Lidia, sedari kecil yang hidupnya selalu dikelilingi banyak harta dan juga orang-orang yang ia sayangi, tiba-tiba saja kehilangan sebagian hidupnya dan dipaksa untuk bertahan sendirian. Saat baru saja masuk ke jenjang SMA, ia kehilangan kedua orangtuanya karena kecelakaan yang mereka alami saat pergi ke luar negeri untuk perjalanan bisnis. Lidia remaja yang mau tidak mau harus menjalani kejamnya kehidupan itu berusaha dengan begitu keras, ia juga harus kehilangan masa remaja dan masa mudanya untuk mewujudkan perintah dan wasiat-wasiat dari orangtuanya sebelum mereka meninggal.
Orangtua Lidia sadar, bahwa pekerjaan mereka yang sering kali keluar negeri dan juga memiliki banyak pesaing bisnis, bisa saja beresiko tinggi bagi nyawa mereka di saat yang sama sekali tidak terduga. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mengurus semua surat-surat wasiat dan juga semua yang harus ditanggung oleh Lidia jika saja orangtua Lidia tiba-tiba telah tiada.
Di saat hari di mana Lidia kehilangan orangtuanya pun, orang utusan kepercayaan ayahnya langsung menjelaskan atas semua yang telah disiapkan oangtuanya untuknya. Semua terasa terlalu terburu-buru. Belum hilang rasa berdukanya, namun ia harus dihadapkan dengan semua kenyataan yang akan terasa lebih sulit yang tak pernah terbayangkan olehnya. Ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk berduka dan waktu untuk pulih dari semua luka. Tidak sempat menangis tersedu sambil menatap jenazah kedua orangtuanya, tidak ada perpisahan terakhir, maupun bunga mawar untuk makam kedua orangtuanya.
Penjelasan panjang lebar tentang perintah orangtuanya, serta wasiat-wasiat yang ia terima melalui orang kepercayaan ayahnya dapat diterima akal sehat Lidia. Namun, sebenarnya hatinya sangat berat dan juga masih tidak bisa menerima. Apa daya, ia tidak memiliki waktu untuk memikirkan apa yang harusnya bisa dia lakukan sebagai seorang anak yang tengah berduka saat ini, ia hanya memiliki waktu untuk menganggukkan kepala serta menyetujui semuanya saja. Setidaknya, hanya itulah yang bisa ia lakukan untuk almarhum kedua orangtuanya untuk membalas semua kasih sayang telah ia terima selama ini.
Dengan sangat berat hati dan juga hati yang masih teriris-iris, Lidia mulai memahami semuanya dengan perlahan dan melaksanakan semua hal yang orangtuanya telah tinggalkan kepadanya satu persatu. Ia yang baru saja masuk ke sebuah SMA ternama di kotanya, harus pindah ke SMA biasa yang terletak di desa kecil dan pindah rumah ke daerah sana. Ini merupakan perintah pertama yang diberikan padanya. Ia harus meninggalkan segalanya, semua teman dan kemewahan yang selama ini selalu mengelilinginya. Ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menerima semuanya, dengan perlahan.
Di desa baru tempat tinggalnya tersebut, ia hidup bersama seorang nenek di sebuah rumah sederhana. Nenek tersebut yang akan selalu mengurus kebutuhan Lidia, dari makan, hingga kebutuhan sehari-hari lainnya.
Lidia juga telah didaftarkan ke sekolah terdekat oleh orang utusan ayahnya, serta telah mengurus semua keperluan sekolahnya. Sehingga, ia bisa masuk ke sekolah kapan saja ia mau.
Di tempat barunya, Lidia pun harus mengikuti pelatihan bela diri oleh guru yang telah dibayar untuknya. Setiap hari ia harus berjalan menuju ke tempat guru tersebut, untuk menjalani pelatihan rutin.
Belum lagi pelajaran tambahan khusus untuk bisa mengelola perusahaan. Ia mempelajari semua dari dasar-dasarnya, sehingga saat kuliah nanti ia tidak akan memakan terlalu banyak waktu dan bisa segera mengurus perusahaan milik keduaorangtuanya.
Satu minggu pertama di desa tersebut, Lidia memutuskan untuk tidak masuk ke sekolahnya terlebih dahulu. Ia menginginkan beberapa waktu luang sebelum benar-benar menjalani kehidupan yang akan sangat padat dan juga menyesakkan nantinya. Ia hanya akan pergi ke pelatihan bela diri dan juga melaksanakan pelajaran tambahan khususnya saja.
