Tuan, Aku Hamil!

Tuan, Aku Hamil!

last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-11
Oleh:  kodavTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
94Bab
2.3KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini—setelah aku mencapai tahta—apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Tuan, Aku Hamil

Suara musik dan gelak tawa anak-anak memenuhi udara sore itu. Rumah besar Devan dan Talitha bersinar dengan dekorasi ulang tahun yang megah—balon warna-warni, pita berkilauan, dan aroma manis kue ulang tahun yang baru saja dikeluarkan dari dapur. Pesta ini adalah untuk ulang tahun ketiga anak bungsu mereka, Prince. Namun, pikiranku sama sekali tidak ada di sini.

Aku berdiri di sudut ruangan, memegang nampan penuh minuman yang bergetar karena tanganku yang gemetar. Mataku terus bergerak mencari-cari sosok Tuan Devan di antara keramaian tamu yang tak henti berbincang. Aku harus segera memberitahunya, meskipun tenggorokanku kering dan jantungku berdegup kencang seperti genderang.

Ini terlalu penting. Aku tak bisa menunggu lebih lama.

Akhirnya, aku melihatnya. Di dekat taman belakang, di antara sekelompok pria berjas, dia tertawa lepas. Senyum itu, senyum yang selalu membuat hatiku bergetar setiap kali melihatnya, kini terasa lebih menakutkan daripada menyenangkan. Bagaimana aku bisa mengatakannya? Bagaimana dia akan merespons?

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian, lalu berjalan mendekat. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada beban di kakiku yang menahan. Ketika aku sudah cukup dekat, Devan menyadari kehadiranku. Tatapannya berubah serius, menandakan dia tahu ada sesuatu yang penting yang harus kubicarakan.

Dia menyingkir dari teman-temannya, sedikit menyipitkan mata, “Ada apa, Ratih?”

Aku merasa lidahku terbelit. Napasku tertahan, tetapi aku tahu tak ada waktu lagi. "Tuan, bolehkah saya bicara sebentar?" bisikku, suaraku terdengar lebih lemah dari yang kuinginkan.

Devan mengerutkan kening. “Bisa nanti saja? Aku sedang sibuk,” katanya cepat, tatapannya beralih ke tamu-tamu di belakangku.

Aku menggeleng pelan, menggigit bibirku, menahan air mata yang mulai muncul. “Tidak bisa, Tuan. Ini sangat penting. Tolong...”

Dia menarik napas panjang, lalu melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan. “Baiklah,” gumamnya pelan. "Ikuti aku."

Dia membawaku ke sudut taman yang lebih sepi, jauh dari sorotan tamu. Taman itu diterangi cahaya lampu gantung yang remang, menciptakan bayangan panjang di rerumputan. Di sinilah, di bawah pohon besar yang tumbuh di dekat kolam, Devan akhirnya berbalik dan menatapku dengan mata yang penuh tanya.

“Apa yang ingin kamu katakan, Ratih?”

Jantungku serasa berhenti. Aku membuka mulut, namun kata-katanya sulit keluar. Tanganku gemetar, dan aku harus menahannya agar nampan yang kubawa tidak jatuh.

“Tuan, saya... saya tidak tahu bagaimana mengatakannya,” gumamku, suaraku bergetar. "Tapi... saya hamil."

Kata-kata itu akhirnya terlepas, seperti sebuah batu besar yang kulemparkan dari tebing. Aku merasa seluruh tubuhku kehilangan keseimbangan, dan jantungku kembali berdetak kencang, seolah-olah baru dihidupkan lagi. Aku menundukkan kepala, takut melihat reaksinya.

Devan terdiam. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak kaku, bibirnya terkatup rapat. "Kamu..." Dia berhenti, suaranya lebih dingin. "Kamu bilang apa tadi?"

"Saya hamil, Tuan," ulangku, suaraku semakin lemah. "Anak ini... anak Tuan."

Waktu terasa berhenti. Rasanya seperti dunia di sekelilingku memudar, hanya ada dia dan aku di tempat ini. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri begitu keras di telinga, tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Devan.

Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, suara tawa ceria tiba-tiba memecah kesunyian. Nyonya Talitha muncul, dengan senyumnya yang menawan, tidak menyadari ketegangan yang menggantung di antara kami.

“Pap, kamu di sini ternyata! Teman-temanmu mencarimu,” katanya sambil menyentuh lengan Devan dengan lembut. “Ratih, tolong cari Wilma dan Wilona ya. Kita sudah mau tiup lilin.”

Aku langsung mengangguk, nyaris tersedak oleh keterkejutanku. "Baik, Nyonya," jawabku cepat.

Talitha tersenyum hangat dan melenggang pergi, kembali ke keramaian tanpa menyadari apa yang baru saja terjadi. Setelah dia menghilang dari pandangan, Devan kembali menatapku dengan tatapan serius yang membuat bulu kudukku meremang.

“Kita akan bicara nanti,” bisiknya, suaranya lebih tegas sekarang. “Lakukan apa yang Talitha minta untuk sekarang.”

Aku mengangguk cepat, meskipun hatiku bergemuruh. “Baik, Tuan,” jawabku, lalu segera pergi mencari Wilma dan Wilona.

Namun pikiranku sama sekali tidak berada di pesta ini. Aku tak bisa berhenti memikirkan bagaimana Devan akan menangani semua ini. Perasaanku bercampur aduk antara takut, cemas, dan lega karena aku akhirnya mengungkapkan kebenaran.

