Share

True - 4

"Adam Ditorejo?? Adam yang dimaksud adalah CEO dari Dedikasi Foundation?!" suara Aryo terdengar sangat kaget ketika Sheila mengenalkan pria yang sekarang nampak tenang meminum kopi hitamnya. Pria itu hanya tersenyum singkat dan memandang ke arah Aryo dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Bagaimana... Bagaimana.... kalian bisa saling mengenal?" tanya Aryo yang masih sangat penasaran.

"Itu.. cerita yang sudah amat lama, Mas." Sheila masih mencoba memahami keadaan yang mengagetkan pagi ini. Kedatangan Aryo dilanjutkan dengan kedatangan Adam. Bagaimana bisa dua pria itu muncul bersamaan pagi itu? Ditambah sebenarnya Sheila masih bingung untuk memulai menjelaskan bagaimana dirinya bisa mengenal Adam.

"Kisah lama yang mungkin perlu kamu ceritakan kepada pacarmu ini, She.." Adam berusaha untuk menggoda Sheila. Sheila tahu sekali Adam sengaja mengatakan kalimat itu untuk memancing keadaan. Ia tidak tahu apa, sebenarnya Sheila sedari tadi sedang kalang kabut untuk mencoba menenangkan keadaan. Suasana di meja makannya pagi itu benar - benar membuatnya frustasi.

Disisi lain, Adam sangat menikmati pemandangan wajah Sheila yang sedang kebingungan. Ia ingin terus menggodanya. Menggoda wanita yang beberapa saat lalu berhasil membuatnya cemburu.

"Kamu harus kasih tahu aku gimana kamu bisa kenal dengan orang penting seperti Pak Adam."

"Jangan panggil saya pak. Saya belum menikah, saya belum memiliki keluarga, dan saya rasa saya belum cukup tua untuk dipanggil dengan sebutan itu."

"Mohon maaf, saya hanya ingin menjaga kesopanan karena kita baru bertemu pagi ini. Saya tak nyaman langsung memanggil nama, walaupun Anda sudah lama mengenal Sheila."

Sekali lagi Sheila mengutuk Adam. Kenapa laki - laki itu terus saja memperburuk keadaan. Ia ingin sekali menyuruh Adam untuk angkat kaki dari rumahnya. Namun, hal itu tak mungkin ia lakukan karena akan mengundang banyak pertanyaan dari Aryo.

"She?" panggil Aryo lembut sambil menepuk pundaknya. Setiap gerakan Aryo ketika menyentuh Sheila tak lepas dari pandangan mata Adam.

"Ya?"

"Ceritanya gimana?" Aryo dengan sabar mencoba mengulangi pertanyaannya.

"Itu.. Nggak sengaja.. bantuin adeknya kecelakaan lalu.." Sheila masih mencoba merangkai kalimat agar tidak salah bicara. Namun, semakin ia mencoba untuk merangkai kata dengan baik, otaknya melawannya dan malah membuatnya terdengar seperti orang bodoh.

Adam tak sabar untuk bercerita, tanpa menunggu Sheila, ia melanjutkan ceritanya, "Monica Ditorejo adalah teman SMA Sheila. Ketika hari pertama masuk sekolah karena sebelumnya dia homeschooling, adik saya mengalami perampokan dan kecelakaan. Untungnya Sheila ada di TKP dan dia langsung menolongnya. Singkatnya ketika sampai di rumah sakit, adik saya kritis dan mengalami banyak pendarahan. Dokter butuh donor darah yang sama dengan adik saya, entah kebetulan atau apa, golongan darah Sheila sama dengan adik saya. Dan.. ya... Sheila mendonorkan darahnya untuk adik saya.."

"Sejak saat itu mereka bersahabat dan keluarga saya juga menganggap Sheila sebagai penyelamat. Bagaimana tidak, cucu perempuan satu - satunya Ditorejo bisa saja meninggal tapi dengan bantuan darah dari Sheila, ia berhasil hidup."

"Wait, jadi sahabat yang selalu telepon kamu yang namanya Monica itu adalah Monica Ditorejo??"

