Share

Gadis Berseragam

Aku membuang bungkusan yang isinya bangkai ayam hitam. Mungkin karena mendengar teriakanku, sampai membuat Via dan Ita keluar. Mereka pun akhirnya ikut duduk bersama kami menunggu kedatangan Bapak.

Sejurus kemudian, suara pintu diketuk. Gegas aku membuka pintu. Bapak tengah menata payung agar tidak tertiup angin. "Untung aja ada tetangga yang minjemin," ucapnya.

Aku pun menutup pintu kembali setelah beliau masuk. Bapak mengernyitkan dahi saat menatap kami bergantian, lantas bertanya, "Aya naon? Kok, kalian natap Bapak kayak gitu."

Ibu langsung berdiri dari kursi, menanyakan pada Bapak mau minun teh atau kopi. Hingga pilihan jatuh pada kopi hitam. Bapak tidak bisa minum kopi susu, lambungnya bisa kumat.

Aku membiarkan Bapak duduk terlebih dahulu sambil mematikan TV, sebab di luar hujan makin deras dan petirnya pun kian kencang. Khawatir jika TV dibiarkan menyala, takut listriknya tersambar. Via dan Ita pun aku suruh masuk ke kamarku untuk tidur.

"Pak, Putri mau bicara." Aku mulai memberanikan diri. Semoga Bapak tidak salah paham.

"Bicara apa?" tanya Bapak, tangannya sibuk mengupas kacang rebus yang sudah mulai dingin.

"Bapak bicara atuh sama Kang Budi supaya jangan seenaknya masuk ke sini. Kan, ini udah jadi rumah kita. Kang Budi udah gak berhak lagi jadi pegawai di sini."

Mendengar pernyataanku, Bapak seakan tidak kaget. Pria di sampingku itu malah sibuk mengupas kacang. Sampai Ibu datang dan menyimpan kopi yang masih mengepul di meja. Tanpa berkata lagi, Bapak menyeruput kopi dalam mug  besar tersebut.

"Bapak tau, gak, barusan Kang Budi datang bawa bungkusan. Isinya bangkai ayam, katanya letakan di pojok rumah. Itu syirik namanya," cerocosku, dilanjutkan dengan menyandarkan punggung pada kursi dan melipat tangan di dada. Kesal.

Suasana hening. Tak lama Bapak berdehem dan mulai berkata, "Mungkin Kang Budi tidak berniat jahat, hanya caranya yang salah. Beliau itu hidup sendirian, jadi mungkin ingin cari teman. Makanya kamu jangan ketus atuh, Neng Put. Terima saja, terus kalau dirasa mencurigakan tinggal buang, tidak usah harus marah-marah."

"Nanti malah ngelunjak. Udah dua kali dia kayak gitu. Tau, ahh, Bapak mah susah nerima pendapat orang." Aku pun mengentakkan kaki kemudian pergi meninggalkan Bapak dengan hati dongkol. Bagaimanapun, aku adalah seorang anak yang punya hak untuk mengatakan sebuah pendapat, tapi aku juga sadar sudah salah bersikap kasar pada Bapak.

Untuk meredam hati yang kesal, aku memilih untuk masuk kamar. Hujan membuat udara di Lembang ini semakin dingin. Saat aku membuka pintu, terlihat Ita sudah tidur, sementara Via tengah berdiri di depan jendela dengan menyibak sedikit gordennya. Padahal, petir di luar saling bersahutan.

Aku menghampiri gadis itu, lantas menutup gorden. Via menoleh dan menatapku tajam. "Bahaya. Apalagi di depan kaca," kataku.

Via mulai beranjak, membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup tubuhnya dengan selimut. Ia menatap plapon, seakan ada hal yang dipikirkan. Beruntung kasur ini lumayar besar, cukup untuk badan kami yang kecil-kecil ini.

Aku pun mulai berbaring di samping Via, menanyakan sesuatu padanya. "Vi, kamu betah tinggal di sini?"

"Gaklah. Yakali aja betah di rumah berhantu gini, Kak." Jawabannya terdengar tegas. "Tadi aja di luar ada cewek hujan-hujanan," lanjutnya lagi.

Aku menghela napas. "Hah? Serius? Duh, kirain Kakak doang yang stres diganggu mereka."

Via beranjak dari tidurnya, ia mengambil sesuatu dari bawah bantal yang ternyata adalah ponsel. Beberapa saat ia mengutak-ngatik benda pipih itu dan memberikannya padaku. Terlihat di sana video sedang diputar. Agar menontonnya lebih fokus, aku pun menumpuk bantal dan duduk bersandar di sana.

