Libur musim panas sudah di depan mata. Alena sudah mengabari Papa dan Mama, tentang rencana kepulangannya bersama Alva. Tentu saja keluarganya sangat bahagia, mengingat Alena sudah hampir empat tahun tidak pulang ke Jogja. Ia ingat, ketika terakhir kali video call dengan keluarganya. Papa, Mama, dan Kak Evan, terlihat sangat bersemangat menunggu kedatangannya. Tapi Alena masih belum menyampaikan apapun tentang Alva, karena ia tak mau mendahului rencana Alva. Ia tidak tahu pasti, apa yang akan Alva bicarakan dengan orang tuanya. Memikirkannya saja sudah membuat wajahnya merona, dan jantungnya berdebar-debar.
Awal bulan Juli, tepatnya di hari Senin pagi, Alena dan Alva berangkat ke Jogja. Om Hanz mengantar mereka berdua ke Bandara Brandenburg International. Tante Clara juga ikut mengantar, tapi ia sepertinya tak bisa tenang sepanjang perjalanan. "Maaf ya Alena, Tante nggak bisa ikut... Kerjaan Hanz di rumah sakit nggak bisa ditinggal, Alma juga masih adJumat jam tujuh pagi, Alva menepati janjinya, untuk datang ke rumah Alena di Jogja. Ternyata ia tidak naik motor, melainkan menyewa sebuah mobil SUV."Biar nyaman, soalnya perjalanan lumayan jauh," kata Alva, waktu ditanya oleh Alena mengapa ia menyewa mobil. Alena bertambah penasaran, memangnya mereka mau ke mana?Alva mengemudikan mobil ke arah Wonosari, Gunung Kidul, dengan panduan peta GPS. Sekitar satu jam kemudian, mereka tiba di Goa Pindul. Alena sudah sering mendengar tempat wisata ini, tapi belum pernah mengunjunginya."Ah… Jadi kita mau ke gua?" tanya Alena, saat mereka tiba di depan gerbang masuk Goa Pindul."Kamu udah pernah ke sini?" Alva balik bertanya."Belum..." Alena menggeleng."Aku juga belum, aku pingin coba sesuatu yang seru," sambung Alva, sambil tersenyum memandang Alena.Mereka berganti pakaian dengan wetsuit di kamar ganti yang disediakan. Ternyata Alva mengajak mereka melakukan cave
Benar kata Alva. Sampai di rumah, Papa, Mama, dan Kak Evan, memang sudah menunggu. Wajah mereka begitu bahagia, ketika melihat Alena dan Alva tiba, apalagi ketika melihat cincin di tangan kiri Alena. Papa dan Mama langsung memeluk Alena. Kak Evan menyalami Alva, dan merangkul bahunya.Lalu, Papa mengajak mereka semua duduk di ruang tamu. Papa menanyakan kembali pada Alva, tentang rencana untuk acara lamaran besok. Mereka berbincang-bincang, sampai waktu makan malam tiba. Selesai makan malam, Alva pulang kembali ke Magelang, untuk menyiapkan semuanya.Mama mengajak Alena masuk ke kamarnya, untuk mencoba dress."Mama, ah... Masa nggak cerita sama Lena sih?" protes Alena. "Dari semuanya, cuma Lena yang nggak tahu apa apa..."Mama tertawa sambil membelai rambut Alena. "Tapi, rencana Alva emang luar biasa kan? Mama juga sampai kagum, dia udah nyiapin semua ini. Dua minggu sebelum kalian pulang, dia udah telpon Papa. Waktu dia mint
Liburan di Jogja terasa cepat sekali berlalu. Hari Kamis sore, Alena dan Alva sudah harus naik pesawat, kembali ke Berlin. Papa, Mama, dan Kak Evan mengantar mereka ke bandara. Kali ini, Alena tidak menangis lagi ketika berpisah dengan keluarganya, karena ia tahu, tak lama lagi, mereka akan bertemu di Berlin. Ya, saat pernikahan mereka bulan Januari nanti, Papa, Mama, dan Kak Evan akan datang ke Berlin. Bukan hanya mereka, tapi Opa, Oma, dan Om Andre juga.Penerbangan ke Berlin memakan waktu kurang lebih 22 jam, dengan hanya dua kali transit, yaitu di Jakarta dan Amsterdam. Di dalam pesawat, Alva menggenggam tangan Alena."Aku mau cerita...," kata Alva dengan suara pelan. "Hari Sabtu nanti, ada acara keluarga di Berlin. Buat rayakan pertunangan kita, sekaligus Onkel Hanz mau angkat aku jadi anaknya... Jadi, nanti kita berdua bisa manggil dia sebagai Papa..."Alena terperanjat mendengarnya. "Wah, Alva... Itu berita yang bagus banget...," seru Al
Satu hari menjelang sidang skripsi, Alena berangkat ke kampus, untuk memastikan semuanya sudah disiapkan. Ia berkoordinasi dengan bagian administrasi kampus untuk peminjaman ruangan. Ia juga menemui Professor Moretti sebagai dosen pembimbing pertama, Professor Becker sebagai dosen penguji, dan terakhir, Luis sebagai dosen pembimbing keduanya.Alena mengetuk pintu ruang kerja Luis."Masuk…," suara Luis terdengar dari dalam ruangan.Alena membuka pintu perlahan, dan melangkah masuk. Luis sedang mengetik di depan laptopnya, kacamatanya bertengger di atas hidungnya."Guten Tag, Herr Sanchez... Maaf mengganggu, saya cuma mau melapor, untuk sidang skripsi besok jam sepuluh pagi, semuanya sudah siap...," kata Alena secara formal, karena bagaimanapun juga, Luis tetap dosen yang harus dihormati di kampusnya.Luis memandang Alena, tatapan matanya sulit diartikan. "Tutup pintunya, Alena...," pinta Luis.Alena menutup pintu. Ia masih be
