Share

Bab 5. Rekaman CCTV dan Rumor Bisnis Rahasia

Satu-satunya hal yang paling mengganggu Aleena sekarang adalah ketiga foto polaroid di tangannya. Hari ini ia memang berniat untuk menelisik gedung fakultas apa yang ada di foto ini, maka ketiga foto itu sengaja dibawa ke kampus. Namun meskipun Aleena sudah memerhatikan—bahkan sampai penjelasan dari sang Dosen masuk telinga kanan keluar telinga kiri, tetap saja otaknya tidak bisa mencapai pemahaman bangunan apa ini.

Masalahnya foto polaroid di tangan Aleena difilter BMW: hitam cukup tebal dengan agak keabu-abuan di beberapa titik.

Jangan salahkan Aleena karena tidak bisa menebak gedung bangunan fakultas apa. Seluruh gedung di kampusnya nyaris serupa dari bentuk bangunan, ketinggian, warna. Hanya dibedakan melalui bentuk pucuk gedung, dan masalahnya Aleena tidak hafal bentuk-bentuk pucuk gedung seluruh fakultas.

"Bentuk jendela yang nggak ada garis memecah empat... papan kayu di atas bangunan... jumlah anak tang—"

"Aleena!"

Langkah Aleena yang menyusuri lorong koridor terhenti. Kepalanya menoleh ke sumber suara, lalu mengerutkan kening melihat sosok Azka berlari kecil mendekatinya. Aleena celingak-celinguk ke sekeliling dengan raut bingung.

"Hei. Kamu sudah selesai jam mata kuliah?" tanya Aleena setibanya Azka di samping.

Dengan napas terengah-engah, Azka tadinya ingin berbicara, tetapi pandangannya tak sengaja tertuju ke tiga foto polaroid di tangan Aleena. Alisnya mengernyit bersamaan sedikit memiringkan kepala. Tanpa persetujuan Aleena, Azka tahu-tahu saja menyambar tiga foto polaroid dari tangan Aleena sampai perempuan itu terkesiap.

Hendak mengambil, namun tangan Azka menangkis tangan Aleena.

"Foto apa ini?" Azka bertanya dengan pandangan meneliti masing-masing foto, lalu tatapannya terhenti di salah satu foto. "Bukannya ini laboratorium fakultas kesehatan?"

Aleena menegang karena niatnya ingin merahasiakan foto-foto itu dari siapa pun. Mendengar pertanyaan Azka, Aleena sempat bergumam panjang. "Eung... itu... kamu memang bisa menebak dari mana?"

Azka mendongakkan kepala, melihat ke Aleena dengan sisa-sisa keheranan dari garis kening. "Tau, lah. Lihat deh latar pepohonan di area samping ini. Terus tiang-tiang lampu ini, di sampingnya ada tempat biasa buat kumpul para mahasiswa sama mahasiswi kedokteran, kan?"

Sejenak Aleena tampak termangu sebab Azka bisa memerhatikan detail seremeh lampu. Padahal bagian lampu itu mendapat filter gelap dan Aleena tidak menyadari keberadaannya sama sekali.

"Tunggu..." Aleena menjeda. Wajahnya tampak berpikir keras. "Berarti kamu bisa mengenali objek walaupun itu gelap?"

"Maksudmu?" tanya Azka balik. "Kau mempertanyakan apa?"

Saat itu juga Aleena baru tersadar. Ia justru membalas dengan cengengesan. "Ah, nggak. Bukan apa-apa. Sini kembalikan—" Kalimat Aleena menggantung sebab Azka malah mengangkat tiga foto di tangannya untuk menghindari jangkauan tangan Aleena.

"Tidak." Azka menatap Aleena tegas, tiba-tiba saja sorot matanya menajam. "Aku mau memberitahumu sesuatu, dan sepertinya berhubungan dengan foto-foto ini."

Aleena mengerutkan kening. "Ha?"

Belum sempat Aleena menerka apa yang terjadi, Azka kemudian menarik tangan Aleena. Aleena nyaris saja terhuyung ke depan kalau saja tidak segera menyeimbangkan tubuh. Entah harus bagaimana Aleena menggambarkan kekesalannya kepada Azka sebab Azka tidak mengatakan apa pun. Pria itu, dengan tanpa rasa bersalah, membawanya menyusuri lorong koridor.

