Share

ODAIBA - I

Author: HaKa
last update Last Updated: 2025-05-17 13:32:11

“Gruuukkk…”

Suara perut Sakura terdengar jelas, memecah momen hening mereka.

Sakura membeku, wajahnya seketika merah padam karena malu.

“Kamu belum sarapan ya, Sakura-san?” tanya Heri lembut.

Sakura mengangguk pelan, tidak mampu menatap matanya.

Heri tersenyum dan mengulurkan tangan.

“Ayo.”

Sakura menatapnya sebentar.

“Kita jalan sekarang?”

“Bukan,” jawab Heri sambil tersenyum.

“Kita mampir ke konbini sebentar. Kamu kelihatan lemas banget. Beli onigiri atau roti dulu, biar ada tenaga. Kamu pasti haus juga, kan?”

Tanpa banyak bicara, Sakura mengikuti langkah Heri. Tangannya menyentuh tangan Heri dengan santai — tanpa beban, tanpa keraguan. Entah kenapa, semua terasa sangat alami.

“Eh... aku... aku nggak bau keringat kan?” gumam Sakura, mendekatkan hidung ke arah bahunya dengan ragu.

“Hah?” Heri tertawa pelan.

“Enggak kok, aman. Serius.”

Sakura tersipu. Dia sadar, dari tadi dia berlari tanpa henti sejak keluar apartemen.

Di dalam konbini, ia sempat ragu memilih.

“Aku biasanya suka onigiri salmon...”

“Oke, aku juga ambil yang itu. Yuk, kita makan bareng sebentar.”

Heri mengambil dua onigiri dan berbalik ke arah minuman.

“Kamu mau hot cocoa? Atau Ocha?”

Ia menyodorkan dua pilihan: Van Houten Cocoa dan Ocha dingin.

Sakura tersenyum kecil.

“Cocoa... aku pilih itu.”

Setelah membayar, mereka keluar dan berdiri di sudut kecil yang agak sepi. Heri membuka bungkus onigirinya dan menyodorkannya lebih dulu ke Sakura.

“Makan duluan, biar kamu gak pusing.”

Begitu Sakura mulai makan, Heri ikut menggigit onigirinya.

Kedua karton cocoa mereka dibuka. Sakura meminumnya cepat-cepat — jelas sekali betapa hausnya dia. Sampah plastik dan bungkus onigiri mereka masukkan kembali ke kantong plastik, lalu dibuang di tempat sampah konbini.

Heri memastikan Sakura sudah sedikit lebih baik sebelum mereka kembali ke arah stasiun.

“Maaf ya, aku bikin kita telat,” bisik Sakura.

Heri menoleh,

“Sudah, jangan dipikirin. Semua baik-baik saja.”

Mereka tiba di Stasiun Yurikamome. Sabtu pagi memang cukup ramai, tapi mereka beruntung mendapat tempat antre paling depan di peron.

Ketika kereta otomatis itu datang, penumpang turun lebih dulu. Mereka masuk, dan — seolah ditakdirkan — kursi depan yang langsung menghadap ke jendela kaca lebar masih kosong. Mereka duduk.

Yurikamome memang unik: tak ada masinis, dan duduk di kursi depan membuatmu seperti ikut menyetir ke masa depan.

“Wah, kita beruntung banget dapet tempat ini,” ujar Heri sambil melirik ke luar jendela.

“Siapa tahu ya, kalau kamu gak telat, justru kursi ini udah diambil orang.”

Ia tertawa kecil.

“Jadi ya, mungkin semuanya memang sudah ada jalannya.”

Sakura menoleh, terdiam. Dalam hati, dia merasa… iya juga ya. Cara berpikir Heri beda sekali. Tenang. Menerima. Tidak menyalahkan keadaan, tidak bikin orang lain merasa bersalah.

Kereta mulai bergerak, meninggalkan Shinbashi, meluncur menuju Odaiba.

“Eh, kita turun di mana nanti?” tanya Sakura.

“Shin-Toyosu dulu. Aku ingin ngajak kamu ke TeamLABS sebagai tujuan pertama.”

Sakura mengangguk. Ia memang jarang pergi ke Odaiba. Mungkin lebih tepatnya… dia tak pernah punya alasan. Tapi hari ini berbeda. Ada seseorang yang berjalan di sisinya, seseorang yang tak berbagi bahasa yang sama, tapi... anehnya, membuat semuanya terasa nyaman.

Ooh, by the way… bajumu hari ini cantik banget. I mean it,” ucap Heri pelan, wajahnya agak memerah.

