Share

Bab 6. Bibit Kecurigaan

Kelas mata kuliah terakhir sudah selesai.

Sejak ditunjukkan rekaman CCTV oleh Azka, Aleena memutuskan untuk membuat mind-mapping(¹) secara diam-diam. Di kepalanya sudah tersusun rencana untuk mendatangi lokasi yang berada dalam rekaman CCTV. Aleena sungguh-sungguh tidak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Sosok pria misterius yang mengikuti dirinya dan Azka dua malam kemarin membayangi pikiran Aleena.

Mengapa pria itu mengikuti mereka?

Aleena tidak merasa mengganggu siapa pun. Kalaupun memang seseorang itu berniat macam-macam, mengapa langkahnya ragu-ragu saat ingin mendekati ruangan persembunyian Aleena dan Azka?

Kalau saja keberadaan si pria misterius itu tidak tertangkap kamera CCTV, maka Aleena tidak akan ingin menelusuri. Masalahnya, Aleena merasa kalau pria misterius itu ada keterkaitan dengan foto-foto yang ditemukan di dalam kotak.

Bayangkan. Tiga foto polaroid dari salah satu kotak yang dikirimkan entah siapa menunjukkan wilayah Fakultas Kedokteran. Sementara pria misterius itu tertangkap kamera rekaman CCTV sedang memasuki gedung Fakultas Kedokteran.

Malam-malam. Membawa kantung plastik besar menuju hutan, lalu tidak kembali lagi.

Aleena menyusun beberapa hal: 1) Memeriksa hutan buatan di area Fakultas Kedokteran, 2) Menelusuri jam-jam tertentu lokasi CCTV dekat hutan ramai, 3) Memeriksa Fakultas Kedokteran memiliki kegiatan apa di malam hari—dalam pola pikir sederhana, Aleena menduga mengetahui kunjungan siapa saja di malam hari bisa mempermudah untuk mencari pelakunya, 4) Mencatat anggota-anggota ekstrakurikuler.

Kini Aleena berhenti melangkah di titik yang menghadap lurus tepat di depan kamera CCTV. Aleena sengaja berdiri memandang kamera CCTV, membiarkan dirinya terekspos kamera seakan ditelanjangi. Diam-diam Aleena mengukur jarak dari CCTV ke arah belokan titik berdirinya sekarang. Diperhatikannya secara lamat-lamat kamera itu, lalu gerakan bola matanya turun perlahan.

Tak jauh dari kamera CCTV, ada sebuah tempat duduk di bawah pohon rindang. Letaknya agak ke atas sehingga ada beberapa anak tangga keramik untuk menuju tempat duduk itu. Bentuk tempat duduk itu melingkari batang pohon berukuran besar di tengah. Akar-akar dari atas pohon bergelantungan ke bawah. Bergerak lagi ke sisi kanan, sekitar empat langkah tidak jauh, ada sebuah tiang se-pinggang kotak pos dan lampu taman.

Aleena tidak mengindahkan itu. Kembali ditatap kamera CCTV, kemudian menatap ujung kakinya sendiri. Aleena mencoba menghitung jarak dari CCTV ke titiknya berdiri.

“Sekitar sepuluh meter. Mengapa dia tidak sadar kalau ada kamera CCTV di sini?” Aleena bergumam kepada dirinya sendiri, mempertanyakan si pria misterius dalam rekaman CCTV.

Kepala Aleena terdongak, lalu memerhatikan sisi lain. Rupanya hanya ada satu jalan sebagai jalur ke sini—atau jangan-jangan ada jalur lain yang belum disadari Aleena? Mengingat pria misterius dalam rekaman CCTV tahu jalan tikus(²) yang tidak diketahui, bukan sesuatu tidak mungkin kalau pria misterius itu memiliki wawasan tentang denah kampus.

Aleena mengeluarkan notes kecil dari saku kemeja sekaligus pena. Dicatatnya sedikit hal baru: 1) Seseorang yang memiliki wawasan tentang denah kemungkinan adalah anggota dari kegiatan mahasiswa yang sering menelusuri bagian-bagian wilayah sekolah; 2) Seseorang memiliki jurusan berhubungan dengan penelitian—sebab ia bisa menelusuri titik-titik terkecil bangunan kampus untuk bahan penelitiannya.

Hal ke-3) seseorang yang mengetahui wilayah Fakultas Kedokteran: antara memang mahasiswa kedokteran atau mahasiswa yang sering duduk di bangku tribun bawah pohon.

