Keesokan paginya, Ajeng mendatangi Nyonya Caliana tepat sebelum sarapan. Dengan jantung berdebar, Ajeng menghadap wanita paruh baya itu. Seolah mengerti hanya dengan melihat gerak-gerik Ajeng, wanita itu lantas tersenyum dan berkata. "Sudah mendapat keputusan?" Tanyanya dengan nada lembut. Dengan ekspresi yakin, Ajeng menganggukkan kepala. “Jadi, apa jawabannya?” Tanyanya tanpa melepas pandangan dari Ajeng. “Ajeng mau bantu, Oma. Tapi…” “Tapi?” “Tapi Ajeng gak janji kalau Ajeng bisa mendekatkan mereka dalam waktu dekat.” Jawaban Ajeng dihadiahi senyuman Oma Ana. Tangan wanita itu terulur dan begitu saja memegang tangan Ajeng. “Terima kasih, Ajeng. Oma sungguh-sungguh berterima kasih.” ucapnya dengan senyum tulusnya. “Kalau Ajeng gak berhasil, apa Oma akan marah?” Tanyanya tanpa ragu. Oma Ana terkekeh lantas menggelengkan kepala. “Oma minta bantuan kamu, tapi harapan Oma sepenuhnya Oma berikan kepada Allah. Karena Dia yang Maha Membolak-balik Hati.” ucap wanita itu lagi
Ia mendongak, memberanikan diri memandang Opa Adskhan sebelum mengalihkan pandangannya pada Oma Ana dan menganggukkan kepala tanpa ragu. "Bagus." Ucap Opa Adskhan lagi. "Karena setelah ini, apapun yang terjadi di rumah ini. Apapun yang kamu lihat dan dengar, itu tidak boleh sampai keluar. Kamu mengerti?" ucap Opa Adskhan lagi yag kembali dijawab anggukkan Ajeng. Ada jeda saat Oma Ana kembali berdiri dan melangkah menuju meja. Mengeluarkan sesuatu dari dalam laci dan duduk kembali di tempatnya semula. “Oma bukannya gak percaya sama kamu, Jeng. Tapi ini hanya untuk antisipasi akan apa yang terjadi di masa depan nanti.” Ucapnya seraya meletakkan dua buah amplop dengan warna berbeda di hadapannya, satu berwarna putih dan satu lagi berwarna coklat muda. Ajeng memandang amplop tersebut dan Oma Ana bergantian. Kedua amplop itu memiliki logo Coskun Company di sudut kanan atasnya yang Ajeng yakini dan bersifat rahasia namun dengan warna amplop yang berbeda. "Bukalah amplop yang berwarna
Ajeng kembali membalikan tubuh dan berjalan di dalam kamarnya. Mengabaikan sebuah televisi layar lebar yang tentunya menyilaukan mata dan berjalan menuju tempat tidur dimana ia meletakkan amplop yang diberikan Oma Ana padanya. Dibawanya amplop itu ke meja belajarnya yang sudah ditenggeri sebuah layar persegi dengan logo apel tergigit di atasnya. Ia ingin tahu tentang rahasia mengenai Ilker yang tadi dikatakan oleh Oma Ana. Ternyata, saat ia mengeluarkan dokumen-dokumen itu, sebuah flashdisk berwarna putih ikut terjatuh. Ajeng menyalakan layar persegi itu, meletakkan dokumen dan memilih untuk melihat isi flashdisk terlebih dahulu. Drive nya terbagi menjadi beberapa folder. Folder pertama berjudul "Ilker – 22", folder kedua berjudul "Ilker dan Syahinaz" dan folder ketiga berjudul "Setelah Syahinaz". Mouse-nya bergerak dan langsung mengarah pada folder "Ilker-22". Di dalam folder itu, terdapat kumpulan foto-foto dan beberapa video yang kemudian Ajeng sortir berdasarkan tanggal
Ajeng mendongakkan kepala. Memandang gedung Kralligimiz yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan untuk menghilangkan rasa gugup yang menderanya begitu saja. Ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan besar itu. Dan Ajeng sejujurnya tidak terlalu percaya diri. Bukan tidak percaya diri karena dia tidak mampu bekerja keras. Oh dia sangat yakin akan hal itu. Namun ia tidak percaya diri akan tugas lain, tujuan lain, yang membawanya sampai sejauh ini. Pertanyaan-pertanyaan pesimis muncul di benaknya. Bagaimana jika prediksi Oma Ana salah dan Ilker tidak pernah mau kembali ke Kralligimiz? Bukankah ada terlalu banyak kenangan antara Ilker, Syahinaz dan Kralligimiz? Syahinaz memang bukan artis Kralligimiz. Namun dulu, sebelum akhirnya Ilker mengajak Syahinaz menikah, Ilker sempat mengejar Syahinaz untuk menjadikan mendiang istrinya itu sebagai artis. Menurut cerita yang ia dengar dari Oma Ana. Syahinaz memiliki suara yang sangat me