Awalnya video itu biasa saja, hanya memperlihatkan adikku tengah tertidur, tetapi mataku melotot seketika saat melihat Via ditarik paksa di bagian kaki hingga terjatuh. Tidak terlihat sosok yang menariknya,  hanya gerakan-gerakan yang powernya lumayan besar.

"Itu cuma sebagian. Lengkapnya ada di komputer, Kak." Via pun memperlihatkan dahinya yang sedikit membiru karena terpental. Untung saja gadis itu berponi, jadi tidak terlihat.

"Kamu sengaja ngerekam ini?" tanyaku sembari memberikan ponselnya.

Gadis agak tomboy itu meraih ponselnya seraya mengangguk. "Tadinya mau bikin konten, sama buktiin aja bener apa enggak. Eh ternyata."

"Kayaknya kita harus cari tau deh siapa pemilik rumah ini. Kalo misal penghuninya meninggal, terus siapa yang jual? Kang Budi juga mencurigakan. Gimana kalo besok kita ke rumahnya Pak Hasan pulang sekolah," usulku, berharap Via mau. Gadis itu lumayan tak acuh pada sesuatu—cenderung tidak peduli.

Akhirnya Via mengangguk. Aku memintanya untuk tidak memasukan video tersebut ke dalam konten, takut jika malam menimbulkan masalah ke depannya. Selama teka-teki belum terselesaikan, Bapak jangan sampai tahu. Khawatir beliau sedih.

***

Pagi hari, semua sibuk di meja makan. Ibu memasak nasi goreng untuk sarapan. Suasana sedikit berbeda. Entah kenapa Ibu dan Bapak tidak banyak bicara seperti biasanya. Apalagi Ibu terlihat menguap beberapa kali, seperti orang yang kurang tidur.

"Ibu sakit?" tanyaku.

Beliau menoleh, lantas menggeleng dengan memasang senyum lemah. "Gak bisa tidur aja semalam, nih. Udah gak usah khawatir kitu." Seakan paham tatapanku, Ibu berkata demikian.

Akhirnya sarapan usai. Ibu mengurus kepindahan Adek ke sekolah baru. Sementara aku dan Via pergi ke sekolah menggunakan mobil, di mana Bapak akan pergi ke rumah bosnya di kawasan Dago. Sebelum ke sekolahku, kami berhenti di SMP Negeri Bandung, Via pun turun setelah berpamitan.

Kini hanya ada aku dan Bapak, menyusuri jalanan Bandung yang sedikit macet. Apalagi di hari Senin seperti ini. Untuk menghilangkan suntuk, aku berselancar di dunia maya. Hal yang aku cari adalah kasus bakar diri tiga tahun yang lalu di daerah Lembang, berharap ada sedikit jawaban dari internet.

Anehnya, tidak ada kasus serupa. Menurutku, ini kasus besar yang melibatkan anggota keluarga, rasanya tidak mungkin jika tidak terekspos media. Karena penasaran, semua sosial media aku jelajahi, berharap ada sedikit titik terang.

"Neng, udah sampe. Yok, sekolah cepetan. Mau upacara tuh," ucap Bapak membuatku menghentikan pencarian.

Aku pun mencium tangan Bapak, lantas bergegas turun. Di seberang sana sudah ada gedung SMA Pasundan Bandung, tempatku menganyam ilmu. Setelah mengucap salam, aku pun mulai menyebrang jalan. Tak lupa menyapa Pak Satpam sebelum masuk.

Terlihat Rena melambaikan tangan di depan kelas. Aku berjalan ke arahnya sembari menyapa beberapa orang yang aku kenal.

"Yuk, masuk." Tanganku dicekal Rena saat akan memasuki kelas. "Kenapa, Ren?"

"Kamu tadi berangkat sama murid baru, ya? Mana atuh kenalin." Ucapan Rena membuatku mengerutkan dahi kemudian menoleh ke belakang dan mengedarkan pandangan.

"Aku berangkat sendiri, Ren."

"Masa, sih. Tadi di belakang kamu ada cewe pake seragam lain. Maksudnya bukan seragam sekolah kita. Aku lihat dia megangin pundak kamu dari mulai masuk gerbang tadi."

Seketika aku merasa belakang leher begitu dingin, seperti ada yang meniup tengkuk dan pundak mendadak berat. Apa ada yang ikut?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status