Share

7. Dusta

Kelopak mata Indira sudah terpejam separuh saat bunyi derum mobil yang memasuki halaman terdengar oleh gendang telinganya yang sensitif. Seketika mata mengantuk Indira melebar. Ia hapal betul bunyi derum mobil suaminya. Indira yang sudah bersandar lemas di sofa ruang tamu, kembali duduk tegak. Satu jam menanti suami, akhirnya yang ditunggu datang juga.

Indira berdiri dan merapikan pakaiannya yang sudah kusut. Ikatan rambut yang longgar ia eratkan kembali. Meskipun tahu penampilannya tidak akan paripurna, tapi setidaknya rambutnya tidak terlalu acak-acakan saat dilihat suaminya nanti.

Indira mengintip dari kaca jendela di depan. Ia melihat suaminya keluar dari pintu pengemudi, lalu berjalan lesu ke teras rumah. Tampak sekali bahwa suaminya sangat lelah. Belum sampai kaki Candra menginjak teras, Indira telah memutar anak kunci dan membuka daun pintu lebar-lebar. Candra terkejut memandang sosok istrinya yang berdiri agak di dalam.

“Lho belum tidur, Ma? Papa kira sudah tidur sama Cantika.” Candra bertanya heran sambil memasuki ambang pintu.

“Mama nungguin Papa. Cantika sih sudah tidur dari tadi. Katanya ngantuk, enggak kuat menunggu Papa pulang,” jelas Indira.

Candra mengempaskan diri di sofa ruang tamu. Indira kembali mengunci pintu depan.

“Capek ya, Pa? Mau makan dulu atau mau mandi sekalian?” tawar Indira.

“Enggak usah, Ma. Papa cuma haus. Tapi nanti Papa ambil sendiri saja. Kalau mandi sekarang juga udaranya sudah dingin,” tolak Candra.

“Jadi Papa mau apa sekarang?” tanya Indira lagi.

“Papa hanya perlu tidur. Capek sekali rasanya.” Candra bangkit lagi dan mulai berjalan menuju kamar tidur. Indira mengikuti suaminya dari belakang.

Candra mulai melepaskan satu demi satu bajunya di hadapan sang istri. Indira berjalan menuju lemari pakaian, lalu mengambilkan celana pendek dan baju kaos sebagai ganti baju kerja yang baru dilepaskan oleh suaminya. Candra melihat Indira yang meletakkan baju rumah yang bersih di atas kasur. Tangannya meraih celana sementara mulutnya menguap, pertanda kantuk sudah menguasainya.

“Sayang Papa capek, ya. Padahal kita sudah lama enggak mengobrol bersama.” Indira tiba-tiba memeluk suaminya dari belakang. Candra terbeliak.

“Iya, Ma. Sudah lama, ya. Tapi sekarang Papa mengantuk sekali. Maaf, ya.” Candra menatap istrinya. Indira menyembunyikan kekecewaannya.

“Iya, Pa. Mama maklum. Papa sudah bekerja keras buat menafkahi kita semua, jadi pasti lelah sekali.” Indira tersenyum meskipun hatinya tidak tersenyum.

“Terima kasih pengertiannya, Ma. Memang akhir-akhir ini Papa banyak pekerjaan di kantor. Mungkin di hari-hari ke depan Papa akan sering pulang malam.” Candra menguap lagi.

Indira menyiapkan tempat tidur. Ia menata bantal juga membentangkan selimut. Candra naik ke peraduan, sedangkan Indira mengikuti.

“Tapi ingat ya, Pa. Sesibuk-sibuknya Papa, jangan sampai tidak ada waktu buat Ando dan Cantika, ya.”

“Iya, Ma. Papa enggak akan lupa sama anak,” janji Candra sambil menarik selimut.

Sebetulnya Indira masih ingin berbicara, tapi sayang Candra keburu mengorok. Desah kecewa keluar dari mulut Indira. Padahal ia ingin menceritakan perkembangan anak-anak mereka, tentang Ando yang semakin sulit diatur, juga tentang Cantika yang berhasil menjadi perwakilan Olimpiade Matematika di sekolahnya. Namun sayangnya Candra telanjur tidur. Apa boleh buat, Indira pun memutuskan untuk menunda percakapan tentang anak-anak untuk lain waktu. Indira memejamkan mata.

***

Pagi-pagi sekali, Candra sudah bangun dan mandi. Agak lebih pagi daripada biasanya. Indira yang sedang menyapu rumah memandang suaminya heran.

“Pagi betul sudah mandi, Pa? Apa ada keperluan mendadak?” Indira meletakkan sapunya di tangan kiri, lalu berhenti di depan kamar. Candra sedang mengenakan kemeja putih bergaris-garis hitam yang menjadi kemeja kesukaannya. Kemeja itu selalu membuatnya tampak lebih gagah meskipun usianya sudah menjelang kepala empat.

