Rahee dulu memiliki kehidupan yang baik. Keluarga utuh dan secara ekonomi pun berkecukupan. Hingga kecelakaan mobil dengan tragis menewaskan ibu, ayah, juga kakak satu-satunya. Seluruh anggota keluarganya direnggut paksa saat usainya baru beranjak 15 tahun. Tepat di hari pemakaman, ada pelayat yang tersisa, yaitu seorang wanita dan anak kecil. Anak lelaki itu berkisar tiga tahun, asyik menggambar menggunakan crayon warna.
"Apa kau Angelia Rahee? Kau anak bungsu dari Mas Hendra, kan?"
"Iya, anda benar. Kalau boleh tahu kenapa anda bertanya?"
"Aku dan ayahmu adalah rekan kerja. Kami... menjalin hubungan secara diam-diam. Bukti cinta kami adalah anak ini, Angelo Bimo," wanita itu menyodorkan anak lelaki tadi, lalu tersenyum masam. Lain halnya dengan Rahee yang tak dapat berkutik. Rahee merasakan pengkhianatan besar yang diciptakan oleh sang ayah. "Tapi Mas Hendra sudah tiada, dan aku tidak sanggup membiayai pengobatan Bimo lagi. Aku titip dia padamu, jika kau menolak, kau bisa menelantarkannya di jalan."
"Ibu! Jangan tinggalkan aku!"
Selanjutnya, Rahee menyaksikan bagaimana sang anak ingin ikut pergi bersama wanita yang bahkan tak pantas disebut sebagai ibu. Tubuh kecil Bimo dipukul berulang kali. Rahee terenyak di tempat. Dia berniat berlari menyusul selingkuhan ayahnya, lantaran dia pun engga menerima lemparan tanggungjawab sebesar ini. Ya, seharusnya Rahee memikirkan bagaimana kehidupannya akan berlanjut usai menjadi yatim piatu, tapi dia dengan mudahnya mengasihani nasib anak ini terlebih dahulu.
Tidak diinginkan oleh ibu sendiri.
Dicampakkan.
Telantarkan saja di jalan.
Sungguh keji.
Dengan ragu ditepuklah pelan punggung mungil tersebut. Bimo mendongak dengan wajah penuh air mata. Rahee melihat ada dirinya pada Bimo. Kondisi mereka serupa; sendirian dan tanpa tujuan.
"Tak apa. Ada aku. Ada... kakak di sini."
"Kakak?" ujar Bimo, mengulangi perkataan Rahee.
Ada senyum yang terukir di wajah Rahee. Hatinya pun seketika menghangat. Semula terlintas pemikiran untuk menyusul anggota keluarganya, sekarang tidak lagi. Dia masih memiliki adik.
"Ya, aku adalah kakakmu," jawab Rahee sambil menghapus tangisan di pipi tembam Bimo. "Siapa yang kau gambar?"
Jemari Bimo melepaskan kertas yang sedari tadi dia genggam erat. Wajah nanarnya bertutur, "Ibuku."
"Mulai sekarang kau gambar aku saja. Oke?"
"Kak, kenapa melamun? Aku mau disuapi lagi."
Ucapan Bimo menjadikan Rahee tersadar dari ingatan masa lalu. Yang barusan bicara adalah Bimo dengan usia 10 tahun, bukan lagi 3 tahun. Waktu berlalu cepat. Walau keadaan mengenai kesehatan Bimo tidak berubah banyak, Rahee tetap bangga karena adiknya mampu bertahan dengan luar biasa. Pun Rahee mengambil satu sendok tofu dan nasi, menyuapi Bimo yang asyik bermain ponsel.
"Bukankah kau bilang hanya anak-anak yang disuapi?" Rahee mengingatkan.
"Aku juga tidak suka disuapi, tapi aku sedang sibuk bermain," jawabnya cengengesan.
Kali ini Rahee diam-diam menaruh tumis kacang polong di bawah nasi, kemudian menjejalkannya ke mulut Bimo. Adiknya benci sayuran dan Rahee harus punya jurus jitu. Detik berikutnya Bimo langsung mendelik kesal.
"Jangan protes. Kau harus makan sayuran agar cepat sembuh," ujar Rahee.
"Huh, kau kakak yang pemaksa."
Paman Dio dan Bibi Miran tertawa. Mereka sedang menikmati buah jeruk yang dibawa oleh Rahee, sambil sesekali bercanda dengan Bimo yang masih cemberut.
