Share

8. Terungkap

Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang.

Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah.

Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada tahun itu.

Siapa sangka Candra mampu bangkit dengan cepat. Berbekal pinjaman modal dari ayah mertuanya, Candra membuka usaha yang sama dengan usaha Pak Brontowijaya. Usaha itu maju dengan cepat, hingga akhirnya keluarga mereka kembali dapat hidup layak. Saat itu bertepatan dengan waktunya Cantika masuk SD. Mungkin sudah rezeki Cantika sehingga putrinya dapat memasuki sekolah mahal ini.

Setengah berlari, Indira langsung menuju ke ruangan guru. Pintu ruangan guru terbuka, sehingga Indira langsung masuk. Ia dapati dua orang guru tengah berbincang serius di dalamnya.

“Assalamu’alaikum,” sapa Indira cukup keras untuk mengabari tentang kehadirannya di ruangan yang telah sepi tersebut. Seketika dua orang guru tersebut menoleh.

“Bu Indira, ya? Ibunya Cantika?” salah seorang guru perempuan yang mengenakan kerudung biru bangkit dan mendekati Indira. Indira baru kali ini melihat guru itu. Mungkin bukan guru wali kelas Cantika. Tapi mengapa ia bisa menebak bahwa dirinyalah ibu kandung Cantika?

“Betul, Bu. Di mana anak saya?” tanya Indira cemas.

“Mari ikut, Bu. Cantika ada di ruangan UKS.” Guru berkerudung biru bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar kamar mendahului Indira.

Rasanya waktu berjalan lambat sekali saat Indira mengikuti guru berkerudung biru itu dari belakang. Pikiran Indira berkecamuk dan dipenuhi prasangka, sedangkan hatinya cemas luar biasa. Mereka tiba di ruangan UKS. Guru yang membimbing Indira langsung masuk ke dalam ruang perawatan.

“Ibunya Cantika sudah datang, Bu.” Guru berkerudung biru memberi kabar.

“Mama!” Cantika memekik begitu mendengar bahwa ibunya sudah datang. Cantika menyibak tirai putih yang menghalangi pemandangan dari kasur tempatnya beristirahat dengan pintu masuk ruangan UKS. Indira melihat Cantika duduk di atas ranjang berseprai putih, sedangkan di sisinya berdiri guru wali kelasnya.

Indira menghambur menemui Cantika. Ia melihat kaki Cantika agak lebam dan ada luka yang ditutup dengan plester besar.

“Kenapa kakimu, Cantik? Luka kenapa? Kamu jatuh, ya?” Indira memberondong Cantika.

“Ehem. Begini, Bu. Tadi Cantika menunggu dijemput oleh Ibu. Entah mengapa dia berdiri di pinggir jalan raya, biasanya tidak begitu. Kebetulan kami para guru juga tidak ada yang memerhatikannya. Lalu--” Guru wali kelas Cantika berhenti sejenak, membuat Indira tak sabar.

“Lalu apa, Bu?” desak Indira.

“Ada motor yang menyenggolku, Ma. Aku jatuh terduduk di aspal. Lalu ada motor lain di belakang motor itu yang melindas kakiku,” kata Cantika lirih.

“Kami sudah mengobati lukanya seadanya. Mungkin sebaiknya sekarang saja dibawa ke rumah sakit, Bu. Takutnya ada tulang yang retak atau bagaimana, soalnya Cantika juga dari tadi kesakitan terus.” Guru Cantika memegang lengan Indira, sementara raut wajahnya terlihat amat cemas.

Indira mengangguk. Keadaan Cantika sekarang merupakan hal yang utama. Tentang siapakah pengendara motor yang sembrono itu atau tentang kelalaian guru mengawasi Cantika dapat diurusnya nanti.

“Mama pesan taksi dulu.” Indira meraih ponsel dari dalam tas bahunya. Gesit jarinya membuka aplikasi pemesanan taksi daring. Sebentar kemudian, sebuah mobil menerima permintaan Indira.

“Lima menit lagi mobil taksinya datang. Bagaimana cara membawa Cantika keluar ya, Bu?” Indira kebingungan. Jarak antara ruang UKS dan halaman sekolah cukup jauh.

“Kami ada kursi roda. Ayo kita pindahkan Cantika ke kursi roda.” Guru Cantika berbalik dan mengambil kursi roda yang tersimpan di sudut ruangan. Indira bersyukur sekolah Cantika memiliki fasilitas yang lengkap, sampai-sampai ruang UKS-nya pun menyediakan kursi roda.

Bersama guru Cantika, Indira memindahkan tubuh Cantika ke kursi roda. Cantika lalu didorong oleh Indira menuju lokasi penjemputan oleh taksi. Cantika mengaduh beberapa menit sekali, menandakan rasa sakit yang dirasakan oleh kakinya bukan main-main. Tentu ada sesuatu yang serius hingga Cantika merasakan sakit yang tak kunjung henti. Setiap kali mendengar rintihan Cantika, Indira mempercepat laju dorongan kursi roda.

