"Uncle sakit, Il." Pemberitahuan bernada lirih itu membuat jantung Ilker berdenyut nyeri. Itu adalah rekaman suara sepupunya, Akara, yang tersimpan dalam rekaman suara di ponselnya. "Beberapa waktu yang lalu beliau sempat dirawat karena jantung. Stres berlebih jadi penyebabnya." Lanjut sepupunya itu lagi.
Akara jelas lebih tahu kondisi ayah Ilker karena satu, pria itu tinggal di kota yang sama dengan keluarga Ilker. Dan kedua, Akara adalah seorang spesialis jantung. Jadi dia tahu seluk beluk serta efek dari kondisi ayahnya.
"Uncle berusaha untuk tegar. Tapi sekuat apapun dia, terlalu banyak pikiran jelas bukan hal yang bisa dengan mudah dia tanggung, Al.
"Pulanglah. Selain demi Uncle, lakukan demi adik-adikmu dan..." Ucapan Akara tak berlanjut sebab Ilker sudah mematikan rekaman itu.
Ilker duduk di kursi portabel nya. Mendongakkan kepala dan memandang langit yang berbintang di kegelapan malam.
Lima tahun.
Lima tahun sudah ia berlari dari kehidupan nyata. Mencoba menghindari hiruk pikuk dunia. Mencoba menghindari keluarga dan mencoba untuk menghilangkan rasa cinta dan kehilangan yang bercokol di dadanya.
Puas? Ilker sama sekali tak merasa puas.
Rasa kehilangan itu bukannya menghilang. Tapi malah semakin menjadi.
Ditambah ia merasa terasing dan sangat kesepian.
Ingin kembali, tapi ia sadar kalau ia yang lebih dulu memilih berlari.
Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, bahkan ratusan kali, keluarganya menghubunginya dan meminta Ilker untuk kembali. Mereka terus mengatakan akan memberikan Ilker waktu, tapi mereka berharap Ilker tetap kembali. Sementara Ilker sendiri? Ia masih bersikukuh dengan pilihannya untuk pergi.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan kini bulan berganti tahun. Ilker merasa semakin terpuruk.
Dia pikir dengan berkelana akan membuatnya merasa nyaman. Tapi selain menjadi anak rimba, dia tidak pernah mendapatkan kenyamanan itu.
Mimpi buruk tetap saja datang hampir di setiap malam. Wajah sedih ibunya saat ia memilih untuk meninggalkannya. Syahinaz yang kurus dengan wajah pucat yang menyerah dan meninggalkannya. Serta bayi mungil berpipi merah yang terbungkus selimut berwarna merah muda yang hanya sekali ia lihat sejak kelahirannya.
Ibunya, adik-adiknya, keluarganya, mereka dengan rajin mengirimi Ilker perkembangan putrinya. Namun bahkan sebelum ia membuka foto-foto itu, sebelum ia mengunduh video-video itu, dia sudah menghapusnya dan menghilangkannya dari galeri seolah semua itu tak penting untuknya.
Ilker tidak tahu bagaimana perasaannya. Ia tidak tahu harus mengkategorikan emosinya pada apa.
Marah? Ia tidak marah, sama sekali tidak.
Benci? Ia juga tidak merasakan itu. Tidak ada kebencian dalam hatinya untuk siapapun saat ini.
Kecewa? Ya, ia kecewa. Tapi seiring berjalannya waktu ia juga sudah bisa menerima kenyataan kalau memang jodohnya dan Syahinaz berakhir sampai disana.
Lalu apa yang dia rasakan saat ini?
Takut?
Ya, Ilker takut. Sekalipun ia tahu keluarganya akan menerimanya kembali jika ia pulang, ia tetap merasa takut kalau semuanya tidak akan lagi sama.
Ia takut pada jarak yang sudah ia timbulkan. Dan ia takut, menghadapi kenyataan bahwa selama lima tahun terakhir ini dia bukan hanya menyakiti dirinya sendiri, tapi juga ibunya, ayahnya, adik-adiknya dan mungkin bocah kecil itu.
