Share

Gadis Berseragam

last update Last Updated: 2022-05-20 12:21:20

Aku membuang bungkusan yang isinya bangkai ayam hitam. Mungkin karena mendengar teriakanku, sampai membuat Via dan Ita keluar. Mereka pun akhirnya ikut duduk bersama kami menunggu kedatangan Bapak.

Sejurus kemudian, suara pintu diketuk. Gegas aku membuka pintu. Bapak tengah menata payung agar tidak tertiup angin. "Untung aja ada tetangga yang minjemin," ucapnya.

Aku pun menutup pintu kembali setelah beliau masuk. Bapak mengernyitkan dahi saat menatap kami bergantian, lantas bertanya, "Aya naon? Kok, kalian natap Bapak kayak gitu."

Ibu langsung berdiri dari kursi, menanyakan pada Bapak mau minun teh atau kopi. Hingga pilihan jatuh pada kopi hitam. Bapak tidak bisa minum kopi susu, lambungnya bisa kumat.

Aku membiarkan Bapak duduk terlebih dahulu sambil mematikan TV, sebab di luar hujan makin deras dan petirnya pun kian kencang. Khawatir jika TV dibiarkan menyala, takut listriknya tersambar. Via dan Ita pun aku suruh masuk ke kamarku untuk tidur.

"Pak, Putri mau bicara." Aku mulai memberanikan diri. Semoga Bapak tidak salah paham.

"Bicara apa?" tanya Bapak, tangannya sibuk mengupas kacang rebus yang sudah mulai dingin.

"Bapak bicara atuh sama Kang Budi supaya jangan seenaknya masuk ke sini. Kan, ini udah jadi rumah kita. Kang Budi udah gak berhak lagi jadi pegawai di sini."

Mendengar pernyataanku, Bapak seakan tidak kaget. Pria di sampingku itu malah sibuk mengupas kacang. Sampai Ibu datang dan menyimpan kopi yang masih mengepul di meja. Tanpa berkata lagi, Bapak menyeruput kopi dalam mug  besar tersebut.

"Bapak tau, gak, barusan Kang Budi datang bawa bungkusan. Isinya bangkai ayam, katanya letakan di pojok rumah. Itu syirik namanya," cerocosku, dilanjutkan dengan menyandarkan punggung pada kursi dan melipat tangan di dada. Kesal.

Suasana hening. Tak lama Bapak berdehem dan mulai berkata, "Mungkin Kang Budi tidak berniat jahat, hanya caranya yang salah. Beliau itu hidup sendirian, jadi mungkin ingin cari teman. Makanya kamu jangan ketus atuh, Neng Put. Terima saja, terus kalau dirasa mencurigakan tinggal buang, tidak usah harus marah-marah."

"Nanti malah ngelunjak. Udah dua kali dia kayak gitu. Tau, ahh, Bapak mah susah nerima pendapat orang." Aku pun mengentakkan kaki kemudian pergi meninggalkan Bapak dengan hati dongkol. Bagaimanapun, aku adalah seorang anak yang punya hak untuk mengatakan sebuah pendapat, tapi aku juga sadar sudah salah bersikap kasar pada Bapak.

Untuk meredam hati yang kesal, aku memilih untuk masuk kamar. Hujan membuat udara di Lembang ini semakin dingin. Saat aku membuka pintu, terlihat Ita sudah tidur, sementara Via tengah berdiri di depan jendela dengan menyibak sedikit gordennya. Padahal, petir di luar saling bersahutan.

Aku menghampiri gadis itu, lantas menutup gorden. Via menoleh dan menatapku tajam. "Bahaya. Apalagi di depan kaca," kataku.

Via mulai beranjak, membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup tubuhnya dengan selimut. Ia menatap plapon, seakan ada hal yang dipikirkan. Beruntung kasur ini lumayar besar, cukup untuk badan kami yang kecil-kecil ini.

Aku pun mulai berbaring di samping Via, menanyakan sesuatu padanya. "Vi, kamu betah tinggal di sini?"

"Gaklah. Yakali aja betah di rumah berhantu gini, Kak." Jawabannya terdengar tegas. "Tadi aja di luar ada cewek hujan-hujanan," lanjutnya lagi.

Aku menghela napas. "Hah? Serius? Duh, kirain Kakak doang yang stres diganggu mereka."

