Share

Part 5

ALARM BERBUNYI. Dengan mata mengantuk, Ajeng meraba-raba bawah bantal, mencari ponselnya untuk mematikan alarmnya.

Ia berbaring beberapa saat untuk menghilangkan kantuk sambil menggeliat untuk meregangkan otot tubuhnya sebelum duduk di atas tempat tidur.

Pukul lima pagi dan di luar jendela kamarnya sudah tampak orang-orang berlalu lalang memulai aktifitas. Ajeng turun dari tempat tidurnya, melangkah menuju kamar mandi yang ada di bagian dalam kamarnya.

Tempat tinggalnya itu bisa disebut sebagai apartemen studio. Berukuran empat kali enam meter dimana di dalamnya terdapat kamar mandi dan juga dapur kecil seluas dua kali satu meter setengah. Tapi ia tidak berada di gedung apartemen, ataupun lingkungan kos-kosan, melainkan di komplek tempat tinggal karyawan yang dibangun di bagian belakang rumah keluarga Levent. Keluarga blasteran Turki-Indonesia. Tempat dimana Ajeng bekerja.

Terhitung sudah lima tahun Ajeng bekerja di keluarga Adskhan-Caliana. Jabatannya? Entahlah, Ajeng sendiri tidak bisa mengklasifikasikan dengan tepat jabatannya di rumah itu sebagai apa. Yang jelas, saat ini statusnya hanya sebagai orang yang menumpang tinggal dan tidur saja. 

Awalnya, lima tahun lalu, Ajeng diminta oleh Nyonya Caliana untuk menjadi pengasuh bagi cucu perempuannya, Ilsya.

Kejadian itu terjadi tepat di hari pemakaman ibu Ilsya dimana saat itu juga, putra laki-laki pertama Nyonya Caliana—atau yang biasa Ajeng sebut Oma Ana—Ilker, ayah kandung Ilsya, pergi meninggalkan rumah.

Kala itu terjadi kehebohan di dalam rumah. Oma Ana memohon supaya putranya tidak pergi demi Ilsya yang masih bayi. Namun semua orang tahu kalau Ilker tak bisa ditentang. Pria itu terluka, dia patah hati karena baru saja ditinggalkan oleh wanita yang sangat ia cintai. Saking merasa kehilangan, pria itu bahkan tak sanggup untuk melihat putrinya sendiri.

Seolah tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Seolah tahu bahwa dirinya diabaikan. Bayi Ilsya menangis dengan sangat kencang, dan bahkan sulit untuk ditenangkan. Hingga akhirnya Ajeng menggedongnya dan bayi itu menjadi tenang dalam pelukannya. Dan sejak saat itulah, Ajeng diminta untuk menjadi pengasuh Ilsya.

FLASHBACK

"Bantu Oma, Jeng." Pinta Oma Ana saat Ilsya sudah kembali Ajeng tenangkan setelah para tamu yang mengikuti pengajian bubar dari kediaman Levent.

"Bantu Oma jaga Ilsya. Karena kamu bisa lihat sendiri kalau dia cuma mau sama kamu, Jeng." Ucap Oma Ana lagi dengan mata terarah pada Ilsya yang ada dalam pelukan Ajeng. Oma Ana terlihat sedih dan juga letih, membuat Ajeng merasa kasihan melihatnya.

"Oma akan bayar kamu. Oma gaji kamu. Empat kali lipat dari gaji pengasuh, Jeng. Asalkan kamu mau jagain dia. Dua puluh empat jam." Lanjut wanita itu dengan nada membujuk. "Oma bukannya ingin bermaksud sombong dengan memamerkan kekayaan Oma." Ucapnya kali ini dengan ekspresi bersalah. "Tapi saat ini Oma benar-benar putus asa. Oma udah tua, Oma gak akan mampu jaga Ilsya sendirian, dan kamu lihat sendiri, suster pun gak bisa bikin dia tenang.

