Share

Bab 7. Klub Teater Jiwa

“Semalam saya tidak mencatat pengunjung luar yang datang, Mbak. Hanya ada empat kegiatan ekstrakurikuler berjalan. Dua di antara empat itu memang mengenakan setelan hoodie abu-abu dan hitam.

Saya hanya tidak melihat ada keluar ataupun masuk. Sepertinya semua anggota ekstrakurikuler melaksanakan kegiatan di dalam gedung ini.”.

Kalimat yang diucapkan si penjaga meja resepsionis berputar di kepala Aleena selama kedua kakinya melangkah menyusuri lorong koridor. Kedua mata Aleena tegas menatap ke depan, melalui beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang memandangnya penuh pertanyaan. Namun Aleena tidak memedulikan sekeliling.

Aleena masih tidak bisa mencerna kalimat si penjaga. Bagaimana bisa dia tidak melihat ada yang keluar atau masuk kalau rekaman kamera CCTV jelas-jelas merekam ada seseorang melakukan itu? Berulang kali Aleena pikirkan sampai rasanya di kepalanya sekarang muncul kotak-kotak kemungkinan yang menggambarkan kejadian secara terpisah.

Semakin dipikirkan, justru Aleena semakin tidak bisa menemukan celah. Satu-satunya cara adalah memastikan langsung ke ruang ekstrakurikuler bernama teater jiwa. Entah apa maksud nama teater itu. Aleena membacanya dari catatan pengunjung di meja resepsionis tadi.

Ruangan yang menjadi tempat tujuannya ini ternyata cukup luas. Belum sempat Aleena tiba di pintu ruangan, seseorang keluar dari dalam ruangan. Menyentakkan Aleena sampai mundur beberapa langkah.

“Eh...” Aleena merasa canggung sesaat, lalu berdeham. “Apa benar ini ruangan untuk tempat latihan teater jiwa?”

Seorang lelaki di depan Aleena memandang dengan sorot mata tajam. “Ada apa?”

Aleena terkesiap. Kenapa cara bicaranya ketus sekali?

“Aku hanya ingin berkunjung,” jawab Aleena. Menyadari kalau ucapannya terkesan ambigu dan tidak jelas, buru-buru Aleena meralat. “Kunjungan antar fakultas. Aku ingin memeriksa bagaimana keadaan ekstrakurikuler fakultas lain.”

“Kunjungan? Sejak kapan kami menerima adanya kunjungan remeh seperti ini?”

Ucapan lelaki dengan setelan kemeja flanel biru dan celana santai itu sungguh menyinggung Aleena. Sama sekali tidak ada keramahan. Lihat saja kedua alisnya yang runcing di ujung dekat pangkal hidung seakan berbicara: ‘aku tidak butuh kau ada di sini, pergilah’.

Sorot matanya yang hitam redup tanpa emosi apa pun mengingatkan Aleena pada tokoh detektif dalam drama-drama thriller Korea.

Aleena menganggap lelaki ini tidak mengetahui bagaimana untuk bersikap kepada tamu.

“Kau tidak bisa memberikan reaksi yang lebih baik?” tanya Aleena, membalas keangkuhan lelaki di depannya dengan melipat kedua tangan.

Lelaki di depan Aleena baru saja ingin membuka mulut untuk bersuara. Namun tiba-tiba saja seseorang muncul melompat dari balik pintu, mengejutkan Aleena dan lelaki di depannya.

“Hayoloh, Kevin! Pantas saja aku merasa kau sepertinya belum pergi jauh dari ruangan ini. Apakah kau sedang berkencan?”

Aleena memalingkan mata kepada lelaki di depannya yang dipanggil Kevin. Samar-samar ia menganggukkan kepala singkat, baru mengerti nama lelaki itu.

“Ck. Jangan berbicara sembarangan,” tandas Kevin menyertakan nada bicara tidak suka. “Aku baru saja berhadapan dengan perempuan ini. Entah apa maksud ucapannya.”

Lelaki di samping Kevin mengalihkan pandangan kepada Aleena. Berbanding terbalik dari Kevin, lelaki itu justru melengkungkan senyum lebih lebar. “Hei, Aleena, ya? Kau itu wakil HIMA Fakultas Sosial dan Budaya, ‘kan? Wah, kedatangan tamu yang menarik!”

Tertawa kecil, Aleena mengangguk kecil. “Benar. Aku Aleena. Apa... kau mengenalku?”

