Share

9. Penemuan

Penulis: Hawa Hajari
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-10 17:27:53

Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira.

“Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam.

“Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon.

Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut.

Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali.

“Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri.

Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah bisa pergi dan pulang sekolah sendiri. Itulah salah satu penyebab yang membuat Indira berpikir Ando telah mandiri dan bisa mengurus diri sendiri.

“Maaf, An. Mama tadi lupa mengabarimu, Cantika sedang ada di rumah sakit.”

“Hah? Cantika sakit apa, Ma?” Suara Ando terdengar cemas. Indira senang anak-anaknya saling peduli.

“Tadi Cantika tertabrak motor, sekarang harus menginap di rumah sakit. Kamu enggak ada kunci rumah, ya? Apa Papa masih belum pulang?” tanya Indira.

“Belum, Ma. Aku datang enggak ada mobil Papa. Rumah gelap. Aku jadi bingung,” aku Ando.

“Kamu ke rumah sakit saja dulu. Kalau enggak, coba kamu telepon Papa.”

“Aku ke rumah sakit saja, Ma. Sekalian melihat kondisi Cantika,” putus Ando.

“Oke kalau begitu. Kamu ke sini saja sekarang.” Indira memberi tahu nama rumah sakit dan nomor kamar tempat Cantika dirawat.

Setelah Ando memutuskan panggilan, Indira kembali teringat kepada suaminya. Rasa jengkel di hatinya telah berubah menjadi kedongkolan luar biasa. Ke mana Candra sampai sulit dihubungi? Di saat ia membutuhkan Candra, suaminya malah tidak ada. Dengan gemas, Indira kembali mencoba menghubungi suaminya. Ia tak akan berhenti sampai Candra mengangkat teleponnya.

“Halo?” Suara Candra terdengar dari seberang. Panggilan Indira diangkat. Indira merasa lega luar biasa.

“Papa ada di mana? Cantika masuk rumah sakit, Pa!” Terburu-buru Indira mengabarkan, saking paniknya dirinya.

“Masuk rumah sakit? Kenapa, Ma?” Nada cemas terdengar dari suara Candra.

“Tadi Cantika kecelakaan di depan sekolahnya. Kakinya terluka dan ada bagian tulang yang retak. Kakinya harus diberi gips, Pa.” Indira menceritakan keadaan Cantika seringkas mungkin.

“Astaga. Di mana rumah sakitnya? Papa ke sana sekarang juga.”

Indira menyebutkan nama rumah sakit dan nomor kamar Cantika.

“Papa segera ke sana.” Terdengar suara gemeresik sebelum Candra menutup telepon. Ada juga bunyi ramai orang berbicara dan musik di latar belakang secara samar-samar.

Indira tertegun. Di mana suaminya berada barusan? Kalau mendengar bunyi dan suara-suara ramai itu, Indira teringat pada suasana ruang publik seperti mal atau restoran. Apakah di sana Candra berada tadi? Hati Indira gelisah. Benaknya diliputi tanda tanya.

Indira mencoba berprasangka baik. Mungkin Candra sedang pergi bersama kliennya dan membicarakan bisnis sambil makan malam di luar. Namun kemungkinan itu dibantah oleh hati kecilnya sendiri. Mana mungkin ada klien yang membicarakan bisnis lepas waktu kerja? Tidak masuk akal rasanya. Bukankah pembicaraan bisnis biasanya dilakukan pada saat makan siang? Lagi pula, jika memang sedang menjamu klien seharusnya Candra tidak mengatakan sedang lembur. Cukup katakan saja sedang berada di luar bersama klien. Kegalauan berkecamuk di benak Indira.

“Bu Indira!” panggilan perawat membuat pikiran Indira buyar.

“Ya, sus?” Indira mendekati perawat. Seketika pikirannya akan keberadaan Candra menguap seketika.

***

Candra dan Ando datang hampir bersamaan ke rumah sakit. Indira merasa lega, kini ia tidak sendirian menghadapi musibah yang menimpa Cantika. Bahkan, keluarganya berada dalam formasi lengkap. Mereka semua sekarang berada di dalam kamar rawat inap Cantika.

"Papa dari mana saja? Dari sore tadi Mama telepon kok tidak diangkat-angkat?” Indira menumpahkan kekesalannya sesaat setelah Candra tiba.

“Papa kan lembur, Ma. Bukannya tadi pagi Papa sudah bilang kepada Mama?” kilah Candra.

Indira hendak mengatakan bahwa tadi dia menelepon Niko dan menurut Niko tidak ada yang lembur di kantor. Namun, niat Indira gagal terlaksana karena tiba-tiba perawat muncul.

“Silakan Bapak dan Ibu. Dokter sudah menunggu.”

“Oh, ya. Baik.” Indira menjawab spontan.

“Mama tinggal sebentar ya, Cantik.” Indira mengecup dahi Cantika yang terbaring pasrah di ranjang rumah sakit.

“Tapi Cantika enggak mau sendirian,” ujar Cantika memelas. Indira kebingungan.

“Biar Ando saja yang menjaga Cantika, Ma. Papa dan Mama bisa pergi menemui dokter.” Ando menawarkan diri.