Sakura tersenyum kecil.

“Terima kasih...”

Lalu Sakura melirik ke bawah.

“Eh! Kamu pakai OnCloud juga!?”

Heri tertawa.

“Samaan ya? Iya, aku suka merk ini. Ringan banget buat jalan jauh.”

Mereka tertawa bersama. Tawa kecil, tapi cukup untuk menghangatkan pagi yang dingin.

Ketika kereta melewati Stasiun Hinode, pemandangan Rainbow Bridge mulai terlihat. Langit Tokyo begitu biru hari itu, nyaris tanpa awan. Setelah Shibaura-Futo, jembatan itu muncul lebih jelas — anggun, seakan melambai.

Sakura dan Heri tak melewatkan momen itu. Mereka sama-sama mengangkat ponsel, mengambil foto.

Heri melirik Sakura.

Dia tersenyum. Menikmati. Tidak lagi terbebani rasa bersalah. Dan itu sudah cukup untuk Heri.

Kereta terus berjalan, membelah Rainbow Bridge, lalu melintasi beberapa stasiun di Odaiba, hingga akhirnya… tiba di Shin-Toyosu.

Destinasi pertama mereka: TeamLABS Planets.

Dan hari itu… baru saja dimulai.

***

Mereka tiba di TeamLABS Planets.

“Aku baru pertama kali ke sini…” ucap Sakura pelan, menatap fasad bangunan dengan rasa ingin tahu.

“Serius?” Heri terlihat terkejut.

“Kirain kamu udah pernah ke sini bareng temen-temen.”

“Yah…” Sakura tersenyum simpul,

“Kalau sama mereka paling banter cuma ke kafe atau nonton.”

Nada bicaranya ringan, tapi ada kesan bahwa… ya, tak pernah ada yang mengajaknya ke tempat seperti ini sebelumnya.

Bahkan pria-pria yang dulu pernah hadir dalam hidupnya… tak satupun membawa Sakura ke tempat seperti ini.

Sebuah ruang imersif, penuh cahaya, suara, dan imajinasi.

Di sebelahnya, Heri tampak seperti anak kecil yang masuk ke toko mainan. Matanya berbinar, tangannya bergerak lincah memotret, kepalanya menoleh ke sana kemari.

“Akhirnya bisa juga ke sini. Selama ini cuma lihat di YouTube. Sekarang aku mau nikmatin semuanya!” katanya dengan semangat yang tulus.

Sakura tertawa kecil. Ada sisi polos dan ceria dalam diri Heri yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dan entah kenapa, itu membuat hatinya hangat.

Mereka menyusuri lorong demi lorong, masuk ke dunia cahaya dan suara:

Infinite Crystal Universe, lautan cahaya yang tak berujung.

Floating in the Falling Universe, seperti melayang di antara bintang.

Soft Black Hole, ruangan empuk yang menggelitik tawa.

Athletic Forest, yang membuat Heri sempat terengah tapi tertawa puas.

Dan Floating Flower Garden — tempat favorit Sakura.

Di sana, bunga-bunga gantung perlahan turun dan naik mengikuti gerak tubuh mereka. Sakura menatap ke atas, membiarkan dirinya dikelilingi kelopak warna-warni yang menari di udara.

Heri sempat diam sejenak, melihat Sakura di tengah taman itu.

Tak berkata apa-apa. Tapi dari sorot matanya, terlihat jelas… dia senang bisa berbagi momen ini dengan seseorang seperti Sakura.

Mereka menghabiskan waktu tanpa terasa. Tertawa, saling menunjuk hal-hal menarik, saling membagi kekaguman. Tak perlu banyak basa-basi — semuanya mengalir.

Jam menunjukkan pukul 13.00.

Mereka keluar dari TeamLABS, masih tertawa kecil dan saling berbagi foto dari ponsel masing-masing.

“Setelah ini… yuk balik ke Odaiba, sekalian makan siang di Aqua City?” ajak Heri.

Sakura mengangguk cepat, senyumnya tak bisa disembunyikan.

“Ayo!”

Dia mengikuti langkah Heri, seperti mengikuti arah cahaya.

Hari itu… belum selesai. Masih ada kehangatan yang menunggu di seberang Teluk Tokyo.

Setibanya di Aqua City Odaiba, Heri mengajak Sakura menyusuri lantai restoran yang menghadap langsung ke teluk.

"Ada satu tempat yang aku pernah coba bareng orang kantor maskapai," katanya sambil berjalan.

“Namanya Pesce d’Oro. Masakan Italia. Enak, dan pemandangannya juga bagus.”