Setitik airmata jatuh di sudut mata Ilker. Ia menutup mata. Menangis dalam diam. Meminta maaf yang entah harus ia tujukan pada siapa terlebih dulu.
"Kembalilah..." Bisikan itu membuat matanya terbuka seketika. Ilker tahu itu hanya halusinasinya. Sisa bayangan yang ia miliki dari Syahinaz yang masih tersimpan di kepalanya. Ilker menundukkan kepala. Kedua tangannya mengusap wajah dengan kasar. Dan dengan segera, ia bangkit dari duduknya. Membereskan semua barangnya dan melajukan mobilnya keluar dari area kaki gunung menuju jalan raya.
Seminggu kemudian.
Bandara Soekarno Hatta - Terminal 3Pengumuman pesawat akan mendarat membuat semua orang mengencangkan sabuk pengaman. Ilker memandang keluar jendela dimana ia duduk. Langit Jakarta cerah, tapi hatinya tidak secerah itu.
'Apa yang akan aku lakukan sekarang?' Tanya Ilker pada dirinya sendiri. 'Kemana aku harus pergi?'
Ilker tidak memberitahukan kabar pulangnya pada siapapun. Tidak pada ibunya yang masih mengiriminya voice mail satu jam sebelum ia memasuki pesawat. Tidak juga pada Akara yang masih dengan rajin memberikannya informasi tentang sang ayah.
Ilker meraih carrier nya dan melangkah menuruni pesawat yang sudah mendarat dengan sempurna. Bawaannya memang tidak banyak. Hanya pakaian yang kini ia kenakan dan beberapa dokumen penting yang selalu ia perlukan. Sisa barang yang dibutuhkannya ia simpan di kediamannya di Turki dan mungkin akan ia minta seseorang untuk mengirimkannya jika ia sudah tahu akan menetap dimana.
Ilker berjalan menuju taksi yang parkir di liar bandara. Masuk kedalamnya dan langsung mendapati sapaan sopan si pengendara. Ia tersenyum kala si sopir menanyainya dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah.
Dulu, hal-hal seperti ini selalu menjadi bahan lelucon diantara dirinya dan Akara.
Tentu saja, dengan perawakan dan wajah mereka yang berkontur asing, mengingat mereka memiliki darah Turki dalam tubuhnya, semua orang selalu menduga bahwa dirinya dan Akara adalah pengunjung yang tidak fasih berbahasa Indonesia. Padahal faktanya...
Ilker menyebutkan alamat tempat tinggalnya dengan bahasa Indonesia yang fasih dan sontak supir taksi itu terkejut mendengarnya. Namun tanpa banyak bicara, pria itu melajukan mobilnya dan membawa Ilker menuju kediamannya.
Ilker tidak menyebut alamat kediaman orangtuanya. Dia juga tidak menyebut alamat rumah yang dulu ia dan mendiang Syahinaz tempati sebelum istrinya itu meninggal dunia. Ilker justru menyebutkan alamat apartemen yang dulu ia huni sebelum ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya.
Berpuluh menit kemudian, Ilker kembali menjejakkan kakinya di depan bangunan berlantai tiga puluh itu.
Lima tahun berlalu. Ia sendiri tidak yakin kalau apartemen itu tidak disewakan pada orang lain. Karena sebelum menikah, ia meminta adik bungsunya, Mahzar, untuk mengelola semua properti miliknya.
Jika memang apartemennya dihuni, mau tak mau Ilker harus mencari tempat tinggal sementara sebelum ia benar-benar kembali menghadap kedua orangtuanya.
Senyum dari penjaga keamanan apartemen itu tampak ramah.
"Tuan Ilker?" Sapanya dengan tak percaya. Tentu saja pria itu akan terkejut melihat penampilan Ilker yang sekarang. Karena Ilker enam tahun yang lalu, saat ia masih lajang terlihat sangat rapi dan merawat diri. Sementara Ilker yang sekarang?
