Share

Bab 2. Penemuan Mayat di Kampus

Ada dua hal di daftar paling atas hal yang amat dibenci Aleena: (1) Terlambat Bangun, (2) Bertemu Azka.

Hari ini sial sekali. Ia terbangun pukul tujuh kurang lima belas menit, sedangkan mata kuliahnya dimulai pukul tujuh tepat.

Maka di sinilah Aleena, berlari tergesa-gesa membawa tas ransel seraya membenahi almamater di tubuh. Kepanikan begitu kentara dari pancaran raut wajah dan sorot mata perempuan itu. Napasnya sudah terengah-engah ketika berhenti di pinggir jalan hendak menyebrang.

Tatapan Aleena pasrah saat memandang lalu lintas hari ini padat sekali. Ia berkacak pinggang seraya mendesis panjang.

"Sshh... sial. Kenapa harus ramai sekali, sih?"

Aleena menunggu dengan gelisah sambil mengetuk-ngetukkan alas sepatu ke aspal. Tatapannya was-was mencari celah menyebrang.

"Ayo dong, cepet... cepet... nanti terlambat." Berulang kali bibir Aleena menggumamkan rapalan doa. Semakin melihat kendaraan begitu padat hingga tidak ada celah untuk menyebrang, Aleena menengok jam di pergelangan tangan. "Mana jadwalnya penting. Kenapa sih aku harus bangun telat?!"

"Woi, Aleena!"

Dan, inilah hal kedua yang paling dibenci Aleena.

Kedatangan Azka.

Aleena menoleh ke sumber suara begitu deru motor terdengar dari arah kanan. Laju motor hitam itu melamban hingga akhirnya berhenti di hadapan Aleena. Pandangan Aleena langsung berpaling menatap sisi lain sembari memutar bola mata jengah.

"Terlambat bangun lagi kamu?" tanya Azka setelah melepas helm, menyertakan nada mengejek.

Tidak ada respon dari Aleena. Ia tetap melipat tangan di depan dada. Dengan celingak-celinguk ia memandang sekeliling jalan, mencari celah untuk dirinya menyebrang.

Lelaki itu, Azka, melipat kedua tangan di atas helm, mencondongkan tubuh ke depan. "Lagian bisa-bisanya terlambat bangun. Kalau aku sih santai aja mau terlambat atau enggak. Lah, kalau kamu?"

"Memangnya kamu tau apa? Aku sibuk sekali semalam," jawab Aleena ketus, masih tidak berminat memandang Azka.

"Ah, dasar anak organisasi yang sibuk," ejek Azka terkekeh sinis. "Sesibuk apa, sih? Sibuk beneran atau pura-pura sibuk?"

"Berisik." Aleena lalu melempar tatapan tajam kepada Azka. "Kalau nggak bisa bantu apa-apa, nggak usah banyak bicara."

Azka memasang wajah memelas. "Ah... menusuk sekali," gumamnya, kemudian Azka menghela napas dengan raut sendu. "Oke deh. Padahal niatku mau bantu kamu, tapi kamu sikapnya sangat tidak patut dicontoh. Coba, bagaimana bisa kamu—hei, Aleena!"

Tanpa memedulikan ocehan berisik Azka, Aleena melenggang pergi begitu saja menyebrangi jalan. Jalan raya masih ramai namun ada celah kelengangan untuk Aleena bisa menyeberang. Tidak ada waktu mendengarkan ucapan panjang lebar Azka yang tidak penting.

Azka segera memasang helm dan men-starter motornya, hendak menyusul. Motornya diarahkan berbelok mengikuti ke mana langkah Aleena. Namun tatapan mata tajam itu tak sengaja melihat sebuah motor melaju dari arah kiri, berseberangan, dengan kecepatan nyaris kencang.

Azka melirik ke Aleena yang sudah hampir tiba ke tengah jalan. Perempuan itu sama sekali tidak menyadari kalau ada sebuah motor melaju dari arah kirinya.

Decakan kecil Azka keluar sebelum menutup kaca helm, lalu melaju ke arah putar balik jalan. Laju motor Azka beriringan dengan laju motor dari arah kiri, menyusul Aleena dengan kecepatan cukup tinggi, lalu menyalip Aleena dan menghentikan motornya. Posisi motor Azka setengah berbelok membentuk perlindungan untuk menghalangi motor supaya tidak menabrak Aleena.

Pergerakan Azka yang berhenti mendadak membuat motor dari arah kiri itu hampir terhuyung ke samping. Beruntung, pengendara motor itu bisa segera menyeimbangkan motornya sebelum kembali melaju—tentu saja disertai teriakan sumpah serapah sekaligus klakson bertubi-tubi kepada Azka.