Pertemuan petama Lidia untuk pelatihan bela dirinya terbilang kurang lancar, karena ia masih belum bisa beradaptasi dengan semua hal yang berbau tentang kekerasan dan pekerjaan yang berat. Ia sama sekali tak tahu mengenai dasar-dasar bela diri dan seberat apa hanya untuk pemanasannya saja.
Di tempat pelatihannya ini, sebenarnya ada sekitar tiga orang lain yang juga berlatih bela diri dengan guru tersebut. Tapi nampak sekali, bahwa murid-murid tersebut tingkatan beladirinya sudah sangat tinggi. Bahkan ada yang terlihat masih sangat muda, mungkin seumuran dengan Lidia. Namun, kemampuannya sudah sangat luar biasa.
Lidia berjalan pulang dengan rasa letihnya, ia benar-benar merasa kesulitan di saat awal-awal seperti ini. Ia sama sekali tidak yakin apakah dia bisa melewati semuanya sampai akhir nanti atau tidak.
Setelah sampai di rumah dan beristirahat sebentar, Lidia pun langsung melanjutkan kegiatannya untuk belajar dalam pelajaran tambahan yang telah dijelaskan padanya sebelumnya. Ada seorang dosen yang akan mengajarinya secara khusus privat. Banyak sekali yang harus ia pelajari juga dalam hal ini. Ia pun selalu menyelesaikan pelajaran tambahannya hingga larut malam setiap hari.
Satu minggu tidak terasa telah berlalu, Lidia pun harus mulai masuk ke sekolah barunya. Ia tidak begitu bersemangat, namun juga tidak terlalu merasa terbebani. Ia mulai terbiasa dengan semua hal berat baru yang akan ia tanggung.
Semenjak kehilangan kedua orangtuanya, Lidia memang tiba-tiba berubah menjadi anak yang sangat pendiam. Ia benar-benar menjalani semuanya tanpa banyak ekspresi. Bahkan di sekolah barunya, ia selalu diam dan menyendiri sehingga sama sekali tak memiliki seorangpun teman. Orang-orang di sekitarnya pun menjadi tidak nyaman berada di dekatnya, karena ia selalu diam dan tidak banyak menanggapi sekitarnya.
Namun, mungkin karena Lidia memiliki wajah yang sangat cantik dan mempesona, sehingga ia banyak disukai oleh para kaum adam. Tapi, tak ada seorangpun dari mereka yang dapat meluluhkan hati Lidia yang telah membatu sejak lama ini.
Karena Lidia banyak disukai oleh laki-laki di sekolah tersebut, banyak anak perempuan di sekolahnya menjadi sangat tidak suka padanya. Jadi, hingga naik ke kelas dua belaspun, Lidia sama sekali tidak memiliki teman dan bahkan ia banyak mendapat gangguan dari anak-anak perempuan sekolahnya.
Namun, hal tersebut sama sekali tidak mengganggu dirinya karena ia cerdas dan juga pandai bela diri. Sehingga, ia bisa mengatasi semua masalahnya sendiri dengan sangat baik.
Selama hampir dua tahun ini, Lidia menjalani kehidupan sulitnya tersebut dengan terbiasa. Ia terbiasa tidak tidur dan juga tidak memiliki banyak waktu untuk bersntai. Sehingga, ia sering kali tiba-tiba mimisan saat benar-benar merasa kelelahan. Namun, seiring berjalannya waktu, pada akhirnya ia juga terbiasa dengan darah yang sering mengalir dari hidungnya tersebut.
Hingga saat tahun pembelajaran kelas dua belas dimulai, ada seorang anak laki-laki bernama Gio, yang Lidia ingat ia merupakan anak dari kelasnya itu, mengungkapkan bahwa ia menyukai Lidia dan mengajaknya berkencan. Namun, dengan tegas Lidia menolaknya dan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak menyukai anak tersebut.
Gio yang bisa dikatakan anak paling populer dan tampan di sekolah itupun tidak terima dengan penolakan Lidia, sehingga ia terus mengganggunya. Bahkan beberapa kali berusaha untuk melakukan kekerasan fisik, namun dengan mudah Lidia mengatasinya karena ia sudah bisa melakukan bela diri.
Hingga suatu pagi di jam olahraga, tiba-tiba guru bela diri Lidia yaitu Guru Kevin, datang dan mengatakan bahwa ia adalah guru pengganti yang akan mengajar kelas mereka. Lidia menatap gurunya tersebut dengan tatapan biasa, karena memang Guru bela dirinya tersebut pernah mengatakan bahwa ia akan mengajar olahraga di sekolahnya, saat di tempat pelatihan beberapa hari yang lalu.
Gio sedari awal jam olahraga yang dilakukan di lapangan sekolah ini dimulai terus menatap Lidia dengan seringai di wajahnya. Karena, hari ini apapun yang terjadi, Gio akan mencelakai Lidia bagaimanapun caranya.