Via beranjak dari tidurnya, ia mengambil sesuatu dari bawah bantal yang ternyata adalah ponsel. Beberapa saat ia mengutak-ngatik benda pipih itu dan memberikannya padaku. Terlihat di sana video sedang diputar. Agar menontonnya lebih fokus, aku pun menumpuk bantal dan duduk bersandar di sana.

Awalnya video itu biasa saja, hanya memperlihatkan adikku tengah tertidur, tetapi mataku melotot seketika saat melihat Via ditarik paksa di bagian kaki hingga terjatuh. Tidak terlihat sosok yang menariknya,  hanya gerakan-gerakan yang powernya lumayan besar.

"Itu cuma sebagian. Lengkapnya ada di komputer, Kak." Via pun memperlihatkan dahinya yang sedikit membiru karena terpental. Untung saja gadis itu berponi, jadi tidak terlihat.

"Kamu sengaja ngerekam ini?" tanyaku sembari memberikan ponselnya.

Gadis agak tomboy itu meraih ponselnya seraya mengangguk. "Tadinya mau bikin konten, sama buktiin aja bener apa enggak. Eh ternyata."

"Kayaknya kita harus cari tau deh siapa pemilik rumah ini. Kalo misal penghuninya meninggal, terus siapa yang jual? Kang Budi juga mencurigakan. Gimana kalo besok kita ke rumahnya Pak Hasan pulang sekolah," usulku, berharap Via mau. Gadis itu lumayan tak acuh pada sesuatu—cenderung tidak peduli.

Akhirnya Via mengangguk. Aku memintanya untuk tidak memasukan video tersebut ke dalam konten, takut jika malam menimbulkan masalah ke depannya. Selama teka-teki belum terselesaikan, Bapak jangan sampai tahu. Khawatir beliau sedih.

***

Pagi hari, semua sibuk di meja makan. Ibu memasak nasi goreng untuk sarapan. Suasana sedikit berbeda. Entah kenapa Ibu dan Bapak tidak banyak bicara seperti biasanya. Apalagi Ibu terlihat menguap beberapa kali, seperti orang yang kurang tidur.

"Ibu sakit?" tanyaku.

Beliau menoleh, lantas menggeleng dengan memasang senyum lemah. "Gak bisa tidur aja semalam, nih. Udah gak usah khawatir kitu." Seakan paham tatapanku, Ibu berkata demikian.

Akhirnya sarapan usai. Ibu mengurus kepindahan Adek ke sekolah baru. Sementara aku dan Via pergi ke sekolah menggunakan mobil, di mana Bapak akan pergi ke rumah bosnya di kawasan Dago. Sebelum ke sekolahku, kami berhenti di SMP Negeri Bandung, Via pun turun setelah berpamitan.

Kini hanya ada aku dan Bapak, menyusuri jalanan Bandung yang sedikit macet. Apalagi di hari Senin seperti ini. Untuk menghilangkan suntuk, aku berselancar di dunia maya. Hal yang aku cari adalah kasus bakar diri tiga tahun yang lalu di daerah Lembang, berharap ada sedikit jawaban dari internet.

Anehnya, tidak ada kasus serupa. Menurutku, ini kasus besar yang melibatkan anggota keluarga, rasanya tidak mungkin jika tidak terekspos media. Karena penasaran, semua sosial media aku jelajahi, berharap ada sedikit titik terang.

"Neng, udah sampe. Yok, sekolah cepetan. Mau upacara tuh," ucap Bapak membuatku menghentikan pencarian.

Aku pun mencium tangan Bapak, lantas bergegas turun. Di seberang sana sudah ada gedung SMA Pasundan Bandung, tempatku menganyam ilmu. Setelah mengucap salam, aku pun mulai menyebrang jalan. Tak lupa menyapa Pak Satpam sebelum masuk.

Terlihat Rena melambaikan tangan di depan kelas. Aku berjalan ke arahnya sembari menyapa beberapa orang yang aku kenal.

"Yuk, masuk." Tanganku dicekal Rena saat akan memasuki kelas. "Kenapa, Ren?"

"Kamu tadi berangkat sama murid baru, ya? Mana atuh kenalin." Ucapan Rena membuatku mengerutkan dahi kemudian menoleh ke belakang dan mengedarkan pandangan.

"Aku berangkat sendiri, Ren."

