Hari itu merupakan hari paling melelahkan bagi Michelle. Emosi dan perasaannya dipermainkan secara brutal. Michelle juga harus mengosongkan meja kerjanya dan mengalihkan pekerjaan itu kepada pengganti yang ditunjuk. Beban pikiran semakin bertambah saat mengetahui Roland melakukan pengumuman pertunangan kepada pers dan media tanpa memberitahu pada Michelle.
Roland telah mencampakkan Michelle dengan keji. Itu artinya tidak ada lagi alasan bagi Michelle bertahan di lingkungan yang menyakitkan itu.
Dia menerima keadaan pahit itu dan tidak lagi ingin peduli mengenai apa pun yang bersangkutan dengan Roland. Semua memang kebodohan diri yang buta akibat terlalu mencintai Roland. Michelle mengaku terlalu percaya diri bahwa perhatian Roland bukan hanya sekadar untuk nafsu saja.
Tindakannya itu serupa dengan tindakan acuhnya terhadap orang-orang di perusahaan yang mulai mencibir sosoknya.
Michelle menjadi pembicaraan hangat atas kabar bahwa dirinya dipecat secara tak hormat. Mulut-mulut penggosip begitu kencang menceritakan bahwa pemecatan Michelle berkaitan dengan kabar pertunangan Roland.
Kabar buruk lainnya juga menyerang Michelle, bahwa dia bisa menanjak naik ke departemen sekretariat CEO dengan cara menjual tubuhnya. Mereka menuduh Michelle menggoda para petinggi demi karir. Bahwa Michelle merupakan “wanita yang bisa dipakai”.
Michelle memilih mengabaikan karena tuduhan itu tidak seutuhnya salah. Dia hanya diam saja saat sorot-sorot mata penuh penghinaan mengantarkan kepergian Michelle yang melintasi lobby. Michelle sudah kenyang mendapatkan penghinaan serupa dari Roland dan Ella.
Langkah kakinya berhenti di lantai teras depan perusahaan bonafit. Dia sejenak mengenang bagaimana dirinya dulu pertama kali menginjakkan kaki di perusahaan itu.
Masih jelas di memori ingatan tentang diri yang mengharapkan akan mengukir cerita indah di perusahaan itu. Namun sayangnya harus berakhir tragis penuh cerita pahit yang merusak harga diri.
Sebuah taksi yang dipesan telah berhenti di hadapannya. Michelle memilih tidak membuang waktu dan menyegerakan naik ke dalam taksi.
Tujuannya tak jelas. Sopir taksi diminta untuk memutar-mutar tanpa tujuan.
Michelle tidak ingin pulang. Apartemen yang ditinggali merupakan pemberian dari Roland. Setiap jengkal sudut di sana telah terukir momen-momen erotis. Tentang Roland yang selalu menyerang setiap kali baru tiba di sana. Mengenai Roland yang memaksa Michelle merintih manis, menangis sembari menahan rasa sakit dan kelelahan.
Michelle tidak akan sanggup berdiam diri di sana. Dia berniat mengembalikan segala pemberian Roland yang didapatkan tanpa pernah Michelle minta, tanpa terkecuali.
Apartemen, mobil, perhiasan sampai uang pun akan Michelle kembalikan. Sehingga mobil yang sering digunakan sengaja Michelle tinggalkan di parkiran kantor. Michelle tidak ingin terikat apa pun lagi dengan pria kejam itu.
Namun, ke mana Michelle harus pulang?
Hanya satu rumah yang Michelle miliki saat itu. Michelle telah menjadi piatu pada usia menginjak sepuluh tahun. Sejak bayi Michelle tak diasuh ayahnya karena terlahir dari hubungan terlarang yang tidak direstui. Sehingga dia diasuh oleh adik ibunya sejak usia sepuluh tahun.
Sepuluh tahun kemudian bibinya menikah. Bibinya memberitahukan mengenai dirinya harus mengikuti suaminya yang bekerja di Los Angeles.
