“Apa yang akan Kakak lakukan?” Valencia bertanya setelah polisi itu pergi.Mata Roland yang masih menyimpan seberkas emosi telah menatap Valencia. Pria itu memindai Valencia yang memucat dan wajah penuh lelah.“Aku kesal sekali pada kesimpulan polisi itu mengenai kasus Michelle,” lanjutnya membuat Roland menatap tajam.“Kesimpulan apa itu?” desak Roland ingin tahu.“Lewat suamiku dia mengatakan jika kesaksianku beserta sopir taksi itu tak memiliki kekuatan untuk menangkap David Revorman.”Valencia tak ragu-ragu mengadukan kesimpulan yang menjengkelkan—yang sebelumnya mendorong dirinya cepat-cepat mengadu pada Roland.“Polisi itu malah mengatakan jika Michelle bisa saja melakukan “pekerjaan” lain karena mungkin kebetulan saja berada di dekat lokasi rumah David. Dia juga mengatakan bahwa Michelle bukan lagi personal asisstant dari David Revorman. Melainkan hanya seorang administrator di firma itu. Bukankah Kakak berteman dengan David itu?”Setumpuk emosi memuncak ke ubun-ubun Roland, se
Rutinitas pagi di kediaman Jullian berlangsung seperti biasanya. Para pelayan mulai sibuk melakukan kewajiban mereka di kediaman mewah itu, di mana tuan rumah baru saja kembali setelah beberapa waktu mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.Sayangnya, kesibukan mereka diselimuti oleh ketegangan yang diciptakan oleh sang pemilik kediaman. Yaitu Jullian yang menunjukkan emosi tak terbendung di ruangan santai teras belakang.Sejak sore kemarin, Jullian memang telah menunjukkan ekspresi kesal saat pulang ke rumah. Namun, kekesalan itu semakin bertambah ketika asisten pribadinya mengadukan perihal Roland yang batal menjemputnya di rumah sakit.“Jadi anak berandal itu batal menjemputku karena ke Los Angeles?” tanya Jullian penuh tekanan kepada asisten pribadinya yang merunduk.“Informasi yang saya terima bahwa Tuan Roland mendadak pergi ke Los Angeles.”Jullian berdecih kesal. “Dia pasti menemui wanita itu lagi! Demi wanita itu, anak berandal itu membohongiku!”Berbanding terbalik den
Roland baru saja terbangun dari dunia mimpi yang singkat dirasakan. Tetapi dia kembali disuguhkan oleh hal-hal yang mustahil didapatkan.Walaupun sejak kemarin Michelle menunjukkan sisi lembut yang penurut, akalnya merasa seperti masih bermimpi mendengarkan pengakuan Michelle. Bahkan Roland memeriksa keadaan itu dengan mencermati jelas kehangatan tangan Michelle dalam genggamannya.“Katakan saja nanti setelah kau dalam kesadaran penuh. Aku tidak mau nantinya kau berpura-pura tidak mengingat ini,” ujar Roland yang samar-samar menyindir.“Aku akan ingat dan tidak akan berpura-pura.” Michelle meyakinkan dengan sorot mata lemah namun penuh keseriusan. “Seperti yang kau katakan terakhir kali di depan firma—sebelum balik ke New York, ayo kita lupakan masa lalu,” lanjut Michelle menegaskan.“Aku tidak ingin menahan semuanya dan berbohong pada diriku sendiri, bahwa kau masih tetap ada di hatiku. Mau sekeras apa pun aku melupakanku, rasanya semua sia-sia karena aku masih berdebar-debar setiap