"Masa, sih. Tadi di belakang kamu ada cewe pake seragam lain. Maksudnya bukan seragam sekolah kita. Aku lihat dia megangin pundak kamu dari mulai masuk gerbang tadi."

Seketika aku merasa belakang leher begitu dingin, seperti ada yang meniup tengkuk dan pundak mendadak berat. Apa ada yang ikut?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Pembacaan Vonis (Tamat)

    Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Masa Lalu Kelam

    Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan 2

    Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan

    Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kehidupan Baru

    Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Aku Tidak Gila 2

    "Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Aku Tidak Gila 1

    Langkahku tergesa untuk melihat kejadian di dalam sana. Saat berada di depan pintu kamar, mataku terbelalak melihat Via dalam keadaan kayang. Ia tertawa nyaring, kadang menangis."Kita ruqiah saja sekarang Om, saya wudu dulu." Ali melirik ke arahku. Karena paham apa maksudnya, aku menunjuk pintu sebelah kiri dari kamar ini. Pemuda itu mengangguk, lalu berlari.Om Tio masih terlihat melafalkan sesuatu. Tak lama Ali datang, bergantian dengan Om Tio yang mengambil wudu. "kalo Via sudah dalam keadaan normal, tolong pakaikan dia mukena, ya," ucapnya seraya menggulung lengan kemejanya lalu berjalan masuk ke kamar. Di awali dengan basmallah, Ali berdiri di depan ranjang lalu mulai melantunkan ayat dengan suara merdunya. Sementara nenek datang dari kamarnya membawa mukena. "Kalian bisa bantu membaca surah Al-Jin. Mau di ponsel atau Al-Quran gak masalah," ucap Om Tio, membuat kami semua yang berdiri di pintu mengangguk paham. Nenek menuntunku yang masih terisak, tangannya memelukku dari bel

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kabur dari Rumah

    Sesudah Isya, aku masih merasa cemas karena Aldy dan Bagas belum juga memberi kabar tentang obat bius yang aku minta. Chatnya centang dua, tetapi masih belum dibaca. Sementara di luar hujan begitu lebat. Aku juga menghubungi Ali dan Om Tio di grup, meminta arahannya saat melakukan biusan pada Via nanti. Mereka menyarankan untuk hati-hati karena tubuh Via dikuasai oleh jin. [Jadi aku harus gimana?] [Nanti kalo obat biasnya datang, kamu telepon Om ya. Letakan HP dekat obat itu, Om coba bacakan dulu ayat ruqiah supaya jinnya sedikit melemah] balas Om Tio. [Kabari saya juga, Put. Saya menunggu di luar rumah kamu nanti ya. Hati-hati pokoknya.] Kali ini Ali yang menyahut. Alhamdulillah, aku dikelilingi orang baik dan pemberani dan itu membuat aku menjadi orang yang nekat. Insya Allah, ini semua demi kesembuhan Via. Masalah Ibu dan Bapak, itu urusan belakangan. [Renacananya Via mau dibawa ke mana Put?] Chat dari Om Tio masuk kembali. [Ke rumah nenek aja Om, di sana tolong ruqiah Via y

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Rahasia 2

    Putri melihat masih ada harapan menyadarkan sang ibu. Lantas, ia mengajak ibunya ke kamar Via dan memancing adiknya dengan makanan agar Bu Aini percaya ada keanehan dalam diri Via. "Ibu bisa lihat sendiri apa yang terjadi." Putri langsung menarik tangan ibunya menuju kamar Via. Kebutulan, Pak Agung sibuk mengurus tanaman di halaman depan dan belakang. Pintu dibuka, terlihat Via tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Gegas Putri membawa piring berisi makanan dan menyodorkannya pada Via. "Makan ini. Kamu pasti lapar, 'kan?" ucap Putri dengan nada ketus. "Via pasti kenyang, Neng. Dia kan udah makan nasi padang tadi." "Ibu sabar dulu atuh. Via, cepetan ini makan." Hening. Tidak ada jawaban dari Via, gadis itu tetap sibuk menatap atap kamar dengan pandangan lurus. Merasa kesal, Putri membentak adiknya. "Via! Cepetan makan!" Bukannya menuruti perintah Putri, Via justru mengibaskan tangannya, membuat piring yang Putri bawa tadi terempas dan pecah. Makananya ber

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status