Share

7. Si Mantan Kekasih

Dengan langkah panik Rahee berlari menuju lantai kamar inap Bimo. Pikirannya benar-benar berantakan. Bahkan dia hanya menangis selama perjalanan dari gedung agensi Sean hingga tiba di rumah sakit. Sementara Sean masih coba terus menghubunginya, namun Rahee lebih memilih mematikan ponselnya. Dia tak punya cukup tenaga untuk meladeni amarah pria itu.

Pun di depan kamar Bimo, Rahee menemukan Bibi Miran dan Paman Dio. Keduanya terduduk di kursi sambil terlihat berdoa.

"Bibi Miran, bagaimana kondisi Bimo?"

"Perawat bilang Bimo sempat kejang. Kita harus menunggu di sini karena dokter masih berada di dalam," jawaban Bibi Miran membuat Rahee kembali terisak. Dadanya sesak memikirkan bahwa Bimo harus mengalami rasa sakit yang seakan tak pernah berakhir. Adiknya masih terlalu kecil. Kenapa bukan dia saja yang menanggung penyakit mengerikan itu?

"Apa Bimo akan baik-baik saja, bi?" tanya Rahee dengan gamang.

"Kau bicara apa, sayang? Bimo adalah anak yang kuat untuk seusianya. Sangat kuat. Kau tidak perlu khawatir."

Rahee mengangguk keras-keras, berusaha menghilangkan pemikiran buruk. Benar apa yang Sean ucapkan jika dirinya memang memiliki terlalu banyak ketakutan. Tapi, Sean tahu apa? Rahee trauma usai kehilangan ayah, ibu, serta kakaknya. Dia tak mau hal yang sama kembali terjadi.

"Tenangkan dirimu, nak. Lebih baik kita berdoa untuk Bimo," pinta Paman Dio.

Selang beberapa waktu pintu kamar Bimo terbuka. Seorang dokter pria muncul bersama dua orang perawat di belakangnya.

"Dok, bagaimana keadaan adik saya?" Rahee setengah berlari, menghampiri.

Dokter tersebut melepaskan stetoskop yang melingkar di lehernya, lalu memasukannya ke dalam saku jas putih khas dokter. Entah karena alasan apa, dipandangilah Rahee selama beberapa detik, barulah dia bicara, "Bimo sudah melewati masa kritisnya. Sekarang kondisinya sudah normal dan dia baru saja tertidur."

Rahee menghela nafas lega hingga kedua kakinya lemas. Beruntung, dokter di hadapan Rahee sigap menahan tubuh kurus itu agar tidak ambruk.

"Terima kasih," ujar Rahee, lalu dia memeluk Bibi Miran dan Paman Dio erat. Berikutnya Rahee kembali melayangkan pertanyaan untuk menjawab rasa penasarannya, "Apa yang sebenarnya terjadi, dok? Kenapa kondisi Bimo bisa tiba-tiba memburuk?"

"Bimo sempat mengalami kejang dan kondisinya memang menurun sejak dua jam lalu. Sebaiknya Bimo melakukan kemoterapi lagi minggu ini."

Rahee menelan ludah. Tidak, dia belum siap. Maksudnya, dia belum mengumpulkan cukup banyak uang. Bimo sebelumnya sudah melakukan tiga kali kemoterapi dan saat itu Rahee masih memiliki tabungan. Namun untuk sekarang sudah tak bersisa.

"Apa harus minggu ini?" tanya Rahee balik.

"Ya, lebih cepat lebih baik. Jika ditunda, dikahwatirkan apa yang terjadi hari ini akan terulang."

Rahee lebih dari sekedar tahu, tapi bagaimana bisa dia akan membayar di saat dia sudah kehilangan semua pekerjaannya?

"Baik, terima kasih," kata Rahee.

Dokter mengatakan bahwa hanya satu orang yang dapat menemui Bimo. Pun Rahee masuk ke dalam kamar Bimo, sementara Bibi Miran dan Paman Dio kembali ke kamar mereka setelah diperingatkan oleh dokter untuk tidak banyak bergerak. Begitu membuka pintu, Rahee menemukan adiknya sedang tertidur pulas. Diletakkanlah tas beserta high heelsnya yang sedari tadi dia tenteng. Ya, Rahee sekalut itu sampai-sampai dia melepaskan alas kakinya.

Tanpa membuat suara, Rahee duduk di kursi dekat ranjang, kemudian memerhatikan lekat Bimo. Rambut adiknya sudah cukup tipis dan nyaris habis. Jika Bimo kembali melakukan kemoterapi, bukan suatu hal yang mustahil adiknya akan kehilangan seluruh rambutnya. Namun lebih dari itu, darimana Rahee bisa mencari uang dalam waktu singkat?

Tiba-tiba dia kembali teringat Sean.

Apakah Rahee harus meminta uang dari Sean karena dirinya terlanjur mencap kontrak sialan itu?