Mereka masuk dan disambut hangat. Restoran itu memang punya suasana tenang dengan interior bergaya Italia klasik, dan jendela kaca besar menghadap ke laut. Sakura tersenyum kecil — ia tidak menyangka akan makan siang dengan view seperti ini.

Heri langsung memesankan beberapa menu yang menurutnya pas, Pizza Margherita, yang sederhana tapi klasik, Beef Sirloin Cutlet, daging lembut dengan saus ringan, Seafood Pescatore, pasta dengan kerang dan udang segar, Dua soft drink, Dan Kue Tiramisu sebagai penutup.

Sakura melirik ke arah Heri dengan senyum geli.

“Kamu makannya banyak juga ya, Heri.”

Heri tertawa pelan.

“Yah… selagi masih sehat, nikmatin aja. Jangan malu-malu di depan aku. Makan sepuasmu. Serius.”

Sakura terkekeh. Tapi lebih dari itu — dia merasa Heri sedang bilang sesuatu yang lebih dalam.

Bahwa dia tak perlu pura-pura. Tak perlu terlihat "rapi" atau “ideal”.

Di depan Heri, dia bisa jadi dirinya sendiri. Dan itu... langka.

Di antara suapan pizza dan irisan beef cutlet, tawa mereka terus mengalir. Tak ada topik berat, hanya cerita ringan, candaan soal makanan, dan komentar soal turis-turis di sekeliling mereka.

Sakura sesekali memandangi wajah Heri.

Dalam hati, ada satu pertanyaan yang sempat terlintas semalam… pertanyaan yang belum terucap.

Tapi tidak apa. Hari ini belum selesai. Dan kadang, beberapa hal tak perlu dipaksakan keluar terlalu cepat.

Ada waktunya sendiri.

Sementara itu, Sakura hanya duduk dan menikmati suasana tenang, langit biru Tokyo yang bersinar di balik jendela, dan seseorang yang membuatnya merasa cukup… hanya dengan menjadi dirinya sendiri.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   Epilog

    Musim semi… tinggal menghitung minggu.Sakura keluar dari apartemennya pagi itu. Udara Tokyo masih dingin, menusuk pipi dan telinga. Ia berjalan menuju Stasiun Yoyogi-Uehara. Ear muffler menempel di telinganya, melindungi dari sisa-sisa musim dingin yang belum rela pergi.Di telinganya, lagu “Kaiju no Hanauta” dari Vaundy mengalun melalui handsfree.Di stasiun, kereta pagi sudah penuh sesak. Petugas mendorong penumpang masuk agar pintu bisa tertutup. Sakura ikut terdorong ke dalam, penuh sesak, menjadi bagian kesehariannya.Sesampainya di Higashi-Ikebukuro, ia berjalan santai menuju kantor, ia sempatkan membeli kopi kaleng dari vending machine. Ia genggam erat, berharap kehangatan kaleng itu bisa menular ke tubuhnya yang terkena angin dingin yang berhembus dari sela-sela gedung.Dia mengecek jadwal hari itu — rapat bersama manajernya di Omiya.“Sakura, ayo berangkat. Pastikan dokumennya ya,” ujar manajernya.Semua terasa biasa. Tapi ada yang berubah.Di sela-sela rutinitas, Sakura memb

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - V

    Di dalam kereta yang mulai sepi, Heri berdiri tenang di sudut dekat pintu. Lagu “Fragrance” dari Mahiru dan RINZO mengalun lembut lewat earphone-nya, menyatu dengan pemandangan malam Tokyo yang berlalu di balik kaca.Tokyu Lines... hari ini dia kembali menyusuri jalur yang pernah jadi bagian hidupnya. Bedanya, sekarang ada Sakura di sampingnya. Kenangan dan kenyataan saling bertemu — dan hatinya terasa hangat.Sesampainya di hotel, ia bertemu beberapa rekan cabin crew.“Mas Heri, dari tadi ke mana? Hilang seharian,” tanya salah satu dengan santai.“Main sama teman,” jawabnya pelan, hanya tersenyum.Mereka bercerita tentang petualangan belanja di Shibuya, makan di Ginza, dan ketawa-ketawa di Ikebukuro. Mereka mengajaknya bergabung lain kali.Heri hanya mengangguk sopan. Tokyo yang mereka cari dan cintai... berbeda dari Tokyo yang ia simpan dalam hati. Untuk hari ini — dan mungkin hari-hari ke depan — ia ingin tetap egois, memilih Tokyo versi dirinya sendiri.Malam itu, di tengah hiruk

