Share

Kolong Ranjang

Kedua adikku hanya menatapku tanpa ada pembelaan. Sementara tangan Kang Budi aku lepas secara perlahan. Terdengar suara Bapak memanggil dari belakang, bahkan beliau berjalan menghampiri. "Ada apa ini teh, kok, rame?" tanyanya.

Aku langsung berdiri, lantas bertanya pada Bapak, "Ini Bapak yang nyuruh?"

Pria bertubuh tambun itu mengangguk. "Bukan nyuruh, tapi mempersilakan. Setiap tempat, ada aturannya tersediri. Bapak cuma mematuhi aturan itu, Neng. Gimana Kang Budi saja jadinya," jelas Beliau. Sepertinya, Bapak pun merasa tidak enak menolak permintaan Kang Budi.

Akhirnya, aku pun beranjak dari tempat sembari mengucap kata 'terserah'. Via dan Ita kuminta pergi dari sana. Lebih baik, mereka membantuku membereskan kamar masing-masing dan memasukan pakaian pada tempatnya.

"Kamu, kok, diem aja Vi lihat yang kayak gitu," ucapku saat berjalan menuju kamar.

"Biarin aja kali, Kak. Bapak mah belum rasain sendiri, sih, akibatnya."

"Huss, gak boleh didoain juga atuh."

Dua kamar bersampingan, sementara kamar yang satu lagi terletak di ruangan keluarga—ruangan dekat halaman belakang. Itu tempat untuk Ibu dan Bapak

Via langsung memilih kamar sebelah kanan, sementara aku di bagian kiri. Aku pun mengajak Ita untuk masuk. Setelah pintu terbuka, menguar aroma dari pewangi ruangan. Ternyata Kang Budi merawat rumah ini dengan baik.

Saat kami sudah masuk, suasana kamar terasa begitu kelam. Mungkin karena gorden yang masih tertutup. Aku meminta Ita untuk membongkar pakaiannya di dalam tas. Gorden mulai kusibak, begitu juga jendelanya—agar ada udara masuk.

Pemandangan di luar ternyata halaman samping rumah, di mana terlihat lalu lalang beberapa orang dari kejauahan tengah melintas. Rumah ini memang di kelilingi halaman. Hanya saja yang paling luas bagian depan dan belakang. Belum lagi banyak pohon-pohon dan tumbuhan yang subur.

Yang menjadi pusat perhatianku adalah ranjang besi tempo dulu, di mana bagian bawah begitu tinggi. Aku sampai bersujud dan melihat bagian kolong yang ternyata sangat gelap karena tertutup seprai putih yang menjuntai sampai bawah.

Suasana tempo dulu begitu kental, bahkan kamar ini lantainya saja belum keramik. Mungkin nanti aku akan mengubahnya untuk lebih modern dengan pernak-pernik handmade ala remaja seusiaku.

Ada hal lain menjadi pusat perhatianku, yaitu lukisan sebuah keluarga yang tergantung di dinding. Terdiri antara, ayah, ibu, dan dua anak. Ibunya seorang pribumi karena memakai kebaya, sementara si ayah terlihat seperti orang luar. Gen ayah diturunkan pada kedua putrinya. Sepertinya seusiaku dan juga Ita. Apa mereka yang bunuh diri?

Lukisan keluarga itu aku turunkan kemudian menyimpannya di bawah. Mungkin akan kuganti dengan foto polaroid dan lampu-lampu kecil yang kubawa dari rumah nenek. Namun, ketika aku berbalik badan dengan menentek beberapa lampu, lukisan itu sudah kembali terpasang di dinding.

Dahiku mengernyit, lantas menoleh ke arah Ita yang masih sibuk mengeluarkan isi tasnya. Aneh, kenapa bisa terpasang lagi? Apa aku lupa menurukan lukisan itu?

