Aaron melangkah gontai meninggalkan atelier Jane. Pikirannya terasa kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, telinganya terus terngiang kata-kata Jane. Matanya pun terus terbayang ekspresi Jane yang dingin dan penuh luka.
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menghela napas panjang, mendongakkan kepala menghadap langit untuk beberapa saat, lalu masuk ke mobil kesayangannya. Wajahnya kuyu, lemas tak bercahaya.
"Hari ini aku tidak masuk. Jangan hubungi aku jika tidak terlalu penting," titahnya via sambungan telepon.
Dengan tatapan lurus, Aaron menginjak pedal gas, lalu meluncur meninggalkan atelier yang telah memberikan kesan pahit atas sikap dingin Jane. Untuk jangka lama, memori Aaron akan merekam tempat itu sebagai tempat yang memberikan kenangan tidak menyenangkan.
Namun, ingatannya melayang pada peristiwa malam tadi di kediaman Jane. Jika dengan sikap dingin Jane, dirinya sudah mendapatkan pengalaman buruk, lantas bagaimana dengan perasaan
"Mmm-memangnya apa yang akan kau lakukan?" tanya Daniel gelisah. Dia sudah mendapat firasat buruk, Aaron pasti merencanakan hukuman terberat untuknya. "Kau tidak akan pernah bisa bayangkan," desis Aaron. Ia menatap Daniel dengan tajam, lalu berbicara dengan nada rendah. "Akan kubuat kau berada di sel isolasi yang sempit. Kau tidak bisa berdiri lurus karena lotengnya rendah. Kau juga bisa tidur dengan meluruskan kaki, karena ruangannya pendek. Kau hanya bisa berjalan dengan setengah berdiri," kata Aaron menggambarkan ruangan sel yang akan ditempati Daniel. "Kau keterlaluan! Bagaimana kau bisa tidak manusiawi begini hanya karena perempuan itu?" protes Daniel keras. Ia bisa bayangkan betapa tersiksanya dirinya nanti saat berada di ruangan super duper sempit itu. "Perempuan yang kau sebut itu adalah tunanganku. Calon istriku!" teriak Aaron. Tangannya mengepal, lalu jatuh dengan keras di atas meja, menyiptakan suara yang berde
"Mengapa kau keluar dengan telanjang begitu, Sayang?" Lindsay langsung mendominasi pembicaraan seolah ingin menunjukkan kepada Jane bahwa dirinyalah sang tuan rumah. Ia melangkah mendekati Aaron dengan gerakan menggoda. "Jaga bicaramu, Lindsay," tegur Aaron ketus. "Mengapa kamu marah? Kamu pasti masih kelelahan karena kejadian semalam, kan," ujar Lindsay dengan jari telunjuk mengelus perut Aaron yang kotak. Sementara dadanya yang besar menempel di lengan Aaron. Jane membuang muka ke samping, jengah melihat tingkah Lindsay yang berusaha memanas-manasinya. "Apa yang kau lakukan?!" sergah Aaron kesal. Ia menepis tangan Lindsay dengan keras, lalu mendorong tubuh gadis itu hingga ia terduduk di sofa. "Jangan salah paham, Jane. Tidak ada yang terjadi di antara kami," kata Aaron dengan wajah frustasi. "Bagaimana kau bisa seyakin itu?" tanya Jane dingin. Wanita mana yang tidak akan berprasangka melihat kekasih hati berada
"Apa maksudmu melakukan semua itu di depan Jane, hah?" sergah Aaron pada Lindsay yang senyum-senyum sendiri melihat kepergian Jane. "Memangnya apa yang aku lakukan?" Lindsay balik bertanya pura-pura tidak tahu dengan kesalahannya. "Kau memfitnahku di depan Jane! Aku sungguh muak dengan tingkahmu Lindsay," ujar Aaron dingin. "Aku juga muak padamu. Aku bahkan membencimu. Kau tahu itu?!" teriak Lindsay tidak kalah emosi. Lindsay sebenarnya tidak suka dengan status barunya sebagai adik angkat Aaron. Dia akan lebih senang jika Benyamin menjadikannya menantu. Namun, Lindsay tidak punya pilihan lain. Dirinya sebatang kara semenjak kematian ayahnya yang begitu tiba-tiba. Sementara utang yang ditinggalkan sang ayah menumpuk. Harta berupa rumah, tanah, dan kendaraan memang masih ada. Namun, itu semua masih belum cukup untuk melunasi semua utang itu. Sekarang Lindsay harus bersyukur karena masih memiliki rumah untuk berteduh, dan uang yang
"Selamat malam. Apakah Anda ... Nona Jane Ariesta?" Sebuah suara terdengar menyebut nama Jane dari sisi kirinya. Jane menoleh, sepasang netra miliknya langsung beradu tatap dengan sepasang netra berwarna hitam pekat. Wajahnya terlihat ramah, tatapannya terlihat jelas menawarkan persahabatan. Ditilik dari wajahnya, Jane yakin pria yang baru saja menyapanya itu berdarah asli Indonesia seperti dirinya. Namun, ketika sebagian besar orang-orang di kota Big Apple memanggil Jane dengan Ariest, bagaimana bisa pria itu mengenal Jane, bahkan menyebut nama aslinya? "Ya, selamat malam. Maaf, bagaimana Anda bisa mengenal saya?" jawab Jane, seraya balik bertanya heran. Pria bermata teduh itu tersenyum. "Saya penggemar berat Anda, Nona Jane. Lemari istri saya hampir dipenuhi oleh hasil rancangan Anda," jawabnya dengan ramah. Sepasang netra milik Jane langsung berbinar. Bertemu dengan orang yang menyukai karyamu itu sebuah anugerah, kan?
