“Kenapa?” tanyaku dengan suara tercekat. Seketika dadaku terasa sesak. Kelopak mataku mengerjap seiring dengan memanasnya area di permukaan pupil. Tanpa dapat kucegah, air membasahi bulu-bulu mata.
“Aku sedang pusing memikirkan ekonomi rumah tanggaku. Aku masih belum punya penghasilan lagi sejak kantor Pak Bronto tutup. Ada istri dan anak yang harus aku nafkahi,” jelas Mas Candra panjang lebar.
Aku terdiam. Semua kalimatnya masuk di akal. Aku hanya tak rela ia pergi dariku begitu cepat. Baru saja merasakan kebahagiaan selama enam bulan terakhir, sekarang aku harus merasa kesepian lagi. Tanpa dapat aku cegah, aliran air telah menganak sungai di pipi.
“Aku yakin masih banyak lelaki yang lebih baik dariku buatmu. Selamat tinggal, Maya.”
Kalimat perpisahan dari Mas Candra semakin membuat deras tumpahan air mataku. Tak sanggup aku menjawab ucapannya. Ada yang memberontak di relung dada, tapi tak sanggup aku utarakan. Sepenuh rasa kecewa, aku putuskan sambungan telepon. Aku menangis sejadi-jadinya di atas bantal selama dua jam setelahnya.
Aku tak doyan makan selama seminggu. Rasa lapar menguap begitu saja dari perutku. Bahkan warung makan yang baru kurintis harus tutup sementara karena aku tak sanggup mengurusnya lagi. Pekerjaanku seharian hanya melamun dan berbaring di atas kasur.
“May ... makan sedikit, ya.” Mama menghampiriku yang masih terbaring lesu di atas ranjang.
Aku melirik wanita yang telah melahirkanku dari sudut mata. Pandanganku terhalang oleh beberapa helai rambut yang menjuntai melintasi wajahku. Ah, baru aku ingat bahwa sudah beberapa hari aku tidak menyisir rambut. Entah bagaimana rupaku saat ini bila berhadapan dengan cermin.
“Enggak ada nafsu makan, Ma,” kilahku dengan rasa malas makan yang masih belum mau pergi.
“Mama suapi, ya.” Mama membujuk seperti aku masih kecil. Mama juga duduk di tepi ranjang dengan mangkuk bubur berada di dalam genggamannya. Merasa tak enak dengan situasi ini, aku memaksakan diri untuk duduk.
Aku menadahkan tangan untuk meminta mangkuk kepada Mama. Aku malu. Sudah menjanda tapi tingkahku tak ubahnya anak remaja putus cinta pertama. Aku merasa keterlaluan, meskipun tak bisa kupungkiri bahwa perasaanku saat ini memang seperti pada saat jatuh cinta untuk pertama kali.
“Pikirkan kesehatan dan masa depanmu,” ujar Mama sambil mengamati aku makan pelan-pelan. Aku tak menjawab, hanya lirikan mata yang kuberikan sebagai tanggapan. Aku melihat Mama juga tak mengharapkan jawabanku. Aku tahu Mama hanya memberi nasihat dan tak menuntut kepatuhan.
Sedikit demi sedikit, keadaanku mulai pulih. Aku kembali mengurus warung makan yang baru aku buka. Aku bekerja keras siang dan malam. Bukan lantaran aku mengejar materi saja, tapi kesibukan membuatku lebih mudah untuk melupakan Mas Candra.
Usahaku berkembang maju. Aku bahkan mulai menerima pesanan katering. Sampai di tahun kedua usaha kuliner itu berjalan, aku kena tipu. Pembeli yang memesan seribu kotak katering tak melunasi pembayaran. Usaha kecil yang kurintis pun kolaps. Modal tak kembali membuat aku kesulitan untuk kembali membeli bahan mentah sebagai modal.
“Aku mau cari kerja lagi saja, Ma. Kalau jadi pegawai, risiko rugi bukan tanggung jawabku.” Aku mengutarakan niat setelah tiga hari warungku tutup.
