Lidia pun perlahan berdiri sendiri lalu menatap Gio tajam. Ia langsung pergi meninggalkan lapangan menuju ke UKS untuk mengobati semua lukanya. Namun sialnya, saat berjalan melewati lorong hidungnya mulai menguarkan darah. Ia benar-benar kelelahan saat ini. Ia terus menutupi lubang hidungnya untuk menghalangi jalan agar darahnya tidak terus menerus keluar, lalu bernapas melalui mulutnya. Lidia melihat sekitar, ia berharap setidaknya ada satu orang yang lewat dan membawa tissue atau semacamnya untuk menyumpal hidungnya. Namun sayangnya, nihil.
Ia pun memutuskan untuk bergegas menuju UKS saja. Lidia yakin sekali, bahwa di UKS pasti ada tissue. Namun, saat ia berbelok di koridor panjang penghubung antara kantin dan perpustakaan sekolah, ia menemukan ada seorang laki-laki yang sepertinya baru saja sampai di sekolah berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengannya. Ia berniat untuk meminta tissue kepadanya saja untuk sementara, karena UKS masih terbilang cukup jauh dari posisinya saat ini. Rasanya tidak nyaman sekali berjalan dengan menutup kedua lubang hidung seperti itu.
“Permisi,” ucap Lidia lirih saat anak laki-laki tersebut telah mendekat dari posisinya.
Anak tersebut pun menoleh, dan langusng terkejut, mendapati perempuan di depannya ini memiliki banyak luka dan darah. Tak lupa bekas genangan darah di bawah lubang hidungnya itu, Lidia benar-benar terlihat sangat mengenaskan.
“Punya tissue?” tanya Lidia.
“Tidak.. Tapi pakai ini saja,” ucap laki-laki tersebut sambil mengulurkan sebuah sapu tangan bewarna hitam guna menyumbat hidung Lidia yang sedang mimisan tersebut.
“Terima kasih.. Akan kukembalikan secepatnya,” ucap Lidia.
Setelah menerima sapu tangan tersebut, Lidia langsung melanjutkan perjalanannya menuju ke UKS, meninggalkan laki-laki yang sepertinya masih menatpnya lekat itu. Lidia langsung menyumbatkan sapu tangan tersebut ke salah satu hidungnya yang masih mengeluarkan darah dengan sigap. Baru saja melangkah sejauh lima langkah, Lidia berhenti dan membalikkan tubuh karena mendengar orang tersebut seperti akan mengatakan sesuatu.
“Tunggu.. Bukankah kau yang belajar bela diri di guru Kevin juga?”
“Tahu darimana?” tanya Lidia bingung.
“Hei, aku juga belajar di sana, bahkan jauh lebih lama darimu. Bagaimana kau bisa tidak mengenaliku? Kita memang tidak pernah berbicara, sih. Kau juga selalu diam dan menyendiri,” ungkap laki-laki tersebut menatap Lidia sambil terus mengingat-ingat, apakah benar perempuan di depannya ini adalah orang ia maksud.
Lidia menatap laki-laki yang sedang berbicara di hadapannya tersebut, dan berusaha untuk menganalisanya. Dan benar saja, wajah laki-laki tersebut terasa sangat tidak asing.
“Ah, iya... Maaf, aku harus pergi sekarang.”
Lidia pun langsung pergi menuju UKS meninggalkan laki-laki tersebut yang masih menatapnya bingung. Ia benar-benar bingung bagaimana bisa seorang anak perempuan memiliki banyak banyak luka dan juga berjalan sedikit pincang seperti itu di dalam sekolah ini.
“Ternyata dia bersekolah di sini juga,” batin Lidia sambil terus berjalan cepat, agar tidak ada banyak orang yang akan melihat keadaannya saat ini.
Setelah sampai di UKS dan mengobati semua lukanya, Lidia langsung menuju kelas untuk mengambil baju seragam ganti dan pergi menuju perpustakaan. Tempat yang paling sering ia kunjungi untuk membolos pelajaran dan tempat paling nyaman untuk tidur. Ia juga membawa tasnya sekalian, ia berencana untuk membolos pelajaran sampai pulang nanti.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Lidia langsung pergi ke tempat pelatihan bela diri seperti biasa. Ia benar-benar meninggalkan seluruh pelajarannya hari ini.
