Share

Tobat Terakhir Istri Kedua
Tobat Terakhir Istri Kedua
Author: Hawa Hajari

1. Bertemu Mantan

"Ma, tebak siapa yang jadi bos di perusahaan yang aku lamar barusan?" Aku menghampiri Mama yang baru pulang dari arisan di rumah tetangga.

"Siapa memangnya?" lirik Mama acuh tak acuh, sambil duduk di kursi dan mengipasi wajah yang berpeluh.

"Mas Candra, Ma!" sahutku dengan setengah menjerit girang. Sepasang mataku berbinar.

"Mas Candra? Mantan bosmu di kantor dulu? Yang kamu hampir nikah tapi enggak jadi itu?" Dahi Mama mengerut sambil melirik ke arahku.

"Iya, Ma. Mas Candra yang itu. Asyik, aku ketemu lagi dengannya. Dia tambah gagah, Ma!" kisahku penuh semangat.

"Kamu mau balikan lagi sama Mas Candra?" Mama menatapku serius.

***

Mas Candra dan aku bertemu pertama kali lima tahun yang lalu. Saat itu, aku menjadi karyawati di kantor milik Pak Brontowijaya, teman Mas Candra yang membuka usaha IT. Di kantor itu Mas Candra menjadi salah satu karyawannya yang tepercaya. Usaha jasa itu menyediakan layanan pembuatan program-program komputer bagi perusahaan dan instansi pemerintah. Kantor itu kecil saja, tapi tak pernah sepi pesanan. Oleh karena itulah, Pak Brontowijaya yang merupakan bosku dan teman Mas Candra sanggup mempekerjakan lima orang karyawan di kantor kecilnya. Empat orang tenaga pembuat program komputer, satu tenaga pemasaran yaitu Mas Candra, dan satu tenaga administrasi, yaitu aku.

Menjadi satu-satunya wanita di kantor yang dihuni lelaki, aku sudah pasti cantik sendiri. Aku sadar kehadiranku bagaikan udara segar bagi enam lelaki di kantor itu setiap hari. Mungkin diriku bagaikan bunga di dalam vas di atas meja. Hadir demi memperindah ruangan dan penyejuk pandangan. Tapi aku tak ambil pusing. Aku bukan pajangan. Aku bekerja secara profesional. Perkara diriku menjadi daya tarik bagi lawan jenis sudah merupakan hal yang biasa.

Di kantor itu, Mas Candra merupakan lelaki yang paling berwibawa dan berkarisma nomor dua setelah Pak Brontowijaya. Selain bentuk tubuhnya yang gagah, ia juga sangat pandai bicara dan mengambil hati lawan bicaranya. Cocoklah dengan pendidikannya yang dulu mengambil jurusan Komunikasi di salah satu universitas negeri ternama. Aku sangat mengagumi karakter dan kepribadiannya. Ia tipe lelaki pekerja keras, ulet, dan tidak mudah menyerah.

Empat lelaki lain yang menjadi pembuat program tidak terlalu menarik perhatianku. Mereka semua kalah pamor dibandingkan Mas Candra. Badan mereka, kalau tidak berbadan ceking ya berbadan kurus kurang gizi. Mereka juga kebanyakan tidak banyak bicara, pemalu, dan cuek. Jadilah aku dan mereka tidak akrab. Pembicaraan yang terjadi antara aku dan para pembuat program itu sebatas urusan pekerjaan dan basa basi seperlunya saja.

Seperti kebanyakan kantor, ada saja momentum para karyawan harus lembur. Begitu pula dengan kantor milik Mas Candra dulu. Sesekali ada saja proyek yang dikejar tenggat, sehingga para pembuat program harus bekerja lembur hingga malam turun. Sebagai karyawati yang menyiapkan berkas-berkas, tentu saja aku turut lembur. Mas Candra sebagai teman pemilik kantor kerap diminta menemani para karyawan yang lain saat lembur, semacam penyelia begitulah. Dia mengawasi kerja karyawan sekaligus memastikan perut para karyawannya tidak telantar. Akulah yang sering diminta memesan makan malam buat rekanku yang menjadi pembuat program.

