Share

Part 3

"Abang!" Pekikan Nyonya Caliana menghentikkan langkah Ilker yang lebar.

Ilker hanya mematung sejenak, mencengkeram tali tas di lengannya dengan erat. Ia tampak tidak ingin membalikkan tubuhnya sama sekali. Memilih untuk mengeraskan hatinya dan menulikan telinganya meskipun ia tahu di belakang punggungnya sang ibu bersedih dengan pilihan yang dibuatnya.

"Abang mau pergi kemana?" Tanya ibunya dengan nada tercekat. Ilker masih tidak menjawabnya. "Apa Abang gak kasihan sama Ilsya? Dia masih bayi, Bang. Dia baru saja kehilangan ibunya, masa dia harus kehilangan ayahnya juga?" Rintih Nyonya Caliana sedih.

"Maafin Ilker, Ma." Ucapnya dengan lirih namun masih bisa terdengar oleh orang-orang yang berada di belakangnya. "Tapi Ilker gak mampu jaga anak itu. Hati Ilker sakit, dan Ilker gak mau membenci dia dan menyalahkan dia atas perginya Syahinaz.

"Kalau Mama memang sayang abang. Biarkan abang pergi. Abang percaya kalau Mama bisa jaga dia. Abang yakin kalau bersama kalian dia akan lebih bahagia. Anggap aja abang gak ada. Titip dia karena dia yang Syahinaz inginkan di sisa hidupnya, bukan abang." Jawabnya dengan perasaan tercabik dan mata memanas. Setelah mengucap itu, Ilker berjalan semakin cepat ke arah mobilnya diparkir dan tanpa menoleh ke belakang pria itu melajukan mobilnya meninggalkan kediaman orangtuanya.

Nyonya Caliana menangis. Dia masuk ke dalam pelukan sang suami sambil meratapi nasib anak sulungnya dan juga cucu perempuannya.

"Apa yang harus kita lakukan, Mas?" Rengeknya pada sang suami.

Nyonya Caliana yang biasanya sangat handal dalam mengendalikan emosinya kali ini tampak tak berusaha untuk mengendalikan diri. Ia menangis di pelukan sang suami sementara putri sambungnya mengusap punggungnya untuk menenangkan sang ibu.

"Qilla" Nyonya Caliana beralih memeluk putri sambungnya. Seolah menggantungkan harapan padanya. "Apa yang harus Mama lakukan sekarang? Adikmu pergi, dan Ilsya... dia kehilangan orangtuanya."

"Sabar, Ma." Ucap Syaquilla dengan nada lembutnya. "Ilker mungkin butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya. Untuk sementara kita biarkan dulu. Biarkan dia memulihkan perasaannya." Ucap Syaquilla menengahi yang didukung dengan anggukkan sang ayah. "Ilker hanya sedang bersedih dan butuh waktu untuk menikmati kesedihannya.

"Qilla yakin, dia akan kembali pada kita. Walau bagaimanapun, disinilah keluarganya. Disinilah putrinya, buah cintanya dan mendiang Syahinaz berada. Kita hanya perlu memberikannya waktu untuk merenung, sementara itu kita berdoa pada Allah supaya dia segera kembali pada kita, Ma."

Nyonya Caliana mengusap airmatanya dengan kasar dan mengangguk. Akal sehatnya berusaha untuk memahami keadaan meskipun hatinya tidak bisa ikhlas begitu saja.

Syaquilla dan Adskhan membawa Nyonya Caliana masuk. Saat mereka menggiring Nyonya Caliana menuju ruang tamu dimana pengajian dipersiapkan, Nyonya Caliana menggelengkan kepala dan memilih untuk berjalan menuju kamar dimana bayi Ilsya berada.