Lidia berlatih seperti biasa, semuanya berjalan lancar. Ia sekarang sudah terbilang pandai melakukan bela diri. Tingkatannya juga sudah lumayan, tapi masih berbeda jauh dengan murid-murid yang lain.
Setelah selesai, Lidia menemui guru bela dirinya untuk mengatakan sesuatu. Karena guru olahraga untuk kelasnya telah diganti dengan guru pelatihnya, ia ignin meminta suatu hal padanya.
“Permisi, guru..” sapa Lidia ragu.
“Ada apa Lidia? Oh iya, bagaimana dengan lukamu tadi?”
“Aku baik-baik saja, guru. Guru.. aku memiliki sebuah permintaan,” tanya Lidia semakin ragu.
“Apa?” tanya gurunya sambil tersenyum dan menaikkan kedua alisnya.
“Sekolahku hanya kurang dari satu tahun lagi, aku harus menyelesaikan banyak sekali perintah dan wasiat dari almarhum kedua orangtuaku. Bolehkah aku tidak mengikuti setiap jam pelajaran olahraga di sekolah? Aku cukup kewalahan untuk melakukan semuanya akhir-akhir ini. Untuk pengambilan setiap nilainya aku akan melakukannya sendiri denganmu, kapan saja.”
Guru Lidia tersebut tampak diam menatapnya sambil berpikir sejenak. Ia tahu benar, bahwa Lidia tengah mengemban beban yang besar sekali. Serta gangguan-gangguan yang banyak sekali datang dari teman di sekolahnya itu, gurunya tersebut sangat amat paham.
“Kau tenang saja.. Akan kukabulkan, dan bila kau memerlukan bantuan. Panggil aku kapan saja,” jawab Gurunya sambil terenyum dan mengusap bahu Lidia pelan.
Lidia pun sangat senang mendengarnya, berkali-kali ia membungkukkan badan dan mengucapkan ribuan terima kasih. Setelah itu, ia pergi merapikan barang-barangnya dan berencana langsung pulang untuk melaksanakan pelajaran tambahan khususnya.
Saat selesai memasukkan semua barangnya, laki-laki yang ditemuinya di koridor sekolah tadi pagi mendatanginya dengan membawa sebotol minuman.
“Aku meminum ini saat sedang kelelahan atau terluka. Ini juga bagus untuk kesehatan,” ungkap laki-laki tersebut sambil menaruh minuman tersebut ke meja depan Lidia. Lidia hanya mengangkat alisnya menatap minuman dan laki-laki tersebut secara bergantian.
“Minumlah..”
“Terima kasih,” ujar Lidia dengan senyum tipis yang sangat jarang sekali ia tampakkan itu, sambil mengambil minuman tersebut lalu langsung pergi pulang.
Meskipun sangat tipis, tapi laki-laki tersebut dapat melihat dengan jelas bahwa Lidia tersenyum padanya. Setelah semua hal yang telah menimpa Lidia hari ini, bahkan dengan baju lusuh serta keringat di pelipisnya, Lidia terlihat sangat cantik dengan senyuman langkanya itu.
Lidia meminum minuman dari laki-laki tadi di tengah perjalanan, dan membuang kemasannya ke dalam tempat sampah di pekarangan rumahnya. Setelah mandi dan beristirahat sebentar, ia ingat tadi meminjam sapu tangan dan berencana akan mencucinya agar besok bisa segera dikembalikan.
Setelah menyelesaikan kegiatannya, ia mulai bersiap untuk pelajaran tambahannya seperti biasa karena dosen pengajarnya telah sampai di rumah. Sungguh sangat melelahkan, tapi apa daya, Lidia harus tetap melakukannya demi orangtuanya. Ia harus tetap berjuang apapun yang terjadi.