Ketika aku akhirnya menemukan Wilma dan Wilona, aku membawa mereka ke ruang utama, di mana semua tamu telah berkumpul. Lagu ulang tahun mulai dinyanyikan dengan penuh semangat, dan ruangan yang penuh sesak dipenuhi suara tawa dan nyanyian yang memeriahkan suasana. Semua orang tampak bahagia, terutama Devan dan Talitha, yang berdiri di depan kue besar dengan lilin-lilin yang menyala terang. Senyum ceria mereka tampak sempurna, layaknya pasangan suami istri yang harmonis di mata orang lain. Tapi aku tahu, di balik senyum itu, ada sesuatu yang mengganjal.

Aku berdiri di sudut ruangan, memegang nampan dengan tangan gemetar, menyaksikan mereka dari kejauhan. Jantungku masih berdetak kencang setelah percakapan singkat dengan Devan. Sekarang, setelah kebenaran terucap, aku merasa lebih terperangkap daripada sebelumnya. Pandanganku kabur, semua keceriaan di sekelilingku terasa seperti latar belakang yang tak penting.

Dia tahu. Tapi apa yang akan terjadi sekarang? Bagaimana reaksi Devan? Apakah dia akan memberitahu Talitha? Atau mungkin, lebih buruk lagi, dia akan menolak tanggung jawabnya?

Devan tiba-tiba melirik ke arahku. Sekilas, mata kami bertemu, dan aku langsung merasa dingin merayap di sepanjang tulang belakangku. Tatapannya begitu tajam, namun sulit diterjemahkan. Apakah itu rasa marah? Ketakutan? Atau... rasa bersalah?

Tatapan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum Devan mengalihkan perhatiannya kembali pada keluarganya, kembali tersenyum, seolah tidak ada yang terjadi. Namun, aku tahu, sesuatu telah berubah. Ada jurang besar yang terbuka di antara kami, dan aku takut jatuh ke dalamnya.

Di tengah keceriaan pesta, aku merasa sangat sendirian.

<<<<<<

<<<<<<

Semua ini bermula dari setahun yang lalu.

Aku tidak pernah menyangka bahwa hidupku akan berubah begitu cepat setelah aku mulai bekerja di rumah besar Devan dan Talitha. Keputusan itu awalnya sederhana—aku membutuhkan pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga, terutama karena suamiku, Mas Widodo, yang bekerja di perusahaan Devan, sering bepergian jauh untuk mengantar logistik ke luar pulau. Kehidupan kami sulit, dan tawaran bekerja di rumah Devan terasa seperti berkah yang datang di waktu yang tepat.

Hari pertama aku menginjakkan kaki di rumah itu, aku merasa seolah-olah masuk ke dalam dunia yang sepenuhnya berbeda. Rumah besar dengan lantai marmer, dinding-dinding berhiaskan karya seni mahal, dan perabotan yang terlihat seperti harta karun di mata orang sepertiku. Kemewahan itu hampir membuatku pusing.

Namun, di balik kemewahan itu, ada sesuatu yang terasa salah. Ada sesuatu yang tidak seimbang.

Pada awalnya, aku tidak bisa memastikan apa itu. Talitha, dengan segala keanggunannya, selalu tampak sempurna. Dia adalah wanita yang ramah dan penuh perhatian, tetapi aku mulai menyadari bahwa ada lapisan di balik senyumnya. Sesuatu yang tersembunyi. Sementara Devan, meskipun bersikap hangat dan penuh wibawa, sering kali menatapku dengan cara yang membuatku tidak nyaman. Tatapan yang sulit diartikan—bukan tatapan biasa antara majikan dan pekerja.

“Ratih, tolong pastikan semua makanan sudah siap sebelum acara dimulai,” kata Talitha saat lewat di dekatku dengan langkah tergesa-gesa, matanya sibuk memeriksa dekorasi.

"Baik, Nyonya," jawabku sambil tersenyum, meski dalam hati aku terus merasa gelisah. Hari itu, aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru ini. Aku ingin melakukan yang terbaik, memastikan semuanya berjalan sempurna. Bagiku, pekerjaan ini adalah kesempatan yang sangat berarti.

Aku ingat betapa gugupnya aku. Setiap langkah yang kuambil terasa penuh dengan kehati-hatian. Aku takut salah melangkah, takut mengecewakan mereka. Namun, di balik kebaikan mereka, selalu ada perasaan aneh yang menghantui pikiranku, terutama ketika Devan mulai melirik ke arahku. Tatapan yang sering dia berikan terasa seolah menembus kulitku, menggores sesuatu di dalam diriku yang tidak bisa kuabaikan.

Saat aku kembali dari dapur dengan nampan berisi makanan, aku melihat Talitha sibuk mengatur dekorasi di ruangan utama. Dia tampak sempurna—setiap rambut, setiap gerakan, terkontrol dengan baik. Dia adalah tuan rumah yang sempurna, tak pernah terlihat canggung atau lelah, meski pesta ini begitu besar dan melelahkan.

Namun, Devan... Devan berdiri di pojok ruangan, sendirian, sesekali melirik ke arahku. Tatapan itu—tatapan yang penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan—membuat jantungku berdegup lebih kencang. Apakah dia tahu saat itu? Apakah dia sudah mulai merasakannya sejak hari-hari pertama aku bekerja di sini?

Ada jarak di antara kami, tapi aku bisa merasakan ketegangannya. Tatapan Devan terasa menusuk, hampir seolah-olah dia bisa membaca pikiranku, mengetahui semua yang aku sembunyikan. Dia mungkin tahu bahwa aku, seorang pembantu yang sederhana, telah terjebak dalam jaring yang tak pernah kuinginkan.

Aku berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku, mencoba mengabaikan perasaan yang membakar di dalam diriku. Namun, semakin lama, semakin sulit untuk menghindarinya. Ketika Devan mendekat hari itu, ketika dia pertama kali berbicara kepadaku, aku tahu segalanya tidak akan pernah sama lagi.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
94 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status