Satu tangan lelaki itu terulur kepada Aleena, mengisyaratkan ajakan berjabat tangan. ““Salam kenal, aku Andre. Ketua teater jiwa.”

Tepat sekali, batin Aleena yang diam-diam menahan senyuman puas.

Dengan wajah antusias dan cekatan, Aleena langsung menjabat tangan Andre dan mengulum senyuman manis. “Halo, Andre, senang bertemu denganmu. Aku sebenarnya datang ke sini untuk kunjungan pribadi saja. Karena aku penasaran teater jiwa ini dengar-dengar akan mengadakan pentas dua minggu lagi. Apa aku salah?”

Setelah jabatan tangan mereka berdua terlepas, Andre membulatkan mata antusias. “Benar! Kami akan mengadakan pentas dua minggu lagi. Apa kau berkunjung karena ingin menyaksikan proses kami latihan?”

Tawaran Andre membuat Aleena semakin bersemangat, seperti ada gairah yang terpantik secara tiba-tiba. Padahal ia pikir akan sulit atau ditolak saat dirinya menyatakan alasan—yang tentu saja hanya alasan pura-pura saja—untuk berkunjung ke ruangan teater jiwa ini. Namun gelagat Andre tidak serupa seseorang yang akan berbuat macam-macam, termasuk mempermalukannya hanya karena berbeda fakultas.

Tanpa ragu-ragu Aleena mengangguk menyetujui. Raut wajahnya berbinar. Bukan karena ingin menyaksikan proses latihan mereka sebab jujur saja Aleena tidak terlalu berminat, melainkan akan semakin mudah memeriksa ruangan. Rencananya berjalan sangat lancar.

“Tentu saja!” Aleena menjawab begitu sumringah, seakan mendapatkan mainan terbaru. Ia merasa tertantang dan diam-diam mempersiapkan diri untuk menyelidiki ruangan. “Aku sangat penasaran dengan apa yang ada di ruangan ini.”

Dari samping Aleena, Kevin mengerutkan kening tanpa mengalihkan pandangan dari Aleena. Samar-samar kedua matanya memicing. Kecurigaan yang terpancar jelas dari sorot matanya itu tentu saja disadari Aleena sehingga kedua mata mereka saling beradu. Penuh ketajaman kepada satu sama lain.

“Apa kau benar-benar ingin mengajaknya masuk ke dalam?” Kevin bertanya kepada Andre tanpa mengubah ekspresi wajah sinis. Ada keraguan samar-samar dari tatapan matanya, seakan Aleena bukanlah seseorang yang tepat untuk diajak memasuki ruangan.

Tanpa menunggu Aleena menjawab, Kevin menyilangkan kedua tangan di depan dada dan semakin memberikan tatapan menyelidik. “Apa kau yakin kalau perempuan ini tidak memiliki tujuan tertentu?”

Suasana seketika canggung di antara ketiganya. Andre melihat Aleena mengeraskan rahang merasa geram, lalu melihat Kevin yang sama sekali tidak merasa bersalah. Andre memutar bola mata jengah sebelum menggelengkan kepala.

“Hei. Mengapa kau harus berkata seperti itu?” Andre menegur Kevin melalui tatapan matanya, meskipun Kevin hanya melirik sekilas kemudian menatap Aleena lagi. “Tentu saja Aleena boleh berkunjung. Apa yang membuatnya tidak boleh berkunjung ke ruangan teater jiwa?”

Aleena mengulum senyum penuh kemenangan setelah mendengarkan persetujuan Andre, sedangkan Kevin masih tidak memberikan ekspresi apa pun. Dari gurat pada kening lelaki itu menyiratkan hal yang tidak beres. Dari cara memandang Kevin sudah memancing Aleena merasakan perasaannya mengganjal. Apakah sesuatu sedang disembunyikan Kevin?

Andre saling memandangi kedua orang di depan matanya sedang saling melemparkan tatapan tajam secara bergantian. Dia menyadari jelas ada yang aneh dari kedua orang di depannya ini. Lantas Andre berdeham disusul tertawa kecil untuk menetralkan suasana, membuat kedua orang di depannya langsung terkesiap.

“Ada apa? Apakah kalian ada permasalahan pribadi...” Kalimat Andre menggantung begitu melihat Aleena dan Kevin serempak memalingkan mata memandangnya. Sebuah senyuman menyengir terbit. “Ah... tidak, aku tidak akan mengatakan apa pun. Selesaikan permasalahan kalian nanti saja.”