Selesai mencatat, Aleena memerhatikan catatannya selama beberapa saat. Namun tak lama tatapannya menangkap sosok lelaki mendatangi kotak pos. Entah kenapa perhatian Aleena tertarik memandang aktivitas lelaki entah siapa di sana.

Lelaki dengan tudung hoodie menutupi nyaris seluruh kepala sedikit membungkuk di depan kotak pos. Salah satu tangannya terulur ke dalam kotak pos, lalu mengambil secarik kertas. Sebelum menegak, lelaki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian tatapannya jatuh pada Aleena.

Aleena agak terhenyak di tempatnya berdiri. Saat arah kepala lelaki itu tertuju padanya, Aleena berpura-pura melihat ke sekeliling seolah memeriksa siapa yang sedang diperhatikan.

“Hei, kamu.”

Suasana yang sepi membuat suara lelaki menggema. Aleena sontak menolehkan kepala ke sumber suara. Kedua alisnya terangkat menyaksikan lelaki hoodie itu melangkah mendekatinya.

“Kamu melihat seseorang meletakkan sesuatu di dalam kotak pos itu?”

Mendengar pertanyaan lelaki itu memancing rasa penasaran Aleena. Ia menggelengkan kepala. “Tidak. Seseorang seperti apa?”

Alih-alih menjawab, lelaki entah siapa di depan mata Aleena justru memerhatikan Aleena selama beberapa saat. Meskipun samar-samar serupa siluet sebab kepalanya agak tenggelam di balik tudung hoodie-nya.

“Rupanya memang tidak ada,” jawab lelaki itu disertai suara tawa sinis. Entah kenapa Aleena merasa suaranya yang dalam mengandung sesuatu tersirat. “Bukankah kau di sini berdiri memerhatikan kotak pos karena mengawasi suatu hal?”

Tunggu, apa katanya?

Apakah lelaki itu mengetahui kalau Aleena sudah sejak tadi berdiri di sini dan mengukur jarak dari kamera CCTV menuju titik Aleena berada?

“Kamu siapa?”

Lelaki itu hanya menurunkan tudung hoodie seakan ingin semakin menutupi wajahnya, membuat Aleena terpancing memiringkan kepala. Namun Aleena tidak sempat melihat wajahnya. Tanpa basa-basi ataupun menjawab pertanyaan Aleena, lelaki itu membalikkan tubuh dan melenggang pergi begitu saja.

Aleena sungguh tidak mengerti. Selama menyaksikan punggung lelaki itu, pikirannya melayang membayangkan berbagai kemungkinan. Sayangnya semua kemungkinan yang berputar di kepala berbentuk abstrak. Aleena hanya menangkap satu hal: seseorang yang meletakkan sesuatu dalam kotak pos.

“Siapa dia?” Aleena bergumam, bertanya kepada dirinya sendiri—mempertanyakan lelaki itu sekaligus siapa seseorang yang dimaksud dalam kalimatnya.

Rasa penasaran masih menggerayangi hati Aleena. Setelah punggung lelaki entah siapa itu sudah menjauh, Aleena memandang ke area tempat duduk di bawah pohon rindang. Kalau lelaki itu mengetahui dirinya sedari tadi berdiri di sini, bukan hal tidak mungkin kalau dirinya diawasi dari jarak jauh.

Namun Aleena tidak mengetahui di mana lokasi tepat untuk mengawasi seseorang dari kejauhan?

“Aleena.”

Tubuh Aleena tersentak bersamaan nyaris memekik. Di sampingnya, sosok Azka terpancing terlonjak sebelum menghela napas sambil memutar bola mata jengah.

“Astaga, mengejutkan,” ujar Aleena melirih, memegang dada bagian jantung. “Azka. Kamu bisa beri salam dulu sebelum muncul?”

“Aku memanggil namamu tadi. Bukankah itu terhitung salam karena tidak langsung menyentakkanmu?” jawab Azka, bersedekap.

Aleena yang jengkel—jujur saja ia tidak suka kalau dikejutkan secara mendadak—hanya membuang napas kasar. Pandangannya kembali berpaling ke area sekitar tempat duduk di bawah pohon rindang.

Karena penasaran, Azka mengikuti arah pandangan Aleena. “Kamu memerhatikan apa?”

“Azka...”

