Tujuh tahun kemudian.
“Kemana Ran?” tanya Theo saat melihat sang adik tengah berjalan menuruni anak tangga. Ia yang baru saja keluar dari kamar, terheran-heran melihat penampilan sang adik.
“Ran mau pergi ketemu teman-teman SMA. Ada acara reuni, Kak!” seru gadis berambut hitam legam nan panjang itu. Rambutnya bergoyang-goyang ke sana ke mari saat ia berjalan menuruni anak tangga satu persatu. Langkah kakinya terlihat anggun dengan tubuh yang berjalan tidak membungkuk atau membusung. Persis seperti putri-putri yang telah mempelajari etika bangsawan.
Bibir tipisnya dipoles dengan lipstik merah muda. Memberikan kesan imut dan manis saat menatap wajahnya yang mulus itu.
“Jangan pulang terlalu malam,” titah Theo mengingatkan. Ia tahu Ran kalau sudah melakukan kegiatan di luar, bisa lupa waktu. Lebih tepatnya ia tidak ingat untuk pulang!
“Siap Boss!” Ran melayangkan senyum hangat pada sang kakak, lalu berlalu meninggalkan kakaknya itu.
Langkah Ran terhenti begitu ia hendak membuka pintu mobil karena tiba-tiba ponselnya berdering.
“Ada apa, Her?” tanya Ran mengangkat telepon.
“Kamu kok belum sampai?” tanya Hera di balik sambungan telepon.
“Iya nih, aku masih di rumah. Sebentar lagi sampai.” Bergegas Ran masuk ke dalam mobilnya.
Mendapat panggilan itu membuat Ran tidak ingin menunda waktu. Ia sudah sangat rindu untuk bertemu dengan teman-temannya, bertemu dengan orang-orang yang pernah menghabiskan waktu selama tiga tahun masa sekolah. Mobil pun ia lajukan dengan kecepatan tinggi supaya bisa sampai tepat waktu.
Ran adalah anak yang hanya terlihat baik di hadapan keluarga saja. Kalau di luar, kelakuannya sungguh berbanding terbalik. Meski begitu, ia selalu bisa menempatkan semuanya hingga tidak ada yang tahu dua sisi yang ada pada dirinya itu.
Kali ini Ran akan berkumpul dengan teman-teman masa SMA-nya dulu. Sebelum masuk ke dalam kafe, ia mengubah penampilannya sedikit.
Ran menatap dirinya di sebuah cermin kecil yang ia ambil dari dalam tas. Ia mengganti warna lipstik yang tadinya merah muda menjadi warna merah lebih menyala. Apa penampilannya sebelum datang ke sini itu adalah penyamaran supaya sang kakak tidak curiga? Mengapa Ran berdandan begitu mencolok? Untuk apa ia melakukan itu?
“Nah, begini lebih bagus,” puji Ran pada dirinya sendiri.
Ran terlihat sangat anggun begitu keluar dari mobil putih mewah itu. Dibandingkan dengan semua mobil yang terparkir di sana, hanya mobil Ran sendiri yang terlihat mencolok. Ya, mobil itu memang mobil yang spesial dan edisi terbatas. Papanya memberikan sebagai hadiah saat ulang tahunnya yang ke-17.
Ran tidak sengaja menabrak seseorang saat ia masuk ke dalam kafe.
“Maaf,” ucap Ran sambil memperbaiki posisi rambutnya yang agak berantakan.
“Ya, tidak apa-apa. Maaf karena saya juga terburu-buru,” ujar orang itu pada Ran.
“Tidak masalah,” ujar Ran disertai cengiran lebar.
“Baiklah, saya duluan.” Lelaki itu pun melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Ran.
Ran pun berpikir, apakah ada yang aneh dengan penampilannya? Padahal ia sudah berkaca beberapa kali sebelum masuk ke dalam.
“Kenapa dia lihat begitu, ya?” pikir Ran. Namun, ia segera mengenyahkan pikirannya itu. Mungkin saja laki-laki itu terpesona dengan kecantikannya.
“Ran!” seru Sisi di dalam sana.