Dengan terpaksa Ella menurunkan kaca pintu mobil di sebelahnya. Wanita itu memamerkan senyuman kaku demi menyembunyikan rasa cemas dan kesal yang campur aduk di dada.“Kenapa Anda bersikap kasar seperti tadi?” Ella mengkritik di balik senyuman palsu. “Sikap Anda itu sangat tidak sopan,” lanjutnya sedikit ketus.“Mohon maaf! Tetapi selaku pihak keamanan di lingkungan ini saya wajib menegur Anda,” jelas pria itu tanpa sadar meningkatkan rasa cemas Ella.“O-Oh, tapi saya tidak melakukan hal buruk.” Ella membela diri dengan nada gugup.“Mohon maaf jika Anda salah paham atas sikap saya.” Pria itu berulang menyatakan kata maaf dengan sikap tegasnya. “Kemarin malam di sini baru saja terjadi percobaan pembunuhan. Beruntungnya korban berhasil diselamatkan dengan cepat, sehingga keamanan di lingkungan ini diperketat. Sejak saat itu kami wajib memeriksa siapa pun orang asing yang datang,” jelas pria itu.Ella sendiri tertegun mendengarkan penjelasan yang tersampaikan baik ke telingannya. Sampai-
“Aku harap kau tidak salah paham dengan perkataanku.”Michelle berusaha menampik kegelisahan Roland yang jelas terlihat di balik keheningannya itu.“Aku tidak ingin menjalani hubungan ini terlalu terburu-buru. Aku ingin kita menikmati waktu bersama-sama sekaligus bisa memahami diri kita masing-masing.”Michelle lebih lanjut mengutarakan keinginannya dengan tidak cukup percaya diri. Itu karena dia memahami Roland yang pasti tidak akan menyutujui.“Aku ingin kita tidak seperti dulu yang selalu salah paham dan menyimpulkan sendiri. Meski aku tidak mau terburu-buru, itu bukan berarti aku tidak serius menjalani hubungan ini,” ujar Michelle menimpali.Roland ingin sekali menertawakan pernyataan Michelle dan membalasnya lewat kalimat-kalimat ketus yang pasti menjatuhkan mental.Rasanya tidak masuk akal menjalani hubungan yang serius, namun dilakukan dengan tenang seperti air yang mengalir.Apalagi dengan gaya seorang Roland yang tidak sabaran, dia menilai mustahil bisa mengabulkan permintaan
“Apa yang kau katakan?”Ella seketika beranjak dari tepian ranjang. Wanita yang baru saja menenangkan diri dari masalah memusingkan kepala itu telah mendekati asistennya, sementara matanya telah mendelik penuh rasa kesal.“Kau mengatakan Jemmy sudah tidak ada lagi di hotel itu?” desak Ella menggeram sampai gerahamnya beradu kasar.Wanita yang di depannya itu tertunduk takut. “S-saya ... saya sudah memastikan kepada pihak hotel jika Tuan Jemmy sudah meninggalkan hotel sejak kemarin malam—”“Bagaimana bisa kau kehilangan jejak pria sialan itu?!”Bentakan yang memekik sakit ke telinga itu menambah rasa takut pada asisten wanita itu. Bahkan, tubuhnya yang kurus dan kecil itu sudah gemetaran di hadapa Ella.“Aku sudah berulang kali katakan, jangan sampai pria sialan itu menghilang tanpa jejak! Aku juga sudah perintahkan untuk memata-matai segala gerak pria sialan itu!”Wajah Ella memerah, pun gemetaran setelah memekik marah. Wanita itu tak sedikit pun menyembunyikan emosinya kepada orang y
“Keluarlah!” David mengusir dengan acuhnya. “Sebaiknya kau desak tim legal untuk segera menyelesaikan masalah ini. Tekan juga tim IT dan humas untuk menghapus segala pemberitaan,” lanjutnya memberi perintah.David tak menggubris sahutan wanita itu karena muak dan tak puas pada kinerja wanita itu.Diselimuti keheningan yang mendominasi, David kembali terfokus pada pemikirannya mengenai Michelle.Jika memang benar sesuai, sangat tepat jika dia menilai kemarahan Roland bersinggungan dengan Michelle.David tak bisa melupakan bagaimana pasrahnya Michelle dalam pelukan dan gelutan bibir Roland. Dia juga tak bisa menghapus bagaimana emosi memuncak ketika Roland mengadukan hubungan yang terjalin dengan Michelle.Satu-satunya tindakan yang tepat dilakukan adalah menemui Michelle dan mengonfirmasi secara langsung.Sayangnya, wanita itu masih belum menunjukkan batang hidungnya di firma hukum. David semakin bertanya-tanya mengenai keadaan Michelle. Rasa penasarannya terdesak oleh pemberitaan meng
