Share

Bab 7

“Aku di mana?” tanyaku saat mulai membuka mata dan menyadari jika kini tidak berada di kamarku. Sebuah kamar bercat putih dengan beberapa pernak-pernik yang sangat feminin seperti gorden bergambar bunga, hiasan dinding yang juga bercorak bunga. Beberapa kali mengedarkan pandangan—melihat apakah ada orang di sini—tapi nihil karena tidak ada siapa pun selain diriku.

Kubereskan rambut  dan tempat tidur sebelum akhirnya melangkah ke luar kamar mencari sang pemilik kamar. Saat ke luar, terpampang sebuah rumah yang cukup mewah dengan interior bergaya classic, sangat berbeda dengan kamar yang begitu modern. Aku kembali mengedarkan pandangan tapi masih saja tidak menemukan siapa-siapa hingga akhirnya memutuskan untuk turun ke lantai dasar rumah. Tangga kayu membentuk setengah lingkaran menjadi penghubung lantai dasar dan lantai dua rumah. Perlahan aku melewatinya bagai seorang pencuri yang takut ketahuan si empunya rumah.

“Kamu tahukan siapa dia?” Terdengar suara seorang perempuan saat aku melewati sebuah ruangan dengan pintu sedikit terbuka.

“Aku tahu, Ma,” jawab suara lainnya yang begitu kukenal, Aries.

“Lalu kenapa melakukannya kalau kamu tahu?” kata suara perempuan yang seperti suara yang pertama kali kudengar tadi. “Harusnya kamu menjauhinya bukan mendekati dia?”

“Mama tenang saja, aku punya rencana sendiri, tinggal tunggu hasilnya saja,” kata Aries, “aku mau melihat dulu Gabriela, dia sudah bangun atau belum.”

Mendengar kata-kata Aries, aku segera mundur beberapa langkah agar saat dia ke luar ruangan itu terlihat baru turun dari tangga. Tepat saat langkahku sampai di ruangan tadi, Aries pun ke luar dari sana dan memperlihatkan senyum indah tapi sedikit kikuk.

“Kamu sudah bangun, Gab?” tanyanya sambil berjalan ke arahku.

“Aku kira rumah siapa ini, karena tadi tidak menemukan siapa-siapa,” kataku yang justru bukan menjawab pertanyaannya. Berbohong itu dosa sedang tidak menjawab sebuah pertanyaan bukanlah suatu kesalahan, jadi jika bisa menghindarinya kenapa tidak? 

“Maaf, semalam kamu tertidur dan aku tidak tahu di mana rumahmu,” katanya yang terlihat sekali seperti berusaha untuk bersikap biasa, “lucu ya kita sudah lama dekat tapi aku tidak tahu di mana rumahmu.”

Bagiku, bersahabat bukan berarti harus mengetahui semua mengenai kehidupan kita, termasuk rumah. Lucu ya? Bagi sebagian orang mungkin lucu, tapi tidak untukku. Pengalaman mengajarkan untuk selalu berhati-hati dalam apa pun—termasuk sahabat. Di dunia ini tidak ada yang tulus berteman dengan kita, pasti ada sebuah tujuan yang dia sembunyikan. Sebuah pemikiran yang menyakitkan bukan, tapi itulah aku yang tidak mungkin berubah hanya dalam hitungan tahun.

“Tidak masalah,” ucapku berusaha untuk menganggap bahwa semuanya baik-baik saja, tapi di dalam sini ada gundah yang cukup besar. Bukan karena pembicaraan Aries dengan siapa pun itu, tapi rasanya ada yang salah dengan semua yang terjadi sejak kemarin hingga hari ini.

“Aries, dan ...,” kata seorang perempuan yang kuperkirakan usianya melebihi setengah abad, mungkin Mama Aries karena dia ke luar dari ruangan yang sama dengannya.

“Gabriela, Tante,” ucapku sambil sedikit mengangguk dan tersenyum.

“Ah ya, Gabriela,” ucapnya sambil memperlihatkan sebuah senyuman yang begitu cantik.

“Tidak perlu, Tante, terima kasih,” ucapku, “saya mau pulang karena khawatir terlambat ke kantor.”

“Pergi bareng aku saja, Gab,” kata Aries.