Tak ingin meninggalkan ibunya sendirian, Syaquilla memapah ibunya berjalan menuju kamar Ilsya. Pintu kamar itu terbuka, sama seperti saat Nyonya Caliana meninggalkannya tadi. Dan hal yang mengejutkan mereka adalah saat mereka melihat cermin tinggi yang ada di salah satu ruangan menunjukkan Ilsya tengah tertidur dalam gendongan Ajeng yang sedang mengayun tubuh kecil Ilsya seraya mengusap dahi bayi itu dengan jari telunjuknya sementara bibirnya melantunkan kalimat dzikir dengan lirih.

Tanpa banyak kata, wanita paruh baya itu melangkah mundur dari kamar, menarik tangan putri sambungnya dan menjauh dari tempat dimana Ilsya dan Ajeng berada.

***

Kediaman Adskhan-Caliana kembali ramai setelah Magrib. Orang-orang datang bersamaan dengan Tuan Adskhan dan para pria Levent yang baru saja melaksanakan sholat berjamaah di masjid.

Dengan teratur para bapak-bapak duduk di satu sisi sementara para ibu berada di ruangan yang berbeda dan terpisah dari para pria. Pengajian berlangsung dengan dipimpin seorang ustadz yang juga datang bersama dari masjid.

Saat pengajian sedang berlangsung, terdengar suara tangisan bayi dari lantai dua dimana Ilsya berada.

Ya, setelah kejadian tadi sore, Ilsya akhirnya dipindahkan ke kamar atas dimana Caliana membuatkan kamar bayi untuknya dengan barang-barang dan perabot yang diambil dari kediaman Ilker dan Syahinaz.

Nyonya Caliana menoleh ke lantai atas dan terlihat cemas akan kondisi cucunya. Wanita itu meletakkan Al-Qur'an yang sedang dibacanya dan bangkit dari duduknya. Dengan langkah yang cepat, secepat yang bisa tubuhnya lakukan, wanita itu menaiki tangga menuju kamar sang cucu.

Ajeng memperhatikan hal itu dalam diam. Dahinya sendiri mengernyit karena penasaran. Ada apa dengan Ilsya? Kenapa bayi itu menangis tak berhenti? Apakah bayi itu kesakitan atau ia lapar dan tak sabar karena suster belum memberikannya susu?

Belum sempat pertanyaannya terjawab, pundak kanan Ajeng ditepuk dari belakang. Dengan terkejut, ia menoleh dan melihat siapa orang yang sudah menepuknya. Ternyata, itu adalah salah satu asisten rumah tangga Nyonya Caliana.

"Kenapa, Bu?" Tanya Ajeng bingung.

"Oma nyuruh Non Ajeng ke atas." Bisik wanita berusia empat puluh tahunan itu. "Ke kamarnya Non Ilsya." Lanjutnya saat Ajeng malah mengerutkan dahi karena bingung.

"Ada yang perlu saya bawa?" Tanya Ajeng, menduga kalau Nyonya Caliana memerlukan sesuatu seperti susu atau dot bayi.

Asisten rumah tangga itu menggelengkan kepala. "Kebutuhan Non Ilsya udah lengkap di atas, Non. Non Ajeng cuma disuruh naik aja." Ucap asisten itu lagi. Tanpa banyak bertanya lagi, Ajeng lantas bangkit dari duduknya dan dengan setengah membungkuk berjalan melewati orang-orang untuk menuju tangga.

Di depan kamar Ilsya, dimana suara tangis Ilsya masih belum mereda, Ajeng mengetuk pintu dengan pelan. Pintu terbuka dan suster yang dipercaya untuk mengasuh Ilsya membukakan pintu. Wajah wanita itu tampak memucat karena panik dan Nyonya Caliana tampak sedang mengayun Ilsya seraya berusaha menenangkannya. Bayi kecil itu tampak meronta dalam gendongan neneknya. Wajahnya merah dan mulutnya terbuka, meneriakkan protes yang entah untuk apa.

"Ada apa, Oma? Oma manggil Ajeng?" Tanya Ajeng bingung. Nyonya Caliana mengangguk dan melambaikan tangan dengan hati-hati, takut bayi Ilsya yang ada dalam gendongannya terjatuh, meminta Ajeng untuk mendekat.