Michelle menanggapi bijak kabar itu. Dia memilih tinggal di New York karena tidak ingin merepotkan bibinya lebih larut.
Haruskah Michelle pergi menemui bibinya?
Sungguh, Michelle tidak ingin menjadi beban. Namun, itu pilihan terbaik bagi Michelle yang tidak akan mampu bertahan menetap di New York.
Keputusan Michelle sudah bulat. Setibanya nanti di apartemen Michelle akan mengemasi barang-barang miliknya.
Hal mengejutkan menyambut Michelle yang tiba di lantai unit apartemen yang ditinggali. Wanita cantik berambut cokelat indah itu dikejutkan oleh kehadiran pria-pria berbadan besar di pintu hunian apartemennya.
Tatapan mereka sangat berbahaya, begitu hebat menakut-nakuti Michelle. Michelle tidak merasa asing karena mereka adalah bodyguard-nya Roland. Dada Michelle semakin terasa nyeri saat melihat pengacara pribadi Roland keluar dari hunian itu.
“Tuan Roland memerintahkan saya untuk memberitahu Anda bahwa Anda harus angkat kaki dari apartemen ini.”
Michelle bergeming tenang tanpa ekspresi atas ucapan pengacara pria itu. Sebab, tak ada yang bisa dilakukan setelah dicampakkan, dihina dan dicurangi dengan keji.
“Anda juga harus menyerahkan mobil beserta—”
“Aku memang sudah berniat mengembalikan semuanya tanpa dia minta.” Michelle menginterupsi tanpa peduli.
Pengacara pria itu berdehem ringan. “Kalau begitu Anda paham, ‘kan? Bahwa Anda hanya boleh membawa barang-barang milik Anda sendiri.”
Ya, Tuhan! Padahal Michelle yang paling tersakiti, tapi Michelle yang dijadikan penjahat dan sosok serakah tak tahu diri.
Michelle mengangguk lemah. “Aku sangat tahu diri untuk tidak memiliki apa pun yang bukan milikku.”
Michelle melewati pengacara pria yang memberi ruang pada Michelle. Dari ruangan depan sudah terciuma aroma alkohol yang bercampur aroma tembakau yang terbakar.
Baru beberapa langkah menyelami hunian apartemen itu Michelle bisa melihat sosok Roland yang duduk di sofa ruang tamu—mengembuskan asap rokok.
Pria yang baru saja mengumumkan pertunangannya itu sudah berada di sana. Pakaiannya formalnya tak lagi rapi. Dasi yang terbiasa melingkar di leher sudah tertanggal entah ke mana. Dan Michelle sudah hapal, Roland sedang dalam keadaan emosi tak berkompromi jika sudah seperti itu.
“Kau baru pulang setelah mengosongkan mejamu?” seringai sinis ikut memprovokasi ejekan Roland pada Michelle yang baru pulang sore hari.
“Aku harus bertanggung jawab setelah memutuskan resign—”
Tawa mengejek Roland mencela nyata penjelasan Michelle. “Kau masih percaya diri setelah aku mencampakkanmu?”
Michelle mengepal kencang kedua tangannya. “Bukankah kau membenciku sehingga tidak ingin melihatku lagi?”
Roland tersenyum tenang, kemudian menikmati alkohol yang mendingin pada gelas—di genggaman tangan. “Kau sudah berani membuatku marah, jadi aku harus menyadarkan wanita tidak tahu diri sepertimu. Pengacaraku sudah menyampaikannya padamu?”
“Sebelum kau minta pun—”
“Lepaskan sekarang juga!” Roland menyela tajam. Dia juga beranjak dari duduknya yang nyaman, berjalan tenang menghampiri Michelle dengan sorot mata penuh penghinaan. “Pakaian yang melekat di tubuhmu, anting di telingamu dan apapun yang kau pakai sekarang ... lepaskan sekarang juga. Semua itu adalah barang-barang pemberianku!”