"Karena itu, Oma benar-benar ingin membeli waktu kamu, Jeng.

"Oma mau, kamu jadi pengasuh Ilsya. Oma mau waktu kamu sepenuhnya untuk Ilsya dan selama itu pula, sampai Ilsya bisa lepas dari pengawasan kamu, kamu tidak dulu lanjut kuliah.

"Oma tahu kalau kuliah itu cita-cita kamu. Tapi Oma benar-benar butuh kamu saat ini.

"Untuk masalah kuliah, tak jadi masalah kan kalau kamu menunda satu sampai dua tahun? Kalau orientasi kamu kuliah itu untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus, Oma janji, setelah kamu lulus, atau bahkan setelah Ilsya sudah bisa lepas pengawasan, Oma dan Opa akan bantu kamu untuk bisa mendapatkan apapun pekerjaan yang kamu mau." Janjinya.

FLASHBACK OFF

Ajeng kala itu hanya bisa terdiam. Jujur, tawaran Oma Ana jelas sangat menggiurkan. Dan jika tugasnya hanya mengawasi bayi Ilsya, bagi Ajeng itu bukan hal yang sulit. Karena selama ini, di panti asuhan, ia juga sudah biasa menjaga bayi-bayi yang dititipkan dinas atau bayi-bayi terlantar yang ditemukan berada di depan pintu panti.

Dan juga, alasannya pindah ke Jakarta dari Surabaya memang dengan maksud untuk kuliah. Dan mendengar dia bisa berkuliah dengan uangnya sendiri, Ajeng tergiur. Apalagi gaji yang ditawarkan itu juga bukan sedikit.

Meskipun kakak angkatnya—Rianna—dulu pernah menjanjikan akan membiayainya kuliah, tapi Ajeng sudah memiliki niat untuk tidak membebaninya. Sekalipun saat ini kedua kakak angkatnya itu sudah kaya raya dan sangat mampu untuk membiayainya.

(Kakak angkatnya yang bernama Rianna Syifa, yang dulu pindah dinas perawat dari rumah sakit Surabaya ke Jakarta pada akhirnya dipersunting oleh keponakan Nyonya Caliana, Akara Reynard Levent.

Sementara kakak angkatnya yang lain, Raia Yumna—secara mengejutkannya—ternyata merupakan putri dari pasangan Lucas Reynard Levent dan Agisna Permata, adik kandung dari Akara Reynard Levent.)

Dengan niatan untuk melanjutkan kuliah tanpa membebani kedua kakaknya, Ajeng pun menerima tawaran Nyonya Caliana tersebut tanpa pikir panjang.

Ajeng yang sebelumnya tinggal dengan Rianna dan Akara kemudian pindah dan tinggal di kediaman Adskhan-Caliana. Ia diberikan kamar sendiri oleh Nyonya Caliana. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya Ilsya. Tujuannya sederhana, Nyonya Caliana ingin Ajeng selalu ada setiap kali Ilsya butuh.

Dan selama tahun pertama, kamar itu hanya Ajeng tiduri beberapa kali, sebab ia lebih sering tidur di kamar Ilsya dibandingkan kamar yang diperuntukkan baginya.

Seiring berjalannya waktu, tugas Ajeng mulai berkurang.

Ilsya tumbuh luar biasa cepat dibandingkan anak-anak seusianya, sehingga Ajeng tidak perlu menjaganya selama satu kali dua puluh empat jam lagi.

Di usia satu tahun, Ilsya sudah bisa bicara—meskipun belum fasih—dan juga berjalan.

Di usia dua tahun, gadis itu semakin banyak memiliki kosakata dan Ajeng sudah tidak lagi menjaganya di malam hari.

Lalu saat menginjak usia tiga tahun, Ilsya sudah masuk sekolah dini, sehingga itu membuat Ajeng semakin memiliki banyak waktu luang sekalipun ia yang bertugas untuk mengantar-jemputnya ke sekolah.

