Share

Kolong Ranjang

last update Last Updated: 2022-05-20 12:20:13

Kedua adikku hanya menatapku tanpa ada pembelaan. Sementara tangan Kang Budi aku lepas secara perlahan. Terdengar suara Bapak memanggil dari belakang, bahkan beliau berjalan menghampiri. "Ada apa ini teh, kok, rame?" tanyanya.

Aku langsung berdiri, lantas bertanya pada Bapak, "Ini Bapak yang nyuruh?"

Pria bertubuh tambun itu mengangguk. "Bukan nyuruh, tapi mempersilakan. Setiap tempat, ada aturannya tersediri. Bapak cuma mematuhi aturan itu, Neng. Gimana Kang Budi saja jadinya," jelas Beliau. Sepertinya, Bapak pun merasa tidak enak menolak permintaan Kang Budi.

Akhirnya, aku pun beranjak dari tempat sembari mengucap kata 'terserah'. Via dan Ita kuminta pergi dari sana. Lebih baik, mereka membantuku membereskan kamar masing-masing dan memasukan pakaian pada tempatnya.

"Kamu, kok, diem aja Vi lihat yang kayak gitu," ucapku saat berjalan menuju kamar.

"Biarin aja kali, Kak. Bapak mah belum rasain sendiri, sih, akibatnya."

"Huss, gak boleh didoain juga atuh."

Dua kamar bersampingan, sementara kamar yang satu lagi terletak di ruangan keluarga—ruangan dekat halaman belakang. Itu tempat untuk Ibu dan Bapak

Via langsung memilih kamar sebelah kanan, sementara aku di bagian kiri. Aku pun mengajak Ita untuk masuk. Setelah pintu terbuka, menguar aroma dari pewangi ruangan. Ternyata Kang Budi merawat rumah ini dengan baik.

Saat kami sudah masuk, suasana kamar terasa begitu kelam. Mungkin karena gorden yang masih tertutup. Aku meminta Ita untuk membongkar pakaiannya di dalam tas. Gorden mulai kusibak, begitu juga jendelanya—agar ada udara masuk.

Pemandangan di luar ternyata halaman samping rumah, di mana terlihat lalu lalang beberapa orang dari kejauahan tengah melintas. Rumah ini memang di kelilingi halaman. Hanya saja yang paling luas bagian depan dan belakang. Belum lagi banyak pohon-pohon dan tumbuhan yang subur.

Yang menjadi pusat perhatianku adalah ranjang besi tempo dulu, di mana bagian bawah begitu tinggi. Aku sampai bersujud dan melihat bagian kolong yang ternyata sangat gelap karena tertutup seprai putih yang menjuntai sampai bawah.

Suasana tempo dulu begitu kental, bahkan kamar ini lantainya saja belum keramik. Mungkin nanti aku akan mengubahnya untuk lebih modern dengan pernak-pernik handmade ala remaja seusiaku.

Ada hal lain menjadi pusat perhatianku, yaitu lukisan sebuah keluarga yang tergantung di dinding. Terdiri antara, ayah, ibu, dan dua anak. Ibunya seorang pribumi karena memakai kebaya, sementara si ayah terlihat seperti orang luar. Gen ayah diturunkan pada kedua putrinya. Sepertinya seusiaku dan juga Ita. Apa mereka yang bunuh diri?

Lukisan keluarga itu aku turunkan kemudian menyimpannya di bawah. Mungkin akan kuganti dengan foto polaroid dan lampu-lampu kecil yang kubawa dari rumah nenek. Namun, ketika aku berbalik badan dengan menentek beberapa lampu, lukisan itu sudah kembali terpasang di dinding.

Dahiku mengernyit, lantas menoleh ke arah Ita yang masih sibuk mengeluarkan isi tasnya. Aneh, kenapa bisa terpasang lagi? Apa aku lupa menurukan lukisan itu?

Sebuah benda mengelinding ke kolong ranjang. Ternyata itu pensil milik Ita. Aku hanya menatap benda itu sanpai benar-benar menghilang. "Kak, tolong ambilin atuh," ucap gadis kecil itu membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk, lantas menyimpan bawaan di atas ranjang. Kemudian, mulai terlungkup dengan tangan dimasukan ke dalam. Mencoba meraba-raba tanpa harus masuk ke kolong ranjang. Pasti banyak debu. Sialnya, benda itu tidak terjamah.