"Tolong Oma, Jeng. Ilsya gak mau diem, dia nangis terus. Tapi suster yakin dia gak kenapa-kenapa." Ucap Nyonya Caliana dengan panik. Wanita itu tanpa diduga menyerahkan Ilsya kepada Ajeng dengan sangat hati-hati.

Kenapa Nyonya Caliana menyerahkan Ilsya padanya? Kenapa bukan memberikannya pada suster yang menjaganya? Namun Ajeng tak banyak bicara, ia menerima bayi Ilsya begitu saja dan memposisikan bayi itu supaya nyaman dalam pelukan lengannya.

"Tadi siang kamu bisa nenangin dia. Oma harap sekarang kamu juga bisa nenangin dia." Ucap Nyonya Caliana seraya menatap Ajeng penuh harap.

Ajeng melirik bayi Ilsya, namun bayi kecil itu masih merengek di pelukannya. Ia melirik botol susu yang ada di atas nakas, botol susu yang masih hangat yang tadi coba diberikan oleh suster dan juga Nyonya Caliana secara bergantian namun Ilsya tolak.

Berpikir untuk mencoba sekali lagi, Ajeng meraih botol susu itu dan dengan hati-hati memasukkannya ke mulut Ilsya. Anehnya, Ilsya menerimanya dengan mudah dan mengisap susu yang ada di dalamnya dengan lapar. Hal itu sontak membuat Nyonya Caliana dan sang suster saling bertatapan karena bingung.

"Sepertinya, nona Ilsya menyukai bau mba Ajeng." Ucap sang suster secara tiba-tiba.

Ajeng mengangkat kepalanya dan memandang wanita itu dengan dahi berkerut dalam. Wanita itu tersenyum.

"Sulit untuk dijelaskan secara logis ataupun medis. Namun memang banyak bayi yang memilih 'bau'. Mereka nyaman dengan 'bau' dari orang tertentu.

"Kebanyakan anak sangat menempel pada 'bau' sang ibu. Tak jarang juga pada 'bau' ayah. Dan beberapa 'bau' orang yang dirasanya nyaman.

"Tahu kan, Mba. Bayi-bayi yang enggan bersama orang lain selain ibunya sendiri. Sehingga mereka akan menempel dalam pelukan sang ibu terus menerus dan enggan berjauhan. Sedikit saja dilepas, bayi itu akan menangis meronta ingin kembali ke pelukan sang ibu, sehingga ibunya tak bisa melakukan apa-apa.

"Dalam hal ini, mungkin nona Ilsya menyukai 'bau' mba Ajeng. Makanya dia lebih nyaman berada dalam pelukannya mba Ajeng daripada pelukan saya atau pelukan Nyonya." Ucap suster itu kepada Nyonya Caliana.

"Tapi ini gak masuk akal, Sus. Saya kan bukan siapa-siapa nya Ilsya." Jawab Ajeng tanpa bisa ditahan.

Suster itu tersenyum. "Tidak harus menjadi 'siapa-siapa'nya untuk membuat bayi nyaman, Mba.

"Bayi, balita, anak-anak, mereka itu adalah jiwa-jiwa sensitif dan perasa. Mereka tahu siapa yang bisa membuat mereka aman dan nyaman. Mereka bisa merasakan ketulusan. Seperti mereka bisa merasakan rasa panik, ketakutan dan bahkan amarah seseorang." Jawabnya lagi masih dengan senyum di wajahnya.

Tatapan wanita itu kembali terarah pada Nyonya Caliana yang tengah memperhatikan cucu barunya yang sudah menghabiskan tiga perempat isi botol dan kini tengah menutup mata karena kantuk. Wajah wanita yang tampak lelah itu menunjukkan senyum lembut sekaligus sedih. Entah bagaimana, hal itu juga membuat Ajeng sedih.

