Share

Bab 6

Angin malam berembus dengan begitu perlahan menyapa kemeja yang sedari pagu kukenakan. Blazer yang menjadi lapisan terluar telah kulepaskan sejak beberapa saat lalu. Air mata masih saja mengalir tanpa mau ditahan meski hanya sejenak saja. Langkah kaki mulai sempoyongan bagai orang mabuk, tapi terus kupaksa untuk melewati jalanan yang mulai sepi. Malam begini cukup sulit untuk mendapatkan taksi, tapi aku juga tidak mungkin menerima tawaran Aries, ini bukan aib tapi aku tidak ingin orang lain mengetahui semuanya.

“Taksi, Mbak?” tawar seseorang yang baru saja kulewati. Sejenak aku melihat tampilannya dari atas ke bawah, kemudian melirik sebuah mobil sedan yang terparkir di sampingnya. 

Keadaanku memang sedang tidak baik-baik saja tapi otak ini masih bisa berpikir secara jernih, tidak ada taksi tanpa keterangan. Jangan bilang soal taksi online, karena aku tidak memesannya jadi tidak mungkin tiba-tiba ada menawarkan diri. Tanpa mengindahkan perkataan lelaki itu, aku melanjutkan langkahku menuju satu tujuan yang kuyakini tidak akan bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

“Minggir!” ucapku saat laki-laki itu tiba-tiba menghadang jalan di hadapanku.

“Malam-malam begini Mbak mau ke mana? Tidak akan ada taksi lewat sini, jadi biar saya antar ke mana pun Mbak pergi!” katanya sambil berusaha untuk menggapai tanganku tapi dengan sigap aku mundur beberapa langkah meski dia mengikuti langkahku. “Tenanglah, Mbak, saya bukan orang jahat, saya hanya sedang mencari sesuap nasi untuk keluarga makan di rumah.”

Sejenak aku berbalik menatap mobil yang terparkir, sebuah kendaraan yang dapat kulihat dengan jelas berasal dari sebuah perusahaan mobil terkenal dan harganya tidak main-main. Kemudian alasannya untuk makan, sungguh sangat tidak sinkron jika melihat alasan dengan mobil yang jauh berbanding terbalik. Tunggangan berharga ratusan juta tapi tidak mampu membeli makan untuk keluarganya?

“Saya sudah ditunggu kawan di depan,” kataku sambil berjalan sedikit menjauh darinya dan berusaha mempercepatnya—berharap orang itu akan percaya dan membiarkanku pergi.

Seorang gadis berjalan di malam yang semakin larut dengan kondisi kacau sepertiku memang menjadi sasaran empuk bagi banyak orang yang berhati busuk. Ini memang sebuah kesalahan, tapi aku sungguh tidak bisa menerima tawaran Aries. Biarkan semua masa lalu itu menjadi milikku, karena orang lain belum tentu akan memahami keadaan baik masa itu mau pun sekarang.

Sesekali aku melihat ke belakang hanya untuk memastikan orang tadi tidak mengikuti. Kali ini bisa bernapas lega karena orang tadi masih diam di tempat sambil menatapku dan berbicara dengan seseorang di telepon. Pikiran tidak baik pun mulai merayap memenuhi otak hingga membuatku semakin memperlebar langkah sambil berusaha mencari taksi. Malam ini, ya malam ini aku harus sampai ke tempat itu tepat waktu, tidak boleh sampai terlambat atau semua akan hancur.

“Taksi ...!” kataku saat melihat sebuah taksi lewat tapi sang pengemudi mengabaikan dan terus berlalu hingga meninggalkan kekecewaan di dalam hati. Seperti drama bukan memberhentikan taksi tapi sang sopir tidak berhenti? Namun sudahlah mungkin dia memiliki penumpang dan aku hanya bisa terus berjalan mencari taksi serta berada di tempat yang jauh lebih ramai agar terhindar dari kejahatan.

“Sudah saya bilang, susah mendapatkan taksi di sini kalau malam,” kata laki-laki yang tadi dan entah bagaimana kini sudah berada di hadapanku, “jadi Mbak lebih baik naik taksi saya saja!”