“Huh?” Mata Azka memerhatikan Aleena dengan sorot serius sekaligus penasaran.

Tanpa memandang ke arah Azka, Aleena bertanya, “Kalau seandainya kamu mengawasiku dari arah jauh, di tempat itu, kamu akan memilih tempat yang mana?”

Azka terhenyak. Kerutan keningnya semakin dalam. “Apa? Maksudmu...”

Barulah Aleena memalingkan tatapan menatap Azka. Serius. “Kau bayangkan kau berada di area itu...” Kalimat Aleena menggantung bersamaan satu telunjuknya terangkat mengarah ke area tempat duduk bawah pohon dan sekitarnya. “Kau berniat mengawasiku. Tempat mana yang akan kau ambil?”

Azka memerhatikan arah ujung telunjuk Aleena. Tak ada reaksi selama beberapa detik. Sepasang mata Azka memicing untuk memperjelas penglihatan. Namun setelah matanya kembali seperti biasa, Azka tertawa kecil.

“Aku tentu saja tidak akan berada di area sekitar itu,” jawab Azka yang kemudian memasukkan kedua tangan di dalam saku celana. Suara embusan napas kasar keluar.

“Lantas?” Aleena menatap penasaran.

Jari telunjuk Azka bergerak perlahan mengarah ke tiang kamera CCTV. “Di situ. Kamera itu. Aku akan menggunakannya untuk mengawasimu.”

Sepasang manik mata Aleena menatap kamera CCTV yang ditunjuk Azka. “Kamera? CCTV?”

Tertawa kecil, Azka menurunkan jari telunjuknya tanpa memalingkan tatapan dari kamera CCTV. “Seperti yang kulakukan malam itu, sewaktu kita dikejar seseorang misterius.”

Aleena nyaris saja menganga. “Ah! Kau akan menyadap kamera itu?”

Anggukan kepala Azka menjadi jawaban. Selengkung senyum puas mengembang entah untuk alasan apa. “Tidak akan ketahuan siapa pun. Kalau aku memilih berada di area sekitar tempat duduk bawah pohon, sekalipun terlihat tidak terjangkau pandangan, pasti ada orang dari sisi lain yang menangkap keberadaanku.”

“Kalau kamu bisa mengira-ngira, berapa lama jarak tempatmu berada ke sini?”

Sejujurnya Azka sudah merasa ada yang aneh dari pertanyaan Aleena. Garis-garis kerutan keningnya menampilkan keheranan. Namun tidak ada kalimat apa pun keluar dari bibir Azka. Lelaki itu bergeming sesaat guna menerka maksud Aleena.

“Jarak dari tempatku saat menyadap kamera CCTV ke sini?” Azka mengulang pertanyaan Aleena.

Aleena menganggukkan kepala. Lalu Azka menjawab, “Tergantung di mana aku berada. Tapi sepertinya aku bakalan ambil sudut yang itu untuk mengawasimu lewat kamera CCTV.”

Yang kedua kalinya Azka menunjuk suatu sudut, kali ini di sisi kiri. Tepatnya ke rerimbun daun liar pada tepi jalan setapak. Tingginya seukuran pinggang orang dewasa.

“Di balik daun-daun itu aku akan bersembunyi,” imbuh Azka dengan tatapan menyorot lurus ke arah yang ditunjuknya.

Aleena memerhatikan wilayah rerimbun daun liar beberapa meter dari tempat mereka berada. Kemudian pandangannya berpaling ke Azka, menangkap segurat kilatan tajam pada sorot sepasang manik matanya.

Seketika perasaan Aleena menjadi tidak enak saat melihat sorot mata Azka. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi, tetapi Aleena tak mampu membaca apa sesuatu itu. Selengkung senyum miring amat tipis terbentuk dari sudut bibir kiri—sudut yang tidak terlalu terjangkau penglihatan Aleena kalau saja Aleena tidak memiringkan kepala untuk memeriksa.

Setelah menuruni jari telunjuk dan menatap Aleena, Azka terkesiap. “Ada apa?” tanyanya mempertanyakan maksud tatapan Aleena.

“Tidak apa,” Aleena menjawab sambil menggeleng ragu.

Azka berdiri menghadapkan tubuhnya kepada Aleena, memiringkan kepala untuk memeriksa wajah Aleena. “Hei. Mengapa raut wajahmu terlihat khawatir? Tunggu... kenapa kamu bertanya soal itu?”