Wajah pucat Michelle semakin memucat. Dia tidak lagi mampu menerima segala penghinaan yang membabi buta menyerang.
Di sana tidak hanya ada mereka berdua. Pengacara pria beserta dua bodyguard turut hadir di ruangan itu. Michelle tidak mungkin menuruti permintaan konyol Roland.
Tapi dia adalah Roland Archer, pria kejam tanpa kompromi jika sudah marah.
“Aku tidak akan melakukannya.” Michelle lantang membantah.
“Aku akan memberimu dua pilihan. Lakukan sendiri atau kau mau mereka membantumu?”
Michelle tersenyum pahit, sementara bibirnya bergetar menahan gejolak rasa sakit hati. “Terima kasih, Roland. Terima kasih telah memberitahuku yang bodoh telah mencintai sosok kejam sepertimu. Tapi aku bersumpah, kau tidak akan menemukan kebahagiaan meskipun kau membelinya dengan uangmu yang banyak itu. Kau tidak akan menemukan kebahagiaan sebelum kau bersujud meminta maaf di kakiku.”
Michelle terdiam dengan tatapan linglung yang kosong. Dia sulit mencerna sempurna beberapa saat pasca tenggelam dalam kenikmatan erotis yang Roland antarkan lewat lumatan bibir.Setelah mengembuskan napas panas lewat celah bibir yang agak ranum, barulah Michelle memahami kabar yang Roland sampaikan.“K-kau ... kau akan kembali ke New York?” Michelle terbata memastikan ulang dalam kesadaran tidak memercayai.Dehemen ringan Roland terdengar menanggapi, namun kemudian lenyap oleh bibirnya yang menyapu singkat bibir Michelle.“Ada beberapa pekerjaan penting yang tidak bisa diwakilkan. Aku harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan dan memastikan semua berjalan sesuai dengan harapanku.”Hati Michelle seketika tersadar pada sosok Roland yang bukan dari kalangan biasa seperti dirinya.Sudah lebih dari seminggu Roland merawat, menemani dan tak jauh dari sisi Michelle. Selama itu pula Michelle terbuai dalam kedamaian dan kenyaman yang Roland ciptakan. Sampai Michelle lupa bahwa Roland tak
“Dasar mesum!”Michelle membalas kejam lewat gigitan kecil yang menyakitkan di telinga Roland. Wanita itu tak terpengaruh oleh Roland yang mengerang kesakitan. Sebaliknya, Michelle merasa puas melihat Roland yang meringis sembari menggosok-gosok telinganya yang habis digigit.“Aku sedang serius berbicara, Roland!” Michelle memprotes sampai matanya menyorot tajam. “Apa kau tidak bisa serius sedikit?” lanjutnya menghardik ketus.“Apa aku terlihat tidak serius?” Roland balik memprotes dengan tangan masih menggosok-gosok telinganya yang sakit. “Selama kau mengenalku, apa aku pernah tidak serius?”Michelle terdiam karena perkataan Roland tidak bisa dibantah. Memang benar, sepanjang Michelle mengenal pria itu tak pernah sekalipun ketidakseriusan terjadi. Michelle bahkan mengingat jelas Roland yang selalu konsisten pada ucapannya. Bahkan sekalipun Michelle menganggap hal itu tidak masuk akal, Roland tidak pernah bercanda dalam hidupnya.“A-aku sedang ingin berbicara serius denganmu!” Michell
