Devan mengabaikan peringatanku, wajahnya semakin dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan napasnya.
"Ratih, kamu berbeda," bisiknya. Tangannya yang lain kini merambat ke pinggulku, membuatku merasa bingung antara ingin menolak atau menyerah pada perasaan yang tiba-tiba membakar.
"Tuan, saya takut Nyonya," kataku, bisikku bergetar antara ketakutan dan keinginan.
Devan mengangguk, tangannya meremas pinggulku dengan lembut.
"Selamat malam, Ratih," bisiknya di telingaku, dan bibirnya sekilas mengecup pipiku sebelum ia meninggalkan kamar Prince.
Aku berdiri di sana, membeku sejenak, merasakan jejak ciumannya yang masih hangat di pipiku. Ada campuran emosi yang kuat, tak terduga, dan sulit diabaikan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah keluar dari kamar Prince.
Saat berjalan menuju kamarku, pikiranku terus dipenuhi oleh momen singkat namun penuh arti tadi. Ada sesuatu yang belum terselesaikan, sesuatu yang membuatku merasa bahwa ini bukan akhir dari cerita ini, melainkan awal dari sesuatu yang entah lebih rumit atau menggairahkan?
Malam itu, aku berbaring di tempat tidurku, memikirkan segala yang terjadi. Sentuhan Devan, bisikannya, dan ketegangan yang menggantung di udara—semuanya membuat hatiku berdebar kencang.
"Ssshhhhh..." aku mendengus pelan, merasakan cairanku meresap dan membasahi kain celana dalamku.
Aku bangkit dengan cepat dan segera mengunci kamarku rapat-rapat. Setelah memastikan pintu terkunci, aku mematikan lampu. Dalam posisi berdiri, kulepaskan semua kain yang menempel di tubuhku. Rasanya seperti melepaskan beban yang menahan setiap emosi yang berkecamuk di dalam diriku.
Aku berdiri tanpa busana di tengah kamar, merasakan dinginnya udara malam menyentuh kulitku. Tapi alih-alih mendinginkan, itu justru menambah sensasi yang menjalar di seluruh tubuhku. Aku memejamkan mata, membiarkan ingatanku kembali ke momen ketika Devan begitu dekat denganku.
Bayangan akan tangannya yang lembut menjelajahi tubuhku membuat tubuhku merinding. Aku membayangkan bibirnya yang hangat menelusuri setiap inci kulitku, menciptakan jejak-jejak gairah yang membara. Sentuhan fantasi ini begitu kuat hingga membuatku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan suara desahan yang hampir terlepas.
Aku meraba leherku, membayangkan itu adalah tangan Devan yang menyentuhku, mengelus lembut namun penuh gairah. Tanganku bergerak perlahan menelusuri tubuhku sendiri, merasakan sensasi yang semakin intens. Setiap sentuhan membuatku semakin tenggelam dalam fantasi tentang Devan.
Aku berbaring di ranjang, membuka lebar kakiku dan mengusap bagian diriku yang basah di antara pahaku. Sensasi itu begitu kuat, membuat seluruh tubuhku bergetar. Di dalam pikiranku, aku membayangkan Devan yang berada di sana, menyentuh setiap inci tubuhku dengan penuh kerinduan dan hasrat.
Nafasku semakin cepat, dan desahan kecil keluar dari bibirku. Tanganku bergerak lebih cepat, mengikuti irama fantasi yang semakin liar di kepalaku. Aku bisa merasakan kehangatan dan kelembutan yang membakar dari sentuhan imajinasi Devan, membuatku semakin terhanyut dalam gelombang kenikmatan yang tak bisa kutahan.
Bayangan Devan yang memperlakukanku dengan kelembutan dan intensitas yang sama seperti yang kurasakan dalam sentuhannya tadi, begitu nyata di benakku. Aku merasakan puncak kenikmatan yang mendekat, gelombang demi gelombang melanda tubuhku.
Dan saat akhirnya aku mencapai puncak, tubuhku menggeliat dalam kepuasan yang luar biasa. Aku terengah-engah, berusaha mengatur nafasku yang memburu. Perasaan itu begitu kuat, meninggalkan jejak yang dalam di hatiku.