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - IV

    Aroma kari hangat menyebar dari dapur, menyelimuti rumah kecil itu dengan rasa nyaman. Di dalamnya, Akari cekatan membantu Yuriko menyiapkan makan malam, sementara Kenta mondar-mandir menyusun piring dan gelas di meja. Di ruang keluarga, Mayu duduk anteng di depan televisi, sesekali bersenandung mengikuti lagu iklan yang lewat.Dari ruang tamu, Sakura mencuri pandang ke dapur. Ada rasa ingin tahu yang timbul begitu saja.“Sakura, mau lihat?” ajak Yuriko sambil tersenyum hangat.Sakura mengangguk pelan dan melangkah masuk. Dapurnya kecil, tapi terasa hidup—penuh suara, wangi, dan tawa kecil. Di sudut, Akari sedang menyiapkan salad. Yuriko sibuk mencicipi saus kare di panci besar.Sakura memperhatikan dapur itu. Ada kehidupan di ruang ini. Suara, aroma, dan interaksi yang terasa akrab dan kehangatan.Dapur ini... sangat berbeda dari dapur apartemennya yang sunyi.“Kamu biasa masak apa di rumah?” tanya Yuriko sambil tetap mengaduk kari.Sakura tersenyum kikuk. “Jujur aja… aku lebih serin

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - III

    “Nii-san! Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke Tokyo?” seru gadis muda itu dengan nada setengah protes.“Eh… iya, hahaha. Aku udah janji sama seseorang soalnya, Akari-chan. Takut waktunya gak cukup,” jawab Heri sambil nyengir canggung.Mata gadis itu langsung beralih ke Sakura. “Nii-san… dia siapa?” tanyanya polos.Sakura segera memperkenalkan diri, tak ingin membuat situasi jadi kikuk. “Kitagawa Sakura, salam kenal.”“Namaku Yamamura Akari! Salam kenal juga, Kitagawa-san!” jawab gadis itu dengan antusias dan senyum lebar.“Nii-san,” lanjutnya sambil tersenyum jahil, “dia teman… atau ‘teman’?”“Ibu pasti senang kalau melihatnya!”"Ibu?" Sebuah pertanyaan cepat melintas di kepala Sakura. Siapa 'ibu' yang dimaksud…?Heri menghela napas kecil, lalu menjelaskan sambil menoleh ke Sakura.“Akari ini… anak tertua dari keluarga angkatku di Tokyo.”Sakura, yang sempat merasa bingung, mendadak merasa lega. Bahkan senang. Sosok dari masa lalu Heri yang selama ini hanya dia dengar sekilas, kini

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - II

    Jarum jam menunjukkan pukul 11.45.Sakura bersantai di sofa, memeluk bantal kecil di tangannya. Matanya nyaris tertutup karena mengantuk.Diliriknya ke arah tempat tidur. Heri masih terlelap… tapi… oh? Sakura mengucek matanya. Heri sudah membuka matanya setengah, menatap pelan ke arah Sakura.Dengan gerakan pelan, Heri mencari HP-nya dan mematikan alarm sebelum sempat berbunyi.“Sudah bangun, ya,” ucap Sakura pelan.Heri hanya mengangguk, menguap, dan mengusap wajahnya. Ia bangkit dan masuk ke kamar mandi, mencuci muka, lalu menunaikan salat.Gerak-geriknya rapi dan sistematis—seolah terbentuk dari kebiasaan panjang. Sakura memperhatikan dalam diam, hanya mengamati. Ada rasa tenang melihatnya begitu.Tanpa banyak bicara, Heri mengambil pakaian dari kopernya dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama, dia sudah siap sepenuhnya: sweater biru gelap dengan kemeja putih di dalam, celana jeans hitam, dan sepatu OnCloud kesayangan.“Jadi… mau kemana? Makan siang, ya?” tanya Heri sambil merapik

