Share

Bab 4. Isi Kotak dan Azka yang Cemas

Aleena membuang napas kasar untuk kesekian kalinya.

Suara erangan Aleena keluar bersamaan tubuhnya ditegakkan dengan kedua tangan diangkat ke udara, merenggangkan otot-otot. Bunyi tulang sempat membuat tersentak terkejut. Rasa pegal di pinggang sepertinya sungguh sudah melewati batas. Sepulang dari kampus, ia langsung mengerjakan tugas-tugas dari Prof. Kim yang sungguh kelewat tidak punya nurani.

"Ah... sudahlah. Nggak usah pikirin apa-apa." Perempuan itu menggumam sambil menggelengkan kepala.

Dalam kondisi mata terpejam, Aleena mencoba menjernihkan pikiran. Selama beberapa saat itu ia mengatur ritme napas serta detak jantung. Aleena membiarkan perasaan lega mengalir menjalarkan ketenangan. Beban di dadanya seolah menguap hitungan sekejap.

Kalau begini, kan, Aleena bisa tertidur nyenyak.

Ting.

Pandangan Aleena menengok ke layar ponsel yang menyala, lalu sedikit melonjongkan leher untuk mengecek tampilan pada layar. Sebuah notifikasi pesan muncul menampakkan diri.

Aleena mengerutkan kening. Pesan itu dikirim entah siapa sebab hanya ada nomor telepon, tampil sekilas lalu layar ponselnya mati lagi karena waktu menyala diatur lima detik. Segera tangan Aleena menyambar benda pipih panjang itu, menyalakan lagi, membaca tampilan pesan tanpa perlu membuka aplikasi.

+62 877 95** ****

s21340p03

"Ha?" Gumaman Aleena keluar, mengerutkan kening. "Apaan, sih, nggak jelas. Siapa orang kurang kerjaan kirim pesan begini?"

Aleena mendongak menatap jam dinding. Jarum menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Helaan napasnya keluar lagi. Untuk apa orang iseng mengirim pesan pada pukul larut malam?

Aleena tak menggubris pesan itu. Ketika hendak melangkah menuju kulkas, sepasang bola matanya tak sengaja melihat ke arah sebuah kotak di sela kaki meja make up dan rak buku.

Di antara kelima kotak di sana, belum ada yang dibuka oleh Aleena. Mereka masih tertutup rapat. Sudah berulang kali Aleena merasa penasaran, tetapi ia terlalu malas.

Niat itu sepertinya sudah berubah dalam hitungan detik malam ini.

Rasa penasaran menggerakkan tubuh kurus itu mendekati kotak. Aleena mengambil gunting berukuran cukup besar dari rak buku, lalu berjongkok. Pergerakannya membuka salah satu kotak mulai dari menggunting lakban putih hingga menggunting lagi beberapa sudut kardusnya begitu cekatan.

Butuh lima menit sampai akhirnya kotak itu bisa terbuka sepenuhnya. Setumpuk isinya muncul: sebuah boneka berukuran cukup kecil, empat foto cetak pemandangan agak blur, tiga kertas hitam kosong, dan sebuah lembar kertas putih dengan huruf-huruf tak beraturan.

Aleena mendengus seraya menurunkan tangan dengan agak kasar. "Tidak ada nama dan alamat pengirim, sebenarnya apa sih maksud isi kotak-kotak ini?" tanyanya bergumam kepada diri sendiri.

Sejenak Aleena termangu memandang meja belajar. Salah satu tangannya yang masuk ke kotak tanpa sengaja merasakan sesuatu mengganjal. Dia langsung menoleh, melihat sebuah kertas kecil berbentuk persegi panjang terselip di antara garis-garis lekukan kotak.

Aleena segera mengambil benda itu dan mengangkatnya. Ada sebuah kalimat. Benda ini nyaris serupa stiker. "Di antara kegundahan, kami ada?"

Sebentar... sepertinya Aleena familier dengan kalimat yang satu ini.

Ah! Ini adalah kalimat slogan dari Fakultas Kedokteran yang didengarnya sewaktu OSPEK Kampus!

Mengapa kalimat itu ada di sini?