“Enggak ada keperluan apa-apa, Ma. Papa hanya ingin datang lebih pagi ke kantor. Pekerjaan kemarin terpikirkan terus. Mungkin selama seminggu ini Papa akan lebih sibuk daripada biasanya.” Candra menjawab sambil mengenakan ikat pinggang ke celana panjangnya.

“Mama buatkan sarapan sekarang, ya?” Indira menyandarkan sapu ke salah satu dinding. Ia siap bergerak ke arah dapur.

“Enggak usah, Ma. Papa  makan bubur ayam atau lontong kari saja di luar, biar cepat. Mama siapkan saja keperluan anak-anak buat sekolah,” tolak Candra.

Indira mengurungkan niatnya untuk membuat sarapan. Ia mengikuti Candra yang beranjak hendak keluar rumah usai mengambil tas kerjanya. Di depan pintu, Candra berpamitan lagi kepada istrinya.

“Papa pergi dulu. Doakan Papa.” Candra mencium sekilas dahi Indira.

“Iya, Pa. Hati-hati di jalan. Oh ya, hampir lupa. Kemarin Ando bilang dia mau ikut kelas musik di sekolahnya sebagai ekstrakurikuler.”

“Oya? Musik apa yang ingin dipelajarinya? Ando minta belikan alat musik?” Candra mengerutkan dahi.

“Iya. Katanya mau main drum band, biar bisa main bersama teman-temannya--”

“Oh, oke. Nanti Papa bicara sama dia. Sekarang Papa pergi dulu ya, Ma. Takut terlambat.” Candra memotong kalimat istrinya yang ia yakini masih akan lama.

Indira terpaksa menghentikan ucapannya. Padahal ia masih belum sampai pada pokok pembicaraan utama, yaitu anak sulung mereka ingin memiliki studio musik sendiri di rumah. Namun, Indira sadar diri. Ia telah memilih waktu yang kurang tepat buat berbicara.

Dengan pasrah, Indira membiarkan suaminya pergi. Ia menatap punggung suaminya yang bergerak menuju mobil jenis city car yang terparkir di halaman rumah mereka. Candra membuka pintu penumpang di depan, lalu menyimpan tas kerjanya pada kursi. Saat melakukan itu, sinar mentari pagi yang lembut mulai bersinar dan menerpa wajah Candra yang segar karena mandi pagi. Sisa-sisa ketampanan masa lalu terpancar selama beberapa detik dalam momentum itu, membuat Indira mengingat lagi masa-masa muda mereka ketika baru menikah pada awal usia dua puluhan. Indira merasa cintanya bertambah kuat setelah puluhan tahun hidup bersama suaminya.

 Candra menutup pintu, lalu bergerak membuka pagar besi yang menjulang tinggi di belakang mobilnya. Setelah membuka pagar, Candra memasuki kursi pengemudi dan melaju pergi. Indira berjalan ke arah halaman, menutup kembali pagar rumah yang ditinggalkan terbuka oleh Candra. Indira masuk kembali ke dalam rumah. Fokus pikirannya kembali kepada anak-anaknya yang harus dipersiapkan sekolahnya. Ando yang duduk di kelas satu SMU dan Cantika yang duduk di kelas 4 SD.

***

Dering telepon berbunyi cukup lama. Indira membuka matanya dan terkejut mendapati dirinya yang tertidur di sofa. Astaga, dia ketiduran! Bisa-bisanya hal ini terjadi, padahal sudah lama ia tak pernah lagi tidur di tengah hari. Kesibukan rumah tangga dan anak-anak membuatnya tak pernah bisa menikmati waktu istirahat siang.

Bunyi dering telepon di atas meja menarik perhatian Indira. Namun, pandangan matanya yang masih berkunang-kunang akibat terbangun paksa membuatnya tak segera mengangkat telepon. Indira mengerjapkan matanya beberapa kali, juga memijat pelipisnya. Mungkin ia terlalu lelah karena sepagian tadi membersihkan kamar di belakang rumah. Indira berpikir, mungkin kamar itu bisa digunakan oleh Ando sebagai studio musik yang diinginkannya. Akibatnya ia kelelahan dan berakhir tertidur di sofa.

Dering telepon masih berbunyi, mendesak seolah-olah menjerit minta diangkat. Indira meraih ponselnya dan tersentak mendapati nama guru Cantika yang memanggil pada layar. Astaga, jam berapa sebetulnya ini? Apakah sudah waktunya menjemput Cantika pulang dari sekolah?

“Halo?” Indira menempelkan ponsel pada kuping kanannya.

“Ibu Indira? Mohon maaf, Bu. Cantika terluka di kakinya. Tolong segera datang kemari ya, Bu.”

“Terluka? Kenapa Cantika bisa terluka, Bu?” Indira terhenyak.

“Nanti kami jelaskan semuanya di sekolah, Bu. Tolong segera datang dulu.”

Indira memutuskan sambungan telepon. Tergesa-gesa ia mengganti baju dan meraih tasnya, lalu menyambar kunci motor di dalam laci. Pikirannya hanya tertuju pada Cantika saat ini.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status