Share

Bab 04<> Detik-detik nyawa Inara terancam

"Terimakasih, tuan Agam yang terhormat," gumam Kiev menahan amarah dengan mengatupkan rahangnya, "tetapi harga diriku tidak akan pernah bisa kau beli dengan hartamu!"

Bersamaan dengan ucapan Kiev, kertas cek itu melayang kembali dan mengenai tepat di wajah Agam. Hingga mati pun Kiev akan tetap memperjuangkan kehormatannya agar tidak diinjak-injak oleh Agam. Inara, merupakan sebuah kehormatan terbesar yang harus diperjuangkan. Meskipun harus kehilangan nyawa sekalipun ia akan tetap mempertahankannya.

Kiev maju satu langkah lalu kedua tangannya mencekal krah jas pengantin pria itu. Kini jarak keduanya sangat dekat dengan sorot mata yang saling menatap tajam. Agam tidak tinggal diam, tangannya menyentuh dada Kiev dan mendorongnya kebelakang hingga pria itu sedikit terpental.

Maka aksi saling mendorong pun di mulai, tanpa ada yang mau mengalah. Hingga pada akhirnya mereka mulai memukul dan beradu tinju, sepak terjang mereka sama kuat hingga tidak satu pun serangan yang berhasil mendarat ditubuh masing-masing. Namun, pada detik berikutnya kedua pengawal Agam berhasil meringkus kedua tangan Kiev dan menahannya, dengan begitu, Agam lebih leluasa mendaratkan beberapa pukulan di tubuh Kiev hingga membuatnya babak belur. Agam berhasil mengalahkan Kiev dengan kecurangan.

"Kau menolak satu pemberianku, maka aku aku berikan hadiah yang lainnya!" geram Agam seraya kembali mendaratkan beberapa pukulan di wajah Kiev, dan satu tendangan yang sangat keras mengenai perutnya.

Wajah tampan itu pun kini telah dipenuhi darah, seluruh tubuhnya mengalami luka-luka. Kiev membuka sedikit mulutnya dan keluarlah sebuah suara erangan kesakitan. Wajahnya meringis menahan rasa panas dan perih yang menjalari seluruh tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang melanda hatinya.

Semua itu terekam dengan jelas dalam memori ingatan si pengantin wanita. Hal itu, membuatnya memutuskan untuk selalu membenci Agam dan tidak akan pernah memaafkannya. Airmata yang mengalir seakan menjadi saksi tragedi cintanya dan Kiev. Sebuah tragedi yang membuat hati pilu melihatnya.

"Tidak …! Hentikan …!" Suara Inara melengking keras kemudian hendak berlari mendekati Kiev, rasanya ia tidak dapat membiarkan orang terkasihnya tersakiti begitu saja.

Inara mengumpulkan seluruh keberanian dalam dirinya dengan sisa-sisa airmata yang masih terus bergulir. Ia mengayunkan kakinya dengan hati penuh nestapa, ke arah pria yang sangat ia cintai. Tatapannya yang syahdu, membuat Inara ingin segera memeluknya, memberikan seluruh cinta yang seharusnya ia miliki. Namun, seketika tubuhnya di cekal oleh salah satu istri Agam dan membawanya pergi dari tempat itu. Suara erangan Kiev serta bunyi pukulan yang bertubi-tubi memenuhi ballroom. Suasana yang sebelumnya penuh dengan suka-cita kini telah menegang.

Satu persatu dari orang-orang yang menghadiri pernikahan mendadak itu kini telah pergi, dan hanya tinggallah Kiev dan Agam serta beberapa anak buahnya yang siap menyeret Kiev keluar mansion. Dengan tubuh lunglai di penuhi luka yang terus mengucur darah, Kiev terpental hingga di luar mansion ketika tendangan keras dari Agam mendarat di tubuhnya. Kini ia terkapar tidak berdaya, dengan cinta yang terus membara didalam hatinya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sang jagad merah telah kembali keperaduannnya, membawa siang bersamanya dan meninggalkan malam sebagai jejak. Desir angin malam ini berhembus lebih kencang, dari malam-malam biasanya. Memberikan sensasi dingin menusuk tulang, mengajak semua insan dimuka bumi supaya terlena dalam rayuannya.