“Aku harus pulang dan berganti pakaian,” kataku yang memang tidak mungkin berangkat dari tempat Aries mengingat tidak membawa pakaian ganti, tidak mungkin ke kantor masih mengenakan pakaian kemarin.

“Kamu bisa menggunakan pakaian Arien, sepertinya pas untukmu,” kata Aries yang sepertinya berusaha untuk menahanku agar kami bisa berangkat bersama.

Aku sedikit kikuk untuk menolak permintaannya. Baju mungkin ada yang sama, tapi ada hal lain yang tidak mungkin menggunakan milik orang lain. “Hhhmm ... maaf Aries, itu ....”

“Dia membutuhkan pakaian dalam baru, tidak mungkin mengenakan milik Arien,” ucap Mama Aries yang pasti lebih mengerti keadaanku karena dia juga seorang perempuan.

Setelah berpamitan kepada Aries dan mamanya, aku pun pulang naik taksi online yang dipesankan Aries, dam di sinilah saat ini aku berada, di dalam sebuah taksi. Sejenak aku memejamkan mata dan mengingat kembali semua yang sudah terjadi sejak kemarin. Ada banyak tanya yang menyapa pikiran, mulai dari sikap Mr. Thomas hingga kejadian sopir taksi semalam. Semua tampak sebagai sebuah kebetulan, tapi hal itu tidak masuk akal sama sekali. Pasti ada sebuah penjelasan yang masuk akal atas semuanya.

Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya aku sampai di rumah. Berendam selama beberapa saat sepertinya akan menenangkan pikiran dari semua tekanan yang ada. Aroma terapi dari sabun mandi mampu untuk membuat otakku kembali fresh dan siap untuk menjalani hari, termasuk rapat bersama client.

Setelah bersiap dan merasa yakin akan penampilan, aku mengambil sebotol obat yang selalu tersedia di laci meja rias. Sudah lama tidak meminumnya membuatku sedikit gamang untuk kembali menyentuh butiran berwarna putih itu. Berhenti dari menggunakannya adalah sebuah perjuangan berat, tapi kini sepertinya tidak ada pilihan lain selain meminumnya dan menjalani hari seperti biasa.

“Selamat datang kembali di hidup yang penuh dengan obat,” ucapku sambil tersenyum miring dan mengambil dua butir obat sebelum akhirnya meminumnya. Tidak perlu lama untuk merasakan pengaruhnya, hanya butuh hitungan menit dan semua sudah membaik.

Aku berjalan menyusuri rumah yang selalu sepi bagai tidak ada kehidupan di dalamnya. Di rumah yang cukup besar ini memang hanya tinggal aku dan seorang pembantu saja, tanpa mama, apalagi papa yang sudah pergi sejak bertahun lalu. Sedih? Tidak sama sekali karena ini sudah menjadi kehidupanku sejak masa sekolah menengah atas, hidup seorang diri tanpa orang tua. Mama sibuk dengan urusan perusahaan dan aku yang menolak untuk bekerja di sana setelah kejadian kelam itu terjadi.

“Non, semalam Nyonya datang,” kata pembantu saat aku akan membuka pintu garasi, “katanya Nona diminta untuk pulang akhir pekan nanti.”

Pulang, sepertinya hal itu adalah sebuah hal yang tidak pernah ada dalam agendaku. Rumah di mana ada mama dan seorang adik laki-laki lebih tepat jika kubilang bahwa itu adalah neraka nyata di dunia. Tidak ada kehangatan seperti sebuah keluarga pada umumnya, yang ada hanya derita tidak berkesudahan. Mama yang sibuk dengan pekerjaannya masih berusaha untuk mengatur kehidupan anak-anaknya dan harus dituruti tanpa bantahan satu kata pun. Adik yang harusnya menjadi orang termanis di rumah juga bersikap tidak kalah buruk dengan mama. Jadi, masih pantaskah tempat itu kubilang sebagai rumah?

“Nyonya bilang, harus membicarakan kejadian lima tahun lalu,” katanya melanjutkan yang membuatku sedikit menegang.

Kenapa mama harus membuka kembali kisah itu? Apa yang ingin diketahuinya dari hal yang telah membuatku hancur?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status