Share

Kantong Plastik

Setelah membaca doa sebisa mungkin, akhirnya kakiku bisa bergerak. Sontak aku berlari, masuk kembali ke rumah, tentunya menghampiri Ita di kamar. Terdengar Ibu memanggil dari dapur, bertanya aku kenapa. Namun, seolah tak peduli, fokusku hanya mencari Ita.

Pintu kubuka dengan cepat, tetapi gadis kecil itu tidak ada. Hanya peralatan gambar yang berserakan di lantai. Karena panik, aku memanggil Ibu, beliau pun ternyata mendatangiku ke kamar. "Ada apa, sih, Neng?"

"Adek ke mana, Bu?" tanyaku panik.

"Kan, dari tadi main sama kamu di kamar." Tanpa peduli jawaban Ibu, aku berkeliling rumah, mencari keberadaan gadis itu. Begitu juga kamar Via, berharap Adek ada di sana. Akan tetapi, yang ada hanya Via tengah mengerjakan sesuatu di lantai.

"Via, Adek mana?" bentakku, gadis itu hanya menatapku bingung.

"Gak ada ke sini. Emang ada apa, sih?"

Kepalaku terasa berdenyut, keringat mengucur deras, merasa takut jika terjadi sesuatu pada Ita. Perut pun mendadak sakit. Aku memang seperti itu kalau sedang panik.

Di ruang tamu, aku berpapasan dengan Bapak. Beliau mulai bertanya ada apa? Bukannya menjawab, aku malah menangis. Sampai akhirnya Bapak memberiku air agar sedikit tenang. Semua berkumpul di ruang keluarga, memintaku untuk bercerita.

"Kamu jangan ngarang, Neng," ucap Bapak tampak lesu.

"Aku bukan pengarang Pak. Masa iya aku bohongin Bapak," ketusku karena kalut. Sementara Ibu tak kalah gelisah. Tangannya mengusap bahuku, tetapi mulutnya ikut meracau.

Bapak pun beranjak dari tempat duduk, lantas kami semua mengikuti langkahnya. Ternyata, beliau masuk ke kamarku. Terlihat Bapak berjongkong kemudian menyibak seprai. "Ternyata Adek di sini!" kata Bapak, membuat sesak di dada sedikit berkurang.

"Lagi apa, cepet sini keluar." Bapak menarik tangan Ita hingga gadis kecil itu keluar. Aku mengusap dada beberapa kali. Gara-gara panik, sampai tidak berpikir jernih. Ya Allah ....

"Ngapain, sih, Dek, di situ?" bentakku kesal.

"Main petak umpet sama temen," jawabnya bersembunyi di balik lengan Bapak yang besar. Mungkin dia takut melihat ekspresiku.

"Terus kenapa tadi Kakak panggil kamu gak nyahut, hah?" teriakku. Via yang berdiri di sampingku menyenggol, membuatku menoleh. Mata gadis itu melotot, sepertinya kurang suka dengan sikapku yang kasar.

"Jangan teriak-teriak atuh, berisik!" ucapnya sembari melipat tangan di dada.

Ita yang mungkin merasa takut langsung menangis, Bapak dengan sigap menggendong putri bungsunya. Sementara aku masih memegangi dada karena jantung tak jelas detaknya. Lama-lama tinggal di rumah ini bisa bikin penghuninya gila. Atau mungkin hanya aku yang gila?

***

Malam hari, hujan begitu deras. Bapak belum pulang dari mesjid semenjak salat Magrib tadi. Katanya, mau silaturahmi dengan tetangga. Sementara Via dan Ita bermain di kamar. Mereka bilang ingin mewarnai. Aku dan Ibu duduk di depan TV sembari mencicipi kacang rebus yang dibawa Nenek.

Aku menatap Ibu yang fokus menonton sintron kesayagannya. Ingin bertanya lagi, apa tidak ada gangguan selama di sini. Hanya saja, aku takut Ibu jadi tidak nyaman ke depannya.

"Bu, benar gak ada yang aneh di rumah ini?" Akhirnya aku memberanikan diri. Ibu pun menoleh ke arahku, lantas menyimpan cangkang kacang di plastik yang sudah disediakan.

"Ada, tadi saat di dapur."

Mataku membulat seketika. Aku mengubah posisi duduk mejadi menghadap Ibu. "Gimana Bu?"