Kemudian Andre berpaling kepada Aleena. “Sini, silakan masuk. Kau harus melihat bagaimana teater jiwa berlatih sekeras mereka.”

Saat dirinya mulai melangkahkan kaki bersama Aleena, Andre memandangi sekeliling ruangan. Terpancar kelegaan melalui raut wajahnya. “Akhirnya ada yang mengunjungi teater jiwa setelah dua minggu belakangan ini kami justru mendapatkan penolakan.”

Aleena mengernyit, mendongakkan kepala karena tinggi badan Andre melebihi dirinya. “Penolakan? Bukankah cukup banyak yang antusias ketika kalian mengadakan pentas sekaligus pesta antar fakultas?”

“Memang, dan itu sudah terjadi lama sekali. Semenjak kasus penemuan mayat dua minggu lalu, kami jadi jarang sekali kedatangan orang sepertimu,” papar Andre tanpa melihat ke Aleena. Nada bicaranya terdengar berat hati.

Sebelum menjawab apa pun Aleena memerhatikan Andre untuk membaca sesuatu dari balik matanya. Entah mengapa sorot kesedihan yang tersirat memancing perasaan Aleena menjadi terenyuh. Kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyum kecil, lantas menghela napas berat.

“Memangnya kenapa?” tanya Aleena yang sejujurnya tadi sempat berpikir supaya tidak menyinggung perasaan Andre. “Kupikir teater jiwa adalah ekstrakurikuler yang menarik walaupun aku baru bisa menyaksikan lewat video. Menarik sekali karena kalian membawakan tentang simulasi autopsi dan memeragakan bagaimana tiap-tiap detail seperti lebam di tubuh mayat bisa menjadi bukti dengan karakter-karakter unik.”

Mendengar penjelasan Aleena memancing sudut bibir Andre tertarik membentuk senyuman sinis. “Kau menyukai apa yang kami pentaskan?”

Aleena menjentikkan jari dan mengangguk penuh keyakinan. “Tentu saja! Setelah penonton disuguhkan bagaimana cara kalian mengautopsi dan memeragakan lebam, luka, goresan atau tanda bukti apa pun menjadi tokoh.”

“Ya... aku memang senang pertunjukan seperti itu, aku... sangat senang ketika semua mata tertuju padaku,” tutur Andre. Nada bicaranya disertai tawa kecil di akhir kalimat. “Dan aku membuat teater ini karena ingin memberitahu, kalau kematian seseorang bukanlah perkara sepele.”

“Sebab itu kau menamakan ‘teater jiwa’? Jiwa berarti manusia yang sudah tidak ada?” tanya Aleena penasaran.

“Bisa juga mereka yang masih di ambang kehidupan dan kematian,” imbuh Andre, kemudian memalingkan tatapan kepada Aleena dengan sorot mata penuh keramahan itu.

Aleena mengangguk-angguk paham mendengar penjelasan Andre. Di kepalanya mulai berpikir tentang pentas teater jiwa yang dilihatnya melalui video beberapa bulan lalu. Ingat sekali dirinya kalau teater jiwa ini mementaskan sesuatu yang berbeda. Bagaimana tidak? Mereka mementaskan pemeragaan di mana mereka menghadapi situasi kematian seseorang, atau saat seseorang sedang sekarat.

Tindakan autopsi yang mereka peragakan menarik banyak perhatian. Selain itu mereka juga membagi kelompok, ada empat atau lima orang yang akan memeragakan lebam, luka gores, dan tanda-tanda lain pada tubuh orang meninggal. Seakan tanda-tanda itu bisa berbicara untuk mengatakan tentang proses kematian orang yang sedang diautopsi sehingga mereka bisa mengetahui bagaimana pembunuhan itu berlangsung.

Tentu saja sebagai penggemar novel atau drama bergenre thriller, Aleena penasaran dengan klub ekstrakurikuler ini.

“Jadi, sejak kapan kau penasaran dengan ekstrakurikuler kami?”

Suara Andre membuyarkan ingatan Aleena yang sedang berputar. Aleena tersentak, lalu mendongakkan kepala memandang Andre bertanya.

“Hm?”

Andre tertawa kecil. “Kau melamun, ya? Ya sudah anggap saja pertanyaanku tadi tidak ada,” katanya yang tidak menyertakan nada bicara kesal sedikitpun. “Ayo ke sana, sekarang anak-anak lagi menghafalkan naskah dan mempelajari bagian-bagian pada tubuh mayat.”