Tubuhku mulai bergeser agar tangan bisa lebih masuk. Akan tetapi, aku merasa memegang sesuatu di dalam sana. Tidak, tidak ... aku merasa tengah berjabat tangan dengan seseorang. Lama aku bergeming sebab tanganku sulit sekali ditarik.

Astagfirullahalazim. Sontak tangan kanan kugunakan untuk menyibak seprai, agar bisa melihat sesuatu di dalam sana. Jantungku mencelos karena di dalam sana tidak ada siapa pun. Jadi, yang tadi apa?

Secepat kilat aku mengambil pensil Ita, lantas bergegas beranjak dan memberikan benda itu pada adikku. Detak jantungku masih sama seperti tadi, berdetak tak karuan.

Gara-gara kejadian barusan, tubuhku kini terasa lemas. Aku hanya bisa duduk di ranjang, meratapi kejadian singkat barusan yang berhasil membuat bulu kuduk merinding. Sampai akhirnya terdengar suara Ibu memanggil dari luar.

"Dek, mau di sini apa ikut keluar?" tanyaku.

"Di sini aja," jawabnya sambil sibuk menggoreskan pensil pada buku gambar.

"Ya sudah. Kakak ke Ibu dulu sebentar." Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menemui Ibu, suaranya terdengar dari dapur.

Benar saja, Ibu tengah sibuk memindahkan sisa lauk yang dibawa tamu tadi siang ke penggorengan. Kalau di daerah Sunda, ada kebiasaan menyatukan sisa-sisa lauk dan menumisnya sampai kering.

"Put, bisa belikan sabun cuci piring di warung? Lihat, tuh, cuciannya banyak." Ibu menunjuk wastafle yang penuh dengan dagunya.

Aku melirik jam di dinding, sudah hampir mau Magrib. "Ya sudah, Putri ke warung. Oh, iya, Bu ... Ibu betah di sini?"

"Ya betah gak betah, kudu betah." Ibu menjawab seolah tanpa beban.

"Gak ada gangguan aneh, 'kan?" tanyaku lagi.

Tangan Ibu yang mengaduk makanan seketika berhenti. Suasana berubah hening, Ibu pun menoleh ke arahku dan tersenyum kemudian menggeleng. Aku membalas senyuman Ibu, meski tahu ada hal yang disembunyikan.

"Oh, iya, Bapak ke mana, Bu?"

"Kayaknya masih sama Kang Budi di belakang."

Aku mencebik mendengar jawaban Ibu. Ada rasa tidak suka pada Kang Budi, seperti mencurigakan. Lebih baik, aku bicara pada Bapak nanti malam agar tidak terlalu dekat dengan pria itu.

Karena takut waktu Magrib datang, bergegas aku keluar rumah. Beberapa orang yang lewat menoleh ke arahku tanpa menyapa. Mereka sepertinya baru pulang dari mengantar susu. Yang aku dengar, ada tempat pengumpul susu di sini.

Aku pun mulai keluar dari halaman dan berjalan di jalanan aspal yang terdapat banyak kerikil. Saat aku berjalan sembari memainkan ponsel, entah mengapa langkahku berhenti di depan jendela kamar. Sebab, ekor mata seakan menangkap sesuatu. Spontan aku menoleh, dari jarak beberapa meter—terlihat Ita tengah berdiri sambil melambaikan tangannya di dalam sana. Namun, yang jadi perhatianku adalah bola mata yang nyaris hitam semua.

Aku ingin berbalik dan berlari menghampiri gadis itu di kamar, tetapi kaki seakan kaku. Gadis kecil itu menatapku dingin, tangannya pun masih melambai dengan senyum pilu tergurat di bibir mungilnya.

Ya Allah, ada apa dengan Ita?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Pembacaan Vonis (Tamat)

    Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Masa Lalu Kelam

    Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan 2

    Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan

    Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kehidupan Baru

    Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Aku Tidak Gila 2

    "Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status