~ Satu jam sebelumnya ~Tepat di sebelah ranjang, Roland masih setia menemani Michelle. Pria itu tak bosan duduk di kursi sembari menatap Michelle yang tertidur lelap. Sesekali dia membelai pipi ataupun mengusap kepala Michelle ketika wanita itu bergerak gelisah dalam tidurnya.Dia berusaha tak menimbulkan suara apa pun yang mengusik kedamaian Michelle. Walau rasanya suara apa pun tak akan membuat Michelle sampai terbangun, karena Michelle bukanlah tipe orang yang sensitif saat tertidur.Ketukan pintu yang terdengar membuat Roland reflek mengalihkan pandangan. Dia melayangkan tatapan tajam kepada Daniel yang masuk dengan hati-hati. Roland juga memberikan kode kepada Daniel lewat telunjuknya yang menempel di bibir.“Jangan berisik! Michelle sedang tidur,” seru Roland mendikte tegas lewat tatapan sinis.Daniel yang mengangguk patuh tak mau membela diri atas sikapnya yang sudah hati-hati. Dia memilih untuk meletakkan barang-barang yang di bawa ke sudut santai ruangan kamar inap itu.“Apa
Michelle terdiam dengan tatapan linglung yang kosong. Dia sulit mencerna sempurna beberapa saat pasca tenggelam dalam kenikmatan erotis yang Roland antarkan lewat lumatan bibir.Setelah mengembuskan napas panas lewat celah bibir yang agak ranum, barulah Michelle memahami kabar yang Roland sampaikan.“K-kau ... kau akan kembali ke New York?” Michelle terbata memastikan ulang dalam kesadaran tidak memercayai.Dehemen ringan Roland terdengar menanggapi, namun kemudian lenyap oleh bibirnya yang menyapu singkat bibir Michelle.“Ada beberapa pekerjaan penting yang tidak bisa diwakilkan. Aku harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan dan memastikan semua berjalan sesuai dengan harapanku.”Hati Michelle seketika tersadar pada sosok Roland yang bukan dari kalangan biasa seperti dirinya.Sudah lebih dari seminggu Roland merawat, menemani dan tak jauh dari sisi Michelle. Selama itu pula Michelle terbuai dalam kedamaian dan kenyaman yang Roland ciptakan. Sampai Michelle lupa bahwa Roland tak
“Dasar mesum!”Michelle membalas kejam lewat gigitan kecil yang menyakitkan di telinga Roland. Wanita itu tak terpengaruh oleh Roland yang mengerang kesakitan. Sebaliknya, Michelle merasa puas melihat Roland yang meringis sembari menggosok-gosok telinganya yang habis digigit.“Aku sedang serius berbicara, Roland!” Michelle memprotes sampai matanya menyorot tajam. “Apa kau tidak bisa serius sedikit?” lanjutnya menghardik ketus.“Apa aku terlihat tidak serius?” Roland balik memprotes dengan tangan masih menggosok-gosok telinganya yang sakit. “Selama kau mengenalku, apa aku pernah tidak serius?”Michelle terdiam karena perkataan Roland tidak bisa dibantah. Memang benar, sepanjang Michelle mengenal pria itu tak pernah sekalipun ketidakseriusan terjadi. Michelle bahkan mengingat jelas Roland yang selalu konsisten pada ucapannya. Bahkan sekalipun Michelle menganggap hal itu tidak masuk akal, Roland tidak pernah bercanda dalam hidupnya.“A-aku sedang ingin berbicara serius denganmu!” Michell