Aku terdiam saat laki-laki itu mulai tersenyum menunjukkan barisan giginya. Takut yang tadi sempat menurun kini mulai menguasai diri lagi. Tubuh yang mulai tenang akhirnya kembali bergetar dan gigi bergemeletuk. Ingin mundur tapi kami ini kaku, otak memerintah tapi tubuh menolak. Cairan bening kembali membasahi pipi dan otak kembali menggelap terbayang dengan bayangan masa lalu yang begitu kelam.

“Pergi!” teriakku saat kembali bayangan masa lalu menguasa otak dan tidak bisa lagi fokus pada sikap lelaki itu, entah apa yang dilakukannya tapi diri ini sudah dikuasai bayangan kelam yang menyakitkan. “Jangan ganggu aku, biarkan aku pergi!”

Kututup mata sambil berusaha mengusir semua bayang-bayang masa lalu. Teriakan demi teriakan kulakukan berharap seseorang datang dan menyelamatkanku dari laki-laki yang berniat jahat itu.  Aku tidak ingin hidupku berakhir di tangan lelaki yang tidak bertanggung jawab, lebih baik mati daripada menyerahkan diri kepada dia yang berhati bejat.

Sebuah tangan kurasakan merengkuh tubuh ini dan aku langsung meronta berusaha melepaskan diri. Namun semakin berusaha, dekapannya semakin erat membuat tangisan dan raunganku semakin menjadi. Sebuah guncangan yang cukup hebat kurasakan tapi hal itu tidak membuatku berhenti memberontak, yang ada malah semakin menjadi.

“Gabriela!” terdengar suara seseorang memanggil namaku dengan suara lantang seolah-olah menarikku dari masa lalu pada kenyataan yang kini ada di hadapan. Kini dapat kulihat Aries berada di hadapanku sambil mengguncang tubuh ini. Tanpa kata aku langsung memeluknya dengan erat dan menangis sejadi-jadinya. “Sssttt ... kamu aman, jangan menangis lagi!”

“Maaf, tadi saya hanya menawarkan taksi kepada mbaknya, tapi dia langsung berteriak dan menangis seperti barusan,” terdengar seseorang yang berusaha menjelaskan, sepertinya orang yang tadi menawarkan taksi kepadaku.

“Tidak apa-apa, maaf istri saya memang sedikit trauma dengan hal tersebut,” kata Aries sambi tetap memelukku dengan cukup erat, “semua baik-baik saja, Gab, semuanya aman tak ada yang akan berbuat jahat sama kamu!”

“Maafkan saya, Mbak, saya sungguh hanya menawarkan taksi karena hari ini belum mendapat penumpang,” kata seseorang yang masih kubelakangi.

Kurasakan Aries berusaha berjalan setelah berbisik untuk mengajak pulang. Tanpa perlawanan aku hanya mengikuti kata-katanya tanpa melepaskan pelukan dan masih tetap menangis. Entah apa jadinya diri ini jika tidak ada Aries, mungkin saat ini hidupku berakhir di tangan laki-laki yang mengaku sebagai sopir taksi atau dianggap sebagai orang gila oleh banyak orang karena tiba-tiba menangis histeris seolah-olah seseorang telah menganiayaku.

Setelah berada di dalam mobil, Aries menjalankan kendaraan dengan perlahan tanpa berkata apa-apa atau menanyakan penyebabku histeris.  Dia hanya diam sambil sesekali melihat ke arahku yang masih asyik melihat jalanan malam yang semakin sepi tapi memberi keindahan karena lampu-lampu yang menyinari jalan. 

“Aku takut Ries, aku takut.” Akhirnya kata-kata itu keluar dari bibirku dan kurasakan sebuah tangan menggenggam jemari erat kemudian menarik ke bibirnya dan mencium dengan sepenuh hati.

“Kamu aman sama aku, Gab, tidak akan ada yang melukaimu,” katanya yang kembali mencium punggung tanganku, “percaya sama aku, Gab!”

Percaya? Aku ingin percaya kepadanya tapi sangat sulit untuk dilakukan. Ada satu sisi di dalam diri yang tidak membiarkanku mempercayai Aries, padahal dia adalah lelaki yang begitu baik dan selalu ada dalam suka serta dukaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status