Share

2. Hilang

Lidia pun perlahan berdiri sendiri lalu menatap Gio tajam. Ia langsung pergi meninggalkan lapangan menuju ke UKS untuk mengobati semua lukanya. Namun sialnya, saat berjalan melewati lorong hidungnya mulai menguarkan darah. Ia benar-benar kelelahan saat ini. Ia terus menutupi lubang hidungnya untuk menghalangi jalan agar darahnya tidak terus menerus keluar, lalu bernapas melalui mulutnya. Lidia melihat sekitar, ia berharap setidaknya ada satu orang yang lewat dan membawa tissue atau semacamnya untuk menyumpal hidungnya. Namun sayangnya, nihil.

Ia pun memutuskan untuk bergegas menuju UKS saja. Lidia yakin sekali, bahwa di UKS pasti ada tissue. Namun, saat ia berbelok di koridor panjang penghubung antara kantin dan perpustakaan sekolah, ia menemukan ada seorang laki-laki yang sepertinya baru saja sampai di sekolah berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengannya. Ia berniat untuk meminta tissue kepadanya saja untuk sementara, karena UKS masih terbilang cukup jauh dari posisinya saat ini. Rasanya tidak nyaman sekali berjalan dengan menutup kedua lubang hidung seperti itu.

“Permisi,” ucap Lidia lirih saat anak laki-laki tersebut telah mendekat dari posisinya.

Anak tersebut pun menoleh, dan langusng terkejut, mendapati perempuan di depannya ini memiliki banyak luka dan darah. Tak lupa bekas genangan darah di bawah lubang hidungnya itu, Lidia benar-benar terlihat sangat mengenaskan.

“Punya tissue?” tanya Lidia.

“Tidak.. Tapi pakai ini saja,” ucap laki-laki tersebut sambil mengulurkan sebuah sapu tangan bewarna hitam guna menyumbat hidung Lidia yang sedang mimisan tersebut.

“Terima kasih.. Akan kukembalikan secepatnya,” ucap Lidia.

Setelah menerima sapu tangan tersebut, Lidia langsung melanjutkan perjalanannya menuju ke UKS, meninggalkan laki-laki yang sepertinya masih menatpnya lekat itu. Lidia langsung menyumbatkan sapu tangan tersebut ke salah satu hidungnya yang masih mengeluarkan darah dengan sigap. Baru saja melangkah sejauh lima langkah, Lidia berhenti dan membalikkan tubuh karena mendengar orang tersebut seperti akan mengatakan sesuatu.

“Tunggu.. Bukankah kau yang belajar bela diri di guru Kevin juga?”

“Tahu darimana?” tanya Lidia bingung.

“Hei, aku juga belajar di sana, bahkan jauh lebih lama darimu. Bagaimana kau bisa tidak mengenaliku? Kita memang tidak pernah berbicara, sih. Kau juga selalu diam dan menyendiri,” ungkap laki-laki tersebut menatap Lidia sambil terus mengingat-ingat, apakah benar perempuan di depannya ini adalah orang ia maksud.

Lidia menatap laki-laki yang sedang berbicara di hadapannya tersebut, dan berusaha untuk menganalisanya. Dan benar saja, wajah laki-laki tersebut terasa sangat tidak asing.

“Ah, iya... Maaf, aku harus pergi sekarang.”

Lidia pun langsung pergi menuju UKS meninggalkan laki-laki tersebut yang masih menatapnya bingung. Ia benar-benar bingung bagaimana bisa seorang anak perempuan memiliki banyak banyak luka dan juga berjalan sedikit pincang seperti itu di dalam sekolah ini.

“Ternyata dia bersekolah di sini juga,” batin Lidia sambil terus berjalan cepat, agar tidak ada banyak orang yang akan melihat keadaannya saat ini.

Setelah sampai di UKS dan mengobati semua lukanya, Lidia langsung menuju kelas untuk mengambil baju seragam ganti dan pergi menuju perpustakaan. Tempat yang paling sering ia kunjungi untuk membolos pelajaran dan tempat paling nyaman untuk tidur. Ia juga membawa tasnya sekalian, ia berencana untuk membolos pelajaran sampai pulang nanti.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Lidia langsung pergi ke tempat pelatihan bela diri seperti biasa. Ia benar-benar meninggalkan seluruh pelajarannya hari ini.

Lidia berlatih seperti biasa, semuanya berjalan lancar. Ia sekarang sudah terbilang pandai melakukan bela diri. Tingkatannya juga sudah lumayan, tapi masih berbeda jauh dengan murid-murid yang lain.

Setelah selesai, Lidia menemui guru bela dirinya untuk mengatakan sesuatu. Karena guru olahraga untuk kelasnya telah diganti dengan guru pelatihnya, ia ignin meminta suatu hal padanya.

“Permisi, guru..” sapa Lidia ragu.

“Ada apa Lidia? Oh iya, bagaimana dengan lukamu tadi?”

“Aku baik-baik saja, guru. Guru.. aku memiliki sebuah permintaan,” tanya Lidia semakin ragu.

“Apa?” tanya gurunya sambil tersenyum dan menaikkan kedua alisnya.

“Sekolahku hanya kurang dari satu tahun lagi, aku harus menyelesaikan banyak sekali perintah dan wasiat dari almarhum kedua orangtuaku. Bolehkah aku tidak mengikuti setiap jam pelajaran olahraga di sekolah? Aku cukup kewalahan untuk melakukan semuanya akhir-akhir ini. Untuk pengambilan setiap nilainya aku akan melakukannya sendiri denganmu, kapan saja.”

Guru Lidia tersebut tampak diam menatapnya sambil berpikir sejenak. Ia tahu benar, bahwa Lidia tengah mengemban beban yang besar sekali. Serta gangguan-gangguan yang banyak sekali datang dari teman di sekolahnya itu, gurunya tersebut sangat amat paham.