Michelle mulai menjalani rutinitas pagi setelah merasakan kondisi tubuh semakin membaik. Sejak kemarin dia sudah mulai menyiapkan sarapan pagi dan membantu Leah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.Padahal Roland sudah bersikeras melarang dan menasihati Michelle agar lebih banyak beristirahat. Tetapi, wanita itu juga bersikeras tak bisa berdiam diri karena sudah terbiasa melakukan aktivitas seperti itu.Aktivitas paginya hanya sekadar itu. Michelle sudah resmi mengundurkan diri dari firma hukum David. Barang-barang miliknya pun sudah diantar oleh pihak firma sesuai alamat tempat tinggalnya.Pagi itu di ruangan santai yang bersebelahan dengan balkon, Michelle terlihat fokus pada sebuah buku yang dipegang.Dia sampai tidak menyadari kedatangan Roland yang baru saja kembali setelah mengantar Leah ke sekolah. Sampai-sampai Michelle tidak tahu Roland telah duduk di sebelahnya.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Michelle tersentak kaget oleh Roland yang datang tiba-tiba. Wanita itu berings
“Ah ... untuk makan malam nanti Leah mau menu apa?”Michelle memalingkan pandangan setelah sengaja mengalihkan pembicaraan. Wanita itu pun beranjak dari duduk di tepian ranjang yang tak lama kemudian mengeluarkan handphone dari saku depan celana.“Sepertinya akan menyenangkan jika kita makan malam di luar.” Sembari memainkan handphone, Michelle sibuk berbicara sendiri tanpa peduli bagaimana Roland beserta Leah menatapnya. “Di sekitar sini banyak restoran, ‘kan? Sepertinya menu daging dan salad sayur akan terasa nikmat,” lanjutnya masih asyik sendiri.“Mom,” Leah menginterupsi datar.“Ya?” Michelle menyahut, kemudian menatap Leah yang menyorotnya tajam penuh rasa curiga. “Leah mau menu makan malam apa?” tanya Michelle yang sengaja menyembunyikan perasaan.“Mommy masih bisa memikirkan makanan ketika aku bertanya?” seperti biasa Leah mengkritik tajam ketika keinginannya belum terpenuhi.“Dokter mengatakan pada Mommy untuk banyak makan dan beristirahat. Mommy tidak salah jika lebih memiki
Sejak masuk ke dalam kamar tidurnya, Roland tak lagi menyembunyikan kegelisahan diri. Sejak tadi dia sudah mondar-mandir tak jelas, sementara itu napas pun berkali-kali diembuskan kasar.Selain gelisah dan cemas yang merasuki jiwa, rasa bersalah turun ikut campur mempermainkan perasaan Roland. Samar-samar dia memperhatikan sikap Leah yang perlahan-lahan murung.Jujur saja, Roland sudah berniat menguping pembicaraan Michelle bersama Leah di dalam kamar. Pria itu sudah menajamkan telinga ketika menutup rapat pintu kamar tamu.Tetapi, logikanya telah menasihati untuk sedikit lebih sabar. Roland dengan terpaksa memercayakan segalanya pada Michelle.“Sebaiknya aku menenangkan diri dengan beberapa gelas air mineral,” gumamnya lemah yang memutuskan beranjak dari kamar.Ketika keluar dari kamar mata keabu-abuannya langsung membidik kamar tamu yang berada di ujung lantai. Keberadaan kamar itu bagaikan sebuah magnet besar yang sulit mengalihkan perhatian Roland.Meski perhatian tertuju ke kamar
Roland masih tak banyak bersuara ketika tiba di penthouse. Dia hanya berbicara sekadarnya ketika ditanya. Tak peduli bagaimana cerewetnya Leah selama di perjalanan, hal tersebut sama sekali tak memengaruhi Roland.Sikapnya itu memantik rasa penasaran Leah yang setia menggenggam tangan Michelle. Bahkan Leah sampai menatap tajam Roland yang berjalan lebih dahulu di depannya.“Karena kamar yang tersedia hanya dua, kau dan Leah akan tidur di kamar tamu di lantai atas—yang berada di sebelah kiri,” jelas Roland tanpa menoleh pada Michelle dan Leah yang mengikuti dari belakang.“Kamar tamu di lantai bawah masih belum layak untuk ditempati dan masih tahap renovasi. Jadi, sementara waktu kau dan Leah akan tinggal dalam satu kamar.” Barulah Roland berbalik menatap setelah bersuara datar.“Kami tidak masalah.” Michelle menanggapi tenang.“Barang-barang kalian akan tiba sore nanti. Sementara waktu kalian bisa menggunakan barang yang telah aku siapkan.” Roland masih bersikap sama.Michelle mengang