Oh, Rahee pasti sudah gila!

"Kak?" panggil Bimo lemah.

Rahee mengerjap lantaran adiknya terbangun, "Bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit? Mau aku panggilkan dokter?"

Bimo menggeleng pelan terhadap pertanyaan beruntun itu, "Kenapa kau di sini? Tidak bekerja?"

"Kau senang sekali memperingatkanku untuk bekerja. Aku di sini karena merindukanmu tentu saja," ujar Rahee, mengusap pipi sang adik. Anehnya tidak ada pemberontakan seperti biasa. Padahal Bimo paling sebal jika diperlakukan sebagai anak kecil.

"Kak?"

"Apa? Kau membuatku takut karena kau terus memanggilku demikian," ya, panggilan kakak dari Bimo hanya berlaku apabila adiknya menginginkan sesuatu ataupun karena sudah melakukan kesalahan.

"Apa aku boleh pindah ke kamar sebelumnya? Aku rindu Bibi Miran dan Paman Dio."

Kedua alis Rahee naik, "Bukankah kau menyukai kamar ini?"

"Di sini terlalu besar dan... sepi."

Padahal Bimo suka kamar VIP ini. Namun di sisi lain dia tahu diri. Untuk membiayai pengobatannya saja Rahee sudah harus jungkir balik, apalagi ditambah kamar mewah ini yang sebenarnya tidaklah penting. Ibu kandungnya bahkan tega membuangnya, lalu kenapa Rahee mau berkorban sedemikian keras hanya demi seorang adik tiri? Mungkin Rahee tidak menyangka kalau Bimo masih ingat hari dimana ibunya pergi ketika dirinya masih berusia 3 tahun. Kenangan buruk itu selalu ada di alam bawah sadar Bimo.

"Kau yakin? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

"Oh, sungguh. Untuk apa aku berbohong?" pekik Bimo, tanda adiknya yang menyebalkan sudah kembali. Setidaknya Rahee dapat sedikit tenang sekarang.

"Baiklah, nanti aku akan pikirkan lagi," balas Rahee. "Aku akan mengisi ulang botol air minummu dulu di lorong. Tunggu sebentar."

Rahee meraih botol minum di atas meja, kemudian meminjam sandal milik Bimo bergambar doraemon. Bagaimana ini, katanya ingin disebut dewasa tapi sandal pun masih bergambar kartun. Alhasil dia pun terkekeh pelan.

"Rahee? Kau Angelia Rahee, kan?"

Seorang pria berjas dokter menyapa tepat saat Rahee keluar dari kamar. Bukankah dia adalah dokter yang barusan menangani Bimo?

"Ya, saya Rahee. Wali dari Bimo. Ada apa, dok?" pria tersebut melepaskan masker medis yang dikenakannya, memamerkan senyuman manis lengkap dengan kedua lesung pipi. Tunggu, Rahee kenal siapa dia. "Bayu? Kau sungguh Bayu?"

Pria itu mengangguk antusias. "Senang bisa bertemu denganmu lagi, Rahee. Sejak tadi aku ingin menyapa, tapi waktunya kurang tepat. Bagaimana kabarmu?"

"Baik, Bayu. Eh, maaf, maksudku dok," Jawab Rahee mendadak kikuk. Entah harus dengan sebutan apa dia menyapa pria ini.

Bayu tertawa hingga lesung pipinya semakin terbentuk, "Cukup nama. Panggil aku Bayu saja seperti dulu."

"Ah, baiklah. Bayu..." gumam Rahee dengan pipi memerah.

"Apa kau sedang terburu-buru? Kalau tidak, bisakah kita berbincang sebentar?" gugup Bayu sembari menggaruk kepala bagian belakangnya.

"Tentu boleh. Aku sedang luang."

Mereka berdua akhirnya terduduk di kursi yang ada di depan kamar Bimo. Sekedar informasi, dokter tampan ini adalah Bayu Sasono, mantan kekasih Rahee. Saat itu Rahee baru masuk SMA, dan Bayu adalah kakak kelasnya. Selain populer karena ketampanannya, Bayu juga termasuk siswa akselerasi. Jadi, tidak mengherankan jika sekarang Bayu sudah menjadi dokter yang sukses.

"Bayu, selamat ya. Kau akhirnya berhasil menjadi dokter," ucap Rahee memecah keheningan.

Bayu melirik pada gadis di sampingnya, tersenyum. Sepersekian detik dia seperti kembali ke masa lalu. Mereka pernah berpacaran selama dua bulan. Itu memang waktu yang singkat, tapi tetap saja semua berkesan bagi Bayu, "Semua berkatmu, Rahee. Kau membantuku berada di titik ini."

Kepala Rahee bergerak miring, heran, "Aku? Bagaimana bisa?"

"Dulu setiap kali kita makan di kantin sekolah, kau bilang bahwa pria yang memakai jas dokter selalu terlihat keren. Ucapanmu menjadi inspirasiku."