Ilker yang sekarang memiliki fisik yang lebih besar. Rambutnya yang coklat menjadi lebih terang karena sering terpapar matahari, begitu juga dengan kulitnya. Rambutnya panjang dan sengaja ia ikat dengan asal. Dan wajahnya, Ilker bahkan tidak menyempatkan diri untuk mencukurnya.
Penampilan Ilker tak tampak seperti pengusaha muda, melainkan seperti seorang backpacker yang tersesat masuk ke gedung khusus orang-orang kaya.
"Siang pak Jon." Sapa Ilker. Sebisa mungkin bersikap ramah dan menjabat tangan pria itu.
Lima tahun terakhir, dia tidak banyak menggunakan suaranya untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Dia memilih hidup dengan menyembunyikan identitasnya dan bekerja serabutan di perkebunan orang-orang hanya untuk membuatnya percaya kalau dirinya ini masih manusia. Sisanya ia menyembunyikan dirinya di dalam hutan, hidup seperti tarzan di jaman yang serba modern dan canggih ini. Ilker merasa kalau kemampuamnya bersosialisasi pastinya juga akan berkurang.
"Selamat datang kembali." Ucap penjaga keamanan itu dengan sopan. Ilker hanya mengangguk dengan sopan.
"Saya belum bertemu dengan Mirza." Ucap Ilker, secara tidak langsung ia mengatakan kalau ia tidak memiliki akses untuk masuk ke dalam apartemen.
Pria berusia pertengahan empat puluh tahun itu tersenyum. "Saya akan membantu Anda." Ucapnya seraya berjalan menuju meja resepsionis berada.
Seorang gadis muda yang mengenakan seragam hitam dengan papan nama bertulis Syifa di dadanya tampak berdiri dengan gugup memandang Ilker dan Pak Jon bergantian.
Ilker tidak tahu arti tatapan sembunyi-sembunyi gadis itu padanya berarti takut, malu, atau memang sengaja mencari perhatian.
"Syifa, perkenalkan beliau Sir Ilker." Ucap pak Jon menjelaskan. "Beliau kakak Sir Mirza." Lanjutnya lagi yang membuat si resepsionis itu tampak terkejut seolah tak percaya. "Sir Ilker ini baru saja kembali setelah melakukan ekspedisi di pedalaman Turki."
'Ekspedisi?' tanya Ilker pada dirinya sendiri. Itukah alasan yang dibuat keluarganya saat ada orang mempertanyakan kepergiannya?
Alasan itu jelas lebih berkelas daripada mengatakan kalau Ilker berusaha untuk lari dari kenyataan.
"Tolong berikan kunci cadangan unit Sir Ilker." Perintah pak Jon lagi yang diangguki si gadis dengan cepat. "Atas permintaan Sir Mirza, kami mengubah kunci kediaman Anda dengan kunci terbaru, Sir." Ucap Pak Jon tanpa Ilker minta penjelasan. "Beliau meminta kami menyimpan cadangan karena tidak tahu kapan Anda akan kembali.
"Sekarang, pintu unit Anda sudah menggunakan metode pin dan sensor jari. Kalau Anda butuh bantuan untuk meresetnya, saya akan dengan senang hati membantu." Ucap pak Jon lagi yang kembali hanya Ilker angguki.
"Saya akan menghubungi Anda setelah saya beristirahat nanti." Janji Ilker yang kemudian dijawab anggukkan pula oleh Pak Jon.
Ilker berjalan menuju pintu kaca yang merupakan pintu penghubung area resepsionis menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantainya. Pintu kaca itu terbuka segera setelah Ilker melakukan pemindaian kartu di depan mesin sensornya. Dengan langkah pelan, ia berjalan memasuki lift yang akan membawanya menuju lantai teratas gedung.