Michelle mulai menjalani rutinitas pagi setelah merasakan kondisi tubuh semakin membaik. Sejak kemarin dia sudah mulai menyiapkan sarapan pagi dan membantu Leah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.Padahal Roland sudah bersikeras melarang dan menasihati Michelle agar lebih banyak beristirahat. Tetapi, wanita itu juga bersikeras tak bisa berdiam diri karena sudah terbiasa melakukan aktivitas seperti itu.Aktivitas paginya hanya sekadar itu. Michelle sudah resmi mengundurkan diri dari firma hukum David. Barang-barang miliknya pun sudah diantar oleh pihak firma sesuai alamat tempat tinggalnya.Pagi itu di ruangan santai yang bersebelahan dengan balkon, Michelle terlihat fokus pada sebuah buku yang dipegang.Dia sampai tidak menyadari kedatangan Roland yang baru saja kembali setelah mengantar Leah ke sekolah. Sampai-sampai Michelle tidak tahu Roland telah duduk di sebelahnya.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Michelle tersentak kaget oleh Roland yang datang tiba-tiba. Wanita itu berings
“Ah ... untuk makan malam nanti Leah mau menu apa?”Michelle memalingkan pandangan setelah sengaja mengalihkan pembicaraan. Wanita itu pun beranjak dari duduk di tepian ranjang yang tak lama kemudian mengeluarkan handphone dari saku depan celana.“Sepertinya akan menyenangkan jika kita makan malam di luar.” Sembari memainkan handphone, Michelle sibuk berbicara sendiri tanpa peduli bagaimana Roland beserta Leah menatapnya. “Di sekitar sini banyak restoran, ‘kan? Sepertinya menu daging dan salad sayur akan terasa nikmat,” lanjutnya masih asyik sendiri.“Mom,” Leah menginterupsi datar.“Ya?” Michelle menyahut, kemudian menatap Leah yang menyorotnya tajam penuh rasa curiga. “Leah mau menu makan malam apa?” tanya Michelle yang sengaja menyembunyikan perasaan.“Mommy masih bisa memikirkan makanan ketika aku bertanya?” seperti biasa Leah mengkritik tajam ketika keinginannya belum terpenuhi.“Dokter mengatakan pada Mommy untuk banyak makan dan beristirahat. Mommy tidak salah jika lebih memiki
Sejak masuk ke dalam kamar tidurnya, Roland tak lagi menyembunyikan kegelisahan diri. Sejak tadi dia sudah mondar-mandir tak jelas, sementara itu napas pun berkali-kali diembuskan kasar.Selain gelisah dan cemas yang merasuki jiwa, rasa bersalah turun ikut campur mempermainkan perasaan Roland. Samar-samar dia memperhatikan sikap Leah yang perlahan-lahan murung.Jujur saja, Roland sudah berniat menguping pembicaraan Michelle bersama Leah di dalam kamar. Pria itu sudah menajamkan telinga ketika menutup rapat pintu kamar tamu.Tetapi, logikanya telah menasihati untuk sedikit lebih sabar. Roland dengan terpaksa memercayakan segalanya pada Michelle.“Sebaiknya aku menenangkan diri dengan beberapa gelas air mineral,” gumamnya lemah yang memutuskan beranjak dari kamar.Ketika keluar dari kamar mata keabu-abuannya langsung membidik kamar tamu yang berada di ujung lantai. Keberadaan kamar itu bagaikan sebuah magnet besar yang sulit mengalihkan perhatian Roland.Meski perhatian tertuju ke kamar
Roland masih tak banyak bersuara ketika tiba di penthouse. Dia hanya berbicara sekadarnya ketika ditanya. Tak peduli bagaimana cerewetnya Leah selama di perjalanan, hal tersebut sama sekali tak memengaruhi Roland.Sikapnya itu memantik rasa penasaran Leah yang setia menggenggam tangan Michelle. Bahkan Leah sampai menatap tajam Roland yang berjalan lebih dahulu di depannya.“Karena kamar yang tersedia hanya dua, kau dan Leah akan tidur di kamar tamu di lantai atas—yang berada di sebelah kiri,” jelas Roland tanpa menoleh pada Michelle dan Leah yang mengikuti dari belakang.“Kamar tamu di lantai bawah masih belum layak untuk ditempati dan masih tahap renovasi. Jadi, sementara waktu kau dan Leah akan tinggal dalam satu kamar.” Barulah Roland berbalik menatap setelah bersuara datar.“Kami tidak masalah.” Michelle menanggapi tenang.“Barang-barang kalian akan tiba sore nanti. Sementara waktu kalian bisa menggunakan barang yang telah aku siapkan.” Roland masih bersikap sama.Michelle mengang