Suasana didalam mansion telah sepi, hanya terlihat beberapa istri Agam sedang berdiri dengan kepala yang tertunduk. Sedangkan di luar mansion tampak seorang pria sedang menyeret langkahnya, meskipun rasa sakit sangat menyiksa tubuhnya, ia tetap berjalan dengan satu tujuan yang pasti. Sebuah nyawa harus diselamatkan saat itu juga.

"Dimana, Inara?" tanya Agam dengan tatapan Nanar ketika tidak menemukan apa yang ia cari dikamar pengantinnya.

Keenam istrinya terdiam dengan kepala yang tertunduk, tidak satupun yang berani berbicara. Napas keenam wanita itu naik-turun seirama dengan detak jantung mereka yang berdegup kencang. Keenam istrinya lebih memilih diam ketika pria itu dalam keadaan marah.

"Bedebah! Siapa yang berani bermain-main denganku?" Agam membanting segala sesuatu yang berada didekatnya, "tidak akan aku ampuni siapa pun orangnya, aku pastikan akan lenyap ditanganku!"

Jauh di luar sana tampak seorang wanita cantik bergaun putih sedang meronta-ronta, air matanya terus saja mengalir menemani pandangannya yang tertuju ke arah ujung rel kereta api. Harap-harap cemas sedang melanda hatinya, tetapi ia berusaha agar tetap tenang. Inara berusaha mencari benda tajam untuk memotong tali yang mengikat erat kedua tangan dan kakinya. Ia menggeser duduknya mendekati jendela mobil, dengan menggunakan siku lengannya Inara memecahkan kaca jendela mobil yang sedang terkunci. Setelah bersusah payah mengangkat kedua tangannya, ia pun menggesek-gesekkan tali yang mengikat erat pergelangan tangannya pada pecahan kaca jendela mobil, berharap akan segera terlepas.

'Ya Tuhan, bantulah aku,' batinnya.

Deru napasnya terengah-engah dan tidak mungkin baginya berteriak meminta pertolongan, dalam keadaan mulut yang tersumpal, tetapi Inara tidak putus asa ia terus berusaha membebaskan diri. Perlahan mulai terdengar bunyi gemuruh kereta api dari kejauhan, Inara melebarkan kelopak matanya antara rasa takut dan panik mulai merasuki jiwanya. Namun, ia tetap berusaha melepaskan tali itu meskipun kini nyawanya bagaikan sebutir telur diujung tanduk.

Semakin lama bunyi gemuruh kereta api semakin mendekat, getarannya di permukaan rel semakin terasa menggetarkan badan mobil. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh wanita itu, seolah ingin mengatakan kalimat perpisahan pada raganya, sebelum nyawanya melayang di bawah lindasan roda kereta api. Inara memejamkan kedua matanya, ketika sinar menyilaukan tepat mengenai wajahnya.

'Maafkan aku, Kiev! Mungkin harus berakhir sampai disini kisah cinta kita,' batinnya.

Inara terlihat pasrah setelah ia tahu usahanya akan berakhir sia-sia, dengan kedua mata yang masih terpejam ia mulai duduk dengan tenang menantikan maut memisahkan jiwa dan raganya. Ia mencoba mengingat semua kenangan manis bersama Kiev, saat mereka bersama di rumah sakit hingga acara foto prewedding, mengingat semua itu senyum kepasrahan tergores diwajah cantiknya. Setidaknya ia akan pergi dengan membawa seluruh kenangan manisnya bersama pria itu.

'Terimakasih Kiev, terimakasih atas semua cinta yang kau berikan padaku, maafkan aku yang tak mungkin membalasnya,' Inara bermonolog ketika kereta kian semakin mendekat. Suara bisingnya seakan memekakkan telinga, bentuknya yang besar dan panjang bagaikan seekor monster yang siap melahap apapun yang berada didepannya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status