Di lantai teratas gedung itu terdapat dua buah penthouse yang pintunya saling berhadapan. Ilker melangkah ke sisi kanan dimana pintu penthousenya berada. Memindai kunci logam di tempat sensornya dan membukanya.
Lampu lobi langsung menyala saat ia melangkahkan kaki masuk kedalamnya. Tidak ada yang berubah dengan kediamannya. Sedikitpun tidak ada yang dirubah semenjak terakhir kali ia meninggalkannya. Atau sebenarnya ada yang berubah tapi dia tidak mengingatnya?
Ilker menggelengkan kepala. Siapapun yang membersihkan unitnya, dia harus berterima kasih karena orang itu tidak menganggu gugat apapun yang ada di dalamnya.
Ilker terus berjalan masuk. Melangkah pelan menuju ke kamarnya tanpa repot melepas sepatunya. Ia tidak ingin mengecek ruangan lain yang ada disana. Jikapun Rayyan atau Mirza ada di ruangan lain, ia memilih untuk tidak peduli.
Saat ini, yang Ilker inginkan hanya berbaring dan menghilangkan jetlag nya. Ia sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang, dan tubuhnya terasa lebih lelah daripada biasanya. Ilker tahu, yang ia rasakan saat ini bukan semata-mata lelah fisik. Namun juga lelah mental.
Ilker melemparkan tasnya sembarangan. Melepas sepatunya dan membiarkannya tergeletak begitu saja di lantai yang tak jauh dari tempat tidurnya. Sambil berjalan menuju kamar mandi, dia membuka pakaiannya dan dengan sembarangan melemparkannya ke keranjang cucian.
Ia menyalakan shower tanpa menutup pintu. Membasahi seluruh tubuhnya dengan air hangat dengan harapan otot-ototnya akan terasa lebih sangai dan dia bisa menghilangkan seluruh kepenatannya dan bisa tertidur dengan nyenyak setelahnya.
ALARM BERBUNYI. Dengan mata mengantuk, Ajeng meraba-raba bawah bantal, mencari ponselnya untuk mematikan alarmnya.Ia berbaring beberapa saat untuk menghilangkan kantuk sambil menggeliat untuk meregangkan otot tubuhnya sebelum duduk di atas tempat tidur.Pukul lima pagi dan di luar jendela kamarnya sudah tampak orang-orang berlalu lalang memulai aktifitas. Ajeng turun dari tempat tidurnya, melangkah menuju kamar mandi yang ada di bagian dalam kamarnya.Tempat tinggalnya itu bisa disebut sebagai apartemen studio. Berukuran empat kali enam meter dimana di dalamnya terdapat kamar mandi dan juga dapur kecil seluas dua kali satu meter setengah. Tapi ia tidak berada di gedung apartemen, ataupun lingkungan kos-kosan, melainkan di komplek tempat tinggal karyawan yang dibangun di bagian belakang rumah keluarga Levent. Keluarga blasteran Turki-Indonesia. Tempat dimana Ajeng bekerja.Terhitung sudah lima tahun Ajeng bekerja di keluarga Adskhan-Caliana. Jabatannya? Entahlah, Ajeng sendiri tidak b
Can I call you baby? Can you be my friend Senandung samar dari luar kamar membuat Ilker membuka mata. 'Siapa yang menyalakan musik?' Tanya Ilker dengan mata mengantuk. Can you be my lover up until the very end? Siapa itu? Hanya lagu, tanpa musik. Ini jelas seseorang yang sedang bersenandung. Batin Ilker dengan kepala yang masih berdenyut nyeri. Let me show you love, oh, I don’t pretend Stick by my side even when the world is givin’ in, yeah Suara yang merdu dan lirih itu membuat Ilker akhirnya bangkit dari baringannya dan fokus mendengarkan. Oh, oh, oh, don’t Don,t you worry I’ll be there, whenever you want me Ilker menurunkan kakinya dan meraih jubah kamar mandi berwarna hitam yang semalam digunakannya. Berjalan menjauhi tempat tidur seraya mengikat tali jubahnya. Semakin dekat dengan pintu, semakin jelas suara itu terdengar. I need somebody who can love me at my worst No, I’m not perfect, but I hope you see my worth ‘Cause it’s only you, nobody new, I put you first