Guru Cantika menemani Indira menanti datangnya taksi pesanan.

“Maafkan kami yang lalai mengawasi Cantika ya, Bu.”

“Iya, Bu. Saya maklum. Cantika juga tidak seharusnya berada di pinggir jalan. Semua sudah telanjur terjadi,” sahut Indira pasrah.

Mobil taksi yang dipesan Indira memasuki halaman sekolah yang sudah lengang. Indira sangat lega melihatnya. Sekarang ia berdoa agar perjalanan menuju rumah sakit tidak macet. Ia tak tahan mendengar rintihan yang keluar dari mulut Cantika.

Di dalam mobil, barulah Indira teringat bahwa ia belum mengabari suaminya tentang musibah yang menimpa Cantika. Tanpa menunggu tiba di rumah sakit, Indira langsung menghubungi suaminya dari dalam mobil.

“Ke mana Papamu ya, Cantik?” Indira berkata risau saat panggilan teleponnya tak kunjung diangkat oleh suaminya. Cantika menoleh, sejenak perhatiannya teralih dari kakinya yang terasa berdenyut saking sakitnya.

“Mama menelepon Papa? Syukurlah. Sejak tadi memang Cantika memikirkan Papa. Cantik ingin menemani Cantik saat berada di rumah sakit.”

“Sabar ya, Cantik. Mama sedang berusaha menghubungi Papa. Mungkin Papa sedang sibuk atau tidak dengar ponselnya berdering.” Indira menghibur Cantika.

Setelah sekian kali gagal menghubungi suaminya, Indira memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia mengecek waktu di jam digital ponselnya. Sudah pukul empat sore lebih. Seharusnya, waktu kerja Candra sudah akan usai.

Mereka tiba di rumah sakit. Indira langsung sibuk dengan Cantika. Indira memutuskan Cantika langsung mendaftar ke IGD, lantaran luka kakinya ia anggap gawat dan perlu penanganan yang cepat. Selama Cantika di IGD, Indira sibuk mengurus administrasi rumah sakit untuk Cantika. Seandainya putrinya harus rawat inap, maka kelengkapan administrasinya sudah siap.

“Ada tulang yang retak sedikit di kaki putri Ibu.” Informasi dari dokter IGD  membuat Indira merasa syok.

“Parah tidak, dok? Anak saya tetap bisa berjalan, kan?” Indira gemetaran saat menanyakan hal itu.

“Tidak. Kita bersyukur putri Ibu masih dalam masa pertumbuhan. Proses pemulihannya akan lebih cepat. Berbeda jika Ibu yang mengalami keretakan tulang, maka pemulihannya memerlukan waktu yang lebih lama,” jelas dokter jaga IGD.

“Tapi putri Ibu harus di opname. Sepertinya kakinya perlu diberi gips agar tulangnya tidak bergerak banyak. Untuk lebih yakin, biar dokter spesialis ortopedi yang menjelaskan.”

Indira mengangguk-angguk. Kepalanya terasa agak pening. Ingatannya kembali kepada suaminya yang masih sulit dihubungi. Indira berniat menelepon kembali Candra setelah Cantika mendapatkan kamar rawat inap.

Pada saat Cantika beristirahat, Indira kembali menelepon Candra. Namun sayang, panggilannya tetap tidak diangkat. Kemudian Indira teringat pada Niko, salah seorang pegawai di kantor Candra. Niko bekerja di kantor Candra atas rekomendasi dari dirinya. Pemuda yang baru lulus kuliah itu merupakan keponakan dari Isma, teman kuliahnya dulu yang juga teman baik Candra. Isma meminta bantuan Indira untuk mencarikan Niko pekerjaan.

Indira mencari-cari nama Niko di dalam daftar kontak teleponnya. Ketemu! Ternyata dulu dia memang pernah menyimpan nomor telepon anak itu. Sekali sentuhan jari pada layar ponsel, Indira memanggil Niko.

“Halo?” Tak sampai semenit, panggilan Indira telah diterima oleh Niko.

“Niko? Tante mau tanya. Sekarang semua karyawan lembur, ya?”

“Enggak, Tante. Kebetulan hari ini enggak ada lembur.”

“Oh, begitu. Jadi Om Candra lembur sendirian?”

“Om Candra? Enggak juga, Tante. Om sudah pulang jam 5 sore tadi. Seperti biasa.”

Indira terdiam. Dia pikir Candra hari ini lembur. Bukankah tadi pagi Candra mengatakan akan lembur selama seminggu ke depan? Tapi mengapa Niko berkata lain? Soal kejujuran, Indira yakin Niko tidak berbohong. Jadi ... pergi ke mana Candra sebetulnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status