Karena bosan sebab banyaknya waktu luang, Ajeng akhirnya merasa kalau tugasnya sebagai pengasuh sudah selesai dan ia ingin keluar dari rumah pasangan paruh baya itu untuk melanjutkan rencana awalnya yang tertunda, yaitu kuliah.

Setelah menyusun kata-kata yang tepat, Ajeng lantas mengajukan pengunduran dirinya pada Nyonya Caliana.

FLASHBACK

"Kenapa?" Tanya Nyonya Caliana saat Ajeng mengatakan niatannya untuk pindah dari kediaman Adskhan-Caliana dan melepas pekerjaannya sebagai pengasuh Ilsya.

"Ilsya sudah bisa melakukan semuanya sendiri, Oma. Dia sangat mandiri. Jadi Ajeng merasa kalau Ajeng tidak sepenuhnya bekerja dan hanya makan gaji buta disini." Jawab Ajeng dengan jujur.

"Enggak, Jeng  Ilsya masih butuh kamu." Ucap Nyonya Caliana membujuk. "Tak masalah kalau kamu mau kuliah. Oma bahkan siap biayai kamu, tapi kamu jangan pergi dari rumah ini, Jeng.

"Kamu mau kuliah kelas apa? Regular? Malam? atau karyawan? Kamu mau kuliah dimana? Jurusan apa? Nanti Oma yang biayain."

Ajeng tidak bisa menjawab karena memang dia belum mencari-cari kampus yang ingin dia masuki.

"Kalau kamu memang merasa perlu ada kegiatan, kamu bisa kerja di kantor, hotel atau bahkan restoran. Kamu tinggal pilih mau kerja dimana dan Oma akan masukin kamu kesana.

"Tapi jangan benar-benar meninggalkan tempat ini, Jeng. Karena nanti Ilsya akan cari-cari kamu." Ucap Nyonya Caliana lagi masih dengan nada membujuk.

"Tapi kalo begitu, sama aja Ajeng numpang tinggal disini Oma." Ucap Ajeng dengan malu.

Nyonya Caliana terlihat marah. "Siapa yang numpang?" Ucapnya kesal. "Kamu lupa kalau sekarang kamu itu anakLucas dan Agisna, sepupu dan ipar Oma? Kamu itu adik dari keponakan-keponakan Oma. Dan berarti kamu juga keponakan Oma. Kita masih keluarga sekalipun tidak ada ikatan darah.

"Dan Ilsya, dia udah nganggap kamu sebagai kakaknya dia. Masa kamu tega gitu aja ninggalin dia?" Ajeng tidak memberikan jawaban apa-apa. Dia hanya bisa menunduk diam.

"Terlepas dari Ilsya, Oma juga mau kamu disini. Rumah ini sepi karena anak-anak Oma gak tinggal disini. Oma butuh anak muda untuk membuat suasana rumah lebih hidup." Lanjut wanita paruh baya itu lagi.

"Dan Ilsya akan merasa sangat kesepian karena selama ini kamu satu-satunya orang yang bisa dia andalkan. Kamu mau nyakitin dia?" Telak, kalimat itu sudah cukup membuat Ajeng tak bisa berkutik.

FLASHBACK OFF

Ajeng tidak bisa mengelak fakta yang Nyonya Caliana katakan. Ia juga merasakan kesepian yang sama setelah tinggal di rumah mewah itu. Rumah yang luasnya berkali lipat lebih besar daripada panti asuhan yang dulu ia dan kakak-kakak angkatnya tinggali itu berpenghuni kurang dari sepersepuluh anak-anak panti.

Tak ingin membuat Oma Ana dan Ilsya sedih, akhirnya Ajeng memutuskan untuk tetap tinggal disana dengan satu syarat, dia tidak mau lagi menempati kamar yang ada di bangunan utama dan ingin tinggal di rumah yang dibangun khusus untuk para karyawan yang ada di bagian belakang. Tempat tinggalnya saat ini. Dan Oma Ana, dengan berat hati, mengijinkannya.