"Kalau ada kalimat ini di sini..." Aleena menggantungkan kalimat sejenak, memfokuskan pikiran untuk menyusun gambaran kemungkinan di kepalanya. "Berarti kemungkinan besar pengirim kotak ini kemarin adalah mahasiswa atau mahasiswi dari kampusku?"

Kini tatapannya tertuju ke tiga foto cetak. Tangan Aleena meraih foto cetak itu sebelum mengangkat ketiganya. Masing-masing foto itu menampilkan hal yang sama: pemandangan suatu wilayah, agak blur, dan suasana yang sepi.

Tiga pemandangan menampakkan hal familier bagi mata Aleena: sebuah gedung dengan sejumlah anak tangga pada sisi kanan, kolam air mancur cukup besar, dan ruang laboratorium.

'Lagi-lagi laboratorium?' batin Aleena bertanya.

Embusan napas gusar keluar. Ia sama sekali tidak bisa memahami maksud gambar dan seluruh isi kotak ini. Alhasil, tangannya malah memijat pelipis seraya mendesis panjang.

"Di antara semua foto ini cuma laboratoriumnya aja yang keliatan jelas," Aleena bergumam, lalu sedikit memiringkan kepala. "Kolam ada air mancur. Di kampus ada tiga fakultas yang punya kolam dekat gedung."

Aleena lalu bergeming. Otaknya berputar mengumpulkan kepingan kemungkinan. "Tapi pertanyaan yang lebih penting, kenapa semua foto ini dikasih ke aku? Orang ini mau pamer kalau punya bakat fotografi gitu?"

Meletakkan ketiga foto itu dengan agak melempar ke dalam kotak, Aleena mendengus. "Nggak peduli juga!"

Setelah membuang napas kasar, Aleena malah merasa kantuk menyerang. Malam sudah terlalu larut untuk dipakai berpikir keras-keras. Ia meletakkan lagi foto polaroid untuk kemudian mengambil sebuah boneka kecil.

"Aaa, lucunya kamu. Kamu nanti kubawa ke kampus, ya!" Aleena berbicara dengan nada suara gemas sembari menggerak-gerakkan boneka yang direntangkan tangan. "Aku kasih nama... Candy Kein!"

Aleena langsung menutup kotak di depannya dan menggeser ke tempat semula. Selama tiga detik matanya memandangi kotak itu.

Besok ia akan menemukan jawaban dari pertanyaan di kepalanya.

Sekarang waktu tidur datang, dan Aleena tidak bisa menyia-nyiakan jam tidur.

***

"ALEENA! ALEENA BANGUN WOI!"

Aleena mengerang geram mendengar ketukan pintu kencang berulang kali. Dalam posisi tubuh telungkup, wajah Aleena terangkat dengan kedua mata masih setengah terpejam menatap tajam pintu—lebih tepatnya kesal pada seseorang di luar kamar asrama.

Aleena bergerak lemas dan malas-malasan menggeser tubuh untuk meraih jam weker di atas nakas samping kasur. Sepasang matanya langsung melotot saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan lewat sedikit. Tubuhnya langsung bangkit dalam sekali sentakan kepanikan yang menyerang.

"ALEENA! UDAH SIANG, KEBO BANGET SIH KAMU!"

"BERISIIIIIIK!" Aleena memekik, disusul geraman jengkel sekali lagi. Perempuan itu memutar tubuh yang terlentang, tetapi begitu berbalik, tubuh Aleena justru terjatuh dari kasur hingga menciptakan suara berdebum. "Ah! Sial! Kenapa jatuh sih?!"

Sembari memegang bokong, Aleena bangkit dengan wajah meringis. Ia memandang kesal ke arah pintu sebab ketukan berulang kali itu belum juga berhenti. Pelan-pelan tubuhnya berdiri dan melangkah menuju pintu sambil mengusap tulang ekor.

"Kamu tuh beris—ah! Jena, jangan dipukul muka aku!"

Di depan pintu, sosok Jena tercengang. Ia tak sengaja memukul wajah Aleena sebab tidak tahu pintunya akan terbuka. Alhasil kejengkelan terpancar terang-terangan dari tatapan Aleena. Namun Jena tidak mau kalah galak.

"Bagus. Tidur aja sampai jam sebelas," sindir Jena sambil melipat kedua tangan. "Nggak ingat hari ini matkul Pak Ilham? Jangan mentang-mentang dosen baik hati begitu, kamu santai-santai. Belum tau aja kalau Pak Ilham marah gimana!"

