Share

Topeng si Pembunuh
Topeng si Pembunuh
Penulis: moondavest

Bab 1. Kotak-kotak Misterius

Di sebuah ruangan sepetak, satu-satunya penerangan hanya sinar laptop. Seseorang bertudung jaket hitam sibuk bersenandung lembut. Suaranya menggema di antara kesunyian dalam ruangan. Sepasang matanya terpejam menikmati suara senandungnya sendiri.

Sudah lima belas menit berlalu layar laptop menyala. Ada sebuah gambar jeda video yang menampilkan seorang perempuan mengenakan pakaian minim—baju ketat tanpa lengan mengekspos bahu mulus sekaligus tulang selangka—meneguk sebuah minuman alkohol dengan posisi setengah terbaring ke arah kiri dan tangan kiri menopang tubuhnya.

Suara isak tangis seorang perempuan menggema di sunyi senyap ruangan. Sumbernya dari telepon rumah yang tak jauh dari seseorang bertudung ini.

"K-kau... kau tidak bisa berbuat... macam-macam denganku," ujar perempuan itu di sela isaknya.

"Oh, ya?" Senyuman miring merasa tertantang melengkung. "Makanya itu, aku sangat penasaran sekali untuk—"

"Tidak! Tidak! Kumohon..."

Seseorang bertudung ini tertawa dengan nada tertimbun. Mengejek perempuan di telepon yang bersikap sok berani tetapi menciut dalam waktu bersamaan.

"Kau tau? Kau sungguh menarik di foto ini," ujar seseorang itu. Matanya menelusuri foto di layar laptop. "Banyak bagian yang menyenangkan."

Salah satunya adalah seorang lelaki berada di sebelah perempuan itu. Lengannya memegang bahu kanan si perempuan yang terkespos sempurna sambil berpose mengecup bahu. Perempuan itu memiringkan kepalanya ke kiri dan membiarkan bibir lelaki itu berada di leher, mengecupnya dengan sensual.

Ini pemandangan sempurna!

Lelaki dengan tudung jaket membenamkan hampir seluruh wajah itu tak menyurutkan seringai. Ia memejamkan mata, membayangkan jika video ini tidak lama lagi akan memantik keramaian.

Perasaan tenang sekaligus gairah begitu menggebu-gebu mengalir ke celah-celah dadanya. Sensasi menyenangkan itu membuatnya mendongakkan kepala, merasa tubuh di awang-awang kenikmatan. Berapa kali pun dibayangkan, sensasi menyenangkan itu tetap mengalir.

"Tolong... ampun... aku harus bagaimana?"

"Kau harus bagaimana? Hmm... sebentar, biar kupikirkan. Kau ada ide?"

"Jangan seperti itu! Aku sudah menuruti keinginanmu, mengapa kau justru membalas dengan ini?"

"Kau yang bodoh," tandas seseorang bertudung. "Jelas-jelas kau yang membiarkan dirimu masuk dalam jebakan. Mengapa tidak menggunakan otakmu sejak awal?"

Isak tangis perempuan di telepon masih terdengar. Semakin suaranya menggema, semakin seseorang bertudung merasakan sensasi kenikmatan dalam dadanya.

"Kau tau bahwa kau tidak bisa bermain-main denganku, 'kan?" Lelaki itu bersuara pelan sekali. Merendah. Mengintimidasi. "Kalau seandainya video ini tersebar, aku membayangkan bagaimana nanti—"

"Tidak! Tolong... kumohon jangan..." Lalu sesegukan. Suaranya menyayat, persis seperti kehilangan harapan dan tidak tahu harus berbuat apa. "Aku akan lakukan apa pun untukmu. Kumohon jangan biarkan siapa pun mengetahui video itu."

"Ah... negosiasi. Aku benci negosiasi. Sebab apa? Kau terdengar seperti orang lemah," jawab lelaki itu dengan embusan napas kecewa. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Mengapa tidak melawanku saja?"

Tidak ada jawaban selain sesegukan. Perempuan itu berusaha menahan gemetarnya. Sayang sekali. Bagaimanapun juga seseorang di depan layar laptop tetap bisa menangkap suara gemetar di telinga, dan begitulah sensasi menyenangkan makin menyeruak: rasa tenteram mengalir perlahan, kemudian berakhir tawa lepas seraya bertepuk tangan pelan.

"Kau tau? Ini menyenangkan!" Dia bersuara di tengah tawanya. Seakan suara isak tangis dan gemetar perempuan itu adalah imun untuk hatinya. "Semakin kau menangis, semakin suaramu terdengar sangat merdu di telingaku."

"Ku-kumohon... aku akan memberikan... apa pun. Apa pun y-yang k-kau mau."

"Apa pun? Dusta!"

"A-aku tidak berdusta...."

Lelaki itu tertawa sinis. Kembali ia bersenandung hingga membuat isak tangis perempuan itu semakin sesegukan. Hanya selama sekitar sepuluh detik senandung itu bergema di ruangan sunyi senyap ini. Sebelum akhirnya tubuhnya menegak, mengulurkan jari telunjuk ke arah keyboard, menggigit bibir dengan senyum antusias.