Sheila hanya bisa mengangguk.

"Wow.. Kenapa kamu nggak cerita She?"

Sheila menatap Aryo dengan tatapan tidak percaya, "Kenapa nggak cerita? Siapa yang setiap kali aku cerita tentang Monica yang selalu memotong dengan kalimat 'Jangan cerita tentang sahabat kamu, toh nggak ada hubungannya sama kita.' Bukannya Mas selalu mengatakan hal itu?"

"Yaa.. Aku nggak tahu kalo itu Monica Ditorejo."

"Kalo pun itu bukan Monica Ditorejo yang merupakan salah satu cucu dari keluarga konglomerat apa sikap Mas sama sahabatku akan tetap sama?" Entah kenapa Sheila sedikit naik darah ketika mendengar tanggapan dari Aryo.

"Nggak gitu maksudnya.. Tapi..."

Suara ponsel Aryo memotong ucapannya kepada Sheila. Aryo pun segera mengangkatnya setelah melihat sekilas di layar siapa orang yang meneleponnya dan meminta ijin untuk mengangkat telepon di luar. Sheila yang juga sekilas sempat melihat ke arah ponsel Aryo, menyadari bahwa nama yang meneleponnya terasa familiar. Dinda.

"Kenapa lo nggak pernah cerita soal ini ke pacar lo?" tanya Adam setelah Aryo beranjak pergi dari meja makan dan tinggal mereka berdua.

"Bukan urusan Abang.." Sheila mengatakan dengan nada tidak suka.

"Udah lama lo nggak manggil gue abang, semalam aja lo masih panggil gue dengan formal."

Sheila yang menyadari itu, buru - buru mengalihkan fokusnya dengan meminum air putih yang ada di hadapannya. Adam tersenyum puas. Sejak semalam ia sudah yakin bahwa dirinya masih memiliki efek untuk Sheila dan itu membuatnya merasa lega. Setidaknya Sheila tidak benar - benar melupakannya setelah lima tahun tidak pernah bertemu.

"Sayang, maaf aku harus pergi," ucap Aryo yang sudah kembali ke meja makan dan membereskan barangnya sekaligus mengambil jaket yang ada di kursi meja makan.

"Kok? Katanya Mas cuti?!" Sheila merasa tidak terima.

"Ada hal yang mesti aku urus. Maaf ya. Kalo urusannya udah selesai nanti aku usahakan untuk jemput kamu."

Sheila masih tidak terima. Namun, bagaimana lagi, Aryo tidak suka dengan perempuan yang merengek, sehingga Sheila harus menelan kejengkelannya pagi itu.

"Lain kali kita mengobrol lagi ya Adam. Senang bertemu dengan kamu. Saya permisi." pamit Aryo kepada Adam. Adam berdiri dan mengangguk dengan ramah ke arah Aryo. "Kamu nggak perlu nganter aku ke depan, temenin Adam saja." lanjutnya kepada Sheila. Sheila hanya bisa mengangguk pasrah.

"Jadi?" tanya Adam setelah terdengar suara mobil meninggalkan halaman depan. Sheila yang bingung maksud pertanyaan Adam hanya bisa menaikkan alisnya karena terlalu malas untuk mengeluarkan kata dari mulutnya.

"Hubungan harmonis yang kamu impikan itu udah kamu dapetin dari Aryo?"

"Aku punya hak untuk nggak jawab pertanyaan itu."

"Oke."

Kini giliran ponsel Adam yang mengeluarkan suara panggilan. Ia tersenyum dan langsung menerima telepon tersebut dan menekan tombol load speaker. Sheila hanya memperhatikan dalam diam.

Ia masih ingin memperbaiki moodnya setelah kepergian Aryo. Bagaimana telepon itu membuat Aryo pergi meninggalkannya. Se-urgent apa urusan sehingga ia tidak bisa menundanya? Apakah tidak bisa ditangani oleh orang lain? Apa harus Aryo yang harus menyelesaikannya? Pikiran - pikiran itu memenuhi kepalanya sekarang. Hatinya mengatakan ada hal yang tidak beres.

