"Kau sudah gila, Lindsay! Kapan aku pernah berjanji akan menikahimu?" tanya Aaron meradang.
"Kau bohong!" teriak Lindsay. "Jelas-jelas hari itu kau katakan akan menikahiku, di depan nenek, di depan paman, saat pesta ulang tahunku," sahut Lindsay mulai terisak.
"Saat pesta ulang tahunmu?" Aaron balik bertanya, sambil memutar ulang semua memori yang ia punya. Namun, tidak satupun berkas di memorinya yang menyimpan kenangan seperti yang Lindsay katakan.
"Sepertinya kau bermimpi, Gadis Kecil. Aku tidak pernah menjanjikan apa pun padamu," tegas Aaron, lalu menutup teleponnya.
"Kau jahaaaat!" pekik Lindsay.
Ia terduduk berurai air mata, tidak terima Aaron dengan mudahnya melupakan janji yang pernah ia ucapkan. Sebuah janji yang bagi Lindsay adalah harapan untuk masa depannya. Sejak mendengar janji Aaron itulah Lindsay merasa optimis kembali untuk hidup setelah sempat depresi dan ingin bunuh diri. Akan tetapi, bagaimana mungkin Aaron bisa melupakanny
"Uhh ... ahh ...." suara desahan terdengar saling bersahutan memenuhi ruangan. Di atas ranjang berukuran sedang, seorang gadis berambut pirang terlihat bergerak dengan lincah di atas tubuh seorang pemuda. Tubuhnya meliuk-liuk, sementara kedua tangannya bergerak aktif membelai kedua bukit kembar miliknya sendiri. Gerakan erotis itu membuat pria yang ada di bawahnya tidak bisa berhenti mengeluarkan jeritan tertahan. Pria itu bangkit, dengan ganas melahap bukit kembar yang ada di hadapannya. Sejak tadi benda yang kenyal itu terus berayun seirama liukan tubuh sang gadis, menggoda dan menantang naluri kelelakiannya. Sekarang giliran sang gadis yang mengeluarkan desahan nikmat. Kedua tangannya terulur meraih kepala sang pria sambil terus bergerak membiarkan bagian bawah tubuh mereka menyatu lebih dalam. "Oh, shit! Kau nikmat sekali, Cantik," puji pemuda itu sambil terus menggasak miliknya ke liang sempit milik sang gadis. Tubuh sang gadis mulai menegang. Liangnya mencengkr
Di salah satu puncak gedung tertinggi di kota Big Apple itu, Designer Private Party digelar. Suara musik hasil racikan DJ terkenal terdengar menghentak, menggoda para pecinta nada turut mengayunkan tubuh mengikuti irama. Aroma alkohol tercium dari setiap meja. Ruangan yang sebelumnya hanya berisi segelintir orang itu, dalam hitungan menit telah dipenuhi oleh puluhan desainer pendatang baru yang berharap bisa bertemu langsung dengan si pemilik pesta, Fulton Brylee. Mereka datang dalam balutan busana hasil karya terbaik mereka. Saling adu teknik, saling adu unik, saling adu daya tarik. Siapa yang akan menjadi pemenang? Itu adalah wewenang mutlak dari sang empu acara. Jane masuk ke ruangan bernuansa temaram itu dengan langkah anggun. Ia mengenakan cocktail dress selutut warna mid nigh blue polos, dengan rimple unik di bagian pinggang. Lehernya yang jenjang ia hias dengan kalung swarovski dengan liontin berbentuk matahari yang berkilau setiap kali tersentuh cahaya. Berpa
Malam sudah larut, bulan pun terlihat bersembunyi di balik awan. Seolah enggan untuk bertugas malam itu. Di tengah hangatnya cuaca musim semi, Aaron dan Jane bergandengan mesra dari gerbang utama menuju East Wing tempat Jane menetap hingga mereka menikah nanti. Jarak gerbang utama dan East Wing sebenarnya cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, Aaron dan Jane tidak menghiraukan itu karena saat ini mereka tengah berbahagia. Mereka berhasil menggagalkan niat buruk Fulton pada Jane. Tidak hanya itu, mereka juga berhasil memaksa Fulton memberikan penilaian langsung secara gratis pada karya-karya desainer muda yang datang ke pesta itu. Aaron dan Jane bisa saksikan rona kebahagiaan dari para desainer pendatang baru itu. Tanpa harus mengorbankan diri, mereka bisa mendengarkan penilaian, saran, dan kritikan langsung dari penguasa dunia fashion sekaligus Ketua Dewan Perancang Busana Amerika. Sebuah kesempatan langka yang pastinya tidak ternilai harganya.