Waktu terus berlalu, esok hari telah tiba. Lidia pergi ke sekolah seperti biasa, dan langsung pulang setelah semua pelajaran selesai. Ia bergegas menuju ke tempat latihan bela diri, dan berencana untuk mengembalikan sapu tangan yang dipinjamnya tempo hari dari seorang anak laki-laki yang bahkan ia tak tahu siapa namanya tersebut.
Tapi entah mengapa, sejak saat itu Lidia tidak pernah bertemu dengan laki-laki itu lagi. bahkan di tempat latihan, ia sudah tak pernah datang. Entah apa yang terjadi, ia tiba-tiba menghilang tanpa jejak sedikit pun. Bahkan, pernah ia bertanya pada guru bela dirinya. Tapi Lidia tetap tidak mengetahui kemana perginya laki-laki tersebut. Lidia juga sempat mencari tahu informasi tentangnya di sekolah. Tetap saja, hasilnya nihil. Yang ia tahu dari gurunya hanyalah nama anak tersebut. Ken, namanya adalah Ken.
Sejak saat itu, entah mengapa Lidia malah terus memikirkan Ken. Ada sedikit rasa sedih di hatinya. Karena ia kira, ia akan memiliki seorang teman. Nyatanya, ia memang tidak ditakdirkan memiliki seorangpun teman. Meski begitu, waktu terus berlalu. Lidia lulus dari SMA dengan nilai terbaik. Orang utusan ayahnya datang lagi ke rumah. Ia mengatakan semua hal yang harus dilakukan Lidia setelah ini.
Tak banyak membuang waktu lagi, setelah perintah selanjutnya turun kemarin, Lidia langsung bersiap untuk pergi ke luar negeri. Ia di perintahkan untuk menyelesaikan studi di Amerika. Di sana pun ia tidak boleh membuang banyak waktu, setidaknya dalam empat tahun ia harus menyelesaikan S2-nya di sana.
Dengan bekal yang ia pelajari di pelajaran tambahan khususnya selama tiga tahun terakhir, ia pun tidak akan terbebani sama sekali dengan hal itu. Ia bisa dengan mudah menyelesaikannya dengan tepat waktu. Ia benar-benar tidak membuang waktu untuk hal lain selain menyelesaikan tugasnya.
Empat tahun berlalu dengan sangat cepat. Musim terus silih berganti. Waktu juga terus bergerak maju dengan cepat. Lidia pun telah mendapat gelar S2 nya dengan nilai yang sangat baik. bahkan hampir sempurna. Ia benar-benar sudah siap untuk di serahi perusahaan milik orang tuanya dan menjadi CEO di sana.
Sebelum Lidia siap, memang ada orang kepercayaan orangtuanya yang mengambil alih sementara semua bisnis milik orangtuanya untuk melindungi tempat tersebut. Sebab, banyak sekali lawan bisnisnya yang mencari segala celah untuk menghancurkan semuanya. Bahkan ada yang mengincar nyawa Lidia, namun gagal karena tidak ada seorangpun yang mengetahui keberadaan Lidia setelah kedua orangtuanya meninggal dulu. Itulah sebabnya mengapa Lidia langsung dipindahkan dan juga di bekali ilmu bela diri selama ini.
“Lidia, sekarang kamu sudah siap kembali ke tanah air dan menjalankan tugas terakhirmu. Bersiaplah,” ucap utusan ayahnya tersebut dengan senyuman.
“Baiklah, Tuan Utusan.”