"Aduh... iya-iya. Aku udah bangun tadi. Salahnya jam bergerak cepat."

"Jam kok disalahin."

Bukan suara Jena maupun Aleena.

Keduanya serempak menoleh ke sumber suara. Mata Aleena terbelalak begitu melihat sosok Azka tak jauh dari titik Jena berdiri. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana dan sebelah tubuh bersandar pada dinding. Seulas senyum miring terbit di wajah Azka.

"Kesiangan lagi?" tanya Azka, mengejek dan menyindir dalam waktu bersamaan

"Kamu ngapain?" tanya Aleena ketus, lantas memandang Jena dengan tatapan bertanya. Dan Jena menjawab melalui gelengan kepala sekaligus ekspresi wajah menciut.

Aleena sudah tahu. Ini pasti Azka yang memaksa Jena supaya ikut ke sini.

"Melihat kondisimu. Nggak boleh?"

Sepasang mata Aleena memerhatikan sinis tubuh Azka dari bawah sampai ke atas. Penampilan formal dan rapi. Tawa Aleena keluar, tawa mengejek. "Aneh. Udah alasannya nggak meyakinkan, sekarang tampilanmu juga nggak meyakinkan."

Azka mengerutkan kening. "Nggak meyakinkan gimana?"

"Aish, sudahlah. Nggak ada waktu meladeni kamu."

Tanpa basa-basi lagi Aleena membalikkan badan hendak masuk lagi ke dalam kamar. Namun Azka tiba-tiba maju dan mencekal pergelangan tangan Aleena. Tubuh perempuan itu berbalik menghadap Azka, memandang keheranan wajah Azka yang kelihatan serius.

"Tapi beneran kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Azka menyorotkan segurat kekhawatiran dari pancaran mata.

Aleena sungguh tidak mengerti dengan lelaki di hadapannya. Tangan perempuan itu menyentakkan tangan Azka supaya terlepas. "Apaan, sih? Aneh banget pertanyaannya. Nggak lihat aku masih berdiri di sini?"

Azka menegakkan tubuh dan memasukkan satu tangan ke saku celana. "A-ah... iya, sih. Ya sudah kalau begitu," jawabnya sambil menggaruk tengkuk canggung.

Entah mengapa Aleena menangkap gestur gusar dari mata, tubuh, dan raut wajah Azka. Persis seperti semalam. Namun Aleena tidak mau berpikiran berlebihan. Pada akhirnya ia hanya menghela napas sebelum melanjutkan niat masuk ke kamar.

Ketika Azka ingin berjalan pergi dari ambang pintu, tanpa sengaja manik matanya menangkap sesuatu: tiga kotak. Gerakan Azka terhenti. Sekujur tubuh dan tatapannya terpaku. Kotak itu seakan menyerap seluruh perhatian Azka. Mata Azka memicing untuk memperjelas penglihatan.

"Aleena, kamu belanja online sebanyak itu?"

Aleena yang hendak berjalan menuju pintu kamar mandi menoleh. Melihat mata Azka menatap ke suatu arah, pandangannya mengikuti arah pandangan Azka. Setelah menyadari kalau ketiga kotak di dekat rak buku dan meja make up sudah ketahuan oleh Azka, mendadak Aleena diserang rasa gugup.

Dan tawa canggungnya lantas keluar. "O-oh, iya, aduh lagi ada promo besar-besaran," jawab Aleena yang berusaha sesantai mungkin.

Azka menatap Aleena curiga, dan itulah yang nyaris membuat Aleena menunjukkan kegusarannya. "Belum dibuka kotak-kotak itu?"

"Eum... baru satu, tapi belum kuambil barangnya. Masih... belum terlalu butuh." Aleena mengakhiri kalimatnya dengan senyuman manis. Tentu saja berbohong.

Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Azka, Aleena langsung berbalik masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Azka yang hendak membuka mulut kembali bertanya, tetapi mengatup rapat lagi. Embusan napas kasat keluar. Azka memandang ke arah setumpuk kotak di sana. Salah satu dari kotak memang sudah terbuka, namun tidak sepenuhnya.

Helaan napas Azka keluar. Gusar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status