“Yuk, pergi ke lantai tiga. Kita akan pesta di sana,” ujar perempuan yang mempunyai pipi bulat seperti bakpao. Badannya juga berisi, tetapi ia lebih tinggi daripada Ran.
“Iya Sisi, aku udah tahu kok kalau pestanya di lantai tiga,” sambar Ran sambil merangkul tubuh Sisi.
Sisi mengerlingkan matanya. “Kamu makin cantik aja, Ran. Seksi juga,” cetus Sisi sambil melihat penampilan Ran dari bawah hingga atas.
“Hmm, ‘kan udah bawaan sejak lahir,” sahut Ran percaya diri.
“Tingkat pede kamu nggak berubah sejak aku mengenalmu, Ran,” balas Sisi sambil terus berjalan masuk ke dalam lift. Di dalam lift, ternyata mereka bertemu dengan laki-laki yang tadinya tidak sengaja bertabrakan dengan Ran.
Akan tetapi, Ran bersikap seolah tidak mengetahui laki-laki itu. Ia hanya sibuk berbincang dengan Sisi temannya.
Samar-samar laki-laki itu mendengar nama lengkap Ran.
“Namanya Randu?” tanya laki-laki itu membatin. Ia seperti pernah mendengar nama Randu. Namun, di mana?
Hingga tiba di lantai tiga mereka pun keluar dari lift. Ran dan Sisi masuk ke tempat acara mereka.
Suasana di dalam ruangan itu begitu heboh. Semua orang saling melepas rindu satu sama lain. Mereka menikmati pertemuan ini karena semenjak kelulusan belum ada berjumpa sama sekali.
Randu Zevaline, anak kedua dari Tito Heru Bagaskara dan Keirefa Bayu Satya. Gadis itu lahir pada tanggal 7 September 18 tahun yang lalu. Tepat di hari itu adalah hari yang menyedihkan bagi keluarga Ran. Hari yang membuat papanya Ran menjadi ditinggal oleh istri tercintanya. Hari itu menjadi hari terakhir ia bersama dengan sang istri.
Ran besar tanpa adanya kasih sayang seorang ibu. Ia hanya punya papa dan juga kakak laki-laki yang sangat menyayangi lebih dari apa pun. Ia sangat dimanja, bahkan tidak pernah dimarahi.
Apa pun yang diinginkan oleh Ran pasti dikabulkan oleh papa dan juga kakaknya tersebut. Gadis itu selalu berkecukupan. Ia juga punya teman-teman yang sangat mengidolakannya. Ia adalah ketua geng besar saat di SMA. Tentu saja karena latar belakang Ran yang bukan diragukan lagi, hingga membuat ia punya posisi tinggi. Ia sangat dihargai oleh banyak orang.
“Wah, Ratu kita sudah datang!” seru teman-teman Ran. Kecantikan Ran membuat semua mata yang memandang terpana. Jauh lebih cantik dari semasa SMA.
“Sayangnya Raja kita tidak ada di sini,” ujar yang lain.
Ran tidak menanggapi ucapan teman-temannya yang membahas tentang hal itu. Ia bahkan tidak tahu kabar laki-laki yang dahulu diberi julukan sebagai raja tersebut. Sudah setahun berlalu, tetapi tidak ada kabar sedikit pun tentangnya. Bagai hilang ditelan bumi, lenyap, dan tidak ada tempat untuk bisa ditanyakan.
“Teman-teman, kalian jangan membuat Ran sedih. Ran pasti akan menemukan Raja yang baru,” timpal Hera, teman baik Ran. Hera langsung menggenggam tangan Ran dan menatap matanya lekat.
Ran mengedipkan matanya pada Hera. Ia mengode gadis itu untuk menemaninya pergi.
“Aku temani Ran ambil minuman dulu,” ujar Hera pada yang lain.
Sambil berjalan, Ran tidak membicarakan apa pun pada Hera. Mood-nya langsung berubah setelah mendengar ucapan teman-temannya yang membahas tentang ‘Raja’ tersebut.
“Masih mikirin Darell, ya, Ran?” tanya Hera saat mereka sudah jauh dari kerumunan teman-teman yang lain.