“Mama setuju. Lagi pula, buka usaha warung itu capek.” Mama menyelonjorkan kaki. Meskipun aku yang memasak, tapi Mama ikut repot karena sering membantu menjaga meja kasir.
Bagi sebagian orang, menunggu meja mungkin dianggap pekerjaan paling mudah di dunia. Cukup duduk dan menunggu, bisa sambil buka ponsel atau menonton teve, pekerjaan dianggap cukup. Orang yang belum pernah melakukan hal itu sendiri pasti tidak menyangka, betapa melelahkannya pekerjaan menunggu meja. Penat dan bosan sudah menjadi kepastian. Belum lagi meja tidak bisa ditinggal meskipun hanya sebentar, pergi ke toilet misalnya. Pokoknya, pantat harus selalu menempel di kursi. Belum lagi tidak bisa tidur selama menjaga meja. Alhasil, pekerjaan menjaga meja terbukti sama melelahkannya dengan kerja lainnya. Bukan karena banyaknya energi yang dikeluarkan saat melakukannya, tap lantaran besarnya emosi yang harus dikelola saat melakoninya. Oleh karena itulah, aku maklum jika Mama mengatakan capai barusan.
Dua hari kemudian, aku kembali mencari pekerjaan sebagai karyawan. Lantaran umurku, aku tidak lagi ke sana kemari membawa map berisi ijazah. Cara itu hanya digunakan oleh para lulusan baru. Bagiku yang umurnya sudah merangkak cukup tinggi, mencari pekerjaan melalui perantaraan teman merupakan solusi terbaik.
Pikiranku langsung tertuju kepada Kikan. Kikan merupakan teman yang kukenal semasa SMU. Kami pernah sekelas meskipun tidak terlalu akrab. Rumahnya hanya dua blok dari rumah Mama yang kutempati. Beberapa kali kami bertemu saat naik angkot ketika hendak pergi bekerja, ketika aku masih bekerja di kantor Mas Candra. Dulu, Kikan bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Mungkin dia punya info lowongan pekerjaan di tempat kerjanya untukku. Maka dari itu, aku menghubungi Kikan.
“Apa kabar, Ki? Lama enggak ketemu,” ujarku berbasa-basi di telepon.
“Baik, May. Iya, ya. Aku sudah enggak pernah lihat kamu naik angkot lagi.” Kikan membalas ringan.
“Aku kan sudah lama enggak kerja di kantor yang dulu, Ki. Sekarang aku nganggur, ini. Apa ada lowongan kerja di minimarket tempatmu?” tanyaku lugas.
“Oh. Aku sudah enggak kerja lagi di minimarket itu. Aku sudah pindah kerja, May. Baru dua bulan ini aku pindah. Kamu lagi cari kerja? Kebetulan, kantor tempat kerjaku juga sedang cari pegawai baru.”
Ucapan Kikan membuatku bersemangat. Lekas aku memburu.
“Oya? Kebetulan banget. Aku mau, dong melamar di kantormu sekarang,” sambarku cepat.
“Boleh. Datang saja ke rumahku, nanti aku beritahukan persyaratannya. Aku pikir kerjaan ini cocok buatmu, May. Kantorku itu usahanya di bidang IT. Sama seperti kantormu dulu.”
Penjelasan Kikan membuat hatiku buncah. Harapan akan diterima di kantor tempat kerja Kikan semakin besar. Bukankah aku memiliki pengalaman kerja di bidang yang sama dulunya? Hal ini tentu menjadi nilai tambah bagiku ketika melamar di tempat itu nanti.
Singkat cerita, aku melamar ke kantor tempat kerja Kikan. Tenaga yang dibutuhkan juga sama seperti posisiku dulu, yaitu tenaga administrasi. Aku berdandan rapi sekali saat dipanggil untuk wawancara dengan pemilik usaha.