Hari Minggu berikutnya dihabiskan Alena untuk bersama Alva sehari penuh. Sebelumnya, Alva selalu sibuk di studio, karena sedang mengerjakan proyek album musik sebuah band asal Jerman. Tapi ia meluangkan waktu di hari Minggu, khusus untuk bersama Alena. Alva menjemput Alena di rumah Tante Jenna pagi-pagi, lalu mereka naik kereta ke distrik Lichtenberg, dan berolahraga di taman umum dekat apartemen. Setelah itu, mereka berbelanja di toko swalayan untuk memasak bersama.Sampai di apartemen, Alva tidak langsung mengajak Alena masuk, tapi ia menggandeng tangan Alena ke arah basement."Kita mau ke mana?" tanya Alena, ia mulai berpikir pasti ada yang mau ditunjukkan Alva.Alva tersenyum. "Aku pingin kamu lihat sesuatu..."Mereka tiba di tempat parkir basement yang luas. Alva menggandeng Alena berjalan ke arah deretan mobil yang diparkir, lalu berhenti di depan sebuah mobil SUV baru berwarna hitam, bermerek BMW. Ia membunyikan alarm mobil dengan kunci
Saat ini sudah bulan September, Berlin memasuki musim gugur. Dan Jill masih terus membahas Luis, tiap kali Alena bertemu dengannya di kampus. Sudah hampir tiga minggu, tak ada kabar tentang Luis. Alena juga bingung, apa yang bisa dia lakukan? Mungkinkah Luis pulang ke Madrid?Hari Jumat ini, jadwal kuliah Alena kosong, tapi dia mendapat telepon mendadak dari Izaak Jung, agensinya, bahwa ada pemotretan iklan Nivea. Alva masih sibuk dengan proyek barunya di studio, sehingga Alena memutuskan untuk berangkat sendiri."Minta diundur jadi besok Sabtu aja, Sayang... Aku janji anterin kamu besok. Kalau hari ini, aku nggak bisa, karena ada meeting juga," kata Alva, waktu Alena menelepon, memberitahunya tentang jadwal pemotretan itu."Nggak apa-apa, Alva... Aku bisa pergi sendiri kok, lagian aku kan udah biasa ke kantor Fischer and Partners," Alena meyakinkan Alva. "Aku janji, pasti kasih kabar...""Tapi, biasanya nggak pernah mendadak kayak gini..." Al
Alena merasa tubuhnya kaku. Ia membuka matanya perlahan. Di mana dia? Ia menatap langit-langit berwarna putih. Ada bau tajam obat dan pemutih kain yang bercampur jadi satu. Alena mencoba mengingat-ingat, lalu ia segera tersentak bangkit dari tidurnya.Ia ada di atas ranjang ambulance, semua serba putih di sekelilingnya. Bajunya sudah berganti dengan baju pasien berwarna putih, tapi ia masih memakai celana denim yang sama. Ia ingat, cardigan dan blousenya sudah dirobek oleh Luis.Terdengar suara sirene dan orang bercakap-cakap di luar. Ia berusaha turun dari ranjang, walaupun kepalanya masih terasa berdenyut, dan tubuhnya lemas.Alena membuka pintu belakang mobil ambulance itu. Petugas wanita, yang tadi menolongnya, sedang berdiri membelakangi pintu, dan langsung menoleh memandangnya."Jangan bangun dulu, Frau Paramitha... Anda sebaiknya berbaring saja," katanya dengan sopan, tapi tegas."Saya nggak apa-apa... Saya mau
Di rumah sakit, Alena diperiksa secara fisik oleh seorang dokter. Pipinya yang memar dikompres, dan diberi gel penghilang memar. Pergelangan tangannya lecet akibat diikat tambang, dokter memberinya salep untuk luka. Ia juga ditanyai beberapa pertanyaan, sebelum akhirnya dibawa ke seorang psikolog klinis, untuk memastikan jika ia tidak mengalami trauma. Psikolog itu mengajaknya bercerita mengenai kejadian yang baru saja dialaminya, dan memberikan konseling.Setelah kurang lebih satu jam menjalani konseling, Alena diantar kembali ke kamar perawatan, oleh seorang perawat. Alva sudah menunggu di kamar itu. Alena diminta berbaring di tempat tidur."Tapi aku udah nggak apa-apa, aku nggak mau tiduran terus...," Alena setengah memprotes, setelah perawat itu keluar dari kamar."Sayang, kamu tetap harus istirahat... Aku udah telpon Papa, Papa lagi ke sini. Aku udah bilang sama polisi, kamu baru bisa ditanyai, setelah diperiksa sama Papa...," kata Alva, sambil men