Share

Part 2

"Syahinaz berpulang." Ucapan lirih itu membuat Ajeng mendongakkan kepala.

Syahinaz. Dia tahu nama itu. Syahinaz adalah istri dari saudara sepupu Akara, suami kakak angkat Ajeng.

Serentak kalimat "Innalilahi wa innailaihi raji'un." mendengung.

"Bagaimana dengan Bang Il?" Tanya Rianna dengan sorot sedih.

"Dia pasti sangat bersedih. Tidak ada hal yang dia cintai di dunia ini selain Syahinaz." Jawab Akara dengan lirih.

Semua orang mengenal Akara sebagai sosok yang dingin dan tanpa ekspresi, namun kali ini, Ajeng bisa melihat sorot sedih dan linangan airmata yang Ajeng tahu coba disembunyikan oleh pria itu. Akara dan Ilker tumbuh besar bersama, ikatan persaudaraan mereka jauh lebih erat dari sekedar sepupu. Mereka sahabat baik yang sudah mengalami susah senang bersama. Jadi wajar jika kini Akara merasakan kesedihan yang Ilker rasakan.

"Aa akan pergi ke rumah sakit dan melihat kondisinya. Kalian langsung saja pergi ke rumah Uncle Adskhan." Ucapnya yang dijawab anggukan oleh Rianna dan Ajeng. Setelah mengecup dahi sang istri, Akara pun berlalu pergi.

"Kasihan Ilsya." Ucap Ajeng lirih. "Dia bahkan tidak bisa merasakan air susu ibunya." lanjutnya yang dihadiahi Rianna dengan tatapan sendu.

Baik Ajeng ataupun Rianna sama-sama tahu bagaimana rasanya tidak memiliki orangtua karena mereka tumbuh besar di panti asuhan yang sama. Jadi mereka tahu apa yang mungkin nantinya akan Ilsya rasakan.

Tapi jika dibandingkan mereka, Ilsya jelas jauh lebih beruntung, karena setidaknya bayi kecil itu masih memiliki ayah dan juga keluarga besar yang pasti akan membuatnya tumbuh dengan banyak cinta dan jelas tanpa kekurangan finansial. Tidak seperti Rianna dan Ajeng kecil dulu.

Namun apa yang Ajeng dan Rianna duga-tentang Ilsya yang beruntung karena masih memiliki ayah yang akan menyayanginya-tampaknya tidak akan menjadi kenyataan.

Siang itu, mereka berkumpul di kediaman pasangan Adskhan dan Caliana-orangtua Ilker-dan menunggu mobil jenazah yang datang membawa jasad Syahinaz.

Mereka sudah menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah Syahinaz di halaman belakang rumah. Ajeng sendiri turut sibuk membantu asisten rumah tangga untuk menyiapkan segala hal bagi para tamu yang datang melayat.

Rumah seperti sedang mengadakan pesta. Entah bagaimana dan darimana orang-orang itu tahu dan datang, tapi sekarang kediaman Adskhan Caliana dipadati banyak orang. Mereka datang untuk melayat, menyolatkan jenazah dan mengaji.

Dalam hati Ajeng iri pada Syahinaz. Kebaikan apa yang wanita itu lakukan semasa hidupnya sampai orang-orang yang datang sampai segini banyaknya. Bahkan dalam akhir hidupnya pun masih banyak orang yang peduli pada wanita itu. Kelak, saat Ajeng meninggal ia belum tentu akan disholatkan dan didoakan oleh banyak orang seperti wanita itu.

Namun demikian, Ajeng merasakan keganjilan Ilker saat itu.

Pria itu ada disana, duduk tak jauh dari jasad istrinya. Menerima salam dari para tamu yang mengucapkan duka cita. Tapi, Ajeng memperhatikan tidak ada airmata yang menetes di wajah pria itu. Tidak seperti yang umum terjadi pada keluarga yang ditinggalkan pada umumnya.

Ilker sedih, tentu saja. Ajeng tahu tidak akan ada orang yang paling sedih diantara semua orang yang ada disana selain Ilker. Tapi kesedihan pria itulah yang membuat semuanya terasa janggal.

Tubuh Ilker ada disana, namun tidak demikian dengan jiwanya. Dia masih menanggapi orang-orang yang mengajaknya bicara, tapi ekspresinya datar, tanpa rasa. Syahinaz bukan hanya pergi membawa cinta Ilker, namun juga sisa kehidupan pria itu.