Baru saja kakiku yang dibungkus sepatu hak tinggi melangkah masuk ke dalam ruang bos yang akan mewawancara, hatiku langsung mencelus. Sosok berkemeja rapi yang tengah duduk tenang di belakang meja besar itu sangat aku kenali wajahnya. Ya, dia Mas Candra.
“Lho, Mas?” Spontan suaraku keluar begitu saja. Mataku terbelalak lantaran tidak mengira akan menghadapi Mas Candra lagi. Di tempat yang tak aku duga sama sekali. Sementara aku ternganga, Mas Candra justru tersenyum lebar.
“Jadi ternyata betul Maya Dewiyanti itu kamu, May.”
Suara Mas Candra yang terkesan rendah dan bass masih seksi seperti dulu. Aku masih terpana. Berdiri mematung dengan pandangan tak lepas dari sosoknya di hadapanku.
“Duduklah dulu. Kamu pasti kaget melihatku, ya?” Mas Candra menunjuk kursi kosong di depan mejanya. Kakiku bergerak mendengar permintaannya. Begitu saja tubuhku mendekat dan pantatku menempel di kursi yang ditunjuk oleh Mas Candra.
“Ya, beginilah aku sekarang. Aku berhasil kembali mengumpulkan modal untuk membuka usaha sendiri. Berkat pengalaman kerja dengan Pak Brontowijaya dulu, aku menjadi tahu cara membuka usaha IT sendiri.” Nada puas terdengar jelas dari suara Mas Candra.
“Aku tidak menyangka kamu tahu tentang kantorku dan melamar kerja di sini.”
“Aku ... tidak tahu kantor ini milikmu, Mas. Aku dapat info lowongan kerja di sini dari temanku.”
“Begitu, ya. Ya, mungkin ini yang dinamakan sudah takdir. Kita masih dipertemukan lagi setelah ... berapa tahun, ya?” Mas Candra menelengkan kepala, seperti sedang mengingat waktu yang telah berlalu sejak pertemuan terakhir kami dulu.
“Sekitar tiga tahun,” sahutku pelan.
“Apa kabarmu? Sudah menikah, belum?” Tatapan Mas Candra jatuh ke jemari yang kuletakkan di pangkuan.
“Aku masih bebas, Mas.” Aku menaikkan tangan, lalu memamerkan tangan kananku yang jari jemarinya polos tanpa cincin.
Apa maksud Mas Candra menanyakan statusku? Apakah ia masih menyimpan rasa terhadapku? Apakah pertemuan ini akan menjadi babak baru bagi hubungan kami ke depannya? Jantung di dada bertalu-talu karena harapan dan kecemasan yang menjadi satu.
“Wah. Belum menikah?” Mata Mas Candra membulat selama sedetik. Sepertinya dia terkejut dan tidak menyangka. Tiba-tiba tingkahnya menjadi kikuk. Mas Candra mengalihkan pandangan ke hadapannya, tempat berkas lamaran kerjaku terhampar dan diabaikan sejak tadi.
Jantungku terus berdegup tak karuan. Aku menatap lekat ke arah Mas Candra yang menunduk menatap kertas. Rambutnya yang dulu hitam semua sekarang telah diselingi beberapa uban putih. Anehnya, Mas Candra semakin terlihat gagah dan tampan di mataku. Mas Candra berdeham.
“Jadi kamu mau melamar jadi tenaga administrasi lagi.” Mas Candra mendongakkan wajahnya, sehingga tatapan mata kami bertabrakan.
“Iya, Mas. Boleh, kan? Aku perlu pekerjaan, Mas.” Aku melemahkan suara, berharap ia menaruh belas kasihan terhadapku. Mas Candra terdiam sambil terus meneliti wajahku.
“Boleh. Tapi ada syaratnya.”
Aku merasa seluruh sendi tubuhku menegang. Seketika aku menjadi gugup.
“Apa itu, Mas?”
Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah
Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea
Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih
Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa
Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K