Ajeng melanjutkan pekerjaannya, membiarkan tamu majikannya itu makan sendirian. Saat ia mulai mengangkat lap untuk menyeka kotoran, matanya terbelalak seketika. Sebuah ingatan masuk ke dalam kepalanya.Ia menoleh kembali ke arah meja makan untuk memastikan kalau apa yang dilihatnya itu benar.Tadi, sekilas ia melihat kesamaan antara si tamu dengan majikannya yang lain. Namun saat itu Ajeng mengabaikannya karena berpikir mungkin mereka berasal dari negara yang sama, maka dari itu kontur wajah mereka terlihat sama.Tapi sekarang, setelah Ajeng pikir baik-baik. Apa yang tadi ia sangka umum, itu bukan hal yang umum. Melainkan karena ia memang familiar.Wajah itu, memang tidak sama seperti foto yang ada di ruang keluarga kediaman Adskhan-Caliana. Karena pria yang sedang sarapan itu, benar-benar berpenampilan urakan. Dengan rambut panjang dan diikat asal di belakang kepala, rambut-rambut di wajah yang hampir menututpi dua pertiga wajahnya, jelas sangat jauh berbeda dengan sosok yang sering
Ajeng turun dari ojeg yang dipesannya tepat di depan kediaman keluarga Adskhan-Caliana. Ia menyapa satpam yang membukakan pintu untuknya dan berjalan melalui area samping rumah utama untuk menuju kediamannya. Tepat sebelum ia membuka pintu, terdengar suara salah satu asisten rumah tangga memanggilnya. "Oma minta bibi manggil kamu ke rumah depan kalo kamu udah pulang." Ucap wanita berusia empat puluhan yang sudah bekerja cukup lama di keluarga Levent. "Kenapa? Ada apa?" Tanya Ajeng cemas. Wanita itu menggeleng. "Oma dari tadi bolak-balik nanyain apa kamu udah pulang atau belum." Jawabnya lagi. Dan tanpa menunggu penjelasan lain, Ajeng pun berjalan menuju rumah utama lewat dapur. Ajeng mencari-cari sosok wanita paruh baya yang dikatakan sedang mencarinya itu. Namun sebelum ia menemukan keberadaan nyonya rumah, ia malah disambut dengan pelukan dari sebuah tangan kecil yang ia tahu siapa. Ia menoleh ke belakang dan melihat sosok Ilsya tengah nyengir padanya. Gadis kecil berusia lima
"Kami sudah tahu kalau Ilker sudah kembali." Ucap Akara saat Ajeng memberitahukan informasi itu. Ajeng menatap kakak iparnya itu dengan heran hingga tak bisa berkata-kata. "Kami memiliki banyak orang yang ditugaskan untuk memantaunya selama ini, Ajeng." Ajeng menoleh pada Halil yang kebetulan sedang mampir ke kediaman kakak iparnya itu. Ia kembali melirik Akara dan melihat anggukan pria itu. "Kami tidak pernah membiarkannya lepas dari pengawasan." Jawab Akara lagi. "Kami mengijinjan dia pergi, tapi bukan berarti kami lepas tangan darinya begitu saja. “Kondisi Ilker berbeda. Dia pergi bukan untuk liburan. Dia pergi dengan luka hati yang dalam. Kami tidak tahu apa yang mungkin setan bisikan padanya. “Tidak menutup kemungkinan kalau dia pasrah pada keadaan dan memilih untuk mengakhiri hidupnya." Jawab Akara dengan santainya. "Kami memberinya waktu untuk berpikir dan menyembuhkan perasaannya. Tapi kami tidak pernah lepas memantaunya." Jawab Halil menimpali. "Kami tahu dia berada di