"Kau terlambat, Sayang."

Jari telunjuk itu menekan tombol enter pada keyboard. Perempuan itu menjerit ketakutan sebab mengetahui apa maksud di balik kalimat 'terlambat'. Tombol enter itu mengantarkan video yang dijeda tadi masuk ke dalam beranda sebuah situs website. Dalam hitungan lima detik, setelah proses loading, video itu sudah terpampang di beranda website itu bersama sekumpulan video serupa lainnya.

"Brengsek! Kau brengsek! Bukankah aku memintamu untuk berhenti?!"

Makian perempuan itu tak berarti apa-apa. Lelaki itu menyandarkan lagi tubuhnya, memandang layar laptop. Segurat kepuasan terpancar dari sorot mata legam redupnya. Untuk kedua kali tawanya mengudara. Lebih kencang dan puas.

"Dasar manusia munafik. Sekarang kau malah memaki?"

***

Belakangan ini Aleena sedang dilanda kekhawatiran seiring perkembangan berita kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang merebak cepat. Kasus-kasus itu saling timpal-menimpali, setiap hari tanpa henti, memancing ketakutan dalam ruang hati dan pikiran Aleena. Tak ada hari tanpa merasa ada seseorang yang mengawasinya, pun tak ada tempat yang dirasa aman baginya.

Selama seminggu Aleena hanya sekelebat membuka sosial media. Rasanya menguras tenaga menyaksikan berita-berita serupa bermunculan. Era digital membuat pelecehan seksual bukan hanya bisa dilakukan di realitas, tetapi bisa melalui digital. Perasaan Aleena cemas tiap kali seseorang tak dikenal mengetuk DM sosial medianya.

"Pemerkosaan yang dilakukan seorang kakak kandung dari ayah korban tak hanya sekali, namun berulang kali. Pelaku juga melakukan hal itu kepada korban ketika sedang masa menstruasi—"

Tayangan televisi dimatikan oleh Aleena menyisakan kesunyian pekat. Hanya suara deru napasnya sendiri yang mengisi ruangan kamar. Ia menghela napas berat. Kesekian kalinya, lagi-lagi berita yang sama.

Aleena baru setengah bangkit dari posisi duduk, tetapi suara dering telepon ponsel terdengar. Alisnya mengernyit memandang nama di layar ponsel. Segera ia menyambar ponsel dan mengangkat telepon itu.

"Ada apa, Laura?" tanya Aleena sambil melangkah menuju kulkas.

"Aleena, sepertinya aku akan izin besok," ujar Laura di seberang. "Bisakah aku menitip absen padamu? Ada sesuatu urusan mendadak yang harus kukerjakan besok."

Alis Aleena mengerut. Ia membuka pintu kulkas dan mengecek isinya. "Hei, ada apa? Biasanya kamu nggak pernah mau titip absen."

Helaan napas Laura terdengar bersamaan helaan napas Aleena. Sepasang mata hitam redupnya sudah selesai menyusuri isi kulkas seakan tidak bernyawa: hanya ada sebuah botol air mineral berukuran medium yang tersisa. Botol lainnya sudah kosong melompong. Oh, ada empat sosis seukuran jari telunjuk orang dewasa.

Betapa sial Aleena selalu merasa berat hati setiap kali melihat isi kulkas menuju akhir bulan.

"—jadi, aku tidak bisa sama sekali buat ke kampus besok?"

Tunggu, Laura berkata apa tadi?

Aleena meringis seraya menutup kulkas. Memikirkan jatah akhir bulan malah membuatnya tidak fokus mendengarkan Laura. Namun Aleena mengiakan saja akhirnya.

"A-ah... heum... baiklah, Laura. Kamu boleh menitip absen besok. Akan kulaksanakan," ujar Aleena meskipun ia tidak mendengar penjelasan Laura tadi apa.

"Oke, Aleena! Kamu memang baik hati!" Laura bersorak riang. Entah kenapa.

Setelah itu telepon ditutup, bahkan sebelum Aleena sempat membalas. Alhasil Aleena memandang bingung layar ponsel sebelum membuang napas kasar. Pandangannya melirik ke jam. Sudah bertambah lima belas menit semenjak mengangkat telepon. Cepat sekali.

Tanpa mengulur waktu, kedua kaki jenjangnya segera melangkah keluar kamar asrama seraya menyambar jaket hoodie pada gantungan dekat pintu.

Begitu pintu terbuka, angin dingin malam menerpa wajah Aleena. Baru maju selangkah seraya menutup pintu, mengunci, lalu tatapan mata Aleena tidak sengaja menangkap sebuah kotak berwarna coklat berukuran medi di bawah jemuran kecilnya. Pergerakan tangan Aleena yang mengunci pintu melamban.

"Kotak ini lagi?" gumamnya memandang terperangah kotak di depannya.