“Aku nggak mau mikirin dia lagi, Her. Tapi gimana caranya buat lupa?” tanya Ran pasrah. Sudah segala cara ia coba untuk bisa move on, tetapi usahanya itu selalu gagal. Ia terlalu mencintai Darell. Ia hanya ingin Darell memberikan kejelasan tentang hubungan mereka. Hanya itu saja.
“Aku ambilin minuman dulu, ya,” tawar Hera.
Ran mengangguk. Ia tidak mood mengikuti acara ini. Padahal, tadi ia sangat bersemangat. Wajahnya berubah jadi cemberut. Kepalanya ia tekuk ke bawah.
Saat mengambil minuman, Hera melirik kanan-kiri dan depan-belakang. Ia seperti mempunyai maksud tertentu.
“Setelah ini … hidupmu akan hancur, Ran,” gumam Hera. Senyum licik pun terbit di bibirnya.
Hera bergegas menghampiri Ran lalu menyerahkan gelas minuman tersebut. Ran mengambilnya dan mengucapkan terima kasih kepada Hera.
“Thanks, Hera.”
“Iya, sama-sama.”
Ran hendak meminum, tetapi tiba-tiba Sisi memanggilnya untuk pergi bernyanyi.
“Ran, ayo nyanyi dong!” seru Sisi di atas panggung kafe. Ran melirik semua orang yang kini tengah memandanginya. Ran tidak tahu akan bernyanyi apa. Sudah lama ia tidak mengeluarkan suara emasnya di hadapan banyak orang.
“Nggak deh,” tolak Ran sambil melambaikan tangan ke atas sebelah. Ia pun meminum minuman yang Hera berikan padanya beberapa teguk.
“Yes,” batin Hera begitu Ran sudah meminum minuman itu.
***
Bersambung—
Ran bergegas keluar setelah selesai bersiap-siap. Saat tiba di luar, papa, kakak, kakak ipar dan juga keponakannya sudah siap-siap untuk berangkat.“Papa,” sapa Ran saat menuruni anak tangga.“Aunty, aku berangkat sekolah dulu sama Mama,” teriak keponakannya Ran. Ran menganggukkan kepala dan melambaikan tangan kepada anak kecil itu.Keluarga kecil Theo pergi dari rumah duluan.“Ran,” panggil Tito sambil berdiri di dekat ambang pintu.“Iya, Pa,” sahut Ran.“Kamu yakin mau bawa mobil sendiri?” tanya pria itu.“Iya Pa, Ran nggak mau repotin Lie terus,” ujar Ran.“Nggak mau repotin Lie atau … supaya kamu bisa bebas pergi ke mana pun?”Ran mengerucutkan bibirnya. “Papa ih …,” keluh Ran.Tito mengusap kepala Ran. “Iya, ini kunci mobil kamu. Eh, tapi Lie mana?” tanya Tito pada putrinya itu.&ld
Ran dan Charlie tengah duduk bersama di dalam kamar. Setelah berbicara dengan Tito sore itu, satu hal yang Ran simpan rapat-rapat 7 tahun yang lalu terkuak ke permukaan.Charlie meraih tangan Ran. Diusapnya lembut tangan itu sembari menatap lekat wajah Ran.Rambut hitam panjang milik Ran bergoyang terkena angin malam yang masuk ke dalam jendela. Sepertinya angin itu sengaja membuat rambut Ran bergerak hingga menutupi sebagian wajahnya.“Ran, terima kasih,” ucap Charlie.“Hhahaha.” Ran tertawa. “Terima kasih untuk apa?”Ran menolehkan wajahnya pada Charlie dengan tampang sedikit gugup. Membuat pria itu mengembangkan senyum lebar nan indah karena merasa Ran sangat cantik malam ini.“Karena surat kamu membuat Papa kamu tahu kalau ….”“Lie, asal kamu tahu, aku udah move on mengenai masalah itu. Aku nggak ada perasaan apa pun lagi,” ujar Ran berterus terang. Ya, Ra