Tujuan Azka dan Aleena kini adalah gedung komputer milik Fakultas Teknik Informatika. Sejujurnya Aleena canggung sekali karena beberapa kelas tampaknya sudah selesai jam mata kuliah. Azka mengajak Aleena memasuki salah satu ruangan, lalu menuju salah satu meja komputer.

"Sini, sebentar," titah Azka kepada Aleena seraya menarik perempuan itu mendekat. "Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan ke padamu."

Aleena memerhatikan Azka mengeluarkan benda semacam flashdisk dari kantung kemeja untuk ditancapkan ke CPU. Setelah itu Azka mengotak-atik dokumen hingga menampilkan sejumlah video. Kening Aleena mengernyit menyaksikan sejumlah video berjejeran di layar komputer.

"Azka... ini apa?" Aleena bertanya lirih tanpa memalingkan pandangan ke Azka.

"CCTV. Aku mencuri data CCTV di malam saat kamu kumpul dengan organisasimu."

Penjelasan Azka memancing keterkejutan Aleena. Selama sesaat pandangan Aleena tampak terperangah, tidak menyangka kalau Azka melakukan hal di luar nalar—baginya yang hanya sekadar datang-organisasi-pulang, perbuatan Azka tentu saja di luar nalar.

"Kamu melakukan hal itu untuk apa?" tanya Aleena.

Azka tidak menjawab, tetapi jarinya mengklik salah satu video. Sepanjang video itu berputar, Azka menuturkan penjelasan.

"Pukul delapan lewat sepuluh menit malam kemarin, kamu pergi menyusul teman-temanmu. Karena aku penasaran, aku coba cari tau ke mana si pria semalam pergi."

Mulanya Aleena memandang Azka, lalu berpaling ke video di komputer. Aleena mengernyit. "Pria? Kamu yakin itu pria?"

"Yakin sekali. Perawakan perempuan tidak mungkin tinggi tegap—walaupun mungkin saja, tapi tubuhnya tinggi sekali seperti pria."

"Terus, kamu menyusuri rekaman cctv yang mana?"

"Sebagai awalan, aku menyusuri cctv di koridor dan sekitar koridor itu, dan... lihat," Azka menunjuk salah satu video koridor tempat Aleena dan Azka bertemu semalam, "di video ini pria itu berbelok ke kiri. Tadi pagi sekali, aku coba datang ke jalur ini dan aku menemukan ada jalan tikus di sini."

Aleena memerhatikan video di layar komputer menampilkan pergerakan seorang pria persis seperti pria semalam. Matanya memicing ketika ia menyaksikan pria itu berbelok ke arah kanan, arah yang Aleena ketahui di situ hanya terdapat semak-semak yang berujung tembok. Tidak ada jalan ke manapun.

"Terus tadi pagi aku coba susuri jalan yang dilalui ini, dan jalan itu tembus ke taman dekat gedung fakultas kedokteran—persis daerah dekat lampu di foto polaroid-mu. Pria itu juga ketangkap di rekaman cctv area belakang gedung Fakultas Kedokteran."

Sepanjang Azka berpindah video setiap kali video yang sebelumnya selesai, di kepala Aleena hanya ada penggambaran abstrak. Siapa pria yang berkeliling saat malam sudah larut? Bagaimanapun Aleena mencoba menerka, Aleena tidak mengenali postur tubuh pria ini. Semua anggota organisasi ada di ruang Auditorium, lantas siapa yang berkeliaran ini?

"Yang paling aneh adalah video rekaman ini." Azka lalu membuka salah satu video rekaman cctv yang menampilkan pria itu memasuki gedung bangunan Fakultas Kedokteran. "Dia masuk ke gedung ini pukul delapan lewat dua puluh menit, lalu keluar pukul sembilan tepat. Aku masih belum paham selama satu jam itu dia berbuat apa di dalam gedung fakultas."

"Apa mungkin dia mahasiswa kedokteran yang malu untuk datang? Semalam kan ramai karena anggota organisasiku."

"Untuk apa dia datang ke lorong koridor gedung fakultasmu?" Lemparan pertanyaan balik dari Azka ini membuat Aleena terdiam. Azka lantas menjeda video ketika gambar menunjukkan pria itu hendak menuruni anak tangga. Aleena mendekatkan pandangan ke layar.

"Lihat. Dia keluar membawa kantung plastik. Lalu di video rekaman ini, pria itu datang ke area sebelah kanan ini. Sayang sekali rekaman cctv nggak terjangkau sampai area itu."

"Tapi kamu nggak coba ke sana?"