Keesokan paginya, Ajeng mendatangi Nyonya Caliana tepat sebelum sarapan. Dengan jantung berdebar, Ajeng menghadap wanita paruh baya itu. Seolah mengerti hanya dengan melihat gerak-gerik Ajeng, wanita itu lantas tersenyum dan berkata. "Sudah mendapat keputusan?" Tanyanya dengan nada lembut. Dengan ekspresi yakin, Ajeng menganggukkan kepala. “Jadi, apa jawabannya?” Tanyanya tanpa melepas pandangan dari Ajeng. “Ajeng mau bantu, Oma. Tapi…” “Tapi?” “Tapi Ajeng gak janji kalau Ajeng bisa mendekatkan mereka dalam waktu dekat.” Jawaban Ajeng dihadiahi senyuman Oma Ana. Tangan wanita itu terulur dan begitu saja memegang tangan Ajeng. “Terima kasih, Ajeng. Oma sungguh-sungguh berterima kasih.” ucapnya dengan senyum tulusnya. “Kalau Ajeng gak berhasil, apa Oma akan marah?” Tanyanya tanpa ragu. Oma Ana terkekeh lantas menggelengkan kepala. “Oma minta bantuan kamu, tapi harapan Oma sepenuhnya Oma berikan kepada Allah. Karena Dia yang Maha Membolak-balik Hati.” ucap wanita itu lagi
Ia mendongak, memberanikan diri memandang Opa Adskhan sebelum mengalihkan pandangannya pada Oma Ana dan menganggukkan kepala tanpa ragu. "Bagus." Ucap Opa Adskhan lagi. "Karena setelah ini, apapun yang terjadi di rumah ini. Apapun yang kamu lihat dan dengar, itu tidak boleh sampai keluar. Kamu mengerti?" ucap Opa Adskhan lagi yag kembali dijawab anggukkan Ajeng. Ada jeda saat Oma Ana kembali berdiri dan melangkah menuju meja. Mengeluarkan sesuatu dari dalam laci dan duduk kembali di tempatnya semula. “Oma bukannya gak percaya sama kamu, Jeng. Tapi ini hanya untuk antisipasi akan apa yang terjadi di masa depan nanti.” Ucapnya seraya meletakkan dua buah amplop dengan warna berbeda di hadapannya, satu berwarna putih dan satu lagi berwarna coklat muda. Ajeng memandang amplop tersebut dan Oma Ana bergantian. Kedua amplop itu memiliki logo Coskun Company di sudut kanan atasnya yang Ajeng yakini dan bersifat rahasia namun dengan warna amplop yang berbeda. "Bukalah amplop yang berwarna
Ajeng kembali membalikan tubuh dan berjalan di dalam kamarnya. Mengabaikan sebuah televisi layar lebar yang tentunya menyilaukan mata dan berjalan menuju tempat tidur dimana ia meletakkan amplop yang diberikan Oma Ana padanya. Dibawanya amplop itu ke meja belajarnya yang sudah ditenggeri sebuah layar persegi dengan logo apel tergigit di atasnya. Ia ingin tahu tentang rahasia mengenai Ilker yang tadi dikatakan oleh Oma Ana. Ternyata, saat ia mengeluarkan dokumen-dokumen itu, sebuah flashdisk berwarna putih ikut terjatuh. Ajeng menyalakan layar persegi itu, meletakkan dokumen dan memilih untuk melihat isi flashdisk terlebih dahulu. Drive nya terbagi menjadi beberapa folder. Folder pertama berjudul "Ilker – 22", folder kedua berjudul "Ilker dan Syahinaz" dan folder ketiga berjudul "Setelah Syahinaz". Mouse-nya bergerak dan langsung mengarah pada folder "Ilker-22". Di dalam folder itu, terdapat kumpulan foto-foto dan beberapa video yang kemudian Ajeng sortir berdasarkan tanggal