“Apa kita tidak ke rumah sebentar untuk mengambil beberapa barangku dan Leah?”Michelle berusaha memecahkan keheningan canggung yang membentang di dalam mobil. Dia melirik ke samping di mana Roland bergeming tenang sembari fokus mengemudi. Michelle sedang samar-samar menanti tanggapan Roland yang sejak tadi menutup mulut.“Karena tidak tahu berapa lama aku dan Leah tinggal di tempatmu, sepertinya tidak salah jika kita ke rumahku untuk mengambil beberapa barang keperluan kami.” Michelle kembali mencuri perhatian dengan ketenangan yang hati-hati.Sayangnya, usaha Michelle belum mampu menarik perhatian Roland. Pria itu masih bergeming seperti semula. Seolah-olah dia mengabaikan keberadaan Michelle.Sikap Michelle itu berkaitan dengan sikap Roland yang tiba-tiba menjadi pendiam. Padahal sebelumnya Roland sangat kritis atas apa pun ucapan Michelle. Sehingga Michelle menaruh kecurigaan pada Roland yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.Keheningan Roland dinilai gugup dan gelisah. Penda
~ Beberapa hari kemudian ~Michelle mengantongi izin pulang setelah dokter memastikan kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa luka yang menggores di tubuhnya pun mulai menutup, termasuk luka memar di tangan juga sepenuhnya memudar.Meskipun sudah bisa bergerak bebas seperti biasa, Michelle tak diizinkan turun dari ranjangnya. Wanita itu hanya diperbolehkan duduk di sana.Dan tidak usah ditanyakan siapa pelaku yang membuat Michelle kesal. Dia adalah Roland—yang sibuk merapikan barang-barang milik Michelle ke dalam sebuah tas.“Kita akan lebih dulu menjemput Leah di rumah Valen, lalu setelah itu kita akan ke penthouse-ku.” Roland dengan tenangnya memberitahu sembari menyelesaikan kegiatannya merapikan barang-barang ke dalam tas.“Maksudmu dengan kita? Apa aku dan Leah juga akan ke penthouse-mu?” Michelle memprotes, sementara matanya telah menatap tajam pada Roland yang berakhir menatapnya.Sebelum bersuara, lebih dulu Roland mengancingkan tas berisi barang-barang Mich
Tidur yang Roland inginkan adalah berbaring di samping Michelle dengan tangannya menggenggam tangan Michelle. Kehangatan dari jemari yang menyatu mampu menghibur Roland yang menatap dingin langit-langit kamar inap itu.Keinginan sederhana itu membuat jiwa Michelle gelisah. Dia bertanya-tanya di dalam hati dan mulai menerka-nerka masalah apa yang Roland hadapi.Sebelum meninggalkannya bersama Valencia, Michelle mengingat Roland yang menerima telepon. Jika telepon itu berkaitan dengan pekerjaan, Roland tak akan ambil pusing sampai emosinya tak terkendali. Sehingga Michelle menyimpulkan jika telepon itu berkaitan dengan seseorang yang mampu menguras emosi seorang Roland Archer.“Tadi aku menghabiskan makananku.”Alih-alih menanyakan langsung, Michelle sengaja berbasa-basi demi bisa membangun suasana berbicara dengan Roland.Suara tawa ringan Roland merespon, sekaligus berhasil memancing perhatiannya yang lama membisu pasca ciuman erotis beberapa waktu lalu.“Kau memang harus makan dengan