"Bantu Oma jagain Ilsya dulu ya, Jeng." Ucap Nyonya Caliana yang mau tak mau Ajeng angguki. Tak lama setelahnya, wanita itu keluar dari kamar Ilsya diikuti oleh suster yang juga meninggalkan Ilsya dan Ajeng berdua di kamar seraya tersenyum.

Setelah pintu kamar ditutup dan melihat Ilsya yang sudah terlelap, Ajeng dengan perlahan membaringkan tubuh bayi itu ke atas tempat tidur berukuran queen yang ada disana, mengabaikan box bayi yang ada di salah satu dinding. Tangan kirinya mengusap kepala bayi yang terbungkus selimut sementara tangan kanannya masih memegang botol bayi yang masih dihisap oleh Ilsya. Bibir Ajeng kembali menyenandungkan dzikir dengan lirih sampai tanpa sadar ia pun turut terlelap bersama dengan Ilsya.

Tanpa ia tahu, diluar kamar bayi kecil itu, Nyonya Caliana tengah berbincang dengan Rianna dan meminta tolong Rianna untuk membujuk Ajeng supaya bersedia menjadi pengasuh Ilsya.

Sementara di tempat lain

Api unggun menyala di tengah gelapnya malam dan udara dingin. Suara air sungai, hewan-hewan malam dan keretak kayu yang terbakar menjadi musik penggiring malam itu. Seorang pria bertubuh tinggi besar dengan rambut agak panjang dikuncir memandang cahaya berwarna oranye kemerahan itu dengan pikiran kosong.

"Sampai kapan loe kayak gini, Bang?" Serkan memandang sepupunya yang sejak awal kedatangannya sama sekali tak menggubris kehadirannya. Pria itu duduk di di atas kursi lipat di sisi lain api unggun dan menatap wajah sepupunya dengan tajam. "Sampai kapan loe mau begini? Ngerusak diri loe sendiri. Nyakitin perasaan orang-orang yang sayang sama loe."

"Loe gak tahu perasaan gue." Jawab Ilker dengan nada rendah dan dingin.

"Gue emang gak tahu perasaan loe. Tapi gue tahu perasaan keluarga kita karena gue ngerasain hal yang sama." Jawab Serkan lagi. Serkan memang lebih tua jika dibandingkan dengan Ilker. Namun menurut hierarki dalam keluarga, Ilker tetap merupakan kakak sepupunya. Putra dari kakak sepupu ibunya. "Kita kehilangan loe, Bang.

"Gue tahu loe sedih dan merasa kehilangan. Gue gak akan tahu rasanya jadi loe. Tapi, Bang. Loe gak bisa bersedih selamanya. Syahinaz udah gak ada, Allah menakdirkan usianya sampai disini aja. Loe gak bisa membuat takdir itu berubah.

"Bersedih ada masanya, tapi gak boleh selamanya. Inget sama keluarga loe yang masih hidup. Inget sama Aunty Ana, Uncle Adskhan yang mikirin loe. Loe pikir mereka gak sedih lihat loe begini?

"Inget juga sama Ilsya Bang. Dia anak loe. Buah cinta loe sama Syahinaz. Jangan loe nyalahin dia atas kepergian Syahinaz."

"Gue gak nyalahin dia." Jawab Ilker datar.

"Kalo loe gak nyalahin dia, kenapa loe sembunyi dari dia kayak gini? Kenapa loe gak di sampingnya dia dan jaga dia seperti seharusnya yang seorang bapak lakukan pada seorang anak?" Tanya Serkan dengan nada menuduh.

"Gue butuh waktu, Kan!" Ucap Ilker dengan dingin. Pria itu berdiri dan menatap Serkan dengan tajam. "Gue gak nyalahin dia atas perginya Syahinaz. Tapi dia.. bayi itu.. bikin gue semakin inget sama kesakitan yang selama ini Syahinaz rasa.

"Gue gak benci dia. Tapi ngelihat dia, gue makin tersiksa.