Sehari setelah kelulusannya, Lidia langsung mengemasi semua barang-barangnya dan bersiap untuk kembali ke rumah. Tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Karena selama empat tahun ini, ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk pulang. Terbesit dalam hati kecilnya, ia sangat merindukan tanah kelahirannya.Setelah bisa melewati semuanya sampai saat ini, Lidia sangat bersyukur, bahwa jiwa dan raganya tidak mendadak sakit tiba-tiba. Sehingga ia dapat menyelesaikan sebagian besar perintah dan wasiat kedua orangtuanya denga sangat lancar.Jika berbalik melihat dirinya sendiri di waktu sebelumnya, bahkan dirinya yang berhasil kini akan tetap merasa ragu. Dia tersnyum dan bertanya pada dirinya sendiri, “Wah.. bagaimana semua itu bisa terjadi?”Setelah semua persiapan kepulangannya selesai, Lidia bergegas menuju bandara. Karena ia tidak menyukai hal-hal yang terlalu sia-sia, jadi Lidia menaiki pesawat kelas ekonomi seperti biasa meskipun sebenarnya ia san
Hingga tak lama sekretaris tersebut tumbang, lawannya pun segera melumpuhkannya dengan menyuntikkan sesuatu pada tubuh lawannya. Lidia yang sangat kaget itu pun hanya bisa membelalakkan mata dan tanpa sadar berdiri sambil menutup mulutnya.Lidia terus menatap kejadian di depannya dengan raut tak percaya, tubuhnya kaku. Ia tak pernah melihat pembunuhan secara langsung tepat di depan matanya. Setelah perbuatannya selesai, pembunuh tersebut menekan earpeace yang terpasang di telinganya.“Tugas selesai. Ruang rapat nomor 199,” ucap pria tersebut kepada orang di sebrang sana. Setelah itu ia menekan kembali earpiece yang dipakainya untuk memutuskan sambungan.Setelah beberapa saat, pembunuh tersebut pun kaget, menyadari bahwa di ruangan tesebut ternyata masih ada orang selain dirinya. Dengan refleks, ia menarik tangan Lidia untuk segera keluar dari ruangan tersebut menuju sebuah kamar yang sepertinya telah disiapkan oleh pembunuh tersebut
“Jika rahasia, mengapa kau menceitakan semua ini padaku?” tanya Lidia dengan nada bingung setelah menelaah dan memahami semua penjelasan dari Ken barusan.Ken menatap mata Lidia dengan raut yang sangat sulit untuk diartikan. Lidia yang menyadari hal tersebut pun hanya membalas tatapan pria di sampingnya ini, masih dengan tatapan bingungnya.“Karena aku mempercayaimu,” ungkap Ken dengan nada lembut, namun bagi Lidia kalimat Ken barusan malah terdengar sangat menghanyutkan.“Aku kan sudah mengatakannya sebelumnya, bahwa sepertinya aku bisa mempercayaimu. Aku juga yakin bisa mempercayaimu sepenuhnya,” jelas Ken.“A-ah.. begitu rupanya,”jawab Lidia sedikit ragu.Setelah percakapan terakhir, entah mengapa suasana menjadi sedikit canggung. Hanya hening yang menyerang selama beberapa menit terakhir. Hingga akhirnya, Ken mulai memecah keheningan tersebut.“Kau sendiri, kenapa bi
Setelah keluar dari kamar tersebut, Lidia langsung berusaha mencari keberadaan sekretarisnya, Kira. Ia khawatir, karena Kira tadi telah masuk lebih dulu ke dalam ruang meeting itu sendirian. Setelah memeriksa ruang rapat yang tadinya akan mereka gunakan untuk meeting bersama, Lidia tidak menemukan apapun kecuali barang-barang di sana yang kini telah berantakan.Sepertinya memang benar tentang apa yang Ken jelaskan padanya tadi. Polisi meringkus CEO yang terlibat dalam penjualan narkoba tersebut, dan mungkin saja semua orang yang tadinya ada di ruangan itu diamankan ke suatu tempat. Atau bisa jadi diarahkan untuk membubarkan diri.Lidia berjalan menuju ke arah luar dari hotel tersebut dengan perasaan gusar. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Kira. Di mana sebenarnya dia sekarang?“Permisi, orang-orang yang tadi berada di ruang rapat nomor 180 ke mana, ya?” tanya Lidia pada seorang officer penunggu lobi tersebut.&