Dan benar saja, saat kelas mereka memainkan permainan bola tangkap, Gio berhasil menjegal kaki Lidia hingga jatuh tersungkur. Karena lari Lidia tadi cukup kencang, dan kakinya terlebih dahulu mendarat di atas tanah, lututnya pun terluka cukup parah. Ditambah lagi, siku dan telapak tangannya sedikit tergores hingga mengeluarkan darah, namun tidak sebanyak darah di lututnya.
Lidia pun perlahan berdiri sendiri lalu menatap Gio tajam. Ia langsung pergi meninggalkan lapangan menuju ke UKS untuk mengobati semua lukanya. Namun sialnya, saat berjalan melewati lorong hidungnya mulai menguarkan darah. Ia benar-benar kelelahan saat ini. Ia terus menutupi lubang hidungnya untuk menghalangi jalan agar darahnya tidak terus menerus keluar, lalu bernapas melalui mulutnya. Lidia melihat sekitar, ia berharap setidaknya ada satu orang yang lewat dan membawa tissue atau semacamnya untuk menyumpal hidungnya. Namun sayangnya, nihil.Ia pun memutuskan untuk bergegas menuju UKS saja. Lidia yakin sekali, bahwa di UKS pasti ada tissue. Namun, saat ia berbelok di koridor panjang penghubung antara kantin dan perpustakaan sekolah, ia menemukan ada seorang laki-laki yang sepertinya baru saja sampai di sekolah berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengannya. Ia berniat untuk meminta tissue kepadanya saja untuk sementara, karena UKS masih terbilang cukup j
Sehari setelah kelulusannya, Lidia langsung mengemasi semua barang-barangnya dan bersiap untuk kembali ke rumah. Tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Karena selama empat tahun ini, ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk pulang. Terbesit dalam hati kecilnya, ia sangat merindukan tanah kelahirannya.Setelah bisa melewati semuanya sampai saat ini, Lidia sangat bersyukur, bahwa jiwa dan raganya tidak mendadak sakit tiba-tiba. Sehingga ia dapat menyelesaikan sebagian besar perintah dan wasiat kedua orangtuanya denga sangat lancar.Jika berbalik melihat dirinya sendiri di waktu sebelumnya, bahkan dirinya yang berhasil kini akan tetap merasa ragu. Dia tersnyum dan bertanya pada dirinya sendiri, “Wah.. bagaimana semua itu bisa terjadi?”Setelah semua persiapan kepulangannya selesai, Lidia bergegas menuju bandara. Karena ia tidak menyukai hal-hal yang terlalu sia-sia, jadi Lidia menaiki pesawat kelas ekonomi seperti biasa meskipun sebenarnya ia san
Hingga tak lama sekretaris tersebut tumbang, lawannya pun segera melumpuhkannya dengan menyuntikkan sesuatu pada tubuh lawannya. Lidia yang sangat kaget itu pun hanya bisa membelalakkan mata dan tanpa sadar berdiri sambil menutup mulutnya.Lidia terus menatap kejadian di depannya dengan raut tak percaya, tubuhnya kaku. Ia tak pernah melihat pembunuhan secara langsung tepat di depan matanya. Setelah perbuatannya selesai, pembunuh tersebut menekan earpeace yang terpasang di telinganya.“Tugas selesai. Ruang rapat nomor 199,” ucap pria tersebut kepada orang di sebrang sana. Setelah itu ia menekan kembali earpiece yang dipakainya untuk memutuskan sambungan.Setelah beberapa saat, pembunuh tersebut pun kaget, menyadari bahwa di ruangan tesebut ternyata masih ada orang selain dirinya. Dengan refleks, ia menarik tangan Lidia untuk segera keluar dari ruangan tersebut menuju sebuah kamar yang sepertinya telah disiapkan oleh pembunuh tersebut
“Jika rahasia, mengapa kau menceitakan semua ini padaku?” tanya Lidia dengan nada bingung setelah menelaah dan memahami semua penjelasan dari Ken barusan.Ken menatap mata Lidia dengan raut yang sangat sulit untuk diartikan. Lidia yang menyadari hal tersebut pun hanya membalas tatapan pria di sampingnya ini, masih dengan tatapan bingungnya.“Karena aku mempercayaimu,” ungkap Ken dengan nada lembut, namun bagi Lidia kalimat Ken barusan malah terdengar sangat menghanyutkan.“Aku kan sudah mengatakannya sebelumnya, bahwa sepertinya aku bisa mempercayaimu. Aku juga yakin bisa mempercayaimu sepenuhnya,” jelas Ken.“A-ah.. begitu rupanya,”jawab Lidia sedikit ragu.Setelah percakapan terakhir, entah mengapa suasana menjadi sedikit canggung. Hanya hening yang menyerang selama beberapa menit terakhir. Hingga akhirnya, Ken mulai memecah keheningan tersebut.“Kau sendiri, kenapa bi