Seminggu setelahnya, Ajeng kemudian ditawari untuk bekerja di restoran Turki yang dipimpin oleh Mas Serkan dan Mas Halil—keponakan-keponakan Oma Ana.

Sambil bekerja, Ajeng juga mendaftar kuliah. Ia mengambil kelas karyawan sehingga ia hanya kuliah di akhir pekan dan bekerja di hari-hari biasa.

Suatu waktu, saat Ajeng bekerja di restoran. Ia mendengar pembicaraan Halwa, asisten pribadi Mirza, putra bungsu Oma Ana, kalau beliau membutuhkan tenaga bersih-bersih yang akan bekerja seminggu dua kali di penthouse. Dengan percaya diri, Ajeng mengajukan diri. Dan Halwa begitu saja setuju karena menurutnya Ajeng sudah menjadi orang kepercayaan keluarga Levent.

Teman-teman di tempat kerjanya merasa heran sendiri dengan Ajeng yang seolah tak berhenti bekerja. Mereka bahkan bertanya apa Ajeng tak lelah. Ajeng jawab yang sejujurnya. Ia tidak lelah, karena jika memang dirinya ingin kaya, dia harus semangat bekerja keras.

Ajeng tahu, sebagian rekan kerjanya memandangnya sebagai gadis matre yang terobsesi untuk kaya. Ajeng tak akan menggubrisnya ataupun mengklarifikasi. Karena memang faktanya, ia bermimpi untuk sukses dan menjadi kaya.

Jika ada orang yang bertanya padanya kenapa ia ingin kaya, maka ia akan balik bertanya pada orang itu. ‘Kenapa kau mau hidup miskin?’

Memang tidak semua hal di dunia ini bisa dibeli dengan uang. Tapi dengan uang, kita bisa membeli apa yang kita inginkan. Bahkan rasa hormat dan pemujaan. Dan itulah yang Ajeng inginkan.

Ia sudah lelah menjadi korban penghinaan orang-orang. Orang-orang menghinanya hanya karena dia anak yatim piatu dan juga miskin.

Dan Ajeng tak mau lagi mendengar hinaan itu.

Ia tidak bisa menghapus fakta kalau dia tidak punya keluarga. Tapi dia bisa mengubah kenyataan kalau dia 'si miskin' bisa menjadi 'si kaya'. Dan tentu, ia akan membanggakan itu pada semua orang setelah ia bekerja keras.

Ajeng bisa saja menyombongkan diri dengan menggunakan nama keluarga angkatnya. Ya, dirinya kini memang berstatus sebagai anak angkat dari pasangan Lucas Reynard Levent dan Agisna Permata Levent. Dia mendapatkan jatah yang sama dengan kakak-kakaknya dan bahkan difasilitasi yang sama—yang sayangnya ia tolak karena tak nyaman menerimanya. Tapi, untuk apa?

Untuk apa ia menggunakan nama orang lain hanya demi penghormatan dan pemujaan semu?

Ajeng ingin dihargai karena dirinya sendiri. Karena kerja keras dan keberhasilannya.

Kembali ke masa kini. Ajeng harus mengerjakan tugas yang Halwa berikan.

Pukul setengah enam, Ajeng sudah siap dan menyandang tasnya. Seperti biasa, dia akan pergi ke pasar tradisional lebih dulu untuk berbelanja bahan makanan yang ada di dalam daftar belanjaan yang sudah Mba Halwa kirimkan padanya via pesan. Dan nanti, jika barang yang ada di dalam daftar itu tidak ia temukan di pasar, ia akan pergi ke supermarket yang berada tak jauh dari penthouse.

Ajeng berjalan keluar dari area tempat tinggal para karyawan, menyapa orang-orang yang sudah mulai bekerja. Terus keluar gerbang dan mendekati tukang ojek yang sudah dia pesan sebelumnya.