Dari lembur ke lembur itulah kedekatan kami terjalin. Sementara para pembuat program sibuk bekerja, aku yang hanya tenaga administrasi tidak banyak pekerjaan dan banyak menganggur. Kewajibanku hanya menemani teman-temanku yang bekerja, sambil sesekali menyiapkan keperluan mereka. Mas Candra sendiri tentu juga tak mengerjakan program. Ia hanya duduk menemani para karyawan. Lantaran sama-sama tidak sibuk, kami sering mengobrol berdua.

“Kamu enggak apa-apa sering pulang malam, May?” Mas Candra bertanya pada saat aku ikut lembur untuk pertama kali.

“Enggak apa-apa, Pak. Ini sudah kewajiban saya sebagai karyawan.” Aku tersenyum meyakinkan.

“Maksud saya, apakah pacarmu atau suamimu enggak keberatan?” ulik Mas Candra.

“Saya sudah cerai, Pak. Pacar baru juga belum ada.” Aku menyahut pelan sambil menunduk. Entahlah mengapa aku mengatakan kenyataan tentang diriku dengan selugas itu kepada Mas Candra waktu itu. Mungkin di lubuk hatiku yang terdalam, aku memang ingin dia tahu bahwa aku masih bebas dan sama sekali tidak terikat dengan lelaki mana pun.

“Saya enggak menyangka. Padahal umurmu masih dua puluhan, kan? Masih muda padahal.” Mas Candra menatapku dengan pandangan terkejut yang tidak disembunyikan.

“Nasib saya, Pak. Saya menikah muda dan gagal. Hanya setahun saya menjadi istri orang,” kataku getir.

“Mantanmu rugi. Wanita secantik kamu dilepaskan.” Tak pelak, komentar Mas Candra itu membuat perasaanku melambung.

“Yah, sebetulnya mantan saya itu aktor sinetron, Pak. Jadi pasti banyak wanita di sekitarnya yang lebih cantik daripada saya.” Aku menjelaskan.

“Menurut saya, kamu enggak kalah cantik dengan aktris-aktris sinetron yang ada di televisi.”

Ah! Lagi-lagi Mas Candra membuat dada ini kembang kempis lantaran merasa senang. Semoga saja ia tak melihat betapa terbawa perasaan aku akan penghiburannya itu.

Ketukan di pintu menghentikan obrolan kami. Aku bangkit dan membukakan pintu. Seorang penjual mi ayam dengan nampan besar berisi mangkuk-mangkuk yang mengepulkan uap panas berdiri di hadapanku. Ternyata pesanan makan malam pengganjal perut acara lembur malam ini sudah datang.

“Enam mangkuk mi ayam kan, Neng?” sapa bapak penjual mi ayam yang rambutnya sudah putih semua itu seraya tersenyum lebar ke arahku.

“Betul, Pak. Sebentar saya ambilkan uang pembayarannya.” Aku meraih nampan yang disodorkan oleh si bapak dan meletakkannya di meja yang kosong. Aku kembali berjalan menyerahkan uang pembayaran mi, sementara di belakangku rekan-rekan kerjaku sudah merubung meja tempat mangkuk-mangkuk mi ayam diletakkan dengan suara-suara menyatakan rasa senang.

Sejak mengetahui statusku yang janda tak punya pacar, Mas Candra lebih berani mengobrol akrab denganku. Aku sangat senang sebab memang aku suka kepadanya. Lama kelamaan, seiring pertemuan setiap hari dan obrolan yang semakin sering, rasa suka dan kagumku berubah menjadi rasa cinta.

Semakin lama hubungan kami semakin dekat saja. Mas Candra beberapa kali mengajakku makan di luar seusai jam kerja. Biasanya kami hanya makan bakso di warung langganan yang terletak tak jauh dari kantor. Namun sayang, ketika aku mulai merasa nyaman justru hubungan kami mulai terendus oleh Indira, istri Mas Candra.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status