Setelah keluar dari kamar tersebut, Lidia langsung berusaha mencari keberadaan sekretarisnya, Kira. Ia khawatir, karena Kira tadi telah masuk lebih dulu ke dalam ruang meeting itu sendirian. Setelah memeriksa ruang rapat yang tadinya akan mereka gunakan untuk meeting bersama, Lidia tidak menemukan apapun kecuali barang-barang di sana yang kini telah berantakan.Sepertinya memang benar tentang apa yang Ken jelaskan padanya tadi. Polisi meringkus CEO yang terlibat dalam penjualan narkoba tersebut, dan mungkin saja semua orang yang tadinya ada di ruangan itu diamankan ke suatu tempat. Atau bisa jadi diarahkan untuk membubarkan diri.Lidia berjalan menuju ke arah luar dari hotel tersebut dengan perasaan gusar. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Kira. Di mana sebenarnya dia sekarang?“Permisi, orang-orang yang tadi berada di ruang rapat nomor 180 ke mana, ya?” tanya Lidia pada seorang officer penunggu lobi tersebut.&
Hari ini, semua urusan kantor telah selesai. Lidia menghembuskan napas leganya setelah sampai di apartemen dan membersihkan diri. Kini, ia duduk di meja kerjanya dan membaca kembali berkas-berkas lama milik perusahaannya saat ini.Setelah sekitar tiga jam lebih ia mempelajari semuanya, Lidia pun mengeluarkan kotak kecil berharga miliknya yang telah lama sekali ia simpan. Ia membuka kotak tersebut, dan mengeluarkan isinya. Ia mengeluarkan sapu tangan hitam tersebut dari kotak khusus yang dibelinya saat di Amerika tiga tahun lalu di acara bazar kampus. Hari ini, setelah sekian lama, akhirnya ia melihat wajah hangat itu lagi. Sang pemilik sapu tangan yang selama bertahun-tahun ini ia rawat. Entah mengapa, Lidia melakukan hal seperti ini. Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah melakukan hal isa-sia semacam itu. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda.Lidia menaruh sapu tangan itu ke atas mejanya dengan hati-hati. Diusapnya perlahan, sapu tangan itu tetap lembut meski tela
Lengan kirinya yang tertabrak setir sepeda motor itu terasa sangat nyeri, dan karena hal itu juga lah ia bisa sampai terjatuh seperti ini. Kedua siku dan tangannya berdarah karena ia buat tumpuan saat terjatuh tadi. Serta kedua lututnya yang juga berdarah karena berciuman dengan lantai trotoar yang sama sekali tidak mulus ini.Lidia melihat motor itu terus melaju kencang turun dari terotoar dan menghilang di tikungan jalan besar ini. Entah mengapa, rasa-rasanya kejadian ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, tetapi telah direncanakan sebelumnya. Karena menurutnya sangatlah janggal seseorang menaiki motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi di jalan khusus pejalan kaki ini. Dan lagi, setelah benar-benar menyerempet Lidia tadi, motor tersebut langsung turun ke jalan raya dan langsung pergi menjauh dari sini.Dan yang paling mengganggu pikirannya adalah, orang tadi memakai helm yang menutupi seluruh wajah, juga jaket serta sarung tangan hitam yang dipakai rapi oleh penabra
Semua masalah yang terjadi pagi ini telah teratasi dengan baik. Lidia dan Kira pun telah selesai memakan sandwich yang telah Lidia beli tadi pagi untuk sarapan. Dari keseluruhan penyelesaiannya, Lidia hanya membuat satu kesalahan saja. Ia lupa untuk meminta rok ganti yang sedikit lebih panjang agar lututnya yang telah dibalut plester luka tersebut dapat tertutupi.“Terlihat aneh, ya?” tanya Lidia pada Kira sambil menunjukkan penampilannya saat ini.Sebenarnya tidak ada yang salah dari pakaiannya saat ini, hanya saja bekas luka yang terbalut plester itu terlihat sedikit mencolok dan sedikit mengenaskan.“Tidak terlalu, kok.. Kamu terlihat sangat hebat, hanya..” jelas Kira menggantung dengan senyum yang dipaksakan.Lidia hanya menatap sekretaris mudanya tersebut dengan tatapan yang sangat datar. Karena sebenarnya ia telah tahu jawaban dari pertanyaannya tadi dengan sangat jelas. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaannya tidak akan bisa t