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - I

    “Kamu udah makan?” tanya Heri sambil berjalan pelan di samping Sakura.“Udah kok. Tadi sarapan onigiri, terus sempet ngopi juga di Tully’s pas nunggu kamu mendarat,” jawab Sakura.“Ooh ya,” lanjutnya, “kita…mau ke mana sekarang? Kamu ke hotel dulu, ya?”Heri mengangguk pelan. “Iya, aku harus check-in dulu dan naro koper. Terus…sejujurnya, aku juga pengen tidur sebentar sampe jam 12 sebelum kita jalan-jalan.”Sakura hanya tersenyum kecil. Sejujurnya ketika dia memutuskan untuk menjemput Heri di bandara dia tidak memikirkan “habis itu mau ngapain”—yang penting, dia bisa menjemput Heri. Bisa melihatnya langsung.“Sakura-san, kamu mau nunggu di mana nanti?”“Eh…ehm…mungkin di kafe dekat hotel kamu?” jawabnya ragu.“Gak kelamaan nanti kamu di kafe?” Heri tampak berpikir sejenak. “Atau…kalau kamu mau, ke kamar aja?”Hening.Keduanya tiba-tiba diam. Sunyi yang awkward.Sampai akhirnya Heri, agak tergesa, menambahkan, “Maksudku…ya kamu bisa duduk aja di sofa, nonton TV atau pesan cemilan lewa

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - VI

    PIIIPP PIIIPP...Suara alarm dari ponsel memecah keheningan pagi.Sebuah tangan langsung bergerak cepat mematikannya.Dengan mata setengah terpejam, Sakura mengangkat ponselnya—05:25 terpampang di layar.“Aku… kayaknya cuma tidur sebentar…” gumamnya lirih, masih dibalut rasa kantuk.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari ranjang, menyeret kakinya menuju kamar mandi.Sikat gigi. Cuci muka. Tarik napas panjang.Setidaknya, pagi ini dia berhasil bangun tepat waktu. Itu sudah pencapaian.Di meja kecil dekat jendela, Sakura membuka onigiri dan menyedot kotak jus jeruk dari konbini yang ia beli semalam.Apple Music memutar lagu secara acak, dan “Koi wo Shita nowa” by Aiko mulai mengalun.Entah kenapa, lagu itu terasa pas di pagi hari yang sunyi. Pagi ini terasa...istimewa.Sakura mengenakan celana jeans gelap, kaus nyaman yang ditutupi sweater putih, lalu winter coat abu-abu panjang yang sudah disiapkan semalam. Tak lupa sneakers New Balance putih favoritnya.Di depan cermin, ia merapikan ma

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - V

    TINGNotifikasi LINE berbunyi di ponsel Heri. Ia menaruh gelas latte-nya, membuka layar, dan membaca pesan dari Sakura."Sudah di bandara?""Sudah dong. Ini habis beli kopi, mau ke pesawat."Heri menyertakan foto: segelas kopi, koper, dan topi pilotnya di atas meja bandara."Kamu belum tidur? Di Tokyo udah jam 11 malam, kan?""Belum ngantuk >.!(semangat!)"Heri tersenyum kecil. Lagu “Innocence” dari NoisyCell mengalun pelan lewat earphone-nya."Arigatou (terima kasih)", balasnya."Tapi bobo gih. Katanya besok mau jemput di Haneda? Dari Yoyogi harus berangkat pagi loh~"TINGSakura membalas dengan selfie. Ia sedang tiduran, posisi miring ke kiri."Udah di kasur nih… tapi belum ngantuk ☹"Heri tertawa kecil."Kalau gitu… minum air hangat, terus coba hitung domba. Atau baca buku deh… buku matematika, misalnya. Biar cepet ngantuk 😆"Sakura tertawa keras.“Buku matematika katanya… emangnya aku anak SMA yang mau ujian nasional besok?”Dia memba

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - IV

    Malam hari di Tokyo. Angin dingin berhembus, menandakan musim dingin masih menyelimuti.Di kamar apartemennya, Sakura menatap layar ponsel dan menulis pesan LINE“Boleh gak... aku punya permintaan egois?”Heri cepat membalas,“Egois? Kenapa tuh? Apa apa?”Sakura ragu sejenak, lalu akhirnya menuliskan,“Aku mau jemput kamu di bandara. Aku kasih tau di awal biar kamu gak kaget... boleh?”Setelah mengirim pesan itu, Sakura langsung melempar ponselnya ke kasur dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal.“Ya ampun… kacau kacau kacau…” desahnya, deg-degan.Satu menit... dua menit... tiga menit…TINGLINE berbunyi.“Eh? Ya… boleh aja sih.”Jawaban simpel, tapi cukup untuk bikin Sakura gelisah berubah jadi girang. Dia menggoyangkan kakinya di kasur, senyum-senyum sendiri.Sementara itu di Jakarta, Heri termenung.“Waduh… kalo sampe diliat kru, gimana ya?”Tapi kemudian dia mikir, “Ah ya sudahlah… kayaknya nggak perlu disembunyiin juga.”Di kamar apartemennya, Sakura kembali menulis pesan. La

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status