Hari Rabu. Sesuai dengan perjanjian yang sudah Ajeng dan Oma Ana sepakati. Ajeng masih menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mengurus penthouse Ilker. Semalam, saat hendak tidur, Ajeng diberhentikan oleh Oma Ana, dan beliau mengatakan kepada Ajeng untuk mengatakan kepada Ilker kalau Ajeng bekerja di Kralligimiz semisal nanti Ilker bertanya pada Ajeng. Ajeng tidak tahu kenapa ia harus berkata demikian, seolah Ilker juga akan penasaran dengan pekerjaan Ajeng. Ya, sekalipun Oma Ana sekarang menempatkan Ajeng di Kralligimiz dengan perkiraan Ilker akan kembali bekerja dan dirinya akan menjadi jembatan penghubung antara Ilsya dan Ilker, ia tidak pernah berpikir kalau Ilker akan kepo dengan urusannya. Oma Ana juga kembali mengatakan kepada Ajeng supaya Ajeng tidak membersihkan penthouse Ilker sendirian dan cukup menjadi pengawas saja, namun Ajeng kembali menolak karena menurutnya bekerja membersihkan kediaman Ilker sudah menjadi salah satu kebiasaannya dan ia juga mengatakan kalau i
"Kapan kamu akan membersihkan tempat ini lagi?" Ajeng memaku di tempatnya, memandang Ilker dengan tatapan bingung. "Sabtu?" Ia bertanya dengan ragu. Jadwalnya untuk membersihkan penthouse Ilker memang pada hari Sabtu, namun ia tidak yakin apakah ia akan datang pagi atau sore hari karena akhir pekan dia ada jadwal kuliah dan juga Ilsya libur sekolah sehingga biasanya pada pagi hari Ajeng akan menemaninya bermain. "Ada yang Anda perlukan?" Tanya Ajeng ingin tahu. Mungkin Ilker menanyakan itu karena pria itu butuh bantuannya. "Anda bisa meminta bantuan saya kapanpun, Sir. Tidak perlu menunggu saya datang hari Sabtu nanti." Ucapnya lagi memberitahu. Suka atau tidak, sudah tugasnya untuk melayani Ilker karena memang dia ada disana untuk itu, meskipun sampai saat ini Ilker mungkin belum tahu itu. Ajeng masih memandang Ilker, menunggu jawaban. Sementara pria itu terdiam di tempatnya dan terlihat bingung sendiri. "Kalau memang Anda perlu sesuatu, nomor kantor ada di meja kerja. Disana A
Beberapa saat sebelum Ajeng tiba Ilker melangkah keluar kamar saat mendengar suara bel penthousenya. Yakin kalau orang yang datang itu Ajeng, Ilker membuka pintu tanpa mengecek siapa tamu yang datang. Dahinya langsung mengernyit saat melihat sosok wanita muda tak dikenalnya berdiri dan tersenyum manis ke arahnya. "Maaf, siapa?" Tanya Ilker pada sosok gadis yang masih tersenyum di hadapannya itu. Mata gadis itu terbelalak, memandang Ilker tak percaya sebelum berdecak kesal. "Kau tidak mengenaliku?" Tanyanya pada Ilker sambil mencebik seolah kesal. Ilker masih mencoba mengingat. Dalam pikirannya, mungkin sosok yang ada di depannya itu adalah sosok yang pernah dia kenal di masa lalu. Dia mencoba menggali dalam ingatannya namun tak juga menemukan siapa sosok tersebut. "Ini aku, Ayeleen!" Ucap gadis itu dengan nada sedikit tinggi dan terlihat kesal. "Aku, adik mendiang kak Syahinaz." Lanjutnya lagi saat Ilker masih tampak kebingungan. Deg! Jantung Ilker mendadak berdenyut nyeri. Nam
Suara itu, lembut, lirih dan manja. Masuk ke telinga Ilker, mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhnya begitu saja sehingga entah bagaimana jantung Ilker terasa berpacu semakin cepat dan matanya tiba-tiba memanas seketika. Ilker mengalihkan tatapannya. Mencoba menyembunyikan rasa haru dan bersalah yang tiba-tiba ia rasakan begitu saja. Dulu, saat ia meninggalkannya, sosok bocah itu masih berupa bayi merah nan kecil. Kepalanya bahkan tak lebih besar dari telapak tangan Ilker dan yang bisa dilakukan bocah itu hanya berteriak kencang dan menangis. Bahkan sangat jelas sekali kenangan di kepala Ilker saat ia mendengar tangisan samar bayi itu saat ia meninggalkannya tanpa perasaan lima tahun yang lalu. "Maaf, Sir. Saya harus bawa Ilsya ke kamar mandi." Ucap Ajeng meminta ijin seraya membawa Ilsya masuk dengan cepat ke dalam penthouse, melewati Ilker yang masih berdiri di tempatnya begitu saja. Ilker memaku sejenak kala mencium aroma wangi khas anak-anak bercampur samar parfum Ajeng s