Share

2. Terpisah Oleh Keadaan

“Sebaiknya kita enggak terlalu sering keluar berdua lagi,” kata Mas Candra dengan wajah muram pada suatu hari.

“Kenapa, Mas?” Dahiku mengerut pertanda tak rela. Baru saja aku merasakan ketenteraman berdekatan dengannya, tiba-tiba semua harus dihentikan. Aku tak rela jika kedekatan kami dibatasi begitu saja. Aku tak mau ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.

“Istriku tahu soal kita.” Kabar itu bagaikan petir menyambar di siang bolong bagiku. Hal yang sebetulnya cepat atau lambat memang pasti terjadi. Tak mungkin hubunganku dengan Mas Candra akan tersimpan rapat selamanya. Meskipun sudah menyadari hal itu sejak dulu, tetap saja rasa hatiku teramat sakit mendengarnya.

Sedari awal aku juga sudah tahu bahwa Mas Candra memiliki istri dan anaknya sudah dua. Namun,  entahlah. Sepertinya kenyataan itu bukan merupakan halangan bagiku untuk mendapatkan kasih sayang Mas Candra. Apalagi kami berdua sama-sama suka. Pikiranku seperti tertutup kabut setiap kali bersama Mas Candra. Saat bersamanya, bagiku dia hanya milikku seorang.

“Tapi aku enggak mau berpisah denganmu, Mas.” Aku merengek saat itu. Aku betul-betul merasa sedih, hingga tanpa terasa tetes air di sudut mata jatuh begitu saja. Aku tidak sedang bersandiwara. Air mataku bukanlah air mata palsu.

Aku rasa Mas Candra pun merasakan ketulusan hatiku. Terbukti dari caranya memandang penuh sesal tepat di manik mataku. Kemudian sebelah tangannya terangkat pelan, lalu jemarinya mengusap air yang membasahi pipi halusku.

“Jangan sedih. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku hanya ingin kita tidak terlalu sering bertemu, agar istriku merasa tenang dan tidak lagi mengajakku bertengkar. Setelah keadaan lebih aman, kita bisa kembali sering bertemu,” janji Mas Candra saat itu.

Aku mengangguk dengan terpaksa. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti keinginannya. Apalagi statusku yang hanya menjadi kekasih gelapnya. Posisiku amat lemah dan tidak memiliki hak apa-apa di mata masyarakat maupun agama. Saat itulah aku terpikir untuk mendapatkan status yang lebih kuat sebagai pasangan Mas Candra. Aku belum tahu caranya, tapi tekadku sudah bulat.

Aku semakin sering memberi perhatian diam-diam kepada Mas Candra selama di kantor. Aku tak berani lagi menghubunginya melalui telepon. Mas Candra melarangku meneleponnya dengan alasan hal itu terlalu riskan. Lebih baik kami berkomunikasi secara langsung saja. Makanya, satu-satunya kesempatanku berdekatan dan menikmati kebersamaan dengan Mas Candra hanya di kantor.

Selain semakin serius memerhatikan keadaannya, aku juga sering membuatkan penganan kesukaan Mas Candra dan membawanya ke kantor. Mas Candra sangat senang dan selalu melahap habis masakanku dan tak lupa ia selalu memuji.

“Masakanmu enak, May. Aku suka,” puji Mas Candra setiap kali usai menyantap makanan yang kubuat khusus untuknya. Aku tersenyum bangga dan bahagia mendengarkan pujiannya. Tak aku pedulikan bisik-bisik rekan kerja yang lain saat menonton kemesraan antara diriku dengan Mas Candra. Aku tak peduli dengan gosip di antara para lelaki. Toh, selemas apa pun mulut lelaki masih lebih lemas mulut perempuan. Untungnya seluruh isi kantor hanya manusia berjenis kaum Adam. Jadi aku merasa aman dari pergunjingan yang menyudutkan diriku.

Usaha-usaha yang kulakukan itu bertujuan agar Mas Candra tak bisa melupakanku. Aku tak mau dia menjauh sedikit demi sedikit lantaran istrinya semakin ketat mencengkeram kebebasannya. Apabila di rumah ia merasakan api, maka aku akan membuatnya merasa sejuk dengan perhatianku.

Akan tetapi, semua usahaku itu tak berjalan mulus meskipun sangat sempurna. Bukan lantaran Indira, istri Mas Candra lebih pintar dariku dalam mengambil hati suami. Bukan itu. Namun, keadaan di luar kuasa manusia yang memisahkan aku dari Mas Candra.

Tiba-tiba saja Pak Brontowijaya mengumpulkan kami semua karyawannya, tepat dua bulan setelah hubungan gelapku dengan Mas Candra diketahui oleh Indira. Perasaanku tak enak ketika melihat raut wajah Pak Brontowijaya saat itu. Belum pernah aku melihat wajah Pak Bronto semuram itu selama aku bekerja di kantornya.

“Saya punya kabar yang kurang menggembirakan buat kita semua.” Suara serak Pak Brontowijaya terdengar semakin serak saat berbicara kala itu.