"Demi mempertahankan dia. Gue kehilangan Syahinaz, cinta dalam hidup gue. Kekasih gue. Hidup gue.

"Karena dia, disini," tunjuknya pada dada kirinya. "gue ngerasa sakit dan kosong di saat bersamaan." Ucap Ilker dengan lirih. Pria itu kembali terduduk di atas kursi lipatnya dan menutup wajah dengan kedua tangannya lalu menangis terisak.

"Bang..." Sebuah suara yang sudah Ilker kenal terdengar di kesunyian malam itu. Ilker mengangkat kepala dan melihat layar ponsel yang ada di tangan Serkan menyala. "Papa tahu Abang merasa sedih dan kehilangan saat ini. Papa tahu meskipun Papa gak bisa merasakan itu.

"Papa tahu Abang butuh waktu untuk menyembuhkan rasa sakit kehilangan Syahinaz. Tapi tolong dengarkan Papa, nak.

"Kembalilah. Tidak perlu sekarang. Tapi juga jangan pergi dalam waktu yang lama.

"Kasihani ibumu. Dia sangat sedih karena kamu pergi. Kalau Abang sayang sama Mama, kembalilah.

"Ingat juga Ilsya. Dia butuh ayahnya. Dia butuh kehadiran, perhatian dan kasih sayang dari ayahnya. Jangan sampai kamu mengulangi kisah yang sama seperti yang Papa lakukan pada kakakmu dulu.

"Jangan sampai Ilsya merasakan apa yang kakakmu dulu rasakan. Sebanyak apapun kasih sayang yang bisa Mama, Papa dan kakak serta adik-adik kamu beri ke Ilsya, tetap gak akan cukup untuk dia karena yang dia butuh adalah cinta ayahnya.

"Jangan sampai kamu mengalami apa yang Papa rasakan, Bang.

"Karena sampai saat ini, hal yang Papa sesali sepanjang hidup Papa adalah tidak berada di sisi kakakmu ketika dia membutuhkan Papa. Jangan sampai mengulangi sejarah yang sama, Bang. Waktu itu tak akan bisa diulang."

Ilker semakin tertunduk lesu. Mendengar ucapan ayahnya mau tak mau hatinya tercubit juga.

Sedikit kesadaran menyadarkannya kalau ia juga tidak ingin masa lalu terulang lagi, ia tidak ingin putrinya mengalami hal yang sama seperti yang kakaknya alami dulu. Tapi mau bagaimana? Rasa sakit akibat kehilangan itu masih saja menyerangnya. Menghantui setiap malamnya.

Kenangan indahnya berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan. Dan setelah semua itu, dia menjadikan putrinyaā€”putri yang dulu diidamkannya. Putri yang seharusnya dicintainyaā€”sebagai pelampiasannya.

"Apa yang terjadi pada Syahinaz, itu adalah takdir. Abang paham mengenai itu, kan?" Suara sang ayah kembali terdengar. "Pergilah, sembuhkan hati Abang sampai menurut Abang cukup. Papa dan Mama akan menjaga Ilsya untuk Abang. Tapi tidak untuk selamanya.

"Ilsya adalah tanggung jawab Abang. Bukan hanya di dunia saja, tapi juga di akhirat kelak. Dan kami juga sudah tidak muda lagi. Entah kapan Allah akan memanggil kami dan menyusul Syahinaz nanti. Tapi sebelum itu terjadi, Papa harap Abang sudah kembali dan menjaga Ilsya seperti yang seharusnya Abang lakukan."

"Kembalilah, Bang. Kembali pada keluargamu. Kembali pada putrimu. Ilsya menunggumu. Ilsya membutuhkanmu. Kembalilah sebelum semuanya terlambat." Dan rekaman itu pun berakhir diiringi isakan Ilker yang lirih dan terdengar menyakitkan di telinga sepupunya sendiri.

~Belum Tamat~

Tinggalkan jejak kalau kalian baca šŸ‘‹šŸ‘‹

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status