Begitulah sampai waktu istirahat makan siang berakhir, Rahee pun bergegas guna kembali bekerja. Bibi Miran dan Paman Dio sering mengatakan agar Rahee tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Bimo. Mereka akan menjaga Bimo sebaik mungkin. Rahee sungguh berhutang banyak pada mereka. Terlepas dari kejadian di Black Diamond dua hari lalu, untungnya kewarasan Rahee masih tersisa. Selain memiliki Bimo, Rahee beruntung bisa mengenal Bibi Miran dan Paman Dio yang sudah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri.
-----
"Apakah seseorang memesan seluruh tempat di kafe kita?" tanya Rahee, berbisik. Pasalnya hari ini dia terlambat, lalu menemukan buket bunga sudah berjejer di depan kafe. Bagian dapur juga sedang bersiap untuk memasak menu khusus.
Mina mengangguk, "Iya, tamu kita akan melamar kekasihnya di atap gedung kafe. Cctv juga diminta dimatikan agar lebih privat. Romantis sekali bukan?"
Rahee pun mengambil sebuah kotak sebagai pelengkap dekorasi. Naik ke atap, dia dan Mina mulai menata meja secantik mungkin, lain halnya dengan Johnny yang sibuk meniup balon.
"Hei Mina, cepat bantu aku sini! Mulutku kram," keluh Johnny.
"Itu tugasmu," Mina menjulurkan lidah, mengejek. "Tugasku adalah menata bunga-bunga ini. Astaga, mereka semua cantik persis aku."
"Sebentar lagi mereka akan layu karena terkena sentuhan gadis licik seperti kau."
"Apa kau bilang?! Aku licik?!"
Mereka lagi-lagi beradu mulut, hingga Mina mengejar Johnny untuk melampiaskan pukulannya. Rahee hanya tersenyum atas keributan keduanya. Tidak lama manajer mereka muncul seiring memberi pengumuman bahwa pegawai yang menemani tamu malam ini adalah Rahee. Memang demikian konsep kafe mereka, agar pelayanan tetap berjalan maka satu pegawai tetap wajib mendampingi.
Satu jam berselang, semua persiapan rampung. Rahee seorang diri di atap gedung seraya memilih lagu-lagu romantis, kemudian berkeliling sekali lagi sekedar memastikan keadaan sempurna, termasuk penampilannya. Perasaannya yang kacau-balau tidak membenarkan kalau dia dapat terlihat menyedihkan. Rahee tak mau nama kafe tempatnya bekerja menjadi tercoreng.
Begitu pintu terbuka, Rahee langsung menunduk sopan. Indra pendengarannya menangkap dua orang berjalan mendekat. Begitu Rahee mengangkat kepala, senyum manisnya perlahan hilang.
Ada Sean di sini.
"Wow, pemandangannya lumayan juga," Sean melemparkan topinya kepada Aditya, sebelum duduk di tempat yang telah Rahee hias secantik mungkin. Tahu Rahee bersiap pergi, Sean pun terlebih dahulu berucap, "Aditya, hubungi manajer cafe ini. Katakan padanya bahwa ada pegawai mereka yang tidak becus bekerja."
Mau tidak mau Rahee mengendurkan egonya. Perlahan dia berjalan dan berdiri tepat di samping Aditya. Kejadian malam itu masih membekas hebat, lalu sekarang apa? Kenapa dia harus dipertemukan dengan Sean lagi?
"Angelia Rahee, duduk di depanku," pinta Sean dengan suara penuh intimidasi, sehingga Rahee akhirnya patuh. "Apa kau tahu kesalahanmu? Ya, kau membohongiku, wanita murahan."
"Aku bukan wanita murahan," sanggah Rahee dengan suara bergetar.
Sean tertawa. Tawa yang betulan mengejek, "Aku membayar 200 juta untuk menidurimu. Kalau bukan wanita murahan, lalu aku harus memanggilmu apa?"
"Seseorang menjebakku. Aku bahkan tidak tahu bahwa Black Diamond adalah tempat prostitusi," Rahee terus memberikan penjelasan atas informasi yang dia dapat dari Jeno, lantaran hingga hari ini Lia masih sulit dihubungi. Lia seperti sengaja menghindarinya.
"Apapun argumenmu, itu tidak menghentikanku untuk mengajukan tuntutan ke pihak Black Diamond. Kau bukan artis dari agensi manapun. Kau menipuku."