Sepasang mata Aleena terbelalak. Entah dari mana terlintas suatu pemikiran gila di kepalanya. “Apakah tubuh yang digunakan sungguhan?” tanyanya, mengungkapkan pemikiran gila itu.

Pertanyaan Aleena memancing Andre terkesiap. Selama sesaat Andre memandang Aleena yang tampak memancarkan kekhawatiran sekaligus penasaran. Setelah itu tawa kecilnya lagi-lagi keluar. Tenang dan dalam.

“Kuharap bisa seperti itu.”

Entah mengapa Aleena langsung terdiam. Langkahnya terhenti, tetapi pandangan kedua matanya tetap tertuju ke punggung Andre. Andre sama sekali belum menyadari kalau Aleena tertinggal di belakangnya. Kalimat jawaban Andre terdengar tidak menyenangkan di telinganya. Ada gelenyar aneh di dalam dada.

Mengapa Aleena merasa tersentil dan aneh dengan kalimat Andre?

Baru ingin melanjutkan langkah, sepasang mata Aleena tak sengaja memandang ke suatu arah—dan itulah yang membuat langkahnya kembali terhenti. Beberapa meter darinya, tepat di sebuah ruangan lain dalam ruangan ini, pintu yang terbuka menunjukkan sesuatu. Meskipun berjarak beberapa meter, tetapi kedua mata Aleena masih bisa menangkap sebuah benda.

Kantung plastik hitam yang diletakkan begitu saja—kantung yang sama seperti kantung hitam yang dilihatnya pada rekaman CCTV.

Napas Aleena tercekat.

“Aleena?”

Panggilan seseorang membuatnya tersadar. Aleena menoleh dan mendapati Andre memandangnya dengan kedua mata tajam. Keramahannya berkurang, dan sepasang mata itu menunjukkan kecurigaan.

“Kau memerhatikan apa?” tanya Andre dengan nada bicaranya yang menyiratkan makna.

“A-ah, itu...” Ucapan Aleena menggantung, seketika merasa gugup. Namun Aleena tidak mau menunjukkannya. “Ruangan apa yang ada di sana?”

Arah tatapan Andre berpaling mengikuti arah yang ditunjuk Aleena melalui gerakan dagunya. Selama lima detik tidak ada jawaban dan tatapan Andre tetap terpaku pada ruangan lebih kecil di ruangan ini. Namun tak lama kemudian senyumannya mengembang.

“Oh, itu,” Andre tertawa kecil, “ruangan tempat ganti baju dan menyimpan barang-barang.”

“Menyimpan barang-barang?” gumam Aleena, mengutip kata dalam kalimat Andre. Masih ada rasa mengganjal di dadanya selama memandang ke arah ruangan di sana.

Andre sedikit memiringkan kepala dengan salah satu alis terangkat heran. Tak ada suara apa pun sepanjang memerhatikan Aleena yang sepertinya sedang bertanya-tanya tentang sesuatu dalam ruangan di sana. Setelah itu Andre berdeham kecil, lalu menegakkan lagi kepalanya sembari menyilangkan kedua tangan depan dada.

Aleena kembali tersentak, memandang ke arah Andre. Namun kini tatapannya penuh ketajaman dan rasa ingin tahu. “Apa ada barang-barang khusus yang kau simpan di ruangan itu? Ada kantung plastik hitam seperti kantung sampah. Kau tidak mungkin menyimpan sampah di ruangan itu, ‘kan?”

Suasana di antara mereka berdua tiba-tiba hening. Di antara gelak tawa dan percakapan lainnya, Andre dan Aleena hanya saling melempar pandangan ke satu sama lain. Melihat ketajaman pada sorot mata Aleena memancing sudut bibir Andre menyunggingkan senyuman miring.

“Dan sepertinya ada kantung plastik yang letaknya agak miring dibandingkan dua kantung plastik lain, seolah-olah kantung itu baru bersandar ke sesuatu dan sesuatu itu sudah diambil.”

Andre belum menjawab. Tatapannya seakan ingin mendengarkan kalimat Aleena lebih lanjut.

“Kalau itu sampah, seharusnya diambil semuanya. Mengapa tidak diambil semua dan... letak kantung plastik yang agak miring itu seperti diambil terburu-buru?” Aleena menaikkan kedua alis saat mempertanyakan pertanyaan ini.