Sejujurnya membicarakan soal perasaan seperti ada yang mengawasi, alasan lebih mendominasi adalah kotak ini. Sudah kelima kali kotak ini ditempatkan oleh entah siapa di depan kamar asramanya. Tidak ada alamat pengirim, tidak ada nama pengirim.

Aleena mengembuskan napas jengah sebelum melangkah mendekati kotak itu lalu berjongkok. Kotak itu ditarik mendekat, Aleena memerhatikan seluruh kotak mulai dari bagian depan, belakang, sisi kanan dan sisi kiri. Bentuknya sama seperti kotak sebelumnya. Tentu saja tak ada alamat pengirim ataupun nama pengirim.

Siapa pula orang kurang kerjaan yang mengirimkan kotak-kotak ini?

"Siapa sebenarnya kau?" Aleena bergumam, bertanya pada kotak itu. Sayang sekali kotak ini tidak bisa menjawab. Aleena mendengus kesal, lantas mendorong masuk kotak itu. "Kotak-kotak aneh! Kamu pikir aku itu cenayang yang bisa membaca masa depan, makanya tau pengirim kalian siapa?" lanjutnya seraya berkacak pinggang kepada si kotak.

Aleena menutup pintu kamar. Ketika berbalik, ia menemukan dua mahasiswi membawa plastik jajanan. Keduanya tampak terlibat percakapan sebelum melihat Aleena. Mendadak mereka bergeming, lalu saling bertatapan. Salah satu dari mereka mengintip ke arah bawah jemuran. Wajahnya keheranan.

"Kotaknya sudah kamu ambil?" tanya salah satu perempuan bergaya rambut bob.

Aleena terkesiap. "Sudah. Eh, kok kamu tau?" Ia melangkahkan kaki mendekat ke dua perempuan yang juga mendekatinya. Dia tak lagi berkacak pinggang. "Kamu lihat siapa yang kasih kotak ini?"

"Nggak," jawab perempuan satu lagi. "Tadi kita kebetulan lewat pos pak satpam dan katanya kotak itu tau-tau udah di deket pos, nggak tau siapa yang taruh. Pak Satpam tanya apa kamu ada di kamar atau enggak."

"Terus yang taruh di sini siapa?"

"Pak Satpam sama kami, lebih tepatnya kami yang antar dia ke kamar kamu."

Kening Aleena berkerut. Merasa rasa penasarannya belum terpuaskan. "Kalian bisa tau dari mana kalau kotaknya ini buat aku? Bukannya diletakin gitu aja sama seseorang entah siapa?"

"Iya, tapi di kotak itu ada tulisan 'untuk Aleena', gitu."

"Oh? Iya, kah?" Mata Aleena melebar sekaligus kedua alisnya terangkat. "Aku nggak sadar ada tulisan itu."

Atau jangan-jangan di setiap kotak ada tulisan untuk namanya, ya? Kenapa orang itu bisa tau nama Aleena?

Aleena langsung terkesiap, lalu memandang kedua perempuan di hadapannya yang tampak khawatir. Seakan memahami, Aleena tersenyum. "Itu bukan masalah besar, kok. Kadang suka ada kerabat jauh yang kasih hadiah atau barang. Mereka khawatir aku kekurangan pasokan kebutuhan selama di asrama. Agak rempong memang."

Raut wajah kedua perempuan itu serentak terlihat lega. Si pemilik rambut bergaya bob dengan poni rata di kening mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pundak Aleena. "Beruntung kamu ada yang perhatian buat pasokan makanan sama dikasih hadiah. Jangan lupa bagi-bagi ke kita, ya."

Tawa kecil Aleena keluar bersamaan tawa kecil dua perempuan itu. "Astaga. Nggak masalah. Nanti kubagikan."

Selepas kedua perempuan itu tertawa kecil serentak lagi, mereka mengangguk sebagai tanda berpamitan. Mulanya mereka menawarkan diri untuk menemani Aleena keluar ke Supermarket. Namun Aleena menolak sebab jarak dari gedung asrama menuju Supermarket tidak terlalu jauh.

Seiring kedua perempuan itu sudah semakin menjauh ke arah berlawanan, Aleena bergeming. Pikirannya melalang buana memikirkan kotak-kotak sebelum kotak sekarang. Ternyata Pak Satpam yang selama ini mengantarkan kotak?

Aleena mengetahui fakta kalau ternyata pengirimnya tahu namanya. Kotak-kotak itu bukan diletakkan secara asal. Meskipun begitu, Aleena lega terhadap satu hal: si pengirim sepertinya tidak tahu letak kamar asramanya dan kemungkinan bukan mahasiswa atau mahasiswi gedung asrama ini.

Tidak masalah. Pengirimnya mungkin tahu letak gedung asrama Aleena, tetapi tidak mengetahui letak kamarnya di mana. Untuk sementara waktu mungkin kekhawatiran Aleena bisa mereda.

Hanya untuk sementara waktu sebelum Aleena akan menyadari suatu celah yang luput dipikirkan otaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status