Hari ini, semua urusan kantor telah selesai. Lidia menghembuskan napas leganya setelah sampai di apartemen dan membersihkan diri. Kini, ia duduk di meja kerjanya dan membaca kembali berkas-berkas lama milik perusahaannya saat ini.Setelah sekitar tiga jam lebih ia mempelajari semuanya, Lidia pun mengeluarkan kotak kecil berharga miliknya yang telah lama sekali ia simpan. Ia membuka kotak tersebut, dan mengeluarkan isinya. Ia mengeluarkan sapu tangan hitam tersebut dari kotak khusus yang dibelinya saat di Amerika tiga tahun lalu di acara bazar kampus. Hari ini, setelah sekian lama, akhirnya ia melihat wajah hangat itu lagi. Sang pemilik sapu tangan yang selama bertahun-tahun ini ia rawat. Entah mengapa, Lidia melakukan hal seperti ini. Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah melakukan hal isa-sia semacam itu. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda.Lidia menaruh sapu tangan itu ke atas mejanya dengan hati-hati. Diusapnya perlahan, sapu tangan itu tetap lembut meski tela
Lengan kirinya yang tertabrak setir sepeda motor itu terasa sangat nyeri, dan karena hal itu juga lah ia bisa sampai terjatuh seperti ini. Kedua siku dan tangannya berdarah karena ia buat tumpuan saat terjatuh tadi. Serta kedua lututnya yang juga berdarah karena berciuman dengan lantai trotoar yang sama sekali tidak mulus ini.Lidia melihat motor itu terus melaju kencang turun dari terotoar dan menghilang di tikungan jalan besar ini. Entah mengapa, rasa-rasanya kejadian ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, tetapi telah direncanakan sebelumnya. Karena menurutnya sangatlah janggal seseorang menaiki motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi di jalan khusus pejalan kaki ini. Dan lagi, setelah benar-benar menyerempet Lidia tadi, motor tersebut langsung turun ke jalan raya dan langsung pergi menjauh dari sini.Dan yang paling mengganggu pikirannya adalah, orang tadi memakai helm yang menutupi seluruh wajah, juga jaket serta sarung tangan hitam yang dipakai rapi oleh penabra
Semua masalah yang terjadi pagi ini telah teratasi dengan baik. Lidia dan Kira pun telah selesai memakan sandwich yang telah Lidia beli tadi pagi untuk sarapan. Dari keseluruhan penyelesaiannya, Lidia hanya membuat satu kesalahan saja. Ia lupa untuk meminta rok ganti yang sedikit lebih panjang agar lututnya yang telah dibalut plester luka tersebut dapat tertutupi.“Terlihat aneh, ya?” tanya Lidia pada Kira sambil menunjukkan penampilannya saat ini.Sebenarnya tidak ada yang salah dari pakaiannya saat ini, hanya saja bekas luka yang terbalut plester itu terlihat sedikit mencolok dan sedikit mengenaskan.“Tidak terlalu, kok.. Kamu terlihat sangat hebat, hanya..” jelas Kira menggantung dengan senyum yang dipaksakan.Lidia hanya menatap sekretaris mudanya tersebut dengan tatapan yang sangat datar. Karena sebenarnya ia telah tahu jawaban dari pertanyaannya tadi dengan sangat jelas. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaannya tidak akan bisa t
“Gio?..” batin Lidia.Setelah melakukan kesalahan tersebut, Gio pun langsung menunduk sambil terus mengucapkan kata maaf. Lidia yang melihat keberadaan Gio di kantornya ini pun sedikit merasa terkejut. Tak disangka, setelah bertahun-tahun ia bertemu kembali dengan seseorang yang sempat membuatnya kesulitan di masa SMA dahulu. Apalagi dengan kalimat yang sama sekali belum pernah ia dengarkan sebelumnya yaitu, “Maaf.”“Tidak ap..”Belum selesai Lidia menjawab permintaan maaf dari penabraknya tersebut, ada seseorang yang tiba-tiba memanggil Gio dari arah belakang.“Gio! Surat proposal yang kuminta buatkan kemarin sudah selesai?” tanya wanita yang Lidia lihat tadi ikut rapat bersamanya.“Sudah, Bu,” jawab Gio langsung pergi menuju ke arah wanita yang memanggilnya tadi.Setelah itu, Lidia dan Kira pun memutuskan untuk langsung menuju ruangannya saja untuk beristirahat sebentar s