"Air keran nyala sendiri. Cuma, ya, Ibu mikirnya itu rusak. Besok Ibu panggil Kang Budi saja. Soalnya gak cuma sekali."

Jawaban Ibu tidak sepenuhnya membuatku puas. Tidak mungkin kalau hanya itu saja. Pasti ada hal yang beliau sembunyikan. Selain menghargai Bapak, juga tidak ingin para putrinya takut. Aku kembali memaksa Ibu untuk bicara. "Ada lagi Bu?"

Beliau menggeleng, tetapi matanya fokus pada acara TV lagi. Aku menghela napas berat, sedikit kecewa. "Kalau gitu aku harus periksa ke dokter. Udah kayak orang gila soalnya. Ketakutan sendiri di rumah ini."

Kini, terdengar helaan napas dari Ibu. "Ada anak lari-lari di belakang Ibu pas lagi cuci piring. Kirain Ibu teh Adek, tapi pas nengok gak ada siapa-siapa," ucap Ibu, membuat mulutku menganga seketika. Belum lagi tengkuk terasa begitu dingin.

"Jangan bilang sama Bapak, kasian. Takutnya, nanti malah kepikiran. Hargai usaha Bapak untuk beli rumah ini, Neng. Kalau ada apa-apa, bilang saja sama Ibu," lanjutnya.

Aku hanya bisa mengangguk. Benar dugaanku, Ibu hanya ingin menghargai jerih payah Bapak. Mungkin, aku pun harusnya bisa bersikap sama dengan apa yang Ibu lakukan. Kejadian tadi sore pun, membuat Bapak sedikit kecewa akan sikapku terhadap Ita.

Suara ketukan pintu membuat kami menghentikan pembicaraan. Ibu mulai beranjak, dengan spontan aku menahannya dan meminta beliau untuk duduk. Bergegas aku menuju pintu, melihat siapa yang bertamu malam begini.

Mataku menyipit saat mendapati Kang Budi berdiri di depan pintu dengan menggunakan jaket yang kebesaran. Kupluk pada jeket pun disematkan pada kepalanya. Bibirnya bergetar menahan dingin karena beliau sudah basah kuyup.

Hujan dan petir seakan saling bersahutan, mengeluarkan kilat cahaya yang membuatku merasa takut tersambar. Namun, lebih takut melihat wajah Kang Budi yang tersorot remang-remang lampu bohlam.

"Duduk, Kang," ucapku menunjuk kursi kayu di teras.

Ia hanya menggeleng. Pria itu menyodorkan sesuatu dalam plastik. Entah apa isinya. Tanganku lansung menganbil bungkusan tersebut.

"Simpan di salah satu pojok rumah. Kalau hujan begini, mereka suka gentayangan." Bukan hanya gila oleh hal-hal mistis, aku pun sepertinya akan gila jika terus menanggapi tingkah laku pria ini.

"Sepertinya gak usah Kang, apalagi Bapak gak ada di rumah," tolakku secara halus, lantas menyodorkan plastik itu kembali.

Bukannya menjawab atau mengambil, pria itu malah pergi. Kang Budi berlari di bawah guyuran hujan. Meski kakinya sedikit berjinjit dan diseret, tetapi lumayan cepat saat menghilang di kegelapan.

Sembari menggerutu, bergegas aku masuk dan menutup pintu tanpa berniat membuka bungkusan. Lebih baik Ibu saja yang buka.

"Siapa?" Pertanyaan Ibu memecah keheningan ketika aku kembali dan duduk di meja kayu jati beralaskan bantal panjang agar pantat tidak merasa sakit.

"Kang Budi, kasih ini. Gak tau isinya apa. Ibu buka aja, deh. Aku mah males kalo urusan sama dia." Aku menggerutu sembari menyimpan plastik di meja.

"Jangan gitu, ah. Gak sopan namanya sama orang tua." Akhirnya Ibu meraih plastik itu, mulai membuka apa isinya. Aku pun penasaran dan sedikit mengintip.

Saat plastik dibuka, bau darah begitu menguar. Ibu pun menjerit dan melempar benda itu ke sembarang tempat. Hingga isian dari plastik pun keluar.

"Astagfirullah. Ini mah udah keterlaluan Bu!" kataku sambil berjalan untuk mengambil benda itu dan membuangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status