Bukan ojek online. Tapi ojek pangkalan yang sudah dua tahun ini menjadi langganannya.

"Pasar?" Tanya pria berusia lima puluhan itu. Ajeng mengangguk, menerima helm yang disodorkan pria itu padanya dan lantas naik ke atas motor.

Motor melaju dalam kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan mereka terus berbincang layaknya bapak dan anak. Sampai kemudian mereka sampai di pasar.

Pak Soleh—nama tukang ojek itu—selalu menunggu Ajeng di bagian depan pasar dan nantinya akan mengantarkan Ajeng ke penthouse.

Hampir dua jam kemudian, Ajeng sampai di area gedung penthouse. Seperti biasa, Pak Soleh menurunkan Ajeng di pos satpam depan portal gedung. Dengan belanjaan di kedua tangannya, Ajeng melangkah masuk seraya menyapa petugas keamanan yang membukakan portal untuknya.

Ia terus berjalan sejauh berpuluh meter menuju teras gedung dan kembali menyapa penjaga keamanan sebelum melangkah menuju pintu kaca tebal yang menjadi pintu masuk area apartemen-penthouse

Ajeng menyapa setiap orang yang dikenalnya. Petugas kebersihan, karyawan salon kecantikan, karyawan butik, karyawan restoran dan bahkan resepsionis, semuanya ia sapa.

Kenapa dia bisa mengenal banyak orang seperti itu? Sebab ia memang sengaja ingin kenal dengan mereka.

Dulu ibu pantinya mengatakan kalau kita harus memperpanjang silaturahmi, bersikap baik dan sopan kepada semua orang karena kita tidak tahu pada siapa esok lusa kita meminta bantuan.

Memendekan silaturahmi sama saja dengan memendekkan rejeki. Sementara memperbanyak silaturahmi sama dengan memperbanyak koneksi. Itulah yang ibu pantinya katakan padanya dulu.

Dengan cukup repot, Ajeng menekan password yang ada di samping pintu dan melanjutkan langkahnya untuk masuk menuju ke lift.

Ajeng tidak terlalu suka jika berada dalam ruang kecil dan tertutup. Orang-orang menyebut itu dengan klaustrofobia. Tapi untungnya, klaustrofobia yang Ajeng miliki tidak terlalu parah.

Asalkan dia tidak berada lama-lama di dalam lift itu, ia rasa ia akan baik-baik saja. Ia tidak bisa membayangkan kalau sampai klaustrofobianya parah, maka ia harus menaiki tangga darurat sebanyak tiga puluh lantai setiap kali dia datang ke tempat itu.

Ajeng keluar dari lift, berjalan menuju pintu yang ada di sisi kanan dan kembali menekan password pembuka. Dan tara.. sebuah penthouse berdominasi dinding kaca yang memiliki banyak pemandangan kota hadir di depannya.

Ajeng sudah dua tahun bolak balik ke penthouse itu. Tapi setiap kali masuk, setiap kali juga dia merasa takjub. Melihat pemandangan di luar jendela, seperti melihat sebuah lukisan metropolis yang indah.

Ajeng meletakkan tasnya di atas meja bar. Berjalan menuju island set dan membereskan barang yang baru dibelinya. Mencuci yang harus dicuci, mengemas dan kemudian membereskannya ke dalam lemari es.

Sisa-sisa makanan yang ada di dalam lemari es yang tidak bisa dikonsumsi Ajeng buang. Sementara makanan yang masih bisa dikonsumsi Ajeng rapikan.

Setelahnya, Ajeng berjalan menuju bagian belakang dimana dapur kotor dan peralatan-peralatan tempurnya berada. Ia lantas mengenakan apron anti air. Mengikat rambutnya tinggi-tinggi dan kuat lalu memasang bando anti keringat.

Tambahan, ia memasang headset pada ponselnya, dan menyetel musik dalam volume besar sebelum memasukkan ponsel itu ke dalam saku apronnya. Barulah, ia siap untuk bekerja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status