Alvaro menunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut di atas pangkuan. Ada perasaan asing yang muncul di hatinya. Perasaan yang perlahan menumbuhkan kekaguman, lalu berubah menjadi kekhawatiran… terhadap seorang wanita yang bahkan belum benar-benar ia kenal.“Kenapa dia bisa sampai seperti itu...?” gumam Alvaro lirih, seakan bertanya pada dirinya sendiri.Eliza menoleh, memandangnya. Matanya sendu, namun lembut.“Karena dia tidak pernah diperjuangkan, Alvaro. Dan ketika seseorang tidak punya siapa-siapa, satu-satunya yang bisa mereka andalkan hanyalah... diri sendiri.”Alvaro terdiam lama. Kalimat itu menghantam hatinya. Ketika ia dikhianati oleh wanita yang sangat dicintainya dan kemudian wanita itu pergi dengan pria lain, pada saat itu, Alvaro bisa tetap bertahan karena ada Zolin dan juga ibunya. Namun Amora, dia benar-benar sendiri. “Amora sangat tangguh. Disaat semua orang pisimis, dan pasrah melihat kematiannnya, namun dia tetap bertahan. Yang lebih menyakitkan, ketika dia mem
“Zolin…” Amora tersenyum canggung, lalu mengusap lembut kepala anak kecil itu.“Jangan bicara sembarangan, sayang,” bisiknya lirih, penuh peringatan. Suara polos Zolin bisa menimbulkan fitnah, dan itulah yang paling ia hindari selama ini.Namun Zolin justru menatapnya dengan tatapan jujur nan polos.“Tapi memang benar, kan? Daddy yang bilang Mommy harus makan banyak, biar cepat gemuk, sehat, dan nggak gampang sakit,” sahutnya lantang.Suara nyaring bocah itu membuat Eliza menahan tawa, sementara Nathan buru-buru menunduk, menahan geli. Suasana yang awalnya canggung, berubah jadi sedikit hangat, walau Amora justru merasa semakin gugup. Wajahnya memerah, jantungnya berdebar seolah sedang berdiri di bawah sorotan lampu panggung yang tak diinginkannya.Melihat suasana mulai canggung, Alvaro akhirnya angkat bicara, mencoba mengalihkan perhatian.“Ayo masuk. Kalian pasti lelah setelah perjalanan panjang,” katanya sambil menepuk ringan pundak Nathan.“Iya, kami memang lelah,” jawab Eliza sam
Alvaro memandangi cangkir kopinya yang mulai mendingin. Uapnya sudah hilang, tapi hatinya justru terasa menghangat. Ada sesuatu dalam cerita Amora yang membuatnya tak bisa berpaling, seperti cermin dari rasa sepi yang lama ia pendam.Perempuan itu tidak pernah sedikit pun meminta dikasihani. Tapi caranya menyembunyikan luka dengan senyum, membuat Alvaro ingin memeluk dan melindunginya."Aku dibuang, setelah mereka menganggap tidak membutuhkan aku lagi. Tapi Ya sudah tidak apa, ini takdirku. Dan aku terima semuanya." Amora tertawa kecil. Dan kemudian membelakangi Alvaro. Dengan cepat ia mengusap air matanya. "Kalau aku bilang," ucap Alvaro perlahan, "bahwa kamu bukan satu-satunya yang pernah dibuang, apa kamu percaya?"Amora menoleh, matanya menyiratkan keterkejutan."Aku juga pernah merasa tidak diinginkan," lanjut Alvaro, menatap langit-langit rumah yang temaram. "Bukan oleh istri, tapi oleh orang-orang yang mengira aku akan segera mati. Dulu, saat aku dinyatakan mengidap penyakit y
Pintu mobil terbuka perlahan, disambut hembusan angin malam yang lembut dan aroma segar dari taman bunga di halaman depan.Alvaro turun lebih dulu, menggendong Zolin yang masih terlelap di pundaknya, sementara Amora menyusul dengan langkah pelan, mengayun pelukan hangat untuk Emran yang telah kembali tertidur nyenyak.Suasana rumah terasa damai. Hangat. Seolah menyambut mereka pulang dari sebuah perjalanan kecil yang sarat makna.Setelah menidurkan Zolin di ranjangnya dan meletakkan Emran ke dalam boks bayi, mereka keluar dari kamar dengan langkah ringan, menjaga keheningan demi dua malaikat kecil itu.Di ruang keluarga yang remang dan hanya disinari lampu temaram di dinding, mereka saling berpandangan dalam diam.Tak ada kata.Hanya tatap penuh rasa.Amora menunduk, memainkan ujung lengan bajunya, seolah menyibukkan diri dari kebingungan harus bicara apa.Sementara Alvaro bersandar di dinding, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, mencoba tampak santai... padahal detak jantungny
Pelan-pelan, senyuman muncul di wajah Amora. Tapi bukan senyum biasa. Itu senyum yang tercipta dari rasa haru, dari luka yang perlahan sembuh, dari hati yang mulai percaya bahwa kebahagiaan bisa datang kembali.Namun Amora dengan cepat menggelengkan kepalanya. Ia harus kembali sadar diri dan mengingat statusnya.Zolin mungkin memang menginginkannya menjadi seorang Mommy, tapi tidak demikian dengan Alvaro.Lagipula, setelah pernikahannya yang tak pernah jelas dengan Randy, Amora tak ubahnya seperti wanita yang buruk di mata masyarakat. Ia memiliki seorang anak, tapi tak pernah terlihat bersama suaminya. Mengaku pernah menikah, tapi tanpa satu pun bukti yang bisa menguatkan. Bahkan surat cerai atau pernyataan talak pun tak ia miliki.Di mata orang-orang, ia hanyalah perempuan dengan masa lalu kelam. Dan anak yang ia lahirkan… seringkali dipandang sebagai anak tanpa status yang sah. Anak yang dianggap lahir di luar ikatan resmi, layaknya anak haram.Ia mengusap ujung matanya yang berembu
Amora sedang sibuk di dalam vila, merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang. Sementara itu, Alvaro duduk di tepi pantai sambil menikmati matahari terbenam. Sinar matahari senja menyapu permukaan laut, memantulkan warna keemasan yang menenangkan. Di pangkuannya, Emran tertawa-tawa kecil sambil mengoceh, kedua tangannya menepuk-nepuk dada Alvaro dengan ceria.Tak jauh dari sana, Zolin tengah asyik membuat istana pasir. Gaunnya sedikit kotor, namun wajahnya penuh semangat.Liburan seperti ini sudah lama menjadi impian Zolin. Dulu, ia hanya bisa membayangkan bisa berjalan-jalan ke pantai sambil menggenggam tangan Daddy dan neneknya. Namun siapa sangka, hari ini mimpi itu menjadi kenyataan, bahkan jauh lebih indah dari yang pernah ia bayangkan. Ia tidak hanya berlibur bersama Daddy, tetapi juga bersama wanita yang sangat ia sayangi, Mommy Amora. Wanita yang kini selalu ada untuknya, menyisir rambutnya setiap pagi, dan mencium keningnya setiap malam sebelum tidur.Bonus paling manis