"Lalu kenapa jika aku bukan artis dan hanya orang biasa? Apa itu merugikanmu? Kau sudah melecehkanku. Seharusnya kau---"
Sean membungkam bibir milik Rahee secepat kilat. Entah kapan Sean beranjak dari kursinya untuk langsung memagut bibir ranum itu. Posisi Sean jelas menguntungkan. Dia dapat dengan mudah merengkuh Rahee yang coba melawan. Bahkan ketika Rahee meraih sebuah pisau steak dari atas meja, Sean langsung menepisnya dan balas mencekik leher mulus Rahee. Oh, tidak mulus sebenarnya. Tanda kepemilikan ciptaan Sean masih membekas banyak di sana.
Dapat terdengar Aditya turun dari atap gedung.
Kini jemari Sean tanpa permisi menarik paksa rok Rahee. Tangannya yang menganggur melucuti kancing kemeja itu satu per satu. "Apa kau bilang? Aku melecehkanmu? Kau sungguh pembohong yang payah. Kau basah, sayang."
"H-hentikan, Sean."
Sean tersenyum miring. Ini adalah pertama kalinya Rahee memanggil namanya dan baginya terdengar sangat seksi. Apapun yang keluar dari bibir Rahee selalu menggairahkan. Berikutnya Sean menyingkirkan semua hidangan di atas meja, kemudian memaksa gadis yang sudah setengah telanjang itu agar berbaring. Air mata Rahee terus mengalir seraya memukul bahu tegap Sean.
"Bibirmu boleh saja menolak, tapi tubuhmu tidak. Kau bahkan mendapatkan pelepasanmu."
Setelahnya Sean meregangkan cengkramannya dan Rahee berhasil bangun. Dia membenahi pakaiannya sekalipun kedua tangannya bergetar hebat. Rahee gagal mengancingkan kemejanya, membuat Sean berinisiatif mengambil alih.
"Mulai besok kau resmi berhenti bekerja. Aku sudah mendapatkan persetujuan dari atasanmu di mini market dan kafe," ujar Sean seraya membawa ibu jari Rahee pada selembar kertas. Cap dokumen. Di sana tertera jika Rahee akan 'bekerja' kepada Sean sebagai wanita pemuas hasratnya. Tentu, klausula yang tercantum berpihak kepada Sean Ivano seorang.
Sadar membubuhkan cap tanpa kehendaknya, Rahee lantas mengerjap, "Apa yang kau lakukan?"
"Membuatmu jadi milikku."
Praktis Rahee tidak terima. Sudah cukup Sean melecehkannya kemarin dan hari ini. Rahee tak sanggup menerima perlakuan semacam ini lagi, "Kau melakukan persetujuan secara sepihak! Bahkan sejak awal aku sudah menolak kontrak itu!"
Raut wajah Sean memerah, benci bahwa Rahee kembali memberontak. Pun ditekanlah kedua pipi Rahee oleh tangan besarnya sampai gadis tersebut meringis kesakitan, "Jangan berbicara padaku dengan nada suara tinggi. Jangan melawanku. Mulai sekarang aku adalah tuanmu."
"Tidak, aku tidak sudi!" lagi, Rahee berkoar marah.
"Jika kau tidak mau, maka aku akan mencelakai adikmu. Aku bisa membunuhnya dengan mudah."
Butuh beberapa detik bagi Rahee untuk mencerna kalimat Sean. Rahee melemparkan pandangan tajam seiring air matanya yang kembali jatuh. Emosinya berada di ubun-ubun, namun semua itu harus tertahan. Bimo yang Sean gunakan sebagai ancaman merupakan alasannya tak dapat berbuat semena-mena. Rahee sadar bahwa Sean bukan pria biasa. Pria itu adalah iblis yang entah darimana tahu segala hal mengenai kehidupannya.
"Kau memang iblis," umpat Rahee. Hanya itu bentuk lampiasan yang dapat dirinya suarakan.
Sean terkekeh tanpa rasa berdosa, "Besok Aditya akan menjemputmu. Mulai sekarang kau akan tinggal bersamaku."
Tinggal bersama?
Langkah Sean terhenti dan pria itu berbalik pada Rahee yang masih mematung, "Ah, aku sudah memindahkan adikmu ke kamar VIP. Aku pastikan adikmu akan ditangani oleh dokter hebat. Jadi, hilangkan pemikiran bahwa kau bisa kabur dariku."
