Mata Amora terbuka lebar ketika mendengar penjelasan dari sang dokter. 400 sampai 700 juta?" "Iya."Amora mulai menghitung-hitung jika 700 juta, itu artinya putranya bisa menyelesaikan pengobatan pasca operasi. Amora ingin putranya benar-benar sembuh total."Di Singapura, untuk hat, harga jualnya tinggi. Hanya saja tetap hati harus di uji terlebih dahulu, apakah hati kamu miliki cocok dengan hati penerima donor.Amora mengangguk kan kepalanya. 700 juta itu sudah sangat besar untuknya. "Dokter, kalau bisa saya minta tambah lagi dengan si penerima donor. Sekitar 800 juta, apa boleh?" Bukan berniat untuk serakah. Tapi biaya anaknya sangat besar. Dan dia pun membutuhkan uang. Setidaknya menjelang mendapatkan pekerjaan dan sampai tubuhnya benar-benar pulih untuk memulai pekerjaan yang baru. Bercerita tentang pekerjaan, Amora merasakan dadanya yang berdenyut nyeri. Sampai sekarang ijazah yang dimilikinya masih berada di rumah Randy. Apakah ijazah miliknya juga sudah dibuang oleh mereka?
Malam itu begitu dingin, namun bukan udara yang membuat tubuh Amora menggigil. Ia duduk di kursi roda, sendirian, di ruang tunggu yang sunyi dan menyisakan aroma disinfektan menyengat. Lampu-lampu neon di lorong rumah sakit tak mampu mengusir kegelapan yang merayap di dalam hatinya.Ia tidur sambil duduk, atau lebih tepatnya berusaha tidur. Tapi nyeri di perutnya seperti cakar yang tak henti mencabik. Luka bekas operasi yang belum sempat pulih sepenuhnya masih mengalirkan darah, walau tak sederas sebelumnya. Amora mengintip ke bagian perutnya. Plaster yang dipakainya sudah basah dengan darah. Padahal Dewi tahu bahwa ia baru saja melahirkan secara Caesar. Namun dengan kejam wanita itu menendang bagian perutnya. Dari sikap yang ditunjukkan mantan mertuanya itu, tampak jelas bahwa Dewi ingin membunuh Amora.Rasa sakit itu seharusnya menumpulkan pikirannya. Tapi justru membuatnya makin sadar akan kenyataan. Bayinya masih di NICU, detak jantungnya rapuh, hidupnya bertumpu pada mesin dan w
"Permisi dokter Atar, maaf Papa saya mengganggu?" Amora berkata ketika sudah membuka pintu ruang praktek dokter tersebut. Dokter Attar yang sedang sibuk membaca laporan tentang pasiennya, memandang ke arah Amora. " Tidak, silakan masuk. " Dokter itu menjawab dengan kening berkerut. Sebagai seorang dokter dia bisa membedakan mana kondisi tubuh yang sehat dan mana kondisi tubuh yang buruk. "Ada apa Dok, apakah kondisi putra Saya baik?" Amora bertanya dengan wajah tersenyum. Dia berharap mendapatkan kabar baik saat ini. Setidaknya kabar itu bisa membuat hatinya bahagia. Dokter itu tidak langsung menjawab namun dia memandang Amora. " Apa kamu baik-baik saja? "Dengan cepat Amora menganggukkan kepalanya. Kondisinya sangat menyedihkan. Tidak memiliki uang sama sekali. Jika harus manja dan mengatakan kondisinya saat ini, bisa-bisa biaya rumah sakit akan bertambah. Dan mungkin saja dokter itu akan menyarankannya untuk kembali dirawat. Begitu banyak kecemasan yang dirasakannya hingga dia
"Maaf, Nyonya Amora, saya hanya menjalankan perintah," suaranya parau, nyaris menangis. Pria itu meletakkan tubuh Amora di atas kursi roda, dengan sangat berhati-hati.Amora mengangguk lemah. "Tidak apa-apa, Mas Anto," jawab Amora dengan tersenyum.Walaupun sekujur tubuhnya terasa sakit seakan ingin mati, namun Amora tetap saja memberikan senyuman yang tulus kepada security tersebut. Dia tidak ingin Anto terbebani dengan rasa tidak bersalah. Amora sudah berusaha sehingga dia tidak memperdulikan rasa sakit, rasa lelah, hingga hilang harga diri sekalipun. Namun hasilnya sangat membuat kecewa. Amora harus kembali "Nyonya Amora, tunggu sebentar." Pria itu masuk ke dalam posko keamanan, Kemudian keluar dengan membawa obat anti septik dan juga plaster untuk luka. "Maaf Nyonya, di sini hanya ada obat ini untuk luka." Pria itu berkata sambil menyodorkan botol obat antiseptik dan juga plaster."Tidak apa Mas Anto, ini sudah cukup kok." Amora memegang bungkus obat yang sengaja diikatkannya d
"Uang yang di ATM itu?" suara Miranda terdengar ringan, nyaris mengejek. "Sudah habis, Amora. Aku belikan pakaian, tas, barang-barang buatku. Maaf kata mas Randy aku boleh habiskan. Ini kartu ATM nya?" Miranda berkata dengan nada sedih dan kemudian memberikan ATM kosong ke pada Amora.Satu-satunya harapannya adalah uang pemberian Yusuf, yang masih tersisa di rekeningnya. Tapi semua itu direnggut tanpa belas kasihan.Amora terdiam. Dada sesak. Napasnya tercekat oleh kenyataan yang disodorkan Miranda. Tatapan wanita itu dingin dan tanpa rasa bersalah."Itu uang dari papi. Itu milik aku!" Amora berseru, nyaris berteriak. Tapi suaranya tenggelam di tengah amarahnya sendiri."Papi? HA! Dia sudah mati, dan kamu juga sudah kami singkirkan dari keluarga ini!" Dewi menyahut. Dalam sekejap, tangannya mendorong Amora dengan kasar. Tubuh Amora terjatuh menghantam lantai marmer. Amora merintih kesakitan. Tubuh lemah yang baru selesai operasi, luka operasi yang sudah terbuka dan berdarah kembali,
Kalimat itu menusuk lebih dalam dari sembilu. Berkali-kali Amora mendengarnya, dan tetap saja, rasa perihnya tak pernah berkurang.“Amora, mulai detik ini, kau bukan lagi istriku. Aku jatuhkan talak untukmu.”Suara Randy terdengar tegas, tanpa ampun.Amora tertawa. Tawanya lirih tapi nyaring. Amora sedang mentertawakan dirinya sendiri. Amora mentertawakan kebodohannya yang rele berkorban demi menyelamatkan manusia berhati keji seperti Randy. Dewi memandangnya geram. “Apa yang kamu tertawakan?!” Bentakan itu disusul tamparan keras yang mendarat di pipi Amora.Amora sudah tidak merasakan sakit ketika tamparan yang begitu sangat keras mendarat di pipinya.“Kenapa? Kau kira aku akan menangis dan sujud memohon?!” Amora menatap lurus ke mata Dewi. Mantan mertuanya, wanita yang dulu ia panggil Mami dengan penuh hormat.Kini, tak ada lagi rasa itu. Hatinya sudah mati rasa.Dewi terdiam.Amora sudah seperti orang gila. Datang ke rumah itu bermodal dengan tenaga dan juga keringat. Dia hanya m