“Dijaga Kak Ando ya, Cantik? Mama dan Papa hanya sebentar menemui dokter,” bujuk Indira.

Indira sangat lega saat Cantika mengangguk setuju. Ando lalu duduk di sebelah ranjang Cantika. Indira dan Candra beranjak pergi mengikuti perawat yang telah lebih dulu berjalan. Mereka menuju ke ruangan dokter yang menangani Cantika.

“Silakan, Bapak dan Ibu.” Dokter Ortopedi yang menangani Cantika menyambut ramah keluarga Candra di ruang kerjanya.

Candra dan Indira duduk di hadapan dokter. Dokter lalu menjelaskan kondisi Cantika.

“Apakah sembuhnya akan lama, dok?” tanya Indira penasaran.

“Cantika masih anak-anak. Biasanya, retak tulang pada anak-anak sembuh lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak-anak masih dalam masa pertumbuhan, sehingga tulangnya masih aktif membuat jaringan baru yang terus tumbuh setiap harinya,” jelas dokter panjang lebar.

“Berapa lama sampai Cantika bisa berjalan lagi? Saya mencemaskan sekolahnya, dok. Saya takut ia ketinggalan banyak pelajaran,” urai Indira.

“Waktunya tidak dapat dipastikan. Semua itu tergantung dari kondisi masing-masing anak. Namun, retak di kaki Cantika tidak besar. Kita sama-sama berharap Cantika dapat pulih dalam waktu satu hingga dua bulan ke depan,” sahut dokter dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.

“Apa yang harus kami lakukan agar pemulihan Cantika berjalan lebih cepat?” Indira kembali bertanya.

“Ibu dapat memberikannya tambahan vitamin dan mineral agar pemulihannya terjadi lebih cepat. Putri Ibu juga harus tetap bergerak ringan agar aliran darah ke daerah cedera tetap lancar. Jangan biarkan putri Ibu hanya diam di tempat tidur sepanjang hari.” Dokter memberi saran secara terperinci.

Barulah Indira mengangguk puas setelah mendengarkan penjelasan dokter tersebut.

“Berapa lama Cantika di rumah sakit, dok?” Kali ini Candra yang bertanya.

“Kurang lebih seminggu. Setelah itu pasien bisa dibawa pulang untuk rawat jalan.”

Indira semakin lega mendengar penuturan dokter tersebut. Satu atau dua bulan ketinggalan pelajaran mungkin dapat dikejar. Indira lega Cantika tidak harus ketinggalan satu semester pelajaran. Tak terbayangkan rasanya apabila Cantika harus tinggal kelas akibat sakit.

“Apa masih ada yang ingin ditanyakan?” Dokter memandang ke arah Indira dan Candra secara bergantian.

“Cukup, dok. Terima kasih.” Indira yang menjawab.

Saat keluar dari ruangan dokter, Indira mulai dapat tersenyum kembali. Candra pun terlihat sama leganya. Ia merangkul pundak Indira saat berjalan kembali ke kamar rawat inap Cantika. Mesra dan romantis terlihat.

Indira kembali teringat pada pengakuan Niko bahwa tidak ada yang lembur hari ini di kantor, sedangkan Candra tadi mengatakan bahwa dia sedang lembur saat Indira menelepon. Indira bermaksud menanyakan kembali ketidaksesuaian ini.

“Pa,” panggil Indira.

“Ada apa, Ma?” Candra melirik sekilas, sambil mereka tetap berjalan.

Indira sudah akan bertanya tentang berita dari Niko, tapi tiba-tiba hati kecilnya mencegah. Niko dan Candra sama-sama sudah membuat pernyataan yang berlawanan. Apabila Indira sekarang mengonfrontasi suaminya dengan pernyataan Niko, belum tentu Candra akan mengaku begitu saja. Apabila Candra berniat berbohong, maka pasti ia akan mempertahankan kebohongan itu dengan beragam dalih dan alasan. Indira seketika mengurungkan niatnya untuk bertanya.

“Bagaimana dengan permintaan Ando untuk memiliki studio musik?” Indira membelokkan pertanyaannya kepada hal yang lain.

“Oh, itu. Nanti saja mungkin, Ma. Sekarang Cantika sakit dan perlu biaya besar. Dana yang ada tidak cukup bila harus menuruti keinginan Ando sekarang.”

“Betul juga ya, Pa. Biar nanti Mama yang memberi tahu Ando. Mama sih yakin dia mau mengerti keadaan kita,” sahut Indira.

Kemudian mereka berdua sama-sama diam dan tak bercakap-cakap lagi. Indira terus memikirkan tentang suara alunan musik yang didengarnya saat menelepon Candra sebelumnya. Ia akan mencari tahu sendiri tentang keberadaan Candra malam ini. Entah bagaimana caranya, tapi ia bermaksud melakukannya diam-diam. Bukannya tak memercayai suami, tapi kebohongan Candra terlalu nyata untuk diabaikan. Insting Indira sebagai seorang istri menuntunnya untuk waspada.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   31. Setia Selamanya (Tamat)

    Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   30. Ikut Ke Alam Kubur

    Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   29. Musibah

    Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   28. Bertobat

    Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   27. Melambung dan Jatuh

    Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   26. Titik Nol

    Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status