yang tidak hamil saja, sudah sangat berat, apalagi untuk ibu yang sedang hamil."

Setelahnya, tidak ada yang bisa masuk ke kepala Ilker. Dan istrinya, jelas memilih untuk tidak melakukan pengobatan apapun sampai bayi yang ada dalam kandungannya lahir.

Namun seiring berjalannya waktu, semakin besarnya kandungan Syahinaz, semakin melemah pula kondisinya. Ilker sudah berkali-kali mencoba membujuk istrinya untuk berobat, ia bahkan berjanji akan membawa istrinya keluar negeri dan mencari pengobatan terbaik namun Syahinaz terus saja menolak. Selalu, wanita yang dicintainya itu mendahulukan sang bayi tak peduli betapa besar rasa sakit yang ia miliki.

"Ilker, bukankah Tuhan menyediakan surga untuk wanita yang meninggal saat melahirkan?" tanya Syahinaz di suatu sora saat mereka sedang bersantai di halaman belakang kediaman yang Ilker bangun untuk istrinya.

"Ya, menurut hadist wanita yang meninggal saat melahirkan itu termasuk syahid." Jawab Ilker lirih. Ia tidak suka dengan pembicaraan semacam ini. Ini seperti membahas kalau istrinya akan mati esok atau lusa.

Diliriknya Syahinaz, wanita itu duduk dengan kedua kaki berada di atas bantalan yang hangat. Wajahnya pucat, rambutnya yang dulu hitam dan lebat kini sudah ditutup oleh hijab lebar yang menutupi sebagian perutnya yang membuncit. Syahinaz, tak tampak cantik seperti wanita hamil pada umumnya. Istrinya itu justru terlihat seperti wanita yang sedang mengalami busung lapar, dan hal itu menyakiti hatinya.

"Kalau begitu, aku berharap menjadi salah satu bagian dari yang syahid itu." ucap istrinya lirih.

Ilker memandangnya dengan marah. "Jangan bicara kematian semudah itu. Kau tidak akan meninggalkanku, Syahinaz. Karena jika itu yang terjadi, maka aku bersumpah kalau aku tidak akan pernah mengurus anak itu. Kelahirannya lebih seperti kutukan daripada sumber kebahagiaan." Ucap Ilker marah yang membuat mata istrinya membulat dan berkaca-kaca.

"Ilker.."

"Berhenti bicara yang tidak-tidak. Kau berjanji padaku kalau kau akan berjuang. Kau berjanji kalau kau akan melakukan semua pengobatan setelah bayi itu lahir. Kalau kau melanggar janjimu dengan meninggalkanku, maka aku juga akan melakukan hal yang sama." Dan setelah mengucapkan itu, Ilker bangkit dari duduknya, meninggalkan Syahinaz bersama dengan perawat yang ia sewa untuk selalu menjaga istrinya.

Kini, istrinya sudah melahirkan. Dokter mengatakan akan melakukan operasi pengangkatan kanker pada istrinya. Rahim Syahinaz akan diangkat dan disterilkan. Syahinaz tentu akan kecewa jika nanti dia tidak bisa hamil lagi, namun Ilker tak peduli. Baginya nyawa istrinya lebih penting dari apapun. Anak? Dia bisa mengadopsi banyak anak jika memang Syahinaz mau. Keluarganya memiliki panti asuhan yang mengurus anak-anak kurang beruntung. Syahinaz bukan hanya akan menjadi ibu dari satu anak, namun juga ibu dari banyak anak.

Ilker menunggu dan menunggu. Terus berdoa untuk keselamatan sang istri. Bahkan bayi yang perawat katakan akan dibawa ke ruang perawatan bayi tak ia gubris sama sekali. Saat keluarganya berdatangan untuk melihat si bayi yang baru lahir, Ilker masih bertahan duduk di ruang tunggu operasi, menunggu pintu terbuka dan memberikan kabar bahwa Syahinaz baik-baik saja dan operasi yang dijalaninya berhasil dengan sempurna.

~Belum Tamat~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status