Jane merapatkan sweaternya untuk menghalau suhu dingin yang menusuk tulang. Tak terasa satu minggu sudah ia habiskan waktu bersantai di Bandung, kota kelahiran mendiang ibunya. Tujuh hari yang lalu, sekitar pukul 8 malam, setelah sempat terkendala cuaca buruk, pesawat Qatar Airways yang Jane tumpangi akhirnya berhasil mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta. Berhubung hari sudah malam, Jane pun memutuskan menginap di Jakarta Airport Hotel yang masih berada di lingkungan bandara, untuk malam itu. Keesokan harinya, sekitar pukul 7 pagi Jane checkout, tanpa membuang waktu menyetop taxi langsung mengunjungi makam ibunya. Jane melepaskan semua kerinduan dan keresahannya di atas batu nisan yang dingin itu. Dua tahun lebih tidak mengunjungi makam ibunya, rasa bersalah hadir di hati Jane. Makam ibunya nyaris tidak dikenali lagi karena telah ditutupi oleh rumput yang tinggi. Jane sesegukan sambil mencabuti rumput-rumput itu. "Maaf
"Hmm ... Mohon maaf jika saya lancang, Nona Jane. Dari informasi yang saya dengar Anda telah bertunangan dengan CEO The Caldwell Company. Apakah hubungan Anda masih berlanjut?" Jane terpaku. Pertanyaan Bima benar-benar mengejutkannya. Ia tidak menyangka di desa Ciwidey ini dirinya akan mendengar seseorang menyebut nama Caldwell dengan begitu mudahnya. Jane tercekat, lidahnya mendadak terasa kelu. "A-anda mengenal CEO The Caldwell Company?" tanya Jane terbata. "Tidak secara pribadi. Namun, kami pernah menghadiri acara yang sama di beberapa kali kesempatan," jawab Bima. "Yah, Anda tahu sendiri, gosip menyebar cepat bersama angin," sambungnya lagi. Jane menunduk. Luka di hatinya kembali terbuka. Jane terus menunduk dengan raut wajah sendu. "Hmm ... maaf Pak Bima. Sepertinya saya sudah pergi terlalu lama. Saya harus segera kembali ke homestay," elak Jane seraya melihat arloji di pergelangan tangannya. "Bu Surti pasti sudah menunggu kedatanga
Suasana malam di ibu kota tidak jauh berbeda dengan kondisi siang hari. Jalanan tetap padat, pedagang tetap bisa ditemukan di jalanan, dan anak-anak muda tampak berkumpul di sudut-sudut gang. Di tengah suasana ibukota yang tak pernah tidur itu, Aaron dan Chris duduk bersandar di sofa dengan ekspresi lelah. Wajah mereka terlihat kuyu, seolah kehabisan energi. "Hampir sebulan, Bos. Kita masih belum dapat info sedikitpun tentang keberadaan Nona Jane," ujar Chris, memecahkan kesunyian yang beberapa saat lalu menyergap kamar president suit itu. Malam itu mereka baru saja kembali dari Bogor, kota kelahiran Jane sebagaimana yang tertulis di kartu identitasnya. Mereka bahkan mendatangi desa Malasari, sebagaimana yang Cherry katakan beberapa waktu lalu. Hampir semua penduduk desa Malasari mereka tanyai tentang Jane dan ibunya. Mulai dari yang muda, hingga berusia lanjut mereka datangi satu per satu, tapi tidak ada satu pun yang mengenali na
Jane terdiam, tubuhnya terpaku, tak mampu bereaksi mendengar kata-kata Bima. Sementara sepasang netranya tidak bisa lepas dari layar ponsel yang memperlihatkan seorang wanita sedang tersenyum manis. Raut wajahnya persis sama. Jika tidak terlalu jeli, pasti tidak akan bisa membedakan sosok itu dengan dirinya. Namun, sebagai orang yang dibandingkan, tentu saja Jane tahu persis di mana letak perbedaan mereka. Memang tidak kentara, tapi di sudut mata kiri Caroline ada tahi lalat kecil. Ya, itulah satu-satunya pembeda antara wajah Jane dan Caroline. Jadi tidaklah salah jika Bima berpendapat wajah mereka bagaikan pinang dibelah dua. Jane berdehem, membersihkan tenggorokannya yang mendadak terasa kesat. "Jadi ... inikah sebabnya kau tidak pernah membawa Celine saat bertemu denganku?" tanya Jane setelah berhasil menguasai dirinya. Ia menyerahkan ponsel itu kembali ke tangan Bima. Bima mengangguk, dan tersenyum samar. "Seperti itulah. Sejak bertemu den