“Kau tenang saja.. Akan kukabulkan, dan bila kau memerlukan bantuan. Panggil aku kapan saja,” jawab Gurunya sambil terenyum dan mengusap bahu Lidia pelan.

Lidia pun sangat senang mendengarnya, berkali-kali ia membungkukkan badan dan mengucapkan ribuan terima kasih. Setelah itu, ia pergi merapikan barang-barangnya dan berencana langsung pulang untuk melaksanakan pelajaran tambahan khususnya.

Saat selesai memasukkan semua barangnya, laki-laki yang ditemuinya di koridor sekolah tadi pagi mendatanginya dengan membawa sebotol minuman.

“Aku meminum ini saat sedang kelelahan atau terluka. Ini juga bagus untuk kesehatan,” ungkap laki-laki tersebut sambil menaruh minuman tersebut ke meja depan Lidia. Lidia hanya mengangkat alisnya menatap minuman dan laki-laki tersebut secara bergantian.

“Minumlah..”

“Terima kasih,” ujar Lidia dengan senyum tipis yang sangat jarang sekali ia tampakkan itu, sambil mengambil minuman tersebut lalu langsung pergi pulang.

Meskipun sangat tipis, tapi laki-laki tersebut dapat melihat dengan jelas bahwa Lidia tersenyum padanya. Setelah semua hal yang telah menimpa Lidia hari ini, bahkan dengan baju lusuh serta keringat di pelipisnya, Lidia terlihat sangat cantik dengan senyuman langkanya itu.

Lidia meminum minuman dari laki-laki tadi di tengah perjalanan, dan membuang kemasannya ke dalam tempat sampah di pekarangan rumahnya. Setelah mandi dan beristirahat sebentar, ia ingat tadi meminjam sapu tangan dan berencana akan mencucinya agar besok bisa segera dikembalikan.

Setelah menyelesaikan kegiatannya, ia mulai bersiap untuk pelajaran tambahannya seperti biasa karena dosen pengajarnya telah sampai di rumah. Sungguh sangat melelahkan, tapi apa daya, Lidia harus tetap melakukannya demi orangtuanya. Ia harus tetap berjuang apapun yang terjadi.

Waktu terus berlalu, esok hari telah tiba. Lidia pergi ke sekolah seperti biasa, dan langsung pulang setelah semua pelajaran selesai. Ia bergegas menuju ke tempat latihan bela diri, dan berencana untuk mengembalikan sapu tangan yang dipinjamnya tempo hari dari seorang anak laki-laki yang bahkan ia tak tahu siapa namanya tersebut.

Tapi entah mengapa, sejak saat itu Lidia tidak pernah bertemu dengan laki-laki itu lagi. bahkan di tempat latihan, ia sudah tak pernah datang. Entah apa yang terjadi, ia tiba-tiba menghilang tanpa jejak sedikit pun. Bahkan, pernah ia bertanya pada guru bela dirinya. Tapi Lidia tetap tidak mengetahui kemana perginya laki-laki tersebut. Lidia juga sempat mencari tahu informasi tentangnya di sekolah. Tetap saja, hasilnya nihil. Yang ia tahu dari gurunya hanyalah nama anak tersebut. Ken, namanya adalah Ken.

Sejak saat itu, entah mengapa Lidia malah terus memikirkan Ken. Ada sedikit rasa sedih di hatinya. Karena ia kira, ia akan memiliki seorang teman. Nyatanya, ia memang tidak ditakdirkan memiliki seorangpun teman. Meski begitu, waktu terus berlalu. Lidia lulus dari SMA dengan nilai terbaik. Orang utusan ayahnya datang lagi ke rumah. Ia mengatakan semua hal yang harus dilakukan Lidia setelah ini.

Tak banyak membuang waktu lagi, setelah perintah selanjutnya turun kemarin, Lidia langsung bersiap untuk pergi ke luar negeri. Ia di perintahkan untuk menyelesaikan studi di Amerika. Di sana pun ia tidak boleh membuang banyak waktu, setidaknya dalam empat tahun ia harus menyelesaikan S2-nya di sana.

Dengan bekal yang ia pelajari di pelajaran tambahan khususnya selama tiga tahun terakhir, ia pun tidak akan terbebani sama sekali dengan hal itu. Ia bisa dengan mudah menyelesaikannya dengan tepat waktu. Ia benar-benar tidak membuang waktu untuk hal lain selain menyelesaikan tugasnya.

Empat tahun berlalu dengan sangat cepat. Musim terus silih berganti. Waktu juga terus bergerak maju dengan cepat. Lidia pun telah mendapat gelar S2 nya dengan nilai yang sangat baik. bahkan hampir sempurna. Ia benar-benar sudah siap untuk di serahi perusahaan milik orang tuanya dan menjadi CEO di sana.

Sebelum Lidia siap, memang ada orang kepercayaan orangtuanya yang mengambil alih sementara semua bisnis milik orangtuanya untuk melindungi tempat tersebut. Sebab, banyak sekali lawan bisnisnya yang mencari segala celah untuk menghancurkan semuanya. Bahkan ada yang mengincar nyawa Lidia, namun gagal karena tidak ada seorangpun yang mengetahui keberadaan Lidia setelah kedua orangtuanya meninggal dulu. Itulah sebabnya mengapa Lidia langsung dipindahkan dan juga di bekali ilmu bela diri selama ini.

“Lidia, sekarang kamu sudah siap kembali ke tanah air dan menjalankan tugas terakhirmu. Bersiaplah,” ucap utusan ayahnya tersebut dengan senyuman.

“Baiklah, Tuan Utusan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status