"Minggu depan HEXID akan memulai tur Asia. Kau harus ikut bersama kami selama satu bulan penuh."Perkataan Aditya berhasil membuat Rahee yang sedang minum tersedak. Kerongkongannya kering sejak manajer dari Sean datang menjemput. Dan sekarang mereka sudah tiba disebuah rumah mewah. Rumah mewah milik Sean lebih tepatnya."Jika aku ikut, bagaimana dengan adikku?"Aditya memijat kepalanya, paham. Kemarin saat dia memindahkan Bimo ke kamar VIP, dia tahu bahwa adik dari Rahee memang sedang sakit parah. Namun Aditya harus membuat Rahee bersedia ikut tur Asia. Akan melelahkan jika dia mencari gadis berbeda di setiap negara sebagai teman tidur Sean. Oh, barusan memang terdengar sangat egois, tapi sejak kehadiran Rahee, Aditya bisa sedikit bernafas lantaran Sean hanya terpaku pada gadis ini saj
Dengan langkah panik Rahee berlari menuju lantai kamar inap Bimo. Pikirannya benar-benar berantakan. Bahkan dia hanya menangis selama perjalanan dari gedung agensi Sean hingga tiba di rumah sakit. Sementara Sean masih coba terus menghubunginya, namun Rahee lebih memilih mematikan ponselnya. Dia tak punya cukup tenaga untuk meladeni amarah pria itu.Pun di depan kamar Bimo, Rahee menemukan Bibi Miran dan Paman Dio. Keduanya terduduk di kursi sambil terlihat berdoa."Bibi Miran, bagaimana kondisi Bimo?""Perawat bilang Bimo sempat kejang. Kita harus menunggu di sini karena dokter masih berada di dalam," jawaban Bibi Miran membuat Rahee kembali terisak. Dadanya sesak memikirkan bahwa Bimo harus mengalami rasa sakit yang seakan tak pernah berakhir. Adiknya masih terlalu kecil. Kenapa bukan
"Apa ini?! Kau sinting?!" teriak Sean usai membaca sekilas kertas pemberian Rahee.Di sana Rahee menuliskan syarat-syaratnya sendiri, semacam hal kontra terhadap kontrak yang Sean buat secara sepihak. Dimulai dari dilarang mencampuri kehidupan pribadi masing-masing, batasan seks mereka, hingga tertera jumlah uang yang Rahee inginkan. Apabila mustahil lepas dari Sean, maka dia akan masuk dalam lingkar permainan itu. Rahee akan buktikan bahwa dia bisa sama gilanya dengan seorang Sean Ivano.Salah satu alasan Rahee berani menunjukan taringnya adalah karena kejadian kemarin. Selepas mereka berciuman di depan Bayu, Sean langsung membawanya pergi. Dan begitu tiba di rumah, Sean menyetubuhi Rahee secara menggila. Jadi, Rahee putuskan membangun tameng agar kewarasannya tetap terjaga."Kau bisa baca juga bahwa aku ingin kau melakukan test kesehatan. Siapa yang tahu mungkin kau memiliki penyakit kelamin," ejek Rahee diiring tertawa getir.Diremaslah kertas te
Pandangan Sean terkunci pada Rahee. Kelopak mata Rahee terpejam dengan tali infus yang terpasangan pada bagian lengan kiri. Usai menemui Hera di rumah sakit jiwa, Sean pulang dan menemukan gadis tersebut pingsan. Kondisinya masih sama, kedua tangan kurus Rahee masih terikat pada sisi ranjang, dan juga mulut kecil itu masih tersumpal oleh celana dalam.Sean merasa bersalah."Dia dehidarasi, dan kewanitaannya agak lecet," tutur seorang dokter wanita, lalu menuliskan resep obat. "Kau tidak perlu khawatir, Sean. Paling lambat dia akan sadar malam nanti."Sayangnya hanya sepersekian detik perasaan bersalah itu hadir. Pandangannya yang semula lunak kembali mengeras. Khawatir? Tidak, seorang Sean Ivano tak pernah menunjukan sisi khawatir selain kepada Hera. Terlebih lagi Rahee hanya wanita murahan."Khawatir? Tidak sama sekali," ketus Sean, memutarkan bola matanya. Beranjak dari posisinya yang semula berdiri di p