"Tunggu, apa aku pernah bilang demikian?"

"Dulu kau penggemar Grey's Anatomy. Aku masih ingat sekali."

Astaga, Grey's Anatomy adalah serial televisi Amerika yang bercerita tentang kehidupan para dokter. Rahee sekedar mengikuti beberapa episode, lalu kenapa Bayu menganggap ucapan Rahee seolah-olah sangat penting? Padahal itu tak lebih dari celetukan anak kelas 1 SMA.

"Rahee?"

"Ya?"

Bayu seperti menimbang-nimbang apa yang hendak dikatakannya, "Aku baru tahu saat kuliah bahwa orang tua dan kakakmu meninggal karena kecelakaan. Kenapa kau tidak pernah memberitahuku? Apakah karena dulu kita sudah putus?"

Rahee memainkan jarinya. Tidak lama setelah hubungannya dan Bayu berakhir, kejadian memilukan itu terjadi. Dan Rahee memang sengaja tak memberitahu mantannya karena dia enggan membagi kesedihan. Biar Rahee saja yang merasakan pedih itu.

"Saat itu kau sedang persiapan masuk perguruan tinggi. Aku tidak mau menganggumu."

"Maaf, aku terlambat mendengarnya. Seharusnya aku ada di sana untuk menemanimu melalui masa sulit," Bayu menggenggam sekilas tangan Rahee, menyesal atas keterlambatannya. Pernah dia coba mencari keberadaan Rahee, tapi tak ada seorang pun yang tahu. Beberapa dari temen mereka sebatas bilang jika Rahee tidak berkuliah. Rahee pasti sudah melalui banyak hal untuk bisa bertahan sejauh ini.

"Kau tidak perlu meminta maaf atas takdirku."

Di mata Bayu, Rahee sungguh kuat. Bahkan gadis ini dapat dengan tegar membahas waktu-waktu kelamnya. Namun satu hal yang masih mengganjal. Bayu kenal anggota keluarga Rahee. Dia juga tahu bahwa mantan kekasihnya tidak memiliki adik.

"Siapa Bimo sebenarnya?"

"Dia penyelamat hidupku," jawab Rahee sambil tersenyum. Baiknya dia mengganti topik pembicaraan. Rahee tak mau tenggelam dalam rasa sedih berkepanjangan. "Aku sering ke rumah sakit ini untuk menemani Bimo. Tapi kenapa kita tidak pernah bertemu?"

"Aku baru pindah ke rumah sakit ini satu tahun terakhir. Dan aku lebih sering ditugaskan untuk bangsal VIP," jelas Bayu. "Andai kita bisa bertemu lebih cepat, pasti akan menyenangkan."

Lantas mereka berbicara lebih banyak lagi hingga bertukar kontak. Obrolan mereka sayangnya harus terhenti karena kehadiran seseorang.

Sean Ivano.

Entah kapan Sean datang dan menyaksikan bagaimana akrabnya Rahee bersama seorang pria. Bahkan ada tawa lepas, sesuatu hal yang mustahil gadis itu pertontonkan kepada Sean. Ditariklah secara paksa pergelangan tangan Rahee, membuat si pemilik lengan langsung meronta. Sekalipun Sean mamakai topi, Rahee dapat melihat wajah itu sudah merah padam.

"Hei, apa-apaan kau? Kau menyakitinya!" pekik Bayu, berusaha menyelamatkan Rahee.

Detik selanjutnya Sean memelintir tangan Bayu dan menjadikan dokter tersebut tersungkur di lantai, "Jangan coba ikut campur. Ini urusan kami."

"Rahee, kau kenal dia?" tanya Bayu sembari menyeka ujung bibirnya yang berdarah.

Sean berdecih sebelum tertawa meremehkan, "Angelia Rahee adalah kekasihku, brengsek. Bagaimana mungkin kami tidak saling mengenal?"

"Tidak ada pasangan kekasih yang seperti ini. Rahee, bicaralah. Apakah dia benar kekasihmu?"

Bayu berniat mengguncang pundak Rahee, tapi segera ditepis oleh Sean. Pasalnya Rahee terus saja tertunduk. Sean pun kian mencengkram keras pergelangan tangan Rahee, sebagai tanda gadis itu harus mau ambil peran.

"Apa kau mau aku menghabisi adikmu?" bisik Sean disertai senyum licik.

"Ya, dia kekasihku. Kami berpacaran," jawab Rahee segera.

Selanjutnya, hal memalukan terjadi. Sean meraih tengkuk Rahee, dan mencumbu bibir ranum itu dengan rakus. Perlahan Rahee merelakan harga dirinya yang semakin terkikis saat bibirnya lambat-laun ikut bergerak. Dia pun mulai meladeni ciuman Sean di depan Bayu Sasono, mantan kekasihnya yang diam melongo.

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status