"Hi Mom, maaf aku nggak bisa sarapan di Rumah Utama. Pagi ini tiba - tiba ada agenda."

'Agenda apa? Kamu pulang dari Singapura, malah langsung check-in di hotel. Kamu lupa kamu punya orang tua?'

Sheila mengenal suara yang sedang menelepon Adam. Itu adalah Tante Jasmine, ibu dari Adam dan Monica.

"Sedang sarapan bersama Sheila." Adam memandang ke arah Sheila dan tersenyum. Sheila mengangkat kedua alisnya, terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Adam. Bisa - bisanya ia langsung mengatakan hal itu. Sheila yakin pasti Tante Jasmine juga tidak menyangka bagaimana Adam dan Sheila bisa sarapan bersama padahal lima tahun yang lalu, Sheila masih menolak mentah - mentah untuk bertemu dengan Adam.

'Sheila-nya Monica? Atau Sheila yang lain?'

"Ya, Sheila yang itu.."

Hening. Namun, beberapa detik berikutnya suara Tante Jolie kegirangan terdengar sehingga membuat Sheila refleks tersenyum.

'Sheilaa?! Sheilla dengar ini Tante!'

Adam pun mengarahkan ponsel pintarnya mendekat ke arah Sheila agar suara Sheila terdengar oleh ibunya.

"Hai, Tan. Ini Sheila.." sapa Sheila dengan ramah.

'Kamu beneran lagi sarapan sama Adam?'

"Iya Tan. Bang Adam tadi ke rumah."

'Rumah? Rumah kamu?!'

"Iya.. Kenapa Tan?"

'Akhirnyaaaaaaaaaaa! Kalian baikannnn! Doa tante akhirnya dikabulkan oleh Tuhan! Sheila udah nggak kesel sama Adam kan?'

Sheila terdiam. Kesal dengan Adam? Selama lima tahun ini, ia menghindari Adam bukan karena ia kesal dengan Adam. Penyebabnya adalah Sheila sendiri. Ia tak ingin menjalin hubungan dengan Adam.

Sheila merasakan Adam sedang menatapnya. Ia sedang menunggu jawaban apa yang akan ia ucapkan kepada ibunya.

"Bang Adam nggak pernah bikin kesel Sheila kok, Tan." Sheila mendengar suara tawa yang ditahan dari arah Adam duduk.

'Inget She, setiap hubungan itu ada masalah, tak terkecuali hubungan kamu sama Adam. Adam memang orang yang keras kepala, jadi kamu harus sabar sama dia.'

"Tan... Maksud aku.."

'Pokoknya siang ini, kalian berdua harus makan siang di Rumah Utama. Kakek pasti senang mendengar kabar kalian berbaikan. Tante tunggu. Dadahhhh..'

Sambungan telepon pun terputus. Adam menarik ponselnya dan memasukan kembali ke saku jas hitamnya. Sheila menggaruk keningnya yang tak gatal. Ia merasa kejadian pagi ini berubah dengan tempo yang sangat cepat. Otaknya bahkan tidak bisa mencerna dengan baik.

"Makan siang di rumah utama."

"Aku juga dengar, Bang."

"Jadi?"

"Aku hari ini dapet jadwal shift siang."

"Lalu?"

"Menurut kamu, aku punya alasan menolak?"

"Tidak."

Sheila menyipitkan matanya.

"Kenapa?"

"Apa aku harus pergi ke Rumah Utama?"

"Iya. Kamu harus pergi ke Rumah Utama sama aku."

"Haruskah?"

"Sheila.. Pergi sama aku yuk, jenguk kedua orang tua aku dan kakek. Kita sudah lama nggak jenguk mereka bareng - bareng.." ucap Adam sambil menyentuh ujung bibir Sheila.

Kalimat yang diucapkan Adam sekaligus tindakan Adam barusan membuat Sheila lupa bernafas karena terlalu kaget. Jantungnya tiba - tiba berdetak cepat, perutnya bergejolak aneh, dan juga hatinya berdesir. Ia tahu juga bahwa pipinya kini memerah.

"Maaf tadi ada remah roti," ucap Adam dengan santai.

***********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status