Aleena mendongakkan kepala. Pandangannya yang menyorotkan kecemasan hanya berjarak dua jengkal dari wajah Azka. Ditatapnya raut wajah Azka selama Aleena membayangkan kalau lelaki hoodie tadi melakukan hal yang sama. Tiba-tiba saja Aleena berpikir: bagaimana Azka bisa menjelaskan sedetail itu?

“Aku hanya penasaran,” balas Aleena akhirnya.

Sementara Aleena membuang pandangan lagi, Azka menggaruk tengkuk. Merasa canggung. “Kamu mencurigai aku?”

“Apa?” Dengan cepat Aleena menatap Azka. “Maksudmu?”

“Pertanyaanmu terdengar seperti sedang mengujiku, dan kupikir kamu mencurigai aku untuk hal tertentu.”

Penjelasan Azka memancing gelak tawa Aleena. “Hei! Memangnya aku akan mencurigaimu apa? Tidak usah parno seperti itu. Sugestimu liar sekali.”

Azka tersenyum agak canggung seraya menganggukkan kepala. Tawa Aleena berangsur-angsur memudar berganti seraut kepasrahan pada wajahnya.

“Aku akan mampir ke gedung Fakultas Kedokteran dulu,” pamit Aleena kepada Azka.

Tidak ada jawaban. Aleena pun tidak menunggu jawaban apa pun dari Azka. Rasa penasarannya sudah menggebu-gebu. Setelah mendengar penjelasan Azka, kemungkinan besar lelaki berhoodie tadi melakukan hal yang serupa. Aleena tidak memikirkan sisi lain seperti yang dipikirkan Azka.

Mendadak Aleena memikirkan bagaimana jika lelaki berhoodie tadi ialah lelaki semalam?

“Aleena, tunggu.” Dari belakang tahu-tahu saja Azka mencekal pergelangan tangan Aleena, menarik tubuh Aleena supaya berbalik. “Tunggu dulu. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”

Aleena menelengkan kepala, memandang Azka dengan kedua alis terangkat. Tidak ada ucapan dari bibir Aleena. Seakan mengerti, Azka kemudian melanjutkan, “Tidak ada sesuatu yang mengganggumu, ‘kan?”

Pertanyaan Azka langsung membekukan sekujur tubuh Aleena. Dia tidak bisa bereaksi apa pun, kecuali hanya berdiri kaku. Bola mata Aleena bergerak tak nyaman, dilanda rasa kikuk.

“Eum...” Aleena mengusap bagian belakang salah satu telinga. Tatapan mata menyelidik Azka tiba-tiba saja menjadi suatu hal yang membuatnya gugup. “Aku tidak ada masalah. Ya, benar. Tidak ada masalah.”

Raut wajah Azka menampakkan rasa tidak yakin, sedangkan Aleena tertawa kecil kikuk. Semakin Aleena berupaya untuk menutupi rasa canggungnya, semakin Aleena malah menunjukkan lebih jelas.

Cekalan tangan Azka perlahan melepas dari pergelangan tangan Aleena. Meskipun ragu-ragu, Azka tetap tidak mau mempertanyakan lebih banyak. Khawatir kalau Aleena merasa tidak nyaman mendengar serentetan pertanyaan. Pun, tidak mungkin juga Azka menunjukkan kalau dirinya merasa cemas.

“Pergilah,” suruh Azka seraya menggedikkan dagu menunjuk bangunan Fakultas Kedokteran. Seakan menyuruh Aleena segera masuk ke bangunan itu.

Aleena mengangguk pelan. Hanya tiga kali. Tanpa berkata apa pun lagi ia membalikkan tubuh untuk bergegas berlalu dari hadapan Azka. Sepanjang melangkah, ingatan pada saat Azka melakukan upaya penyadapan kamera CCTV melintas sekelebat.

Azka terdengar seperti memahami betul bagaimana sudut pandang lelaki berhoodie tadi. Apakah Azka pernah melakukan hal itu?

Sepanjang melangkah, Aleena sesekali menoleh ke belakang. Azka tidak berkutik sedikitpun dari posisinya berdiri. Tatapannya tak berpaling dari Aleena, seakan mengawasi sampai punggungnya benar-benar sudah menghilang.

Begitu memandang lagi ke depan, Aleena bergumam, “Azka... mengapa perasaanku tidak enak padamu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status