“Apa kita tidak ke rumah sebentar untuk mengambil beberapa barangku dan Leah?”Michelle berusaha memecahkan keheningan canggung yang membentang di dalam mobil. Dia melirik ke samping di mana Roland bergeming tenang sembari fokus mengemudi. Michelle sedang samar-samar menanti tanggapan Roland yang sejak tadi menutup mulut.“Karena tidak tahu berapa lama aku dan Leah tinggal di tempatmu, sepertinya tidak salah jika kita ke rumahku untuk mengambil beberapa barang keperluan kami.” Michelle kembali mencuri perhatian dengan ketenangan yang hati-hati.Sayangnya, usaha Michelle belum mampu menarik perhatian Roland. Pria itu masih bergeming seperti semula. Seolah-olah dia mengabaikan keberadaan Michelle.Sikap Michelle itu berkaitan dengan sikap Roland yang tiba-tiba menjadi pendiam. Padahal sebelumnya Roland sangat kritis atas apa pun ucapan Michelle. Sehingga Michelle menaruh kecurigaan pada Roland yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.Keheningan Roland dinilai gugup dan gelisah. Penda
~ Beberapa hari kemudian ~Michelle mengantongi izin pulang setelah dokter memastikan kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa luka yang menggores di tubuhnya pun mulai menutup, termasuk luka memar di tangan juga sepenuhnya memudar.Meskipun sudah bisa bergerak bebas seperti biasa, Michelle tak diizinkan turun dari ranjangnya. Wanita itu hanya diperbolehkan duduk di sana.Dan tidak usah ditanyakan siapa pelaku yang membuat Michelle kesal. Dia adalah Roland—yang sibuk merapikan barang-barang milik Michelle ke dalam sebuah tas.“Kita akan lebih dulu menjemput Leah di rumah Valen, lalu setelah itu kita akan ke penthouse-ku.” Roland dengan tenangnya memberitahu sembari menyelesaikan kegiatannya merapikan barang-barang ke dalam tas.“Maksudmu dengan kita? Apa aku dan Leah juga akan ke penthouse-mu?” Michelle memprotes, sementara matanya telah menatap tajam pada Roland yang berakhir menatapnya.Sebelum bersuara, lebih dulu Roland mengancingkan tas berisi barang-barang Mich
Tidur yang Roland inginkan adalah berbaring di samping Michelle dengan tangannya menggenggam tangan Michelle. Kehangatan dari jemari yang menyatu mampu menghibur Roland yang menatap dingin langit-langit kamar inap itu.Keinginan sederhana itu membuat jiwa Michelle gelisah. Dia bertanya-tanya di dalam hati dan mulai menerka-nerka masalah apa yang Roland hadapi.Sebelum meninggalkannya bersama Valencia, Michelle mengingat Roland yang menerima telepon. Jika telepon itu berkaitan dengan pekerjaan, Roland tak akan ambil pusing sampai emosinya tak terkendali. Sehingga Michelle menyimpulkan jika telepon itu berkaitan dengan seseorang yang mampu menguras emosi seorang Roland Archer.“Tadi aku menghabiskan makananku.”Alih-alih menanyakan langsung, Michelle sengaja berbasa-basi demi bisa membangun suasana berbicara dengan Roland.Suara tawa ringan Roland merespon, sekaligus berhasil memancing perhatiannya yang lama membisu pasca ciuman erotis beberapa waktu lalu.“Kau memang harus makan dengan