"Tentu saja kucoba ke sana. Area ini, yang tidak terjangkau rekaman cctv, adalah area kebun lepas. Kalau pria itu hanya sekadar di pinggir mungkin masih kelihatan di rekaman, tapi keberadaannya langsung hilang, berarti dia masuk lebih dalam ke area kebun. Setelah itu nggak ada lagi kemunculannya."

Video-video rekaman CCTV yang tampil itu entah mengapa mengalirkan perasaan tidak nyaman. Aleena memandang ke Azka yang memerhatikan rekaman CCTV dengan raut wajah gusar.

"Lantas kenapa kamu panggil aku ke sini?"

Azka mendongak menatap Aleena. "Kenapa? Betapa konyolnya pertanyaan itu. Menurutmu kenapa aku memanggilmu?"

Pertanyaan itu hanya dijawab melalui gelengan kepala.

"Aleena, kamu nggak merasa curiga? Pria ini datang ke tempat-tempat yang ada di foto polaroid-mu. Kamu nggak merasakan sesuatu?"

Barulah, setelah Azka menuturkan itu, Aleena nyaris menganga. Dia menunjuk ke layar komputer dengan segurat kecemasan dari garis-garis kerutan pada kening.

"Pria ini yang memotret foto ini untukku?!"

***

“Aku dengar ada kaitan antara kematian mahasiswi dua hari lalu dengan rumor bisnis rahasia."

Kalimat pembuka percakapan dari Jena memancing rasa penasaran Aleena yang sedari tadi memerhatikan tiga foto polaroid. Jena yang baru duduk setelah memesan makanan bertanya melalui isyarat lirikan mata ke arah benda yang dipegang Aleena, laludijawab gelengan kepala.

"Bisnis rahasia apa?" Aleena mengalihkan topik pembicaraan.

Beruntung Jena tidak memperpanjang keheranannya. Ia menjawab, “Nggak ada yang tau pasti. Katanya bisnis rahasia itu sebuah situs website yang dikelola sekelompok orang. Dugaanku sih, kalau ada hubungan dengan bisnis rahasia lewat situs website, berarti situs website itu bukan bisnis main-main.”

“Sekelompok orang yang mengelola itu siapa?”

“Nggak ada yang tau.”

“Kalau memang situs website-nya sendiri se-rahasia itu, berarti sekelompok orang yang mengelola juga jadi rahasia,” tutur Aleena. Pikirannya mulai melayang membayangkan gambaran sebuah situs website beserta organisasinya. “Bagaimana kalau seandainya mereka nggak tau satu sama lain siapa saking rahasianya?"

Kening Jena berkerut. “Kalau nggak tau satu sama lain, gimana caranya mereka bisa kerja?”

“Pastinya bisnis rahasia itu bukan pekerjaan tatap muka, Jen. Mereka mengendalikan dari jauh. Opsinya ada tiga: website transaksi narkoba, jual beli barang ilegal—selain narkoba, atau judi online. Cuman yang jadi pertanyaan tuh kenapa nggak terbongkar?"

Jena seketika terdiam memikirkan kalimat Aleena. Setelah nyaris lima detik, Aleena melanjutkan, “Berarti pembelinya nggak jauh-jauh dari mahasiswa dan mahasiswi kampus ini dong?”

Sepanjang Aleena menuturkan pemikirannya, Jena bergeming. Otaknya turut berputar mencerna kalimat per kalimat.

“Kayak misalkan ciri-ciri pengguna narkoba tuh pasti kelihatan dari matanya, cara berpikirnya—karena memengaruhi kinerja otak, kalau yang udah kecanduan banget pasti bisa sampai ngecap-ngecap gitu lidahnya. Langit-langit mulut mereka rasanya pasti nggak enak dan nggak mungkin mudah menyembunyikan itu,” lanjut Aleena kemudian.

“Kalau ternyata pembelinya bukan dari mahasiswa atau mahasiswi di kampus kita gimana, Len?” tanya Jena mencoba membuat sudut pandang baru.

“Aku nggak yakin. Ucapanmu tadi bilang kalau website itu rahasia, di mana mahasiswa atau mahasiswi di kampus kita aja banyak yang nggak tau, apalagi orang-orang luar?”

“Kamu nggak memperhitungkan kemungkinan anggota mereka bisa jadi menyebarkan ke orang luar.”