Sebuah benda mengelinding ke kolong ranjang. Ternyata itu pensil milik Ita. Aku hanya menatap benda itu sanpai benar-benar menghilang. "Kak, tolong ambilin atuh," ucap gadis kecil itu membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk, lantas menyimpan bawaan di atas ranjang. Kemudian, mulai terlungkup dengan tangan dimasukan ke dalam. Mencoba meraba-raba tanpa harus masuk ke kolong ranjang. Pasti banyak debu. Sialnya, benda itu tidak terjamah.

Tubuhku mulai bergeser agar tangan bisa lebih masuk. Akan tetapi, aku merasa memegang sesuatu di dalam sana. Tidak, tidak ... aku merasa tengah berjabat tangan dengan seseorang. Lama aku bergeming sebab tanganku sulit sekali ditarik.

Astagfirullahalazim. Sontak tangan kanan kugunakan untuk menyibak seprai, agar bisa melihat sesuatu di dalam sana. Jantungku mencelos karena di dalam sana tidak ada siapa pun. Jadi, yang tadi apa?

Secepat kilat aku mengambil pensil Ita, lantas bergegas beranjak dan memberikan benda itu pada adikku. Detak jantungku masih sama seperti tadi, berdetak tak karuan.

Gara-gara kejadian barusan, tubuhku kini terasa lemas. Aku hanya bisa duduk di ranjang, meratapi kejadian singkat barusan yang berhasil membuat bulu kuduk merinding. Sampai akhirnya terdengar suara Ibu memanggil dari luar.

"Dek, mau di sini apa ikut keluar?" tanyaku.

"Di sini aja," jawabnya sambil sibuk menggoreskan pensil pada buku gambar.

"Ya sudah. Kakak ke Ibu dulu sebentar." Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menemui Ibu, suaranya terdengar dari dapur.

Benar saja, Ibu tengah sibuk memindahkan sisa lauk yang dibawa tamu tadi siang ke penggorengan. Kalau di daerah Sunda, ada kebiasaan menyatukan sisa-sisa lauk dan menumisnya sampai kering.

"Put, bisa belikan sabun cuci piring di warung? Lihat, tuh, cuciannya banyak." Ibu menunjuk wastafle yang penuh dengan dagunya.

Aku melirik jam di dinding, sudah hampir mau Magrib. "Ya sudah, Putri ke warung. Oh, iya, Bu ... Ibu betah di sini?"

"Ya betah gak betah, kudu betah." Ibu menjawab seolah tanpa beban.

"Gak ada gangguan aneh, 'kan?" tanyaku lagi.

Tangan Ibu yang mengaduk makanan seketika berhenti. Suasana berubah hening, Ibu pun menoleh ke arahku dan tersenyum kemudian menggeleng. Aku membalas senyuman Ibu, meski tahu ada hal yang disembunyikan.

"Oh, iya, Bapak ke mana, Bu?"

"Kayaknya masih sama Kang Budi di belakang."

Aku mencebik mendengar jawaban Ibu. Ada rasa tidak suka pada Kang Budi, seperti mencurigakan. Lebih baik, aku bicara pada Bapak nanti malam agar tidak terlalu dekat dengan pria itu.

Karena takut waktu Magrib datang, bergegas aku keluar rumah. Beberapa orang yang lewat menoleh ke arahku tanpa menyapa. Mereka sepertinya baru pulang dari mengantar susu. Yang aku dengar, ada tempat pengumpul susu di sini.

Aku pun mulai keluar dari halaman dan berjalan di jalanan aspal yang terdapat banyak kerikil. Saat aku berjalan sembari memainkan ponsel, entah mengapa langkahku berhenti di depan jendela kamar. Sebab, ekor mata seakan menangkap sesuatu. Spontan aku menoleh, dari jarak beberapa meter—terlihat Ita tengah berdiri sambil melambaikan tangannya di dalam sana. Namun, yang jadi perhatianku adalah bola mata yang nyaris hitam semua.

Aku ingin berbalik dan berlari menghampiri gadis itu di kamar, tetapi kaki seakan kaku. Gadis kecil itu menatapku dingin, tangannya pun masih melambai dengan senyum pilu tergurat di bibir mungilnya.

Ya Allah, ada apa dengan Ita?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status