Ketika orang mengatakan kalau Ilker sudah mati rasa, Ajeng yakin faktanya tidak demikian. Diantara orang-orang yang berkumpul disana-dimana keluarga Syahinaz juga berada dan menangis dengan histeris di depan jasad yang tertutup kain jarik itu berada-Ilker lah yang jelas paling menderita. Orang bilang, jika luka hati seseorang sudah teramat besar, seringkali orang sudah lupa bagaimana caranya menangis. Dan itulah Ilker yang Ajeng lihat.

Selepas Ashar, mobil sudah berjejer di depan rumah keluarga Adskhan-Caliana. Mobil jenazah sudah memasukkan keranda berisi jenazah Syahinaz. Satu persatu orang masuk ke dalam mobil tanpa dikomando dan Ajeng turut ikut ke pemakaman dengan mobil milik Akara yang dikendarai oleh pria itu sendiri.

Tidak ada perbincangan selama perjalanan. Rintik hujan yang membasahi kaca seolah menandakan bahwa langit turut bersedih akan kepergian Syahinaz. Mereka sampai di pemakaman dan tanpa dikomando berjalan menuju liang lahat yang sudah disiapkan oleh para penggali.

Ajeng berdiri diantara kedua kakak angkatnya-Rianna dan Raia-sambil memegang tangan Hanna-putri Raia dan mendiang suaminya. Matanya entah kenapa selalu saja terangkat dan mengarah pada Ilker yang berdiri tepat di seberangnya. Pria itu berdiri tegap disamping para sepupu prianya dan juga ayah dan paman-pamannya.

Fisik pria itu berada dekat, namun Ajeng merasa pria itu berada sangat jauh. Kepalanya sedikit tertunduk dan Ajeng tidak bisa menebak kemana mata pria itu terarah karena tertutup oleh kacamata hitam. Yang jelas, lagi-lagi pria itu tidak tampak menangis. Karena tidak sekalipun pria itu mengangkat tangan untuk mengusap wajahnya.

Ilker masuk ke dalam liang lahat ditemani oleh Akara. Tangan kedua pria itu terulur untuk menerima jasad Syahinaz yang sudah terbungkus kain putih. Meletakkannya seirama dan dengan sangat hati-hati di atas tanah yang basah karena gerimis tak kunjung berhenti. Setelah menutup tubuh itu dengan papan kayu, Ilker dan Akara kembali naik ke atas dan kemudian lubang persegi itu perlahan ditumpahi tanah hingga benar-benar tertutup.

Untaian doa yang keluar dari mulut ustadz diiringi isakan lirih para pelayat. Sampai kemudian doa itu selesai, Ajeng kembali menatap Ilker. Pria itu masih menunduk, namun kali ini Ajeng tahu kemana mata pria itu terarah, nisan bertuliskan nama mendiang istrinya.

Perlahan, semua orang bubar. Ajeng pikir, Ilker akan menghabiskan waktu lebih lama di peristirahatan terakhir Syahinaz. Mungkin mengucapkan kalimat perpisahan. Atau mungkin meraung menangisi kepergian sang istri tercinta setelah tak ada orang.

Tapi tidak, lagi-lagi pria itu melakukan tindakan yang tak terduga karena ia melangkah menjauhi pemakaman lebih dulu dibandingkan pelayat lainnya yang hanya memandangnya dengan tatapan penuh tanya.

Lagi-lagi, mereka kembali ke kediaman Adskhan-Caliana tanpa banyak kata. Rumah besar itu kini sepi. Pelayat yang tadi memenuhi ruang kini tampak sudah tidak ada sama sekali. Hanya ada keluarga Levent yang berusaha tampak biasa ditengah kesedihan yang melanda hati mereka, mempersiapkan pengajian yang akan berlangsung setelah Magrib. Di tengah haru yang hening itu, suara tangisan menggema.

Ajeng mengerutkan dahi, memandang Rianna dengan tatapan tanya.

"Apa itu bayi Ilsya?" tanya Rianna pada si pemilik rumah yang sedang bangkit dari duduknya.