Suara berat itu menyentakkan Aleena dan Jena. Keduanya yang semula saling berpandangan serius langsung kompak mendongakkan kepala dan menegakkan tubuh. Seketika Jena dan Aleena salah tingkah melihat kedatangan Azka. Bukan salah tingkah romansa, melainkan salah tingkah percakapan mereka nyaris tertangkap telinga lain.

Namun Azka malah terkekeh, berjalan mendekat, lantas duduk di sebelah Aleena.

“Jen, semisalkan aku menawarkan kamu perhiasan original dari luar negeri dengan harga lelang cukup murah, apakah kamu mau?” Azka tiba-tiba melontarkan pertanyaan ini kepada Jena.

Jena tadinya memasang wajah meringis dan menatap Azka tidak yakin. Pandangannya beralih menatap Aleena seakan meminta persetujuan. Dijawab oleh Aleena melalui lirik mata ke Azka seakan menyerahkan keputusan pada diri Jena sendiri—mau menjawab atau tidak.

“Meragukan sekali,” jawab Jena dengan cara bicara ragu-ragu pula.

“Yah... memang bakalan meragukan kalau cara penawarannya begitu, menghabiskan energi karena harus berbicara dari satu orang ke orang lain, dan itu bukan bisnis rahasia namanya,” balas Azka. Sejenak ia mengubah posisi duduk seperti sedang mempersiapkan diri.

“Kalau cara penawaranku diubah jadi aku membuka suatu iklan dengan klik bait—tau, kan? Judul bodong. Kayak ‘Cara Cepat Mendapatkan Lima Ratus Dolar' lalu aku membuat strategi promosi dengan tampilan yang seolah-olah meyakinkan kamu akan dapat lima ratus dolar dalam sekejap, apakah akan membuat kamu tertarik?”

“Berlebihan, itu nggak mungkin,” tandas Aleena langsung.

Azka tetap menatap Jena. “Jen?”

“Bahkan orang yang nggak punya akal pun nggak akan tertarik hal itu, lah!”

Menghela napas, sekarang sepasang mata Azka berpaling memandang Aleena. “Len, perhitungkan segala kemungkinan, bahkan jika itu kemungkinan mustahil. Dari semua yang mustahil, kita bisa menemukan yang tidak mustahil.”

Aleena memberi tatapan tidak mengerti kepada Azka. Sementara pandangan Azka kembali tertuju ke Jena yang masih terlihat berpikir.

“Tapi akan jadi mungkin kalau orang itu bener-bener lagi butuh banget dana,” jawab Jena, menatap ke meja menerawang. Raut mukanya tampak tidak yakin. “Kalau memang nggak mungkin bisa memancing, nggak akan banyak orang yang jadi kena pencurian data karena mereka terlanjur login ke situs website dana cepat—paling seringnya kebocoran pinjaman online.”

“Binggo!” Azka menjentikkan jari. “Jadi kalau disusun dari semua begini: bisnis situs website bisa diperuntukkan hanya kepada orang-orang tertentu, ibarat satu wilayah itu aja—dengan strategi penawaran dari satu mulut ke mulut lain. Untuk yang ini nggak mesti kayak caraku menawarkan perhiasan ke Jena. Bisa jadi juga mereka punya relasi bisnis—dan tentu saja sesama bisnis rahasia—habis itu udah langsung ada deal tanpa harus ada penawaran lagi.”

Sepasang mata Azka menatap Jena dan Aleena bergantian. Meskipun begitu, Azka menggumam sementara waktu untuk mencari kalimat yang tepat. “Ada juga bisnis situs website yang memancing orang lain dengan cara klik bait seperti yang kubilang tadi. Tapi gimana kalau kita menghilangkan sedikit dari dua kemungkinan itu dan menggabungkan mereka?”

“Seperti apa?”

“Bayangkan sebuah bisnis website yang memakai trik penawaran secara langsung dari satu mulut ke mulut lain, ada hubungan ke relasi-relasi lain, lalu mereka memakai trik klik bait untuk memancing ketertarikan orang lain. Akan menjadi apa?”

Aleena dan Jena langsung saling melempar tatapan. Sorot mata mereka memancarkan kebingungan selama beberapa detik. Azka memerhatikan keduanya, kini dengan tatapan antusias menantikan reaksi. Lalu setelah beberapa detik, barulah Aleena menangkap sesuatu sementara Jena masih berpikir.

"Azka..."

"Kenapa? Udah ketemu jawabannya?"

"Kamu yang kenapa. Kok bisa menjelaskan lebih detil soal website rahasia itu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status