Setelah acara akan berakhir dan para undangan mulai pulang, Talitha memperkenalkanku pada Devan.
"Pap, ini loh istrinya Pak Widodo. Dia mau kerja di sini, aku kira Ratih orangnya bersih jadi ya aku terima saja," kata Talitha sambil tersenyum.
"Pak Widodo yang sopir truk di kantorku itu? Oooh boleh saja," jawab Devan sambil mengangguk setuju.
"Terima kasih, Tuan," kataku sambil menunduk. Aku merasa sedikit lega mendengar persetujuan dari Devan.
"Ratih, pastikan kamu merasa nyaman bekerja di sini. Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk berbicara dengan kami" tambah Talitha.
"Baik, Nyonya. Terima kasih," jawabku dengan tulus.
Setelah itu, aku melanjutkan pekerjaanku dengan semangat baru. Meskipun perasaan cemas masih ada, aku merasa lebih yakin bahwa aku bisa menjalani pekerjaan ini dengan baik dan membantu perekonomian keluargaku.
Aku kagum dengan keharmonisan rumah tangga Devan dan Talitha. Mereka tampak seperti pasangan yang saling melengkapi, dengan chemistry yang kuat terlihat dalam cara mereka berinteraksi satu sama lain. Talitha selalu tampil penuh kasih sayang, memastikan bahwa semua tamu merasa diterima dan diurus dengan baik.
Devan, di sisi lain, memiliki sikap yang tenang dan sabar, sering membantu Talitha ketika ada yang perlu dilakukan. Melihat mereka bersama membuatku menyadari betapa pentingnya komunikasi dan kepercayaan dalam sebuah hubungan. Keduanya selalu saling menghargai dan mendukung, menciptakan lingkungan yang hangat dan nyaman bagi semua orang di sekitar mereka.
Lalu aku memperhatikan Devan dengan tubuh yang tinggi dan atletis, serta rambut hitam yang selalu tampak rapi. Wajahnya tampan dengan garis tegas dan mata coklat yang tajam, membuatku terpesona.
"Ratih, jangan aneh-aneh ah, itu kan majikanmu," bisikku dalam pikiranku, berusaha menenangkan diri. Namun, saat aku melihat Devan dengan tatapan seriusnya, hatiku berdebar kencang. Namun, aku juga menyadari bahwa aku perlu menjaga batasan, karena aku seharusnya adalah seorang istri yang setia pada Widodo.
Acara hari itu berjalan dengan lancar. Setelah semua undangan pulang, Devan dan Talitha pun beristirahat. Ketiga anak mereka telah ditangani oleh para suster, sementara aku dan ART yang lainnya segera membereskan segala sesuatu.
Kami bekerja dengan cepat dan efisien, memastikan rumah kembali bersih dan rapi. Semua peralatan pesta, piring kotor, dan sisa makanan sudah dibereskan. Setelah semuanya selesai, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku menuju kamarku yang berada di lantai bawah.
ART di rumah ini mendapatkan satu kamar untuk masing-masing orangnya. Ada tiga ART termasuk aku: Mbok Yanti yang berusia 57 tahun, Mbak Tuti yang berusia 42 tahun, dan aku yang termuda, 23 tahun.
Saat aku memasuki kamar, Mbok Yanti sedang duduk di kursinya, terlihat lelah tapi puas dengan pekerjaan hari ini.
"Ratih, yang betah ya kerja di sini. Mbok sudah cape, mungkin ga lama lagi Mbok akan pulang kampung mau pensiun. Mbok sudah 20 tahun kerja dengan keluarga Tuan Devan," pesan Mbok Yanti dengan bijak.
"Insyaallah, Mbok. Kalau Mbok betah harusnya saya juga betah," jawabku sambil tersenyum, berusaha memberikan semangat.
Mbak Tuti yang sedang merapikan tempat tidurnya menambahkan, "Iya, Ratih. Keluarga ini baik sekali. Kamu beruntung bisa bekerja di sini. Tapi tetap jaga sikap dan jangan sampai mengecewakan mereka."
"Iya, Mbak. Saya akan berusaha keras," kataku sambil mengangguk setuju.
Setelah berbincang sebentar, kami semua memutuskan untuk beristirahat. Hari ini sangat melelahkan, tapi juga penuh pelajaran. Aku berbaring di tempat tidurku, merenung tentang semua yang terjadi hari ini.
Suasana rumah setelah acara sangat tenang, hanya terdengar suara angin berhembus pelan di luar jendela. Aku mencoba memejamkan mata, tapi bayangan wajah Tuan Devan dengan tatapan seriusnya terus muncul di pikiranku. Aku tahu harus menjaga jarak dan batasan, tapi perasaan ini begitu sulit diabaikan.
Tiba-tiba terdengar suara dug dug dug tepat dari lantai atas kamarku. Aku terkejut dan membuka mata lebar-lebar, berusaha mendengarkan lebih jelas. Suara itu terus berulang, semakin keras dan mengganggu.
Tanpa berpikir panjang, aku keluar dari kamar dan melihat sekeliling. Semua kamar lain tampak sudah tertutup rapat, menunjukkan bahwa Mbok Yanti dan Mbak Tuti sudah beristirahat. Aku kembali ke kamarku dan mengunci pintu dengan hati-hati, berusaha menghilangkan rasa penasaran yang mengganggu.
Aku berbaring lagi, mencoba untuk tidur, namun suara itu masih terdengar.
Dug dug dug. Degup jantungku semakin cepat, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di lantai atas. Aku memutuskan untuk mendengarkan lebih seksama.
Aku membuka telinga lebar-lebar dan mendengar suara lain yang samar-samar. Ada yang mendesah.
"Ahhh yesss baby ahhh."
Aku mencoba menenangkan diri, berusaha meyakinkan diriku bahwa ini bukan urusanku. Namun, rasa penasaran semakin membesar.
Suara itu pun berlanjut, kali ini lebih jelas.
"Ahhh pap ahhh I'm coming pap, ahhh," suara Talitha terdengar mendesah.
Aku terdiam sejenak. "Apakah itu benar-benar yang aku pikirkan?" gumamku dalam hati. Semakin jelas bahwa Devan dan Talitha sedang berhubungan intim. Pikiran nakal mulai muncul di benakku tanpa bisa kuhindari. Aku mencoba mengusir bayangan itu, tapi sulit sekali.
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je