Ini aneh. Aleena sendiri tidak tahu mengapa pikirannya memikirkan pertanyaan itu. Padahal jarak dirinya dan kantung plastik di sana tidak sedekat itu untuk dirinya bisa menyimpulkan hal yang baru saja dikatakannya. Satu hal lagi: banyak kantung plastik hitam yang sama, ‘ksn?

Sayangnya Aleena terlanjur merasa penasaran. Setelah mempertanyakan hal itu, Aleena pikir Andre akan menunjukkan suatu tanda-tanda yang memenuhi rasa curiganya. Namun Andre justru melunturkan ketajaman pada sorot matanya.

“Kau merasa begitu penasaran tentang kantung plastik hitam itu?” Andre bertanya balik.

Setelah itu Andre memalingkan pandangan ke arah lain. Aleena mengikuti pandangan Andre. Satu tangan lelaki itu terangkat memanggil seseorang.

“Ferdian!” Begitu yang dipanggil menoleh, Andre kemudian berkata, “Kau lihat kantung plastik pakaian kotor itu? Sudah bertumpuk. Cepat kau antar ke laundry!”

Aleena mengernyit, nyaris saja menganga karena tidak percaya. Lalu Andre menoleh kembali ke Aleena dengan senyuman ramahnya.

“Itu kantung pakaian kotor anak-anak di sini. Mereka suka menginap karena latihan kami memang mengharuskan untuk tidak pulang. Sayangnya kantung-kantung itu belum diantar ke laundry.”

Perasaan Aleena masih tidak yakin. “Lalu kantung yang kelihatan seperti kehilangan sandaran, ke mana kantung plastik yang dijadikan sandarannya?”

Satu detik kemudian Aleena langsung meralat pertanyaannya. “Apa semalam ada yang mengantar ke laundry?”

Andre mengerutkan kening, tetapi senyuman yang menyiratkan suatu makna itu tidak meluntur sedikitpun. Selama menunggu jawaban, sepasang mata Aleena memancarkan pengharapan. Sepertinya ia tidak menyadari kalau dirinya menunjukkan dengan jelas rasa ingin tahu. Sayangnya Andre menangkap itu.

“Tidak ada,” jawab Andre sambil menggeleng singkat. “Tidak ada yang keluar dari ruangan ini karena kami sedang berlatih memeriksa tubuh mayat manekin.”

Aleena terhenyak. Ia tidak bisa menjawab apa pun. Pikirannya memutar bayangan video rekaman CCTV. Pernyataan Andre selaras dengan pernyataan dari si penjaga meja resepsionis tadi. Namun Aleena sama sekali tidak merasa yakin. Tidak mungkin rekaman video CCTV itu salah padahal sudah jelas di rekaman itu menunjukkan seseorang itu keluar dan masuk bangunan.

Lagipula seseorang yang berada di rekaman CCTV memakai hoodie yang sama seperti hoodie setelan anak-anak teater jiwa. Kalau tidak ada anak-anak teater jiwa yang keluar, lantas siapakah seseorang...

“Hei, Aleena!”

Aleena tersentak saat tangan seseorang menepuk salah satu pundaknya. Begitu menoleh, sosok Azka memberikan senyum sumringahnya. Kemudian Aleena melihat tangan Azka yang melingkari pundaknya.

“Kau...”

Kalimat Aleena menggantung setelah tatapan matanya tertuju pada satu kantung plastik hitam berukuran besar yang digenggam Azka.

“Ah, di sini rupanya,” ujar Azka disertai tawa bergurau di akhir kalimat, lalu tatapannya berpaling kepada Andre. “Izinkan kami yang mengantar ke laundry ini karena aku juga mau mengambil pakaian kotorku.”

Andre menaikkan alis. Yang semula ekspresi wajahnya menampakkan keheranan, lama-kelamaan menjadi normal lagi. “Ternyata walaupun sudah dilarang, kau tetap kekeuh. Aku sungguh tidak menyangka ada yang mau berkunjung sampai mengantarkan pakaian kotor ke laundry.”

Azka tertawa cengengesan. “Astaga, tidak apa. Aku baru ingin berkunjung dan bertemu Febrian seperti kesulitan membawa kantung-kantung plastik ini sendirian di pintu masuk.”

Sungguh, Aleena tidak tahu bagaimana jalan pikiran Azka dan apa rencananya kali ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status