Azka membuang napas lega setelah membuka kaca helm, lalu memandang Aleena yang berdiri terpaku di tempat. "Kamu gila, ya? Ada motor dari arah kiri malah tetap jalan santai bukannya berhenti sebentar!"

Aleena masih terlihat syok atas pemandangan barusan. Ia tak bisa berkutik sama sekali. "A-Azka... tadi... yang nyalip itu kamu?"

"Kamu pikir siapa memangnya? Ada lagi orang di sini yang mau menyelamatkan kamu, ha?" Azka mengomeli Aleena. Wajahnya menampakkan kejengkelan tak tertahankan.

Aleena mendecak. Azka lantas memberi isyarat lirikan mata ke jok belakang motornya. "Naik cepetan. Jalan bukan milik kamu. Kukasih tumpangan gratis khusus hari ini!"

Karena jalan mulai tidak lagi lengang lagi, Aleena bergerak cekatan menaiki motor Azka. Setelah beberapa detik tadi mencoba mencerna kejadian mengejutkan, tepat sebelum Aleena memakai helm yang diulurkan Azka, Aleena memaki, "Dasar gila! Kamu berhenti di tengah jalan sampai-sampai motor orang itu hampir jatuh!"

Azka menjawab ketika melirik sekilas. "Daripada kamu yang mati ditabrak! Hidupku terlalu berharga untuk dicemari pemandangan orang mati di hadapanku!"

***

Hari ini, pukul sebelas menuju siang hari, ditemukan mayat seorang perempuan di utara dekat laboratorium pertanian—tepatnya di bawah jembatan yang menghubungkan laboratorium pertanian menuju hutan buatan kampus.

Sudah sejak sepuluh menit lalu, ambulan membunyikan suara sirine. Berbondong mahasiswa dan mahasiswi berkumpul di tempat kejadian perkara. Garis kuning polisi membentang melingkar dengan beberapa petugas berjaga. Tidak ada yang boleh melihat dari dekat. Mereka hanya bisa melihat garis putih membentuk posisi tubuh mayat saat terakhir ditemukan.

Aleena berdiri beberapa meter dari garis kuning polisi memerhatikan semua aktivitas di depannya. Jantungnya berdegup tidak nyaman menyadari ada kematian seseorang di hadapannya. Lima petugas yang sibuk membungkus jenazah sebelum mengangkat menuju mobil ambulan.

"Rumornya dia mahasiswi yang menderita depresi karena tekanan olimpiade olahraga, tapi aku merasa nggak yakin."

Suara seseorang menyentakkan Aleena dari lamunan. Azka tahu-tahu sudah berdiri memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Sorot matanya lurus ke garis putih sebentuk posisi terakhir mayat. Di balik ketenangan wajah Azka, ada rasa tidak menyangka.

"Kamu berpikir apa soal kejadian ini?"

Aleena yang sedari tadi memerhatikan Azka kini memalingkan pandangan ke depan. "Itu adalah urusan pihak kampus dan petugas forensik. Bukan urusanku."

"Betapa apatis," cibir Azka, masih terdengar di telinga Aleena hingga Aleena menoleh lagi. Kali ini melempar tatapan tidak terima. "Seenggaknya ada sesuatu terlintas di kepalamu setelah menyaksikan ini, Aleena."

Tubuh Aleena berubah posisi menghadap Azka, meletakkan satu tangan di pinggang. "Contohnya?"

Barulah Azka memalingkan muka menatap Aleena yang mengangkat kedua alis. Secara terang-terangan perempuan itu memberikan pandangan tidak senang. Azka justru menarik sudut bibir membentuk senyum miring sekilas.

"Kenapa dia memilih bunuh diri di jembatan penghubung laboratorium pertanian dan hutan buatan kampus? Bayangkan di suatu film, hutan asli maupun hutan buatan adalah tempat lengang dan leluasa untuk melarikan diri. Apalagi hutan buatan kampus ini tertuju ke pemukiman warga sini. Tempat pemukiman warga berhubungan dengan apa?"

Sepanjang mendengarkan penuturan Azka, Aleena mengerutkan kening semakin dalam. Ada sorot tidak paham sekaligus jengah pada sepasang matanya. Namun bagaimana perubahan ekspresi wajah Azka menjadi serius, menatap Aleena tajam, membuat Aleena terpancing penasaran.

"Tempat meminta bantuan," lanjut Azka, lantas membuang napas kasar dan kembali memandang ke arah TKP. "Bagaimana kalau dia sedang mencoba melarikan diri? Entah dari arah pemukiman warga atau dari dalam kampus ingin menghindar untuk meminta bantuan. Ditambah titik jatuhnya di daratan alih-alih menjatuhkan diri ke sungai."