"Wah, rupanya benar Anda. Apa kabar, Nona Ariest?" Masih dengan senyum lebarnya sosok itu mengulurkan tangan untuk menyalami Jane. Jane bergeming, hanya menatap sosok itu tanpa berkedip berusaha mengenali rupa yang sekilas terlihat familiar. Namun, sel-sel otaknya tidak mampu memberinya gambaran lebih banyak. Sosok tampan pemilik senyum bersahabat itu tetap saja masih asing di ingatannya. Dengan tatapan bingung, akhirnya Jane menyambut uluran tangan lelaki itu. "Maaf, saya tidak bisa mengingat Anda. Apakah kita saling mengenal?" tanya Jane ragu. Manik berwarna coklat itu tak beranjak memandangi paras Jane yang terlihat bingung. Tanpa melepaskan senyumnya, ia menjawab pertanyaan Jane dengan nada ceria. "Bisa ya, bisa juga tidak. Namun, satu yang pasti kita sudah bertemu beberapa hari yang lalu di pesta pertunanganan Anda," jawab sosok itu memberikan clue. Jane kembali memutar memorinya, mencoba mengingat nama-nama yang dikenalka
Sekitar pukul sembilan malam, Aaron sampai di kediaman keluarga Caldwell. Perasaannya tidak enak karena sejak senja tadi Jane tidak bisa dihubungi. Sementara asistennya di atelier mengatakan Jane sudah pulang sejak sore. "Kau baik-baik saja kan, Jane?" gumamnya risau. Aaron langsung menuju East Wing. Dengan cepat turun dari mobil lalu mengetuk pintu East Wing dengan harapan Jane akan membuka pintu, menyambutnya dengan senyum indah yang selalu membuat jantung Aaron berdetak kencang. Namun, ia harus menelan kenyataan pahit. Pintu itu terbuka, tapi bukan Jane yang membukanya. Seorang pelayan menyambut, dan mengatakan Jane belum pulang. "Apakah dia ada menelepon atau mengirimkan pesan?" tanya Aaron khawatir. "Tidak ada, Tuan Muda," jawab pelayan itu sopan. "Baiklah. Tolong kabari aku jika dia sudah kembali," titahnya kemudian. Aaron kembali ke mobilnya, memacu Mercedes SLR McLaren miliknya menuju South Wing. Sebelum masuk ke rumah,
Tanpa komando, Aaron dan Chris melesat menuju mobil mereka masing-masing. "Pakai mobilku saja, Chris. Lebih cepat," ujar Aaron. Chris mengerti. Tanpa berpikir panjang ia segera berpindah kendaraan. Aaron langsung menekan pedal gas dengan kekuatan maksimal, berharap bisa segera sampai di alamat yang GPS tracker tadi tunjukkan. Mobil yang dikendarai Aaron melaju kencang, bergerak lincah mencari celah untuk mendahui kendaraan yang berada di depannya. Rolex di pergelangan tangannya telah menunjukkan pukul 1 dini hari, tapi jalanan tetap ramai seolah orang-orang di kota itu tidak pernah tidur. Untuk pertama kalinya Aaron mengutuk kondisi kota kelahirannya itu. "Di perempatan itu kita belok kanan saja, Bos. Lebih cepat, karena jalan satu arah," ujar Chris memberi saran. Aaron mengangguk, menuruti perkataan Chris. Hanya dalam hitungan menit, mereka sampai di alamat yang dituju. Chris bergerak cepat, terlebih da
Jane kaget, tidak menyangka jika ada orang lain selain dirinya di ruangan itu. "Siapa kau? Apa kau dalang semua ini?" sergah Jane emosi. "Kau bicara apa, Nona? Kondisi kita sama, jangan menuduh sembarangan," protes sosok itu pelan. Ia meringis menahan rasa nyeri di belakang kepala yang tiba-tiba terasa menusuk. Sepertinya selain dibius, ia juga mengalami pukulan di belakang kepalanya. "Apakah ... Kau juga dalam keadaan terikat?" tanya Jane penasaran. Ia menoleh ke belakang, mencoba melihat sosok itu tapi percuma. Indra penglihatannya terbatas. Dari posisinya Jane hanya bisa melihat bayangan tubuh pria itu lewat sudut matanya. "Ya, persis seperti dirimu. Bedanya pakaianku masih lumayan lengkap, sementara kau ...," Sosok itu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia yakin Jane pasti tahu kelanjutan kalimatnya itu. Jane terdiam dengan wajah merah. "Sial, jadi pria ini berbaring terikat di belakangku, memandangi tubuhku
Lindsay tertawa penuh kemenangan melihat Jane yang hanya bisa berseru kaget dengan kedua tangan dan kaki terikat. "Surprise!" serunya kemudian. Tubuh jangkung itu kembali menegakkan punggung, lalu bersedekap dengan angkuh. Sepasang netranya menatap Jane dengan penuh kebencian. Jane mendengkus sambil membuang muka, menolak bertatap muka lebih lama dengan wanita itu. "Tatap mataku, jalang!" Lindsay kembali menundukkan tubuhnya, mencengkram rahang Jane dengan kuat, memaksa tunangan Aaron itu untuk melihat ke arahnya. "Bukankah sudah aku katakan padamu, Nona. Aku akan buktikan siapa yang lebih pantas mendampingi Aaron. Aku, yang tumbuh bersamanya, atau kau gadis murahan yang telah menghabiskan malam dengan Felipe Calderon?" seringai Lindsay. Lepas berkata itu, Lindsay mengeluarkan tawa lepas penuh kemenangan. Ia merasa rencananya berjalan lancar. Tidak lama lagi ia kembali bisa mendekati pria tampan yang telah menjadi impiann