Tiga hari berlalu. Keadaan tidak berubah lebih baik, justru semakin buruk. Sean melarangnya pergi dari rumah mewah miliknya. Rahee sudah coba buat penawaran, termasuk membatalkan semua hal kontra yang sempat membuat Sean marah besar. Asalkan dia tetap bisa bertemu Bimo, akan dirinya lakukan. "Bimo hanya memilik aku. Aku mohon, biarkan aku menemui adikku," pinta Rahee saat Sean baru selesai berlari di atas treadmil. Sambil menyeka keringatnya, Sean minum air mineral dengan mengacuhkan Rahee. Jujur saja, Sean tak suka saat Rahee bertelepon ria dengan seorang pria di malam itu. Sekalipun hanya teman dari almarhum kakaknya Rahee, Sean tetap saja benci. Apalagi dia juga cukup muak dengan dokter bernama Bayu Sasono. Kentara sekali bahwa dokter sialan itu menyukai Rahee. "Sean... aku mohon dengan sangat," kini suara Rahee kian melemah. "Aku sudah memberikan perawat
Diam-diam Bimo keluar dari kamar. Tanpa menggunakan jaket ataupun alas kaki, anak berusia 10 tahun tersebut dengan tertatih berusaha tak membuat suara sedikit pun. Pasalnya Rahee tengah terlelap, dan dia tak mau kakaknya sampai terbangun. Kasihan. Biarkan Rahee bermimpi indah walaupun hanya sebatas bunga tidur. Karena kenyataannya, dirinyalah penyebab Rahee menjadi kesusahan. Bimo adalah mimpi buruk Rahee.Para dokter dan perawat tidak sadar dengan keberadaannya. Bimo bersembunyi setiap kali mereka berada di koridor. Hingga Bimo akhirnya berhasil menaiki atap rumah sakit tanpa diketahui oleh siapa-siapa.Angin malam berhembus kencang disertai rintik hujan. Langkah kecil Bimo sampai pada ujung atap. Keramaian Kota Jakarta sangat pengap, sekalipun sudah larut kota ini selalu terjaga. Oh, kenapa kota ini tidak mati saja? Bukankah keadaan nantinya akan jauh lebih damai? Ya, sama dengan dirinya. Jika dirinya mati, pasti hidup Rahee menjadi tent
Mobil Sean melaju tanpa arah. Usai memukuli Bayu sekaligus terkena tamparan Rahee, Sean persis merasakan sesuatu yang aneh. Sejak kapan Sean Ivano yang notabenenya adalah pria egois bisa peduli terhadap Rahee? Bukan urusan Sean jika Rahee tahu Bimo berniat bunuh diri. Dulu hanya Heredit Hera yang dapat meluluhkan rasa simpatinya. Lalu kenapa sekarang Rahee masuk ke dalam salah satu orang yang mampu mengusik sisi tersebut?"Brengsek! Brengsek!" maki Sean sambil memukul setir mobil.Dia berhenti di bahu jalan, lalu meneguk kaleng birnya. Selagi mencari jawaban dari hal yang mengganggunya, nama Aditya sang manajer muncul di layar ponsel."Sean! Apa-apaan ini?! Kau memukuli anak direktur rumah sakit?!" teriakan Aditya langsung terdengar."Siapa maksudmu?""Dokter Bayu Sasono. Ada artikel di internet yang memuat berita demikian, bahkan wajah Rahee yang diblurkan juga ikut terpampang," Aditya be
"Angkat dagumu lebih tinggi," ujar Sean sembari menarik ujung kuas di atas kanvas. Jemarinya berlari cekatan untuk membuat siluet terbaik. Ya, Sean sedang melukis sosok Rahee yang terlihat kikuk. Bagaimana tidak, gadis berwajah mungil itu hanya mengenakan selimut putih tipis dan berdiri di balkon kamar yang langsung menghadap ke kolam renang. Sementara Sean duduk disebuah kursi dengan posisi menyilangkan kaki, nampak fokus. "Sudah kubilang sembunyikan rambutmu di belakang telinga."Dahi Rahee mengernyit. Kapan Sean bilang demikian?Pria berpostur 185 cm ini bangkit, lalu menyentak tangan Rahee yang berupaya merapihkan rambut. Dirapihkanlah helaian anak rambut yang membuat pandangan Sean terganggu. Rahee pikir cukup sampai disitu, ternyata Sean mendekatkan wajahnya untuk memberikan kecupan singkat, "Kau memang bodoh dalam mematuhi perintahku."Segera Rahee usap bibirnya menggunakan punggung tangan. Bibir mereka tadi bertemu