Setelah beberapa saat, aku bangkit dan menarik selimut menutupi tubuhku yang polos. Perasaan bersalah kembali menyelimuti, tapi kali ini ada kelegaan yang tak bisa kuingkari. Aku tahu bahwa perasaan ini tidak akan mudah hilang, tapi malam itu aku membiarkan diriku merasakan semuanya tanpa penyesalan.
******
Esok harinya, aku mencoba menjalani rutinitas seperti biasa. Namun, ada tatapan yang berbeda dari Devan setiap kali mata kami bertemu. Seolah-olah dia tahu apa yang terjadi dalam pikiran dan tubuhku semalam. Ketegangan yang menggantung di udara semakin terasa, menciptakan percikan yang siap meledak kapan saja.
Talitha, seperti biasanya, tidak menyadari apa yang terjadi. Dia tetap menjalani harinya dengan tenang, tanpa mengetahui pergulatan batin yang aku dan Devan sembunyikan di balik senyuman dan percakapan yang biasa.
"Pap, jangan lupa ya nanti malam kita foto," Talitha mengingatkan Devan dengan nada ceria.
Devan hanya melirik malas dan menarik napas panjang sambil membereskan sarapannya. Aku bisa melihat sekilas ketegangan di matanya, sesuatu yang Talitha mungkin tidak perhatikan.
"Nanti malam mau kemana, Mam?" tanya Wilma dengan penuh rasa ingin tahu.
"Nanti malam kita foto-foto ya, sayang, biar ada kenang-kenangan foto keluarga di ulang tahun Prince yang ke-2," jawab Talitha sambil tersenyum manis.
"Yaaahhh, foto lagi," keluh Wilona dengan nada malas.
"Setelah foto, Mommy janji belikan ice cream triple size, gimana?" bujuk Talitha, mencoba meredakan keluhan anak-anaknya.
Mendengar janji es krim, mata Wilona dan Wilma langsung berbinar, dan keluhan mereka pun sirna. Aku hanya bisa mengamati dari pinggir, mencoba mengendalikan perasaanku yang campur aduk.
Saat mereka asyik membicarakan rencana malam itu, aku merasa seperti seorang penonton dalam drama yang rumit, di mana aku menjadi bagian dari konflik yang tidak terlihat. Devan tidak banyak bicara sepanjang sarapan, dan aku pun hanya terdiam, merasakan ketegangan yang semakin menumpuk.
Setelah sarapan selesai, seperti biasa kedua anak kembar dan Talitha berpamitan pada Devan sebelum berangkat ke sekolah.
"Ratih, nanti sore bantu saya siapkan baju untuk foto ya. Malamnya kamu ikut, oke?" Talitha berkata dengan nada harapan.
"Baik, Nyonya," ujarku, berusaha tetap tenang meskipun hatiku berdebar.
Seperti biasa, Devan adalah yang terakhir selesai sarapan. Dia menghampiriku untuk mengambil Prince dari pangkuanku. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Jari-jarinya menyentuh dan membelai bukitku lebih berani, membuat darahku berdesir dan pipiku merona.
"Tuan..." desahku, hampir tanpa suara.
"Maaf," bisiknya dengan tatapan dan senyumnya yang menggoda, seolah-olah menikmati efek yang ditimbulkannya padaku.
Aku mengambil botol susu Prince dan berjalan keluar menuju parkiran mobil Devan, menjauh dari Mbak Yanti dan Mbok Tuti. Sambil menunggu Devan menyerahkan Prince kembali padaku, aku bersandar di tembok, menggigit bibir bawahku.
"Ah, Devan, kamu membuatku basah," bisikku dalam hati. Aku bisa merasakan celana dalamku mulai lembab.
"Ya Tuhan, kenapa kau menciptakanku mudah sekali terang*sang," gumamku dalam benak.
Devan datang mendekat, masih dengan senyum yang sama. Ketika dia menyerahkan Prince padaku, jari-jarinya kembali menyentuhu. Sentuhan itu membangkitkan gairah yang sulit kutahan, membuat tubuhku gemetar.
"Tuan, tolong jangan begini," bisikku, suaraku hampir putus.
"Kenapa?" tanya Devan, menatapku dengan mata yang penuh hasrat.
"Saya takut," kataku, berusaha mengendalikan getaran dalam suaraku.
"Takut enak?" bisiknya menggoda, senyumnya semakin lebar.
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je