"Hei. Titik jatuh ke air tidak akan membuat kematian. Mungkin saja dia sudah stres dengan sesuatu, makanya memilih loncat ke daratan. Itu sudah jelas bunuh diri," jawab Aleena santai.

Azka tidak menghiraukan. Pandangannya masih tertuju ke garis putih yang membentuk posisi korban. "Posisi tubuh agak menyerong seakan menandakan kondisi dia sewaktu meloncat lagi dalam keadaan tergesa-gesa seakan pilihan terakhir dan sudah buntu sekali. Jadi, apa alasan di balik bunuh dirinya?"

Perkataan Azka membuat Aleena berangsur-angsur goyah. Keraguan terpancar jelas dari matanya.

"Tidak ada manusia yang benar-benar ingin mati, mereka hanya mau lari dari emosi," tutur Azka lagi. "Kalau dipikir-pikir, bukannya orang yang ingin bunuh diri tanpa ada desakan 'lain' sering memilih menjatuhkan diri ke sungai? Masih ada kemungkinan mereka selamat, dibandingkan menjatuhkan diri ke daratan yang berisiko langsung menghancurkan tulang-tulang mereka dan mati di tempat."

Azka memberi jeda sebentar. Sepasang matanya menyipit, mencoba berpikir lebih keras. "Seakan dia sungguh-sungguh menginginkan kematian itu tanpa ada kemungkinan selamat."

Sejenak bergeming, lantas Aleena menghela napas. "Keadaan terdesak 'lain' semacam apa?"

Manik mata Azka memandang Aleena yang masih tidak memahami ucapannya. Selama beberapa detik Azka beradu pandang dengan Aleena. Ada ketidakyakinan di wajah Azka. Meskipun begitu, Azka kemudian menjentikkan jari sekali dan pelan.

"Dikejar dan diancam seseorang."

Aleena terdiam untuk sementara waktu. Setelah hitungan sepuluh detik, tiba-tiba tawanya menyembur. Keseriusan pada sorot mata Azka memudar perlahan menyaksikan Aleena tertawa lepas. Kening Azka mengerut antara tidak paham sekaligus merasa tidak terima. Rasanya seperti pendapatnya ditertawakan secara terang-terangan.

"Aduh, sebentar," Aleena mengangkat satu tangan untuk memberi isyarat menunggu, "kamu itu lagi mengarang cerita, ya? Ngawur! Kenapa pikiranmu bisa melayang sejauh itu?"

Azka berkacak pinggang seiring helaan napasnya keluar. Ia menatap Aleena tanpa ekspresi apa pun. "Kamu mengejek?"

"Oh, enggak. Aku nggak ngejek." Usai mengatur napas setelah tertawa tadi, Aleena melayangkan tatapan bergurau kepada Azka. "Gini, Tuan Muda Azka, aku juga suka baca dan nonton film misteri detektif. Tapi kamu tau? Kita sebagai manusia nggak perlu terlalu berlarut dalam hal-hal fiksi seperti itu. Jangan banyak menghayal!"

Tatapan mata Azka menyorotkan kejengkelan kepada Aleena. Suasana yang sudah serius mendadak pecah. Aleena memberi seringai jahil sebelum akhirnya melenggang pergi dari hadapan Azka yang masih bergeming memandang tajam. Selama Aleena melangkah, tatapan Azka tidak berpaling dari punggung perempuan itu. Helaan napasnya kesekian kali keluar.

Sebelum Aleena semakin menjauh, Azka bersuara, "Kamu kelewat apatis, Aleena. Bagaimana kalau suatu saat kamu ada di posisinya?"

Entah mengapa, langkah Aleena mendadak berhenti. Tubuhnya menegang seketika. Ingatan kejadian tadi pagi melintas dalam kepala, mengingatkan Aleena kalau malapetaka batal menghampiri setelah bantuan Azka datang. Sesuatu terpikirkan di kepala Aleena: bagaimana jika nanti tidak ada Azka atau tidak ada bantuan apa pun ketika dirinya dihadapkan hal yang sama?

"Selama ini kita sering bertengkar, dan aku membencimu. Sayangnya sikapmu kali ini benar-benar tidak bisa kuwajari. Jangan begitu sombong, Aleena."

Aleena langsung membalikkan tubuh menghadap Azka. Dengan langkah cepat, Azka melenggang pergi melewati Aleena tanpa mengizinkan bibirnya mempertanyakan apa maksud kalimat itu. Ada secuil nyeri di hati Aleena mendengar pernyataan Azka.

Mengapa kalimat cowok itu terdengar seperti ancaman?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status