“Kantor ini harus ditutup. Saya tidak punya pilihan selain menutup usaha ini.” Pak Brontowijaya menatap nanar ke arah depan, kosong dan seperti orang yang sedang melamun.

Suara riuh rendah keterkejutan datang dari belakang dan samping kiri dan kananku. Aku sendiri terlalu terkejut mendengar kabar itu, sehingga hanya bisa ternganga seraya menatap wajah Pak Brontowijaya yang sudah mengeriput hampir di semua tempat di wajahnya.

“Ada apa, Pak? Mengapa mendadak?” tanya Mas Rizal, salah seorang pembuat program yang paling tua. Umurnya kurang lebih dua puluh enam tahun.

“Usaha saya dituduh melakukan kolusi. Kamu masih ingat kan, tahun lalu kita menggarap proyek pemerintah? Nah, sekarang proyek itu diusut lagi oleh Ombudsman dan nama usaha saya disangkutpautkan.”

Penjelasan Pak Brontowjaya membuatku lemas. Aku lirik teman-temanku sekantor, semua sama tertunduk dan terkulai. Tak terkecuali Mas Candra. Ia tampak menghela napas berat beberapa kali.

“Saya minta maaf harus menutup usaha ini. Semoga kalian mendapatkan tempat kerja yang lebih baik daripada di kantor ini. Apabila ada kesalahan saya yang disengaja maupun tidak disengaja, saya minta kalian mau memaafkannya,” pungkas Pak Brontowijaya.

Tak ada yang bergerak selepas kalimat terakhir dari Pak Bronto, sebutan kami buat bos kantor. Aku yakin teman-temanku semua sama syoknya dengan diriku, sehingga tak tahu harus berbuat dan berkata-kata untuk membalas ucapan Pak Bronto.

“Oya satu lagi. Kalian jangan khawatir dengan uang pesangon. Saya tetap akan memberi uang pesangon yang pantas sesuai dengan aturan dari menteri ketenagakerjaan,” tegas Pak Bronto.

Pak Bronto memang bos yang baik. Selama bekerja di kantor miliknya, hampir tak ada keluhan dari para karyawan. Kami semua betah bekerja kepadanya. Oleh karena itulah, kami merasa sangat terpukul dengan berita yang dibawa Pak Bronto barusan.

Seharusnya ucapan Pak Bronto membuat kami merasa lega. Hak-hak kami sebagai pegawai tetap akan dibayarkan. Namun, bagiku pribadi hal itu justru membuat kesedihan terasa semakin dalam. Di mana lagi akan kuperoleh pekerjaan dengan gaji dan bos yang sebaik tempat ini? Mungkin pikiran rekan-rekan kerjaku juga sama dengan isi kepalaku.

Bagiku sendiri, ada hal yang jauh lebih menyedihkan dan membuat depresi daripada menjadi pengangguran. Bersamaan dengan bubarnya kantor tempat kerja kami, tak ada lagi alasan bagiku untuk dapat bertemu dengan Mas Candra secara leluasa. Dulu saja sewaktu masih bekerja satu kantor Mas Candra tak mau kami bertemu di luar secara sembunyi-sembunyi, apalagi setelah kami tak sekantor lagi. Bahkan sejak hari terakhir kami masuk kerja dan melakukan perpisahan secara resmi dengan teman sejawat, Mas Candra semakin sulit aku hubungi. Apalagi untuk aku temui.

Suatu kali, telepon dariku diangkat oleh Mas Candra. Hatiku bersorak gembira. Sebelum ini, seluruh panggilanku diabaikannya dan tak pernah diterima olehnya. Aku berpikir, mungkin saat aku menelepon itu istri Mas Candra sedang berada di dekatnya.

“Apa kabar, Mas?” Suara riangku tak dapat aku sembunyikan. Hatiku betul-betul merasa gembira.

“Baik, May. Bagaimana kabarmu sendiri?” balas Mas Candra. Suara datarnya tak aku perhatikan dan tak aku hiraukan.

“Aku juga baik. Setelah tak bekerja di kantor Pak Bronto lagi, aku membuka usaha warung makan.” Tanpa diminta, aku mengabari perkembangan diriku kepada dirinya. Aku berharap, ia akan sama terbukanya dengan diriku.

“Warung makan? Oh, hebat kamu, May.” Mas Candra lalu diam. Aku heran dan bertanya-tanya di dalam hati. Apakah saat itu ia sedang di rumah dan ada istri yang menguping pembicaraan kami di dekatnya?

Sebetulnya aku sangat ingin bertanya, apa yang dikerjakan Mas Candra selepas tak bekerja lagi kepada Pak Bronto. Namun, pertanyaan itu hanya berhenti di dalam hati saja. Lidahku seketika kelu untuk bertanya, ketika Mas Candra secara mendadak mengubah pokok pembicaraan.

“Maaf, May. Aku pikir kita tidak usah berkomunikasi lagi.” Kalimat Mas Candra berikutnya membuat tenggorokanku serasa tersedak kacang atom.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status