Ran dan Charlie sudah tiba di rumah besar di mana sejak bayi, Ran tinggal di sana. Rumah yang sudah menyimpan kenangan untuknya selama 19 tahun.Ran keluar dari mobil. Langkahnya terhenti saat mengamati rumah itu. Beberapa hari pergi, rumah itu terlihat sepi. Ya, memang selalu sepi, bukan? Tidak pernah ramai karena semua orang sibuk.Ponakannya, anak dari Theo dan Lidya tidak ada di rumah karana ikut kegiatan di luar. Biasanya akan pulang barengan dengan mamanya, Lidya.Tiba-tiba Charlie meraih tangan Ran membuat Ran terkejut.“Ayo masuk,” ajak Charlie pada gadis itu. Ran mengangguk kecil.Charlie menggandeng tangan Ran berjalan ke dalam. Siapa yang bisa menyangka, satu-satunya nona muda di rumah itu akan pergi meninggalkan rumah di saat usianya baru saja menginjak 19 tahun. Karena pernikahan membuatnya meninggalkan rumah yang konon menyimpan banyak kenangan terutama tentang mamanya.Ran melangkah masuk. Tiba diambang pintu, semu
“Ran! Kamu kok baru datang!” seru Tiara saat Ran tiba di depan kelas. Gadis dengan rambut bergelombang itu bertanya langsung pada Ran yang baru saja tiba.“Kenapa? Aku belum telat juga,” ujar Ran terlihat bingung karena semua teman-temannya memperhatikan ia sejak datang ke sini.“Kamu udah tahu belum sahabat tentang sahabat kamu, si Hera itu masuk penjara?” tanya Tiara memperlihatkan ponselnya pada Ran. Ada berita tentang Hera yang masuk penjara dan heboh di kalangan mahasiswa sejak semalam.“Kamu ‘kan sahabat Ran juga, Tia,” timpal Lala. Wajah Lala sedikit keheranan karena dari gaya bicara Tiara menunjukkan kalau yang bersahabat dengan Ran hanya Hera saja.“Kita beda, Lala. Kita sahabatan sama Ran sejak kuliah, sedangkan si Hera ‘kan sahabatnya Ran pas sekolah,” cetus Tiara. Ia tidak terima disama-samakan dengan Hera. Dari awal tahu kalau Ran bersahabat dengan Hera sudah tidak disuka
Ran dan Charlie sudah tiba di apartemen. Charlie bilang ingin ke dapur dulu, sedangkan Ran segera pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat.Usai mandi, Ran mendapati Charlie membawakan secangkir cokelat panas.“Ini buat kamu. Aku mau mandi dulu,” ujar Charlie meletakkan cangkir tersebut di atas meja—dekat sofa santai mereka.Ran hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun. Ia pergi menuju sofa dan duduk di sana. Lalu, mengambil cangkir cokelat itu dan menghangatkan tangannya dengan memegang badan cangkir.Ran menghirup aroma cokelat panas yang begitu enak. “Harumnya,” ucap Ran disertai senyum menghiasi bibirnya yang pucat.Ran sangat suka dengan cokelat panas. Apa lagi saat dingin seperti ini, cokelat panas adalah minuman yang sangat cocok untuk diminum.Ran menyesapnya sedikit-sedikit karena masih panas. “Rasanya enak,” puji Ran mengakui kalau cokelat panas buatan Charlie memang enak.
Langit kota Jakarta yang mendung membuat Charlie kian cemas karena takut hujan tiba-tiba turun. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah kepada Ran. Belum lagi keberadaan Ran yang tidak jelas ada di mana.“Semoga kamu ada di sana, Ran,” gumam Charlie sambil membaca alamat yang dikirimkan oleh Lidya.Belum sampai tujuan, benar saja hujan pun turun. Hujan itu pun kian lebat. Membuat jalanan menjadi macet dan Charlie terjebak lama menuju tempat itu.Charlie tidak menyerah. Ia tetap lanjut menuju tempat itu. Meski sekali pun Ran sudah tidak ada di sana, tetapi ia tetap akan pergi ke tempat itu.Charlie berhenti di sebuah pemakaman umum. Di sana, Charlie melihat ada sebuah taksi yang terparkir.“Kenapa ada taksi hujan-hujan begini di dekat pemakaman?” tanya Charlie heran.Charlie tersadar. “Pasti Ran ada di sini!”Bergegas Charlie turun dengan memakai payung keluar dari mobil. Ia berjalan masuk ke dalam kawasan