Nyonya Caliana menganggukkan kepala. Rianna dan Ajeng berjalan mengikuti Nyonya Caliana yang melangkah menuju salah satu kamar yang ada di lantai satu. Tanpa mengetuk pintu, Nyonya Caliana membuka pintu dan mereka melihat seorang suster yang Ajeng perkirakan berusia empat puluh tahunan tengah mengayun tubuh bayi yang berbungkus selimut berwarna merah muda dan berusaha memasukkan dot ke dalam mulutnya.

"Kenapa dengan Ilsya, Sus?" tanya Nyonya Caliana seraya mendekati cucunya dan memperhatikan Ilsya yang terus menerus menolak ujung dot yang diberikan sang suster.

"Saya tidak tahu, Nyonya. Tubuhnya tidak panas, popoknya juga bersih. Saya pikir dia lapar, tapi dia juga tidak mau minum susu." Ucap Suster itu yang entah bagaimana terlihat gugup di hadapan Nyonya Caliana.

Nyonya Caliana mengambil bayi kecil itu dari gendongan sang suster dengan hati-hati. Wajah kecil Ilsya sudah memerah karena tangis, sementara tangannya seolah menepis dot yang kembali coba diberikan sang nenek. "Sayang, kenapa?" tanya Nyonya Caliana dengan suara tercekat yang entah bagaimana membuat mata Ajeng memanas begitu saja. "Jangan nangis ya, Mama memang udah pergi, tapi kan ada Oma, ada Opa, Papa." Bujuk wanita itu seraya mengayun sang bayi dengan lembut. Bayi itu seolah mendengarkan ucapan Nyonya Caliana, tapi hanya sejenak. Karena kemudian bayi itu kembali menangis.

Suara langkah kaki yang tergesa membuat mereka menoleh ke arah pintu. "Oma.." Sosok Afham, cucu Nyonya Caliana muncul dengan mimik shock dan napas terengah.

"Kenapa?"

"Uncle, Oma." Ucap pemuda itu seraya menunjuk ke lantai dua. "Uncle Akara dan Uncle Ilker ribut. Uncle Ilker udah berkemas dan bilang mau pergi." ucap pemuda itu dengan cepat.

Nyonya Caliana, Rianna, Ajeng sama-sama mengerutkan dahi karena bingung.

"Pergi kemana?" tanya Nyonya Caliana turut panik. Namun Afham hanya menggelengkan kepala.

Dengan perlahan dan hati-hati, Nyonya Caliana menyerahkan Ilsya kembali pada susternya dan dengan langkah cepat, secepat yang bisa dilakukan kaki tuanya, wanita itu meninggalkan kamar, berusaha untuk mengejar sang putra yang dari ambang pintu Ajeng lihat tampak membawa sebuah tas gunung yang tampak besar, lengkap dengan sepatu gunung dan jaket.

"Bang!" teriak Nyonya Caliana seraya menghampiri Ilker dan menarik lengan pria itu untuk menghentikan langkahnya. "Abang mau kemana?!" serunya lagi saat sang putra tak menghiraukannya.

Ajeng ingin melangkah meninggalkan kamar, namun saat mendengar tangisan Ilsya, ia mengurungkan niatnya.

Inikah alasan bayi kecil itu menangis? Karena ia tahu kalau ia juga akan ditinggalkan sang ayah?

Ajeng mendekati sang suster tanpa mengalihkan tatapannya dari Ilsya. "Boleh saya menggendongnya, Sus?" tanyanya dengan lirih.

Suster itu hanya menatap Ajeng, seolah ragu dan takut untuk menyerahkan bayi berharga yang ada di tangannya pada gadis muda seperti Ajeng. Namun setelah mempertimbangkan, wanita itu kemudian menyerahkan Ilsya ke dalam gendongan Ajeng.

Ajeng tersenyum, mencoba memposisikan tubuh kecil Ilsya supaya nyaman dalam pelukannya. "Jangan menangis sayang," bisiknya membujuk dengan nada lirih dan lembut. "jangan menangis." Lanjutnya seraya mengusapkan punggung teluntuk tangannya pada pipi bayi itu dengan lembut. "Kamu tahu, Allah itu tidak akan menguji seseorang diluar batas kemampuannya. Dia tahu kamu anak yang kuat, dan kakak tahu kamu itu calon anak yang hebat." Ucapnya tanpa sadar menitikkan air mata saat mengecup dahi Ilsya yang mungil. "Jadi jangan menangis ya." Mohonnya lirih. Dan entah bagaimana, bayi itu menjadi tenang dalam sekejap mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status