Share

Part 1, Serigala Berbulu Domba

Jane melangkah gontai dengan wajah lesu menuju minimarket. Perutnya sudah berontak minta diisi sejak 2 jam yang lalu, tapi Jane kadung malas untuk bergerak. 

Pikirannya sedang galau karena jatuh tempo sewa rumahnya tinggal beberapa hari lagi, tapi uang di tangannya saat ini tersisa hanya untuk biaya makan seminggu saja.

Perkerjaannya sebagai ghost designer memang lumayan, hanya saja tidak selalu ada. Jane tetap harus mencari side job lainnya agar kebutuhan sehari-hari terpenuhi.

Seandainya saja tragedi 3 tahun lalu itu tidak terjadi, Jane yakin keadaannya pasti jauh berbeda.

Jane hanya bisa menghela nafas panjang, sambil merapalkan doa di dalam hati, semoga mendapatkan klien dalam waktu dekat.

"Semuanya 15 ribu, Kak." Suara kasir membuyarkan lamunan Jane. 

Jane segera mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.

Ponsel di kantung celana Jane berbunyi, tepat ketika Jane hendak keluar minimarket. 

Dari Glen? Tumben nih anak menelpon, pikir Jane. Glen adalah satu-satunya teman kuliahnya dulu yang masih berhubungan baik dengannya.

"Jane, kamu lagi sibuk, ga?" todong Glen begitu Jane menjawab teleponnya.

"Lagi nganggur malah. Ada job, gak? Aku butuh duit nih untuk bayar sewa rumah," jawab Jane curhat.

"Kebetulan banget, ada klien butuh jasa kamu, Jane. Segera temui, ya. Nanti aku kirimkan alamatnya."

Jane langsung menjawab oke dengan antusias. Langkah kakinya terasa lebih ringan saat kembali ke rumah.

***

"Kamu habis nelpon siapa, Sayang?" tanya Cherry. Dia melangkah mendekat, kemudian bergelayut manja di lengan Glen.

Siang itu Cherry mengunjungi Glen di apartemennya. Glen tersenyum lebar ke arah Cherry.

Dengan santai ia menjawab,"Oh, itu. Ada klien yang butuh ghost designer. Aku kasih ke Jane aja. Kasihan dia lagi butuh uang untuk bayar kontrakan," jawab Glenn. 

"Designer yang mana?" tanya Cherry penuh selidik.

"Ada, lah. Kamu pasti kenal kok orangnya. Cuma gak etis dong kalau aku sebutkan," jawab Glen.

Mulut Cherry membulat membentuk huruf O, menunjukkan rasa mengerti. Namun hanya hitungan detik, beberapa saat kemudian matanya mulai mengerling nakal.

"Trus, kamu ga kasian sama aku?" tanyanya dengan tatapan menggoda. Kedua tangannya merangkul pinggang Glen dengan erat.

"Kamu? Apanya yang harus dikasihani, heh?" tanya Glen sambil melayangkan cubitan kecil pada hidung Cherry.

"Ada yang kangen kamu sejak kemarin," bisik Cherry. Kemudian ia menarik tangan Glen, merengkuh lengan lelaki itu untuk lebih mendekat sambil membisikkan beberapa kata di telinga Glen.

Rona wajah Glen langsung memerah. Dia mengerti apa yang diinginkan gadis itu, karena ia pun menginginkan hal yang sama. 

Tanpa membuang waktu, ia menarik tubuh Cherry, kemudian memeluknya erat.

Tanpa melepaskan Cherry, Glen meraih saklar lampu. Kamar yang semulanya terang benderang berubah menjadi gelap.

Sayup-sayup sinar mentari masuk melalui celah gorden di kamar Glen. Seolah ingin menjadi saksi indahnya romantisme yang tengah terjalin di kamar itu.

Dua sejoli itu terus larut dalam lautan cinta. Mereka melupakan semua beban dan urusan lain yang belum dituntaskan. Saat ini yang ada dalam pikiran mereka bagaimana bisa saling membahagiakan satu sama lain.

"Terimakasih, Sayang. Aku mau mandi dulu," ujar Glen seraya bangkit. Ia melayangkan kecupan pada kepala Cherry. 

Tubuh atletis itu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Setelah terdengar suara shower menyala, Cherry pun bangkit dari tempat tidur. Jari-jari panjangnya  meraih benda pipih di atas meja.

Kemudian mengetikkan sesuatu di atasnya. Tidak lama kemudian, sebuah senyuman tersungging di bibir Cherry. 

"Selamat bersenang-senang, Jane," bisiknya setelah menekan tombol 'kirim'. Ia meletakkan